PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Peserta Sidang Internasional Rubber Study Mengadakan Kunjungan Kepada Presiden Soeharto

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Kamis, 30 Oktober 1975 --- Lebih kurang 60 orang peserta sidang ke-24 international Rubber Study Group yang sedang berlangsung di Jakarta sejak tanggal 27 sampai 31 Oktober di Jakarta, mengadakan kujungan kehormatan kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka pagi ini. Dalam sambutannya, Kepala negara meminta Negara-negara pengekspor karet alam dan penghasil karet sintesis untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang, sehingga harga karet yang mereka hasilkan dapat mantap dan tidak merugikan. Ia mengingatkan bahwa sebagai besar penghasil karet alam adalah penghasil karet rakyat, yaitu di Indonesia sebanyak 65%, Malaysia 55%, dan Muangthai 95%. Selanjutnya Presiden menganjurkan agar Internasional Research Study Group itu bekerjasama dengan para konsumen karet dan meminta saran-saran mereka. Demikian antara lain dikatakan oleh Presiden Soeharto.




Sumber : Buku jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo

Presiden Soeharto Menerima Peserta EMF

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Selasa, 28 Oktober 1986 --- Pukul 09.00 pagi ini, bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto menerima para peserta Economic Mondial Forum (EMF). Forum yang dipimpin oleh Prof Klaus Schwab dan dihadiri oleh 80 pimpinan perusahaan dari Eropa, 31 perusahaan joint venture, dan 26 perusahaan PMDN itu diadakan di Jakarta dengan kerjasama Kadin Indonesia. EMF yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, merupakan suatu organisasi internasional swasta yang besar peranannya dalam pengembangan kerjasama ekonomi internasional.

Dalam sambutannya, kepala Negara antara lain mengatakan bahwa sejak semula Indonesia menyadari bahwa membangun bangsa yang demikian luas wilayahnya, yang demikian besar penduduknya, yang demikian berat tantangannya, merupakan tugas-tugas bersama yang memerlukan keuletan dan ketabahan serta kerja keras. Proses pembangunan Indonesia telah melewati tahap-tahap yang berbeda-beda, akan tetapi tantangannya terus menerus tetap ada.

Ditegaskan oleh Presiden bahwa Indonesia siap menghadapi tantangan itu, sebab Indonesia telah menyiapkan langkah untuk menghadapinya. Adalah kepentingan bangsa ini agar penanaman modal berkembang untuk mendorong pembangunannya. Karena, demikian kepala Negara, adalah kepentingan Indonesia pula untuk menciptakan iklim yang menarik bagi penanaman modal itu, baik PMDN maupun PMA.

Dikatakan selanjutnya oleh Presiden bahwa dengan menanamkan modal di Indonesia, maka perusahaan-perusahaan asing bukan saja akan memetik keuntungan material, tetapi juga memetik keuntungan lain yang tak ternilai harganya, yaitu kepuasan batin didalam menyertai lebih dari 160 juta rakyat Indonesia yang sedang membangun masa depannya. Lebih jauh dikemukakannya bahwa Indonesia yang maju ekonominya memberi kesempatan bagi perkembangan  ekonomi dunia pada umumnya, yang akhirnya berarti kita semua secara bersama-sama memberi sumbangan bagi terwujudnya kehidupan umat manusia yang lebih tenteram , lebih maju, lebih sejahtera, dan lebih adil. Pada tujuan-tujuan yang mulia itulah sebenarnya terletak muara bersama dari kepentingan kita semua, kepentingan semua bangsa dan semua Negara, kepentingan seluruh umat manusia.

Demikian dikatakan Kepala Negara.

 
Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo

Surat Kepercayaan Duta Besar RRC dan Duta Besar Siprus

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Sabtu, 27 Oktober 1991 --- Pukul 09.00, pagi ini Presiden Soeharto menerima surat kepercayaan Duta Besar RRC, Qian Yongnian, di Istana Negara. Dengan penyerahan syarat kepercayaan ini, maka RRC kembali mempunyai kantor perwakilan di Jakarta setelah Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Negara itu selam 24 tahun.

Ketika menerima penyerahan surat kepercayaan ini, Presiden Soeharto mengatakan bahwa dalam mengisi lembaran baru hubungan antar kedua bangsa dan negara, kita telah sama-sama bertekad unutk berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Desa Sila Bandung. Kita Juga sama-sama sepakat untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai; yaitu saling hormat menghormati kedaulatan masing-masing, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri, saling percaya dan saling membantu. Karena itu, Kepala Negara menyatakan keyakinannya bahwa di masa-masa  datang hubungan diplomatik antara kedua negara yang telah dipulihkan sejak Agustus yang lalu, tidak saja akan memberi sumbangan bagi terpeliharanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia dan dunia pada umumnya.

Ditempat yang sama, Presiden Soeharto kemudian menerima surat kepercayaan Duta Besar Siprus yang baru, Andreas Pirishis, Kepadanya Kepala Negara mengatakan bahwa dalam “masalah Siprus”, pemerintah dan rakyat Indonesia senantiasa mendukung upaya-upaya yang dilakukan Sekretaris Jenderal PBB dalam mencarikan penyelesaian secara menyeluruh dan langgeng. Dalam hubungan ini, Presiden mengharapkan agar perundingan-perundingan antara para pemimpin Siprus Yunani dan Siprus Turki dibawa naugan PBB dapat terus dilanjutkan sampai terwujudnya penyelesaian secara tuntas sesuai dengan keinginan semua pihak.


Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo


Surat Kepercayaan Berturut-turut dari Berbagai Negara untuk Presiden Soeharto

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Sabtu, 27 Oktober 1984 --- Secara berturut-turut, pagi ini di Istana Merdeka, Presiden Soeharto menerima surat-surat kepercayaan dari para duta besar tiga Negara sahabat. Para duta besar ini adalah Duta Besar Republik Demokrasi Rakyat Aljazair, Mohamed Kossouri, Duta Besar Kerajaan Denmark, Amders Bradstrup, dan Duta Besar Republik Sosialis Romania, Valeriu Goergescu.

Dalam pidato  balasannya kepada Duta Besar Aljazair, Presiden Soeharto mengatakan bahwa sebagai neraga yang sedang membangun, maka kedua bangsa memikul tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan. Kedua Negara tidak saja harus melaksanakan pembangunan nasional dengan sarana yang terbatas untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang menyolok antara negara-negara maju dan Negara-negara berkembang. Untuk mengatasi hal itu, maka negara-negara yang sedang membangun perlu tetap gigih berjuang untuk mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru, yang lebih menjamin keadilan dan kemajuan bagi semua bangsa tanpa kecuali.

Ketika menerima surat kepercayaan Duta Besar Denmark, Presiden Soeharto mengatakan sambutan dengan gembira keiginan dan usaha Denmark untuk aktif mengambil bagian dalam pembangunan Indonesia. Dalam hubungan ini Presiden berharap agar hubungan baik dan kerjasama yang saling bermanfaat antara Denmark dan Indonesia yang telah terjalin erat saat ini akan terus berlanjut dan makin meluas di masa mendatang.

Sementara itu, kepada Duta Besar Romania, Presiden Soeharto menyatakan kegembiraannya menyaksikan hubungan persahabatan yang makin erat dan saling pengertian yang makin dalam antara kedua Negara. Dikatankannya bahwa hubungan  itu perlu senantiasa diperkukuh dan ditingkatkan, baik dalam hubungan bilateral maupun diforum-forum internasional. Sebab, demikian Presiden, hal ini sedikit atau banyak tentu akan ikut memberi sumbangan bagi perdamian dunia dan kesejahteraan umat manusia.


Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo



Pembicaraan Empat Mata PM Vo Van Kiet

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Jum’at, 25 Oktober 1991 --- Pagi ini, betempat di Istana Merdeka, Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan empat mata dengan PM Vo Van Kiet. Dalam pembicaraan yang berlangsung selama lebih kurang dua jam itu kepala pemerintahan itu telah membahas berbagai masalah baik yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Pada waktu yang bersamaan berlangsung pula pembicara pada tingkat menteri dan pejabat kedua Negara, yang membahas masalah-masalah kerjasama, termaksud dalam bidang perdagangan, pertanian, dan keluarga berencana.



Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo

Indonesia Menjadi Ketua Pimpinan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Selasa, 12 Oktober 1971 --- Presiden Soeharto mengharapkan agar dengan terpilihnya Indonesia menjadi Ketua Dewan Pimpinan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional , kita dapat memberi sumbangan pada penyelesaian krisis moneter internasional dengan memperhatikan sepenuhnya kepentingan negara-negara berkembang. Dalam menghadapi krisis moneter internasional yang berkepanjangan itu, Presiden menginstruksikan semua menteri dan lembaga yang bersangkutan untuk terus mengamati dan meneliti perkembanganya. Selain itu juga menginstruksikan semua menteri agar betul-brtul melaksanakan dengan tertib peraturan-peraturan yang berlaku mengenai tatacara penggunaan anggaran, terutama anggaran pengembangan, yang telah diatur dengan Keppres No. 14/1971. Namun demikian Kepala Negara mengingatkan bahwa penertiban itu jangan sampai menghambat pelaksanaan realisasi anggaran. Demikian antara lain pokok-pokok keputusan yang dihasilkan dalam sidang paripurna kabinet pagi ini di gedung Sekretariat Kabinet.


Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto

Jenderal Soeharto dalam Menegakkan Kewajiban dan Kepercayaan Internasional

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Minggu, 9 Oktober 1966 --- Ketua Presidium Kabinet Ampera berpendapat bahwa kedudukan Indonesia di luar negeri akan selalu ditentukan oleh hasil yang di capai di dalam negeri dalam menegakan kewibawaan dan kepercayaan internasional. Demikian dikatakan oleh jendral Soeharto dalam wawancaranya dengan wartawan surat kabar Gotong Royong

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6 
Publikasi : Oval Andrianto

Presiden Soeharto: Tanpa Jaringan Jalan Yang Baik, Urat Nadi Perekonomian Tersumbat

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,

Buka Konferensi Teknologi Jalan Asia dan Australasia, Presiden Soeharto: Tanpa Jaringan Jalan Yang Baik, Urat Nadi Perekonomian Tersumbat[1]

SENIN, 22 AGUSTUS 1983 Presiden Soeharto pagi ini membuka konferensi ke-4 Perhimpunan Teknologi Jalan Asia dan Australasia (Road Engineering Association of Asia and Australasia) di Istana Negara. Di hadapan 350 peserta konferensi dan undangan lainnya, Kepala Negara dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, pengembangan di bidang perhubungan, khususnya pembangunan jalan, menduduki tempat yang penting. Sebab, meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan, namun banyak diantara pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau besar, disamping penyebaran penduduknya pun kurang merata.

Dikatakannya lebih jauh, Indonesia menyadari bahwa tanpa adanya jaringan jalan yang baik di pulau-pulau itu, maka urat nadi perekonomian nasional akan tersumbat dan penyebaran penduduk mengalami hambatan. Namun untuk membangun jaringan jalan-jalan raya yang baik dan banyak itu diperlukan modal yang besar, penguasaan teknologi yang memadai, dan tenaga ahli yang cukup. Oleh sebab itu Indonesia selalu mengusahakan pendayagunaan sumber daya seoptimal mungkin. Dengan cara itu, sumberdaya yang terbatas yang dimilikinya, Indonesia dapat memberikan pelayanan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dengan tetap memenuhi kriteria teknis sebaik-baiknya. Demikian Presiden. (AFR)

____________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 50. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Menerima Subroto, Presiden Soeharto Harapkan OPEC Letakkan Dasar Pembagian Kuota

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

KAMIS,   19 JUNI 1986 Presiden Soeharto mengharapkan   anggota­ anggota OPEC yang akan bersidang di Brioni, Yugoslavia, mulai tanggal 23 Juni yang akan datang, dapat mencapai kesepakatan dalam menentukan tingkat produksi, khususnya untuk bagian kedua tahun 1986 ini. Lebih jauh diharapkannya, jika mungkin, agar sekaligus pula menentukan kuota nasional masing-masing anggota. Setidak-tidaknya para anggota OPEC diharapkan Presiden dapat meletakkan dasar-dasar pembagian kuota itu.

Harapan itu disampaikan Presiden Soeharto melalui Menteri Pertambangan dan Energi, Subroto, ketika yang terakhir ini menghadapnya di Bina Graha pagi ini. Menteri Subroto menemui Kepala Negara antara lain untuk melaporkan rencana dan persiapan-persiapan untuk menghadapi sidang OPEC yang akan diadakan di Yugoslavia itu. (AFR)

_____________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 475. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Menerima Deputi Menlu Iran, Presiden Soeharto Bicarakan Hubungan dagang Langsung dengan Iran

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

SELASA, 24 JUNI 1986 Presiden Soeharto hari ini di Bina Graha menerima kunjungan kehormatan Deputi Menteri Luar Negeri Iran, Shaykhol Eslam, yang didampingi oleh Duta Besar Iran di Jakarta, Hussein Mir Fakhar, dan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, Soedarmono. Dalam pertemuan itu Shaykhol Eslam telah menyampaikan pesan Presiden Iran, Khamenei, kepada Presiden Soeharto. Kesempatan itu juga dimanfaatkan untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut hubungan dan kerja sama Indonesia-Iran, disamping masalah harga minyak di pasaran internasional. Menyangkut hubungan bilateral itu, telah dibahas mengenai usaha untuk mengadakan hubungan dagang langsung antara kedua negara, karena selama ini hubungan dagang pada umumnya dilakukan melalui negara ketiga. (AFR)

_______________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 476-477. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Menerima Wakil PM Singapura, Presiden Soeharto Tekankan Stabilitas Nasional dan Regional

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,


RABU, 25 JUNI 1986 Selama lebih kurang setengah jam, pada pukul 09.00 pagi ini, Presiden Soeharto menerima Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Singapura, Goh Chok Tong, di Bina Graha. Dalam kunjungan ini Goh Chok Tong disertai oleh Menteri Lingkungan, Dr Ahmad Mattar, dan Pejabat Menteri Penerangan, Wong Kan Seng.

Dalam kesempatan itu, kepada tamunya, Kepala Negara telah menjelaskan mengenai usaha pemerintah untuk menciptakan stabilitas nasional, yang juga akan mendorong terciptanya stabilitas regional. Disamping itu telah pula dibahas masalah peningkatan hubungan dan kerjasama antara kedua negara. Mengenai hal yang terakhir itu, kedua belah pihak menekankan perlunya terus dilakukan pertukaran kunjungan antara kedua negara, yang mencakup tidak saja pejabat tinggi pemerintahan, tetapi juga pejabat-pejabat yang lebih rendah. (AFR)

__________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 477. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Presiden Soeharto Buka Simposium ASEAN Tentang Anak, Kependudukan dan Pembangunan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,

SELASA, 9 JUNI 1987 Pukul 10.00 pagi ini, Presiden Soeharto membuka Simposium Anggota Parlemen Negara-negara ASEAN tentang Kelangsungan Hidup Anak, Kependudukan dan Pembangunan di lstana Negara. Dalam kata sambutannya, Presiden telah menggambarkan kemajuan-kemajuan yang dicapai Indonesia dalam bidang kependudukan selama melancarkan empat Repelita. Dikatakannya bahwa dengan pembangunan itu Indonesia telah berhasil meningkatkan kemampuan untuk memperbanyak dan memeratakan sarana-sarana kesejahteraan dan pelayanan masyarakat pada umumnya.

Semua itu, demikian Kepala Negara, telah membawa akibat yang luas terhadap peningkatan kesehatan masyarakat, yang ditandai dengan menurunnya tingkat kematian bayi dan meningkatnya umur harapan hidup rakyat Indonesia. Tingkat kematian bayi telah menurun dari 107 menjadi kurang dari 80 perseribu kelahiran dalam periode 1980-1985, sedangkan umur harapan hidup rakyat Indonesia telah meningkat dari 53 menjadi 56 tahun dalam priode yang sama.

Selanjutnya dikatakan juga oleh Kepala Negara bahwa sekalipun telah banyak yang dicapai dalam mengendalikan pertambahan penduduk melalui program keluarga berencana, namun hasil-hasil pembangunan juga mengakibatkan turunnya tingkat kematian penduduk, yang pada gilirannya menyebabkan pertumbuhan penduduk Indonesia masih cukup tinggi, yaitu sekitar 2% pada akhir tahun 1986 yang lalu. Pertambahan penduduk ini berarti meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, kehidupan beragama, pemerataan pendapatan dan lain-lain, yang merupakan unsur-unsur dari kesejahteraan lahir batin. (AFR)

___________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 614-615. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Usai Bertemu Presiden Soeharto, Menlu Vietnam: Tarik Pasukan dari Kamboja Jika Tidak Ada Ancaman RRC

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

SENIN, 12 MARET 1984 Pukul 09.00 pagi ini, bertempat di Istana Merdeka, Presiden Soeharto menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Vietnam, Nguyen Co Thach. Dalam kunjungan tersebut ia didampingi oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja.

Kepada Kepala Negara, Co Thach menyampaikan penjelasan mengenai perkembangan terakhir masalah Kamboja, sejauh masalah itu berkaitan dengan Vietnam. Kemudian, selesai menghadap Presiden, kepada pers ia mengatakan bahwa Vietnam akan menarik pasukannya dari Kamboja jikalau tidak ada lagi ancaman RRC terhadap negeri itu, dan wilayah Thailand tidak lagi menjadi tempat persembunyian pasukan yang menentang rezim Phnom Penh. (AFR)

_________________________

[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 132-133. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Menerima Surat Kepercayaan Dubes Iran, Presiden Soeharto Tekankan Ketulusan Persahabatan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,
SABTU, 17 MARET 1984 Sebelumnya (sebelum menerima surat kepercayaan Dubes Norwegia), di tempat yang sama (Istana Merdeka), Kepala Negara telah menerima surat kepercayaan dari Duta Besar Republik Islam Iran, Abdol Azim Hashemi Nik. Menyambut pidato Duta Besar Abdol Azim, Presiden mengemukakan kepercayaannya bahwa dengan semangat saling menghormati dan persaudaraan yang tulus, maka di tahun-tahun mendatang tali persahabatan dan kerjasama antara kedua negara akan bertambah erat. (AFR)  

___________________

[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 134. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Presiden Soeharto Menerima Surat Kepercayaan Dubes Papua Nugini, Chili dan Cekoslowakia

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,

SABTU, 24 MARET 1984 Bertempat di Istana Merdeka, Sabtu pagi secara berturut-turut Presiden Soeharto menerima surat-surat kepercayaan dari tiga duta besar dari negara-negara sahabat. Mereka adalah Duta Besar Papua Nugini, Brian K. Amini, Duta Besar Chili, Tomas Amenabar Vergara, dan Duta Besar Cekoslowakia, Richard Kral.

Menyambut surat kepercayaan dari Duta Besar Papua Nugini, Kepala Negara mengatakan bahwa sebagai negara tetangga yang berbatasan, kita sama-sama menyadari adanya berbagai persoalan yang sering timbul, terutama yang sering terjadi di wilayah perbatasan. Namun rasa persahabatan, saling percaya dan kemauan baik yang sama-sama kita rasakan sebagai tanggungjawab bersama akan merupakan dasar yang paling kuat untuk mengatasi masalah-masalah seperti itu.

Kepada Duta Besar Chili, Presiden menyatakan sependapat bahwa meskipun secara geografis letak kedua negara kita saling berjauhan, namun jarak yang berjauhan itu tidaklah menjadi penghalang bagi usaha kita untuk mempererat hubungan persahabatan dan memperdalam saling pengertian. Selanjutnya Kepala Negara menyatakan menyambut baik keinginan Pemerintah Chili untuk meningkatkan hubungan persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan.

Sementara itu kepada Duta Besar Cekoslowakia, Presiden mengharapkan agar hubungan persahabatan dan kerjasama antara kedua bangsa dan negara dapat lebih ditingkatkan lagi, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan. Diharapkannya bahwa pada hari-hari mendatang kedua negara dapat mengadakan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang lebih luas lagi, yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. (AFR)

[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 136-137. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Lantik Lima Dubes, Presiden Soeharto: Kita Harus Ikut Atasi Ketimpangan Dunia

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,

RABU, 31 AGUSTUS 1983 Jam 10.00 pagi ini, Presiden Soeharto melantik lima orang Duta Besar baru Indonesia dalam suatu upacara di Istana Negara. Mereka yang dilantik tersebut adalah Duta Besar Drs Martono Kadri untuk Kuwait, Duta Besar Bambang S Kusumonegoro untuk Laos, Duta Besar Dr Hasjim Djalal untuk Kanada, Duta Besar Letjen. (Purn.) Wiyogo Atmodarminto untuk Jepang, dan Duta Besar Ilen Surianegara untuk Aljazair dan Guinea.

Membekali para duta besar baru mengenai tugas mereka, dalam amanatnya Kepala Negara mengatakan bahwa pokok usaha kita, di satu pihak, adalah mengurangi sejauh mungkin dampak negatif yang akan menghambat jalannya pembangunan nasional kita. Sedangkan di lain pihak, kita berusaha untuk mendorong segala unsur positif yang dapat memperlancar pembangunan nasional kita itu. Dalam kerangka yang lebih luas, kita harus berusaha untuk mengatasi akibat-akibat buruk dari berbagai krisis dunia, dan bersamaan dengan itu ikut mencari jalan pemecahan yang lebih mendasar terhadap beraneka ragam ketimpangan dunia yang menjadi sumber pokok krisis-krisis dunia. (AFR)

___________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 51. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Buka Konvensi Wartawan ASEAN, Presiden Soeharto: Peranan Organisasi Wartawan Sangat Penting

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

SELASA, 23 AGUSTUS 1983 Pukul 09.00 pagi ini, bertempat di Istana Merdeka, Presiden Soeharto beramah tamah dengan 50 orang peserta Konvensi Wartawan ASEAN (CAJ, Convention of ASEAN Jurnalists) yang diketuai oleh Zulharmans. Kepada para wartawan ASEAN itu, Presiden antara lain menyatakan bahwa peranan yang dimainkan oleh CAJ dan organisasi­-organisasi wartawan di negara masing-masing sangatlah besar dalam memasyarakatkan ASEAN.

Selanjutnya dikatakan oleh Kepala Negara bahwa apa yang diletakkan sebagai dasar pembentukan ASEAN adalah landasan kerjasama dari para anggotanya. Disadari bahwa hanya dengan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia Tenggara maka kelangsungan hidup bangsa-bangsa Asia Tenggara akan dapat terns dipertahankan. Diakuinya bahwa selama ini kerjasama diantara negara-negara ASEAN belum lagi sampai pada usaha saling memberi bantuan kebendaan. Akan tetapi saling tukar pengalaman selama ini telah memberi arti yang sangat besar bagi keljasama diantara negara-negara anggota. (AFR)

___________________

[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988″, hal 50-51. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003

Perdagangan Internasional Harus Persempit Jurang Pemisah Negara Kaya-Miskin

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,
Presiden Soeharto Menerima Memperindag Kanada dan Berhentikan Dirut Pertamina

RABU, 3 MARET  1976, Menteri Perdagangan dan Industri Kanada, Donald C Jamieson, diterima oleh Presiden Soeharto selama satu jam di Cendana pagi ini. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengatakan kepada tamunya bahwa pemerintah Indonesia menyambut baik adanya usaha untuk meningkatkan hubungan dagang antar kedua negara, sebab peluang untuk itu memang terbuka lebar. Dalam hubungan ini, Presiden mengharapkan agar para pengusaha Kanada dan Indonesia berusaha untuk mencapai dua sasaran. Kedua sasaran itu adalah, pertama, pengembangan perdagangan itu sendiri. Kedua, peningkatan keahlian pengusaha Indonesia dalam bidang perdagangan internasional.

Oleh karena Kanada merupakan Ketua Konferensi Paris mengenai Kerjasama ekonomi Internasional, pada kesempatan itu pula Kepala Negara mengemukakan harapannya agar konferensi tersebut dapat mempersempit jurang pemisah yang ada sekarang ini diantara negara kaya dan negara miskin. Diharapkannya agar negara-negara yang sedang membangun dan banyak menghasilkan bahan mentah tidak dirugikan didalam perdagangan  internasional, melainkan diberikan hak-hak secara adil.

Hari ini Kepala Negara memberhentikan dengan hormat Letjen.  Dr. Ibnu Sutowo dari  jabatannya sebagai Direktur Utama Pertamina. Bersama dengan Ibnu Sutowo yang juga turut diberhentikan Ir. Trisulo (Direktur Eksploitasi  dan Produksi), Ir. Sudarno Martosewoyo (Direktur Petrokimia), Drs. Judo Sumbogo (Direktur Pembekalan Dalam Negeri), Ir. Wijarso (Direktur Umum), Mayjen Piet Haryono (Direktur Admisistrasi dan Keuangan), Drs. Sukotjo (Direktur Perkapalan), dan Mayjen. Suhardiman (Direktur Pelabuhan dan Pemeliharaan Kapal).

Pemberhentian ini tercantum dalam Keputusan Presiden No. 29/M/1976 yang dikeluarkan hari ini. Untuk menggantikan Ibnu Sutowo, berdasarkan keputusan Presiden No. 30/M/1976 yang juga diterbitkan pada hari ini, telah diangkat Piet Haryono sebagai Direktur Utama.

Dalam rangka meluruskan sejarah, pagi ini bertempat di Jalan Irian, Presiden Soeharto memberikan penjelasan sekitar kelahiran Supersemar. Sebagaimana yang telah diketahui masyarakat, di bekas kediamannya itulah ia menerima Supersemar sepuluh tahun yang lalu. Menurut Kepala Negara, keterangan tersebut diberikannya agar tidak terjadi salah tafsir atau salah pengertian atas kejadian itu, terutama untuk generasi yang tidak mengalaminya sendiri.

Ikut hadir dan menyaksikan penjelasan Jenderal Soeharto hari ini adalah para pelaku yang terlibat langsung dalam proses kelahiran Supersemar yakni Jenderal Amirmachmud (kini Menteri Dalam Negeri), dan Jenderal M Jusuf (kini Menteri Perindustrian). Juga tampak hadir, Menteri Penerangan Boediarjo, Kepala Pusat Sejarah ABRI, Nugroho Notosusanto, dan Asisten Menteri /Sekretaris Negara, G Dwipayana. (AFR)


[1] Dikutip Langsung dari Buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978, hal.343-344.

Presiden Soeharto Tegaskan Dukungannya Ke Negara-Negara Arab Dalam Kaitan Dengan Israel

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,

Presiden Soeharto Menerima Raja Faisal

Rabu, 10 Juni 1970, Presiden dan Ibu Tien Soeharto menyambut kedatangan tamu negara Raja Faisal dari Arab Saudi di Istana Merdeka. Setelah berjabat tangan, Presiden membimbing tamunya ke ruangan kepresidenan, bersama-sama duduk di kursi panjang, sementara itu Ibu Tien duduk di kursi lainnya dekat Presiden. Percakapan yang berlangsung lebih dari setengah jam itu antara lain diikuti oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi H. Aminudin Aziz, Menteri Negara Idham chalid, dan rombongan Raja Faisal.

Malam ini Presiden dan Ibu Tien Soeharto mengadakan jamuan makan malam kenegaraan untuk menghormati kunjungan Raja Faisal. Dalam pidatonya, Presiden Soeharto mengemukakan sekali lagi sikap pemerintah Indonesia yang sepenuhnya berdiri di pihak bangsa Arab dalam perjuangan melawan Israel. Presiden menyatakan bahwa Indonesia telah mengusahakan dengan segala jalan dan melalui berbagai forum agar Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1967 dilaksanakan sepenuhnya. Indonesia juga berusaha agar hasil-hasil Konferensi Jeddah yang di prakarsai Raja Faisal dapat terlaksana demi penyelesaian krisis Timur Tengah.

Dalam pidato balasannya Raja Faisal menyatakan bahwa sikap Indonesia yang jelas memihak Arab dalam perjuangannya tidak ada yang sanggup mengingkari. Hubungan antara kedua negara terus diperkuat dan dikembangkan. Sebab hubungan yang telah terjalin ini bukan hanya pada saat terakhir ini, tetapi merupakan tradisi yang didasarkan atas kepercayaan kepada Allah dan Rasulullah.

Setelah acara makan malam, diadakan tukar-menukar cindera mata. Presiden Soeharto memberikan sebilah keris dan seekor macan yang diawetkan, sedangkan raja Faisal memberikan sebilah pedang Arab yang disepuh emas. (AFR).

[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973″, hal 235. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003.

WAWASAN NUSANTARA DAN POLITIK LUAR NEGRI

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,


Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf keempat preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari bentuk-bentuk hard colonialism dan soft colonialism. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun perjuangan untuk tersusunnya road map maupun konsensus internasional bagi terciptanya perdamaian secara berkelanjutan dalam masyarakat internasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya pranata internasional yang dapat menjamin atau mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat internasional.

Pada tanggal 2 September 1948, —di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)— untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang” dengan mengambil contoh reposisi Indonesia dalam menghadapi perang dingin. Ia menyatakan “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”[2].

Sejumlah kalangan memahami usulan itu hanya dalam konteks back ground situasi yang dicontohkan Muhammad Hatta (reposisi terhadap perang dingin) dan tidak menelaahnya berdasarkan rujukan filisofis-yuridis yang dipakai. Maka tidak mengherankan jika pada era reformasi banyak pihak menilai prinsip politik bebas aktif itu tidak lagi relevan, karena perang dingin telah usai. Implikasi pergeseran pandangan itu menjadikan politik luar negeri Indonesia lebih pragmatis namun justru terjebak oleh cengkeraman skenario barat (AS, dalam pertempurannya melawan teroris) dan kepentingan ekonomi Jepang bahkan Cina)[3].

Dasar usulan Muhammad Hatta tentu saja paragrap keempat preambule UUD 1945 yang mengamanatkan tiga hal dalam pelaksanaan politik luar negeri, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme —baik hard colonialism maupun soft colonialism—, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional[4]—. Pengertian prinsip “bebas aktif” seharusnya diderivasikan dari ketiga amanat tersebut. Bebas berarti tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral. Dengan demikian sepanjang masih ada bentuk-bentuk kolonialisme, krisis perdamaian dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional, maka prinsip bebas aktif masih relevan.

Presiden Soekarno mengimplementasikan amanat paragrap keempat UUD 1945 bertumpu pada reason of power (kekuatan gagasan) progresive revolusioner yang ditopang dengan kharismanya untuk menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak pembebasan kolonialisme yang masih berlangsung di negara-negara Asia Afrika[5]. Ia hendak menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kekuatan internasional dengan berenang diantara dua karang super power dunia (Blok Barat dan Blok Timur). Sesekali ia bermesraan dengan barat (hubungan eratnya dengan Kennedy, AS) dan pada saat tertentu ia meminjam kekuatan Blok Timur untuk menghantam barat (kemesraannya dengan Soviet dalam pembebasan Irian Barat dan kampannye Nasakom dalam rangka pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Permainan Soekarno tentu saja dibaca Comintern (Comunist International) sebagai upaya menyiapkan tepuk tangan bagi dirinya dan bukan secara sungguh-sungguh untuk mendukung agenda komunisme internasional. Langkah Soekarno dihentikan Comintern-Cina melalui kudeta PKI tahun 1965 yang sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan agar kebijakan Indonesia —sebagai negara besar— benar-benar berada dalam satu garis atau dibawah kendali Comintern[6]. Kudeta PKI tahun 1965 juga bisa jadi merupakan cerminan ledakan persaingan antara gerakan Non Blok (GNB) yang dimotori Indonesia dengan kepentingan politik luar negeri Cina yang pada saat itu telah menjadi motor penggerak kekuatan Blok Timur.

Kegagalan Presiden Soekarno menjadi bahan pelajaran bagi Presiden Soeharto untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam hal tumpuan kekuatan penyangga pelaksanaan politik luar negeri. Sebagai seorang yang kaya pengalaman militer, Presiden Soeharto menekankan pada kekuatan stabilitas internal (dalam negeri) sebagai pijakan. “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia. Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi”, itulah jawaban Presiden Soeharto ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam perjalanan pulang dari kunjunganya ke Moskow tahun 1989[7]. Presiden Soeharto mengakui bahwa prinsip keberhasilan politik luar negeri harus berpijak pada kekuatan dalam negeri merupakan ajaran Bung Karno sendiri[8]. Selain menarik pelajaran dari kegagalan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tampaknya meletakkan tumpuan politik luar negeri pada konsepsi geostrategi Gajah Mada yang didasarkan pada Wawasan Nusantara skala makro. Sebuah strategi politik luar negeri yang diletakkan pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara yang terdiri dari wilayah inti (NKRI) maupun negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara.

Stabilitas dalam negeri dibangun melalui konsensus nasional yang diletakkan pada Pancasila sebagai road map idiologis dan diimplementasikan secara konsekuen. Saluran-saluran subversive diputus dan dikontrol ketat untuk tidak memiliki ruang gerak di Indonesia seperti dalam tindakan tegasnya terhadap bentuk-bentuk gerakan ekstrim kanan (obsesi pendirian negara agama di Indonesia), pembubabaran PKI beserta ormas-ormasnya serta pemutusan diplomatik dengan RRC. Pembubaran PKI bukan saja untuk mengakhiri kekacauan yang semakin memuncak, akibat tuntutan rakyat agar pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya tidak bisa ditahan lagi. Pembubaran PKI juga dimaksudkan untuk memutus saluran kepentingan eksternal (comintern) agar tidak lagi memiliki sarana melakukan dekonstruksi idiologis dan suprastruktur peradaban bangsa. Begitu pula dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC —yang dinilai turut berkonspirasi dalam kudeta 1965— merupakan upaya menutup saluran saluran formal diplomatik dari kepentingan subversive asing. Setelah anasir-anasir subversive itu bisa dikendalikan, hubungan diplomatik dengan RRC dibuka kembali (normalisasi) pada tahun 1980.

Stabilitas wilayah lingkar dekat Nusantara dibangun melalui pendekatan baru dengan tidak lagi memaksakan akuisisi fisik kedalam wilayah Indonesia sehingga konfrontasi dengan Malaysia —untuk memasukkan Kalimantan Utara kedalam teritori fisik Indonesia— segera diakhiri. Pendekatan ini memiliki rujukan historis dimana kesepakatan dalam sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda dan memberikan pilihan kepada wilayah Nusantara di luarnya untuk bergabung atau mandiri sebagai negara berdaulat[9]. Oleh karena itu keinginan Malaysia untuk merdeka perlu dihargai, namun harus bisa dikelola —dalam konteks hubungan antar negara berdaulat— agar tidak dijadikan sebagai pintu masuk kepentingan asing menghantam Indonesia. Presiden Soeharto juga memberikan dukungan kepada Lee Kuan Yew mengambil alih kepemimpinan Singapura dengan konsesi penghentian mafia perdagangan senjata ilegal ke Indonesia yang bermarkas ke Singapura. Komitmen Lee Kuan Yee itu pada akhirnya dapat memutus mata rantai suplai persenjataan ilegal kepada kelompok separatis di Indonesia dari broker-broker senjata yang berbasis atau beroperasi di Singapura.

Stabilitas lingkar luar Nusantara diwujudkan dengan pembentukan ASEAN hanya selang lima bulan dari pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Menlu Adam Malik dapat meyakinkan Thailand, Philipina, Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia di bawah Orde Baru memiliki keinginan kuat dan komitmen untuk bersikap konstruktif terhadap eksistensi dan kedaulatan negara-negara tetangga. Ia juga berhasil meyakinkan bahwa Jenderal Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia tidak merepresentasikan kelompok militer yang agresif, namun memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan solidaritas negara-negara Asia Tenggara[10].

Pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani deklarasi Bangkok sebagai tonggak berdirinya ASEAN. Kelak dikemudian hari, Lee Kuan Yew mengakui prakarsa Indonesia yang didukung penuh Presiden Soeharto itu menjadikan wilayah Asia Tenggara relatif stabil dan terbebas dari konflik dalam masa yang panjang. Konsolidasi Asia Tenggara dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendorong Amerika meninggalkan Vietnam dan pangkalan lautnya di Subic Philipina. Harold Crouch seorang Indonesianist mengakui dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia tumbuh menjadi adikuasa regional dan sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia[11].

Sebelum diangkat menjadi pejabat Presiden, —beberapa saat setelah memperoleh mandat sebagai pemegang Supersemar— Jenderal Soeharto mendukung kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB[12]. Pengaktifan itu memiliki makna strategis untuk mendobrak isolasi internasional terhadap kepentingan Indonesia, khususnya dalam menggalang program bantuan ekonomi. Sama ketika mendengar adanya keputusan pembubaran PKI, pengaktifan keanggotaan RI dalam PBB mengundang kemarahan Presiden Soekarno, namun ia tidak melakukan langkah-langkah berarti karena keputusan itu didukung penuh Jenderal Soeharto[13].

Selain stabilitas politik dan keamanan, Presiden Soeharto juga menekankan pada stabilitas ekonomi sebagai pijakan politik luar negeri. Oleh karena itu sejak diangkat sebagai pejabat Presiden —selain fokus penyelenggaraan pemilu—- juga menekankan pada agenda-agenda pembangunan ekonomi. Agenda ini didukung oleh kreatifitas dan komitmen pemerintahannya menyelesaian utang-utang luar negeri ke sejumlah negarai Blok Barat mupun Timur sesuai jadwal yang disepakati. Penumpukan utang warisan Presiden Soekarno ini dahulunya lebih banyak dipergunakan untuk pengadaan persenjataan.

Untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia —-yang berantakan akibat inflasi 600 persen dalam era Demokrasi Terpimpin— pemerintahan Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasi dukungan finansial dari kelompok negara-negara maju. Duta Besar Soedjatmoko —yang memiliki kedekatan pribadi dengan Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS dan kemudian menjadi Pimpinan Bank Dunia— berhasil menggalang terbentuknya group negara-negara sahabat untuk mendukung pembangunan melalui forum Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Group tersebut tidak saja menyediakan skema bantuan kepada pembangunan Indonesia, akan tetapi juga melakukan campaign pembentukan citra internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang bersahabat.

Setelah mengukuhkan pijakannya atas kendali stabilitas keseluruhan Nusantara —dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara— Presiden Soeharto baru melancarkan politik luar negeri dalam skala lebih luas. Indonesia mulai proaktif dalam agenda pembebasan dunia dari bentuk-bentuk soft and hard colonialism, seperti dukungan penuhnya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga mengarahkan politik luar negeri Indonesia untuk terlibat secara proaktif dalam proses-proses perdamaian seperti mediator penyelesai perang saudara di Kamboja, bantuan mediasi penyelesaian pemberontakan bangsa Moro Filipina dan fasilitasi serangkaian diskusi negara-negara yang mempunyai klaim-klaim teritorial tumpang tindih di Laut Cina Selatan serta dukungannya terhadap ummat Islam Bosnia. Indonesia juga proaktif dalam mengkonstribusikan pasukan bersenjatanya dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB sehingga reputasi tentara Indonesia memperoleh pengakuan internasional.

Upaya mewujudkan pranata internasional yang berkeadilan —khususnya dalam bidang ekonomi, perlindungan hukum dan HAM, sosial budaya serta pola relasi antar negara dan antar kawasan— tercermin dari upayanya merevitalisasi orientasi gerakan Non Blok di penghujung perang dingin, sehingga terpilih menjadi ketua gerakan ini pada tahun 1992. Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994. Wadah ini dibentuk atas prakarsa PM Australia Paul Keating dan keanggotaannya melibatkan AS dan bahkan Presiden Bill Clinton datang ke Bogor. Selain itu Indonesia juga aktif dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun organisasi negara pengespor minyak (OPEC).

Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai sejumlah kalangan terlalu cenderung ke Barat. Penilaian ini menegasikan ketegasan sikap Presiden Soeharto ketika menolak pengiriman pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam misinya di Vietnam pada tahun 1970-an. Walaupun anti komunis dan relatif mesra dengan barat, ia juga tidak pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet maupun Vietnam yang Komunis[14]. Bahkan ketika saluran-saluran potensi subversif telah berhasil dikendalikan, Pemerintah Presiden Soeharto melakukan rehabilitasi hubungan diplomatiknya dengan RRC (tahun 1980). Sikap tegas terhadap barat juga ditunjukkan ketika Jan Pronk —menteri Belanda bidang bantuan internasional— dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia menunjukkan sikap kecongkakannya dan mengusik masalah-masalah politik dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda[15].

Berdasar ilustrasi diatas, kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto didasarkan pada kemampuannya dalam menyiapkan kekuatan tumpuan yang berpijak pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara (dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara). Selain itu juga ditopang oleh kemampuannya dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang secara konsisten sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme (baik dilakukan secara halus maupun terang-terangan), perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan terwujudnya keadilan sosial dalam tata pergaulan internasional.

Masalah kekuatan pijakan stabilitas dalam skala Nusantara dan konsistensinya terhadap visi idiologis politik luar negeri tampaknya menjadi jawaban, kenapa pada era reformasi kewibawaan Indonesia merosot dalam pergaulan internasional. Stabilitas dalam negeri Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik. Begitu pula dengan soliditas negara-negara lingkar luar maupun lingkar dekat yang saat ini sedang merosot. Pada era reformasi, bargaining politik luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis dan bertumpu pada iming-iming sebagai the emerging market sehingga sangat rentan ketika berhadapan dengan daya saing negara-negara lain yang lebih baik.

Kedepan, wawasan makro kenusantaraan perlu direaktualisasi sehingga soliditas negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara dapat dikonsolidasi untuk berada dalam satu kesatuan orientasi kebijakan pembangunan Peradaban Nusantara. Visi politik luar negeri Indonesia juga perlu dikembalikan pada amanat UUD 1945, yaitu perjuangkan pembebasan dunia dari soft and hard colonialism, perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan untuk terwujudnya keadilan sosial dalam pranata internasional, termasuk keadilan dalam interaksi perekonomian antar kawasan dan antar negara.

[1]     Disarikan dari Bab VII, buku Politik Kenusantaraan
[2]     Jurnasyanto Sukarno, “Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa”, http:// www. suarapembaruan.com/ News/ 2005/08/12

[3]     Sebagai contoh adalah terlarutnya Indonesia dalam kampanye perang terhadap terorisme dan isu lingkungan sehingga melemahkan kritisismenya dalam memperjuangkan pembebasan dunia dari hard colonialism dan soft colonialism, terwujudnya perdamaian dunia dan keadilan sosial dalam masyarakat internasional.

[4]     Keadilan sosial masyarakat internasional meliputi segenap aspek, termasuk keadilan HAM, ekonomi, politik maupun sosial budaya. Bentuk partisipasi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat internasional termasuk dalam aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan lebih tegas.

[5]     Soekarno mengkampanyekan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imperialis melalui wadah Gerakan Non-Blok. Gerakan itu didirikan pada tahun 1955 di Bandung oleh lima pemimpin dunia, yaitu Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Josep Broz Tito presiden Yugoslavia, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

[6]     Mari kita renungkan tiga hal berikut: (1) dokumen Gilchrist ternyata diskenariokan agen komunis yang bermarkas di Praha, (2) isu sakit permanennya Presiden Soekarno setelah memperoleh perawatan dokter-dokter komunis Cina (skenario politik Medis), (3) rencana pengasingan Soekarno ke Danau Angsa RRC pasca kudeta.

[7]     Harian The Jakarta Post, Kamis 14 September 1989.

[8]     Lihat dialog antara Presiden Soekarno dengan Mayjen Soekarno dalam “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara”, Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997, hlm. 29.

[9]     Menteri Luar Negeri Adam Malik, beberapa tokoh militer (Ali Moertopo & Benny Moerdani) dan Des Alwi (karena kedekatan secara pribadi dengan pimpinan Malaysia) memiliki kontribusi dalam mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Jenderal Soeharto —sebagai pemegang mandat Supersemar— menghadiri upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, untuk secara formal mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

[10]    Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.

[11]    Harold Crouch, Memandang Ke Barat Terperosok di Timur, http://majalah.tempointeraktif.com/ id/arsip/2008/02/04/LU/mbm.20080204.

[12]    Melalui Sidang Umum PBB tahun 1966, Indonesia secara resmi bergabung kembali dalam keanggotaan PBB.

[13]    Pergeseran dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto merupakan cerminan strategi mendayung dua karang dalam menghadapi dinamika eksternal dan keputusan-keputusan  Jenderal Soeharto di setujui secara diam-diam oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengemukakan pernyataan-pernyataan terbuka menentang kebijakan Jendral Soeharto, namun tidak melakukan langkah-langkah yang bisa menghalangi kebijakan itu.

[14]    Sikap ini sering disalahpahami sebagai bentuk pragmatisme politik luar negeri Presiden Soeharto. Sikap ini sebenarnya dapat dipahami dari sudut pandang budaya pluralisme di Indonesia yang dipegang amat kuat. Pada satu sisi menolak untuk dijadikan negara komunis karena tidak sejalan dengan idiologi masyarakat Nusantara dan menolak campur tangan komunis dalam urusan internal bangsa Indonesia. Namun Indonesia tetap menghargai kedaulatan negara lain yang berpaham komunis. Sikap ini identik dengan toleransi beragama di Indonesia. Pada satu sisi menolak dan akan sangat marah apabila dipaksa mengikuti paham keagamaan yang tidak diyakininya. Namun tidak menjadi soal dan tidak memusuhi kepada orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Jadi permusuhan itu terhadap sifat pemaksaan yang dilakukan dan bukan pada perbedaan keyakinan.

[15]    Sabam Siagian, Op. Cite.

Penulis : Abdul Rohman