PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Bertugas di Sulawesi Selatan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan. Begitu mereka menyebutnya, sementara bagi kita adalah pengakuan kedaulatan. Wakil Mahkota Belanda yang baru menyerahkan kedaulatan itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor F. Mallinger menyerahkannya kepada Kolonel Gatot Soebroto.

Waktu Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta menerima penyerahan kekuasaan di Makassar, ia hanya dengan beherapa anggota staf dan sepasukan Polisi Militer. Kemudian anggota-anggota KNIL, yang bersedia, digabungkan ke dalam APRIS, termasuk pasukan Kapten Andi Azis pada tanggal 30 Maret 1950.

Kekurangan kekuatan TNI di Sulawesi Selatan waktu itu tentunya harus segera ditambah. Pimpinan TNI segera menetapkan akan mengirimkan Batalyon Worang dari Brigade XVIII/Jawa Timur ke Makassar dengan kapal “Waikelo”. Tetapi belum juga Batalyon Worang itu sampai di Makassar, keributan terjadi di wilayah itu, di tengah suasana pertentangan yang masih hidup antara pihak unitaris dan federalis, antara yang menginginkan Negara Kesatuan RI dan Negara RIS.

Memang suasana politik seperti itu masih hidup di pelbagai termpat yang pernah diduduki oleh tentara Belanda. Sementara sebagian kekuatan mengadakan rapat-rapat untuk menunjukkan keinginan berdirinya “negara-negara bagian”, bagian lainnya menentangnya dengan pelbagai pernyataan dan demonstrasi.

Pada hari Rabu tanggal 5 April 1950, Letkol. Mokoginta dipaksa “datang” ke asrama Kapten Andi Azis. Ternyata ia ditangkap. Sementara itu Kompi Polisi Militer di Makassar sudah dilucuti oleh bekas-bekas KNIL bersama KL Menjelang tengah hari, seluruh Makassar dikuasai oleh Andi Azis dan kapten ini lalu mengirimkan ultimatum kepada Pemerintah RIS, supaya tidak mendaratkan pasukan TNI di Sulawesi Selatan. Kapten Andi Azis memperkuat pasukannya dengan persenjataan berat dan sebuah pembom untuk membuktikan kesungguhannya.

Pemerintah di Jakarta pada mulanya berusaha menyelesaikan “Peristiwa Andi Azis” itu dengan menginsafkan Andi Azis dan memanggilnya ke Jakarta. Tetapi sekalipun kemudian Andi Azis berjanji akan memenuhi panggilan itu, ternyata ia datang terlambat, melewati batas waktu yang sudah diumumkan. Akibatnya ia dinyatakan sebagai pemberontak. Tindakan Kapten Andi Azis itu dianggap oleh Kementerian Pertahanan dan Pemerintah RIS sebagai tindakan yang melanggar hukum dan disiplin tentara, serta menghina sumpah tentara. Presiden Soekarno mengumumkan lewat radio tentang pemberontakan Andi Azis itu.

Lalu Menteri Pertahanan membentuk sebuah pasukan ekspedisi untuk menumpas pemberontakan Andi Azis itu pada tanggal 7 April 1950. Pasukan ekspedisi itu dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang yang belum lama memimpin Divisi di Sumatera Utara, dengan kekuatan satu divisi yang terdiri atas Brigade XVIII/Divisi I Jawa Timur yang dipimpin oleh Letkol. Suprapto Sukowati dan Letkol. Warrouw, Brigade I, yaitu Brigade Mataram/Divisi III Jawa Tengah yang saya pimpin, Batalyon I Brigade XIV/Siliwangi Jawa Barat yang dipimpin oleh Kapten Bohar Ardikusuma dan satu batalyon seberang dari Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayor Andi Matalatta.

Pada tanggal 8 April 1950 saya sebagai Komandan Brigade Mataram/Divisi III Diponegoro menerima perintah untuk mempersiapkan satu staf brigade mobil dan dua batalyon penggempur. Semenjak Aksi Militer Belanda ke-2, Brigade X yang saya pimpin itu bernama “Brigade Mataram” dengan panji yang berlukiskan seekor burung garuda berwarna kuning dan bertuliskan “Mataram”. Sebab itu, biasa pula orang awam menyebut brigade ini “Brigade Garuda Mataram”.

Kedua batalyon penggempur yang saya tetapkan ialah Batalyon Kresno di bawah pimpinan Darjatmo dan Batalyon Seno di bawah pimpinan Mayor Sudjono. Pada waktu itu, sebenarnya Brigade Mataram sedang mengadakan konsolidasi ke dalam, seperti halnya juga dengan kesatuan-kesatuan lainnya. Waktu untuk persiapan hanya lima hari. Kemudian kami harus terus berangkat.

Perlengkapan alat senjata yang dibawa berupa pistol dan jungle rifle bagi para perwira dan para pejabat komandan seksi ke atas; senapan sten dan bren untuk regu ringan, selanjutnya  mortir ringan bagi regu tertentu. Yang paling berat hanyalah mitralyur penangkis serangan udara ukuran 12,7 mm.

Sementara itu meskipun terjadi pemberontakan separatis di Indonesia Timur, pada tanggal 8 April 1950 Dewan Perwakilan Sementara RIS memutuskan untuk memilih Negara Kesatuan RI, negara yang dicita-citakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di tengah suasana seperti itu kami harus berangkat ke Sulawesi Selatan. Dan perubahan RIS menjadi RI kembali itu terjadi sewaktu saya masih berada di Makassar, yakni pada tanggal 17 Agustus 1950.

Tanggal 14 April 1950 bersiaplah Staf Brigade Mataram di halaman Markas untuk memberikan laporan, bahwa semua telah siap untuk berangkat. Lalu kami meninggalkan Yogya, meninggalkan keluarga masing-masing dengan penuh haru dan menyongsong nasib yang masih dipertanyakan, demi membela kemerdekaan yang sudah kita dapatkan bersama.

Dalam perjalanan, mulai dari Bedono terus sampai Semarang, terlihat bendera Belanda tiga warna, sebagai tanda di tempat-tempat itu masih terdapat KL dan KNIL yang sedang menunggu status lebih lanjut. Begitu suasana di tengah perjalanan. Insiden tidak terjadi. Kami pegang teguh disiplin.

Tanggal 17 April 1950 di Semarang Letkol. Sentot Iskandardinata, Kepala Staf pasukan ekspedisi itu, menyampaikan perintah operasi kepada saya, yakni Brigade Mataram harus mendarat di Bontain. Kemudian saya harus menguasai kota. Markas Brigade tetap di Bontain. Kemudian saya harus mengirimkan satu batalyon ke Makassar. Begitu perintah pertama.

Keesokan harinya Kolonel Kawilarang disertai Kolonel Gatot Soebroto yang saya dampingi memeriksa Batalyon Kresno dan Batalyon Seno. Ternyata kedua batalyon kami itu yang paling dulu siap di antara semua yang akan dikirimkan.

Saya sendiri menentukan formasi untuk keperluan ekspedisi itu. Dasar pertimbangan waktu itu adalah susunan yang praktis, mudah dimengerti oleh anak buah, mencukupi kebutuhan dengan tenaga sesedikit mungkin, artinya seefisien mungkin, dan persenjataan ringan, yang ada saja.

Setelah selesai persiapan, pada tanggal 19 April 1950 barang-barang anggota Brigade Mataram yang ikut serta dalam ekspedisi sudah ada di atas kapal “Waiwerang”. Keesokan harinya, tanggal 20 April seluruh staf dan anggota brigade saya telah naik ke atas kapal “Waiwerang” itu, siap melaksanakan operasi. Tanggal 21 April, jam 18.00 sore berangkatlah kami menuju sasaran, dengan kode operasi “Macan” dan sasaran kami disebut “Kelapa”.

Pada tanggal 24 April, sedikit lewat setengah dua belas malam, dalam briefing di kapal korvet “Hang Tuah”, waktu berada di tempat rendezvous di pulau De Bril, Kolonel Kawilarang mengadakan perubahan rencana operasi. ltu disebabkan oleh karena Andi Azis sudah menyerah kepada Pemerintah di Jakarta dan Batalyon Worang telah berhasil mendarat di Jeneponto, serta kemudian menguasai Makassar. Maka lalu brigade kami mendarat langsung di Makassar. Saya ditetapkan menjadi Komandan Sektor Makassar yang meliputi kota Makassar dan daerah pantai Jeneponto sampai Gunung Lompobattang, ke utara lurus sampai timur Pancana, membelok, ke barat hingga selatan Pancana. Kota Makassar ditetapkan berada di bawah Komando Militer Kota (KMK).

Pasukan-pasukan saya mendarat dengan selamat pada tanggal 26 April 1950. Rakyat menyambut kedatangan kami dengan hangat. Patut saja begitu, karena sebelumnya mereka mendapat tekanan hebat dan mengalami tindakan kejam dari orang-orang KNIL/KL itu.

Sementara itu Kolonel Kawilarang sudah diangkat menjadi Panglima T & T VII/Indonesia Timur menggantikan Letkol. A.J. Mokoginta. Pasukan-pasukan bekas KNIL dan KL itu masih saja tidak senang dengan kedatangan kami, sekalipun Andi Azis sudah menyerah. Maka terjadi beberapa insiden yang mengakibatkan korban jiwa.

Waktu itu, di samping soal KNIL/KL, masih ada masalah keamanan akibat perbuatan lasykar Pasukan Gerilya yang tidak mau tunduk kepada APRIS, dan belum jelas benar bagi kami apa tujuan mereka yang sesungguhnya.

*

Di tengah suasana penumpasan pemberontakan itu, kami berkenalan dengan keluarga Habibie yang tinggal di seberang jalan, di depan Brigade Mataram. Hal ini patut saya kenang. Di rumah keluarga Habibie itu terdapat suasana yang membuat anggota Staf Brigade kami kerasan. Ibu Habibie berasal dari Yogya dan masih fasih berbahasa Jawa. Obrolannya dalam bahasa Jawa merupakan hiburan tersendiri bagi anggota staf kami yang jauh dari keluarga.

Pada suatu hari, di tengah malam, sewaktu anggota Staf Brigade masih tidur nyenyak, datanglah dua orang anak Habibie di asrama dengan tangis yang mengharukan. Mereka memberi tahu, bahwa ayahnya sakit keras. Dokter Irsan segera memberi pertolongan dan saya menemaninya di sampingnya. Kita berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Bapak Habibie kena serangan jantung pada saat menjalankan sembahyang Isya dan tidak tertolong lagi. Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan saya, Dokter Irsan, dan keluarganya. Saya berkesempatan menutupkan matanya sambil memohonkan ampun pada Tuhan Yang Maha Esa.

Waktu itu suasana duka meliputi keluarga Habibie. Ibu Habibie sedang mengandung dan seorang anak, B.J. Habibie, yang kelak mengambil peranan penting, baru belasan tahun saja umurnya. Keluarga Brigade Mataram turut berduka cita dan membantu penguburan Bapak Habibie.

Hubungan anggota Brigade Mataram bertambah erat lagi dengan keluarga Habibie disebabkan oleh adanya seorang perwira Brigade Mataram yang menjalin cinta dengan seorang putri Habibie. Kapten Subono kawin dengan kakak B.J. Habibie dan dengan ini, saya, sebagai Komandan Brigade, “besanan” dengan lbu Habibie.

*

Sebuah insiden terjadi pada tanggal 14 Mei 1950 di Pasar Sambung Jawa. Anggota satuan Siliwangi bertengkar dengan anggota KNIL/KL. Polisi Militer APRIS dan MP Belanda menengahi pertengkaran tadi. Tetapi keesokan harinya terjadi lagi insiden serupa di Kampung Boom. Pihak KNIL/KL tidak dapat menahan nafsu dan mereka melepaskan tembakan dari atas truk. Satuan Siliwangi segera membalasnya. Maka suasana di Kota Makassar menjadi hangat. Saya berusaha menekan api yang mulai menyala itu. Maka kelihatan kedua belah pihak segera kembali ke kesatuannya masing-masing. Tetapi rupanya itu masih untuk mempersiapkan kekuatan.

Saya sebagai Komandan Militer Kota memerintahkan siaga umum. Selanjutnya saya usahakan supaya semua pasukan tidak bergerak dan tidak melepaskan tembakan. Tetapi ternyata pertentangan tidak dapat dihindarkan. Tanggal 16 Mei 1950 pertempuran hebat terjadi. Segera saya perintahkan tiap sub sektor Makassar secara masing-masing mengirimkan pasukan satu kompi ke dalam kota. Maka pertempuran dapat dihentikan pada tanggal 18 Mei 1950. Tetapi kejadian ini telah menyebabkan gugurnya sejumlah anak buah saya dan demikian pula dari pihak KNIL/KL.

Lalu diadakan perundingan antara Komandan APRIS dan KNIL/ KL. Hasil perundingan itu adalah MP Belanda dan PM APRIS akan menjaga daerah KNIL/KL. Anggota KNIL/KL tidak boleh keluar dari daerahnya dan anggota TNI tidak boleh masuk daerah KNIL/KL.

Patroli bersama-sama diadakan di dalam kota. Garis demarkasi telah ditetapkan, tetapi rasa dendam ternyata tidak dapat dipadamkan dengan jalan begitu saja.

Untuk sementara memang tenang, sekalipun tetap tegang. Tetapi insiden kembali meledak setelah pada tanggal 1 Agustus 1950 seorang anggota “Q” ko. TTIT-TNI, Letnan Yan Ekel, dari Kepulauan Sunda Kecil yang sedang cuti dan tidak mengetahui situasi di Kota Makassar, masuk di daerah KNIL/KL. Tanpa ditanya ia langsung ditembak mati. Maka meledaklah api permusuhan yang memang masih terpendam itu. Sementara itu, jenazah Letnan Yan Ekel dirawat oleh tunangan dan calon mertuanya dan dimakamkan seperti semestinya.

Tanggal 5 Agustus 1950 Markas Brigade Mataram di Klapperlaan diserbu KNIL/KL. Pasukan penyerbu mempergunakan tank, panser dan bren-carrier. Suara tembakan berurutan di seluruh kota. Gemuruh, bising bersuitan suara peluru di atas kepala. Pada waktu Markas Brigade Mataram diserang, saya baru satu jam tiba dari Jakarta, dipanggil MBAD untuk membicarakan rencana MBAD yang akan mengirimkan Kahar Muzakkar ke Makassar. Saya menyarankan agar rencana MBAD itu ditunda, karena saya tahu watak Kahar Muzakar sewaktu di Yogya. Sukar diatur. Bahkan ia pernah saya ancam akan dilucuti.

Komando pihak musuh terdengar dipegang oleh seorang opsir KL. Dalam Komando itu, disebut-sebut nama Mayor Maastricht dan Overste Tijman.

Saya perintahkan serangan artileri dari Tello. Bahkan korvet “Hang Tuah” ikut menggempur posisi KNIL/KL dengan tembakan meriamnya. Lawan mencoba bergerak, tetapi serangan musuh itu dapat kami patahkan. Mereka segera kembali ke asrama mereka. Serangan balasan dari pihak kita kami lakukan pada tanggal 6 Agustus. Pertempuran yang paling hebat terjadi. Pihak musuh cuma bertahan dan berlindung di tempatnya. Esoknya, tanggal 7 Agustus, KNIL/KL mencoba menyerang lagi. Tetapi gerakan mereka itu kami patahkan juga. Segera saya perintahkan melakukan serangan umum.

Setelah mereka terdesak, rupanya pihak KNIL/KL itu minta bantuan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengakhiri pertempuran. Tanggal 8 Agustus tembak-menembak berakhir. Dan istimewanya pihak Belanda menawarkan perundingan minta damai. Saya curiga terhadap mereka. Berdasarkan pengalaman yang sudah lewat, saya tidak begitu saja percaya pada ajakan damai itu, saya tolak kecuali kalau semua anggota KNIL/Kl mau meninggalkan Makassar dengan menyerahkan semua peralatan dan senjata mereka.

Kolonel Kawilarang membawa kabar tentang kesungguhan maksud orang-orang KNIL/KL untuk meminta damai itu. Saya terangkan pikiran saya. Maka kemudian rundingan dilakukan antara pihak kita dan pihak KNIL/KL itu.

Tawar-menawar terjadi. Perundingan selanjutnya dilakukan oleh kedua belah pihak di Hotel City Makassar. Pihak kita dipimpin oleh Kolonel Kawilarang dan pihak lawan oleh Jenderal Mayor Scheffelaar.

Hasil perundingan itu menetapkan semua anggota KNIL/KL keluar dari Makassar dengan meninggalkan semua peralatan dan perlengkapan mereka, sesuai dengan keinginan saya. Tanggal 9 Agustus, pukul 15.30 mulai dilakukan penyerahan kendaraan berlapis baja, seperti panser, bren-carrier dan scoutcar dari KL/KNIL kepada APRIS. Wakil UNCI yang menengahi perundingan menyatakan kegembiraannya.

Mulai tanggal 14 Agustus sampai dengan tanggal 22 Agustus 1950 dilaksanakan pengangkutan anggota-anggota KNIL/KL itu, keluar dari Makassar tanpa senjata dan perlengkapan perang lainnya. Dengan keluarnya anggota-anggota KNIL dan KL tadi pemberontakan Andi Azis pun selesai. Dan Andi Azis dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh pengadilan militer di Yogyakarta, pada tahun 1953.

Dalam pada itu, saya mendengar bahwa Markas Angkatan Darat jadi mengirim Kahar Muzakkar ke Makassar. Saya tak habis pikir, mengapa pula dia jadi dikirim? Saya mengenal wataknya dengan cukup baik.

Boleh dikata, saya menentang sengit keputusan MBAD. Kahar Muzakkar tidak pernah memenuhi janjinya. Dia akan menimbulkan lebih banyak lagi kekacauan di daerah Sulawesi Selatan ini. Dan terkaan saya itu ternyata benar. Kahar Muzakkar menimbulkan kekacauan yang panjang.

Akhir September 1950 “Brigade Mataram” kembali ke Jawa Tengah. Ternyata 17 orang dari brigade kami gugur sebagai pahlawan bangsa. Saya menundukkan kepala, berdoa bagi mereka. Semoga pahlawan-pahlawan kita itu diterima di sisi Tuhan. Saya kembali ke Yogya dan berada lagi di tengah keluarga.

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 74-81.

Masa Perjuangan : Meyakinkan Pak Dirman

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Satu masalah pelik yang timbul saat itu adalah belum kembalinya Panglima Besar Soedirman ke Yogya. Beliau masih bertahan di markasnya. Terbetik kabar bahwa beliau akan terus berjuang sampai kedaulatan penuh di tangan Republik.

Sri Sultan telah berusaha membujuk Panglima Besar untuk kembali ke Yogya. Demikian pula Kolonel Gatot Soebroto. Gubernur Militer III, perwira yang disegani oleh Pak Dirman, telah mengirim surat kepada Panglima Besar kita itu. Tetapi tak ada reaksi yang tegas dari Pak Dirman.

Akhirnya saya diserahi  tugas oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator untuk menjemput Pak Dirman. Sebenarnya saya ini bukan seorang perwira yang terhitung dekat kepada Jenderal Soedirman. Saya bertemu dengan beliau pada saat­saat penting saja. Tetapi toh keganjilan  terjadi.

Pada waktu itu Pak Soedirman berada di Karangmojo, bukan di Pathuk. Saya pergi ke sana naik kuda, karena jalan ke sana sudah kita hancurkan. Saya melewati Piyungan, terus Pathuk, terus menuju ke Kecamatan Karangmojo. Ikut serta dengan saya waktu itu dr. Irsan, dokter Brigade X dan Bung Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan. Waktu saya menemukannya, tentunya saya terharu. Mana pula tidak akan begitu. Suasana itu begitu memikat dan terjadi setelah kita mampu menghalau Belanda, musuh kita.

Dan beliau bertanya, “Bagaimana kamu, Harto ?”  Sambutan pendek dari seorang Bapak yang kita hormati, di tengah suasana demikian, meresap mengharukan. Maka saya dengan tegas menjawab, “Tentara tetap di belakang Panglima Besar”. Lalu kami mengadakan pembicaraan, malahan mirip seperti sebuah diskusi, yaitu memikirkan apa dan mana yang lebih penting.

Pak Dirman tidaklah menolak sama sekali untuk turun ke Yogya waktu itu. Tetapi beliau mempunyai pertimbangan, mana yang baik pengaruhnya kepada perjuangan. Beliau ingat bahwa sebagian besar rakyat masih berjuang di luar kota. Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kepada saya dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan, kalau beliau turun ke Yogya sementara anak buah masih banyak yang di luar. “Masakan saya meninggalkan mereka dengan masuk ke Yogya,” katanya. “Apa pikiranmu, Harto ?” tanyanya.

Saya mempunyai pikiran lain. Menjawab pertanyaan Pak Dirman itu saya memberikan argumentasi. Pertama, bahwa Yogya itu sekarang sudah menjadi wilayah kita lagi. Yogya sudah menjadi pusat pemerintahan RI lagi. Dengan itu berarti, kita kembali ke tempat di mana kita bisa memimpin perjuangan kita. Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidasi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia.

Di samping itu, saya katakan kepada Pak Dirman, “Bapak masih mempunyai kewajiban untuk memimpin perjuangan kita ini.” Sementara itu nampak sekali fisik Pak Dirman dalam keadaan Iemah dan sakit. Oleh karena itu, saya pikir, kembalinya kita ke Yogya harus kita pergunakan untuk memulihkan kesehatan Panglima Besar kita.

Mendengar saya bicara begitu, akhirnya Pak Dirman bersedia berangkat. Artinya, pikiran saya bisa diterimanya. Maka berangkatlah Pak Dirman dalam keadaan ditandu. Sementara itu di Yogya penyambutan sudah saya siapkan. Belum juga satu jam dalam perjalanan, Pak Dirman minta berhenti. Pak Dirman turun dari tandunya. Saya masih berjalan di belakang pasukan pengawal Panglima Besar kita.

Maka saya dengar saya dipanggil oleh,Pak Dirman. Saya mendekat kepadanya. Dengan airmata berlinang Pak Dirman memegang bahu saya dan berkata, “Saya percayakan keselamatan negara dan keselamatanku kepadamu,  Harto.”

Sesaat saya diam, meresapkan kata-kata itu. Keterharuan saya waktu itu tidak mungkin saya lupakan. Lalu saya berkata dengan suara rendah, tetapi dengan kepercayaan penuh, “insya Allah, Pak.” Pak Dirman diam sesaat, lalu beliau naik lagi ke atas tandu. Kemudian kami berjalan  lagi.

Saya berpikir mengenai kejadian ini. Tentu itu diucapkan Pak Dirman setelah tadi malam kami bercakap-cakap. Waktu itu beliau masih kelihatan ragu. Mungkin pikirannya, apakah Belanda itu bersikap sungguh-sungguh atau membohongi kita seperti di waktu­waktu yang sudah. Juga Pak Dirman mungkin masih terganggu oleh rasa keraguannya terhadap para pemimpin politik yang akhirnya menyerah pada tanggal 19 Desember itu. Dalam percakapan malam itu, sebelum berangkat, beliau menunjukkan penghargaannya pada apa yang saya lakukan dengan serangan umum 1 Maret. Beliau pun setuju mengenai sikap saya sewaktu berunding dengan Sri Sultan tentang keberangkatan Belanda dari Yogya.

Sewaktu kami berjalan menuju ke Yogyakarta, rupanya sudah ada yang mempunyai pikiran, bahwa Jenderal kita itu harus datang dalam pakaian kebesaran. Bukan saya yang menyiapkan pakaian kebesaran itu, melainkan Pak Simatupang yang waktu itu adalah Kepala Stafnya.

Pak Simatupang dan Jenderal Hardjo mencegat kami di Piyungan. Di sana mereka sudah siap dengan kendaraan dan pakaian kebesaran itu. Maksud mereka, begitu Jenderal kita itu tiba, begitu mereka akan minta Pak Dirman naik ke dalam kendaraan dengan lebih dulu menukar pakaiannya.

Waktu tercetus pembicaraan mengenai pakaian jenderal yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman itu, Panglima Besar kita bertanya kepada saya, “Bagaimana ?”

Sejenak saya berpikir, tetapi cepat pula saya menjawab. “Kalau saya, lebih baik begini saja.” Maksud saya, biar Pak Dirman mengenakan pakaian yang asal saja, tak perlu diganti. “Begini juga sudah baik, Pak,” kata saya, dengan pikiran, “tak ada cacat sedikit pun memimpin gerilya dengan pakaian serupa itu. “Kalau nanti sudah berada di kota, barulah boleh berganti pakaian,” pikir saya.

Maka Pak Dirman pun rupanya sepaham dengan saya. Beliau tidak mengganti pakaiannya. Beliau tetap mengenakan yang asal, dengan mantel Australia paling luar. Badan beliau kurus. Tetapi dengan mengenakan mantel yang tebal itu beliau kelihatan gemuk. Mantelnya itu berat sekali.

Di Piyungan itu kami hanya mampir sebentar. Rencana yang tadinya di sana Panglima Besar kita akan berganti pakaian, tidak jadi dilakukan. Jenderal kita memutuskan lain. Dan tandu diganti dengan jeep yang sudah disediakan.

Sewaktu sampai di kota, dengan dielu-elu oleh rakyat sepanjang jalan, Pak Dirman bertanya kepada saya, “Bagaimana, terus langsung ke pasukan?”. Memang saya menyiapkan pasukan. Tetapi saya jawab, “Wah, tidak baik kalau begitu, Pak. Bisa disangka ada pertentangan. Lebih baik kita ke Istana saja dulu, melapor kepada Presiden”. Maka kemudian saya bawa Pak Dirman ke Istana, saya yang mengemudikan jeep ke tempat berkumpulnya Presiden dengan yang lainnya.

Waktu turun dari jeep, Pak Dirman dan Bung Karno berpelukan. Mulanya Panglima Besar kita tidak mau berbuat begitu. Tetapi barangkali dipandangnya tidak baik bila menolak, dipandangnya perlu dilakukan sekali pun untuk sandiwara, untuk tampak keluar. Sementara itu, pasukan pengawal sudah berangkat ke rumah yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman, bersama tandu yang bersejarah itu.

Lalu di Istana, Pak Dirman pamit untuk pergi ke alun-alun. Di sana Panglima Besar kita diterima Pasukan Kehormatan yang sudah kami. siapkan. Saya tidak mengira bahwa upacara di alun-alun itu adalah yang terakhir buat Panglima Besar kita itu semasa hidupnya. Beliau seperti tidak diizinkan lagi oleh yang Mahakuasa melakukan tugasnya. Padahal kami masih mengharapkan bimbingannya.

Kesehatannya yang menurun menyebabkan beliau harus dipindahkan ke Magelang, dengan harapan, mudah-mudahan udara di kota itu yang lebih segar menjadikannya pulih kembali. Beliau ditempatkan di peristirahatan tentara Taman Badakan Magelang. Tetapi ternyata tempat yang disenanginya itu tidak juga menolongnya.

Tanggal 29 Januari 1950 justru setelah berlangsungnya pengakuan atas kedaulatan RI, setelah bendera Merah Putih Biru diturunkan di Istana, dan diganti dengan Sang Merah Putih, Panglima Besar Soedirman meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Di siang hari yang cerah Pak Dirman yang bekas guru itu masih sempat memeriksa rapor putra-putrinya. Tetapi belum sempat beliau menandatanganinya, sakit hebat tiba­tiba menyerangnya. Dan Pak Dirman tak berdaya. Pertolongan diberikan dengan sedapat mungkin. Tetapi malang, beliau tak bisa diselamatkan.

Pada sore hari kira-kira pukul 18.30, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dengan ini, bukan saja keluarganya, istrinya dan tujuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil yang terpukul, tetapi seluruh jajaran angkatan bersenjata kita kehilangan seorang pemimpin teladan yang amat besar. Rasa duka yang mendalam menusuk hati sanubari saya, sekalipun saya sadar bahwa begitulah Tuhan  sudah menetapkannya.

Saya, yang telah membereskan kembali Brigade saya dengan berkedudukan di Yogya setelah pengakuan kedaulatan, ditunjuk untuk memimpin pengangkutan jenazah Panglima Besar Soedirman dari Magelang ke Yogya pada tanggal 30 Januari.

Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari, dengan mengibarkan bendera setengah tiang. Pemerintah menjadikannya Hari Berkabung Nasional dengan wafatnya Panglima Besar  kita itu.

Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dalam pidatonya mengumumkan keputusan pemerintah, menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi Jenderal.

Saya pimpin iringan jenazah almarhum itu meninggalkan Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan di Mesjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya, di tempat peristirahatan terakhir Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, pendampingnya.

Presiden Soekarno yang sudah diangkat menjadi Presiden RIS dan berkedudukan di Jakarta, sedang berada di India untuk melaksanakan kunjungan persahabatan. Tetapi di akhir Desember sebelumnya beliau sempat menulis sepucuk surat kepada almarhum, meminta maaf atas kekhilafan-kekhilafan dan kesalahannya. Beliau seperti sudah merasa, bahwa perpisahan untuk selama-lamanya dengan Panglima Besar itu sudah berada di ambang pintu. “Mohonkanlah supaya Kanda di dalam jabatan baru selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa sesuatu apa, hanya Dialah yang menentukan segala-galanya ……,” tulis Presiden Soekarno kepada Panglima Besar Soedirman.

Acting Presiden RI Mr. Assaat, selaku wakil Pemerintah RI mengucapkan kata-kata selamat jalan. Dr. J. Leimena, mewakili Pemerintah RIS, Jenderal Mayor Suhardjo, mewakili Angkatan Perang RIS menyatakan penghormatan.

Suasana haru meliputi Taman Makam Pahlawan itu, sebelum dan sesudah salvo ditembakkan. Penghormatan diberikan dan peti jenazah diturunkan perlahan-lahan ke dalam liang kubur di bawah naungan bendera Merah Putih.

Ibu Dirman yang pertama menimbunkan tanah ke atas peti jenazah diikuti oleh Acting Presiden RI Mr. Assaat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor Suhardjo, Kolonel Gatot Soebroto, Dr. Leimena,  dan lain-lainnya.

Saya memimpin para perwira lainnya melakukan penimbunan yang terakhir, dengan mengucapkan doa yang setulus-tulusnya di dalam hati. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 68-73.

Masa Perjuangan : Belanda Meninggalkan Jogja

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Serangan Umum 1 Maret 1949 ternyata memang berpengaruh. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda yang angkuh itu untuk berunding dengan Indonesia dan menghentikan tembak-menembak. Rundingan berjalan lagi dengan sebutan yang terkenal “Perundingan Roem-Royen”. Sesuai dengan perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949, pasukan Belanda yang tadinya ada di ibukota RI harus meninggalkan Yogya, dan pasukan RI dengan segenap aparat pemerintahannya kembali.

Tanggal 24 Juni 1949 Van Royen mengumumkan persetujuan penarikan tentara Belanda dari Yogya sejak tanggal tersebut. Berkenaan dengan ini, satu pihak punya pikiran untuk dilakukan serah terima dan Belanda melakukan penyerahan kota Yogya kepada Polisi Rl. Saya yang bertanggungjawab atas keamanan di Yogya, tidak setuju. Kemudian pikiran orang lain itu diubahnya, yakni akan menyerahkan Yogya itu kepada TNI. ltu pun saya tolak.

Buah pikiran yang ada di tengah-tengah politisi kita waktu itu memang saya tentang. Saya anggap tidak benar. Maka Sri Sultan yang rupanya mendengar pula sikap saya, mengenai pikiran serah terima kota Yogyakarta dari Belanda kepada Polisi atau TNI kita itu, mengirimkan sepucuk surat kepada saya dengan mengatakan, “Overste Soeharto, kalau Overste tidak mendukung saya, mandat akan saya kembalikan“.

Beliau salah paham, begitu reaksi saya atas surat itu. Maka untuk menjaga agar suasana hubungan kami yang demikian itu tidak berkepanjangan, saya sendiri masuk kota untuk menjelaskan kepada beliau dasar pikiran saya, mengapa saya menolak. Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949.

Dalam perundingan di Kraton Yogyakarta, di kamar yang kemudian jadi terkenal itu, saya jelaskan pendirian saya kepada Sri Sultan. “Saya tidak merasa, bahwa Belanda berkuasa di Yogya,” begitulah pangkal pikiran saya. “Sebab itu, saya berpendirian, kalau Belanda akan meninggalkan Yogya, ya, tinggalkan sajalah. Saya tidak mau diadakan upacara serah terima secara resmi dari Belanda kepada Indonesia. Saya tidak memandang Belanda berkuasa di sini. Pasukan Wehrkreise masih ada di mana-mana, baik di kota maupun di luar kota. Kalau Belanda nanti sudah tidak ada, anak-anak kami akan muncul. Dengan sangat gampang mereka akan muncul”.

Saya mengerti, pihak yang mau supaya diadakan upacara serah terima itu merasa, supaya setelah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, keadaannya benar-benar jadi aman. Dan karena polisi yang akan diserahi soal keamanan ini, maka yang akan melaksanakan serah terima dari pihak kita itu adalah polisi. Saya tolak pikiran itu atas dasar perhitungan, bahwa kalau begitu halnya, maka seolah-olah TNI itu tidak ada. Padahal dalam keadaan perang, saya sebagai komandannya yang bertanggungjawab mengenai soal keamanan, dan bukan polisi.

Saya kukuh pada pendirian saya ini. Dan suara saya ternyata sangat diperhitungkan. Kesempatan masuk di dalam kota kali ini, tidak dalam memimpin serangan umum; saya pergunakan untuk bertemu dengan istri dan menengok anak saya yang sulung. Sudah berbulan saya nantikan kesempatan ini. Dan sewaktu saya menemui mereka, dalam keadaan yang masih berbahaya, saya harus mampu menahan kegembiraan saya supaya tidak tembus keluar dinding kraton. Bukan main lucunya anak saya yang baru berumur empat bulan itu. Tak habis-habisnya saya menciuminya.

Tetapi saya tidak bisa lama-lama bersama mereka .Saya mesti cepat kembali. Perjuangan menanti. Namun, saya sudah punya harapan, tak akan lama lagi kami bisa kumpul kembali.

Benar pula, jadinya Belanda meninggalkan Yogya tanpa timbang terima. Begitu Belanda meninggalkan setiap sudut kota, pejuang kita yang telah berada di kantong-kantong di kota muncul untuk menjaga keamanan. Polisi saya suruh masuk dari sebelah barat, dari Godean, memakai tambur, berbaris setelah Belanda pergi. Djen Muhammad yang memimpinnya pada waktu itu. Saya demonstrasikan kejadian ini. Kemudian, setelah satu jam polisi bergerak, saya perintahkan anak buah saya menyerahkan keamanan pada polisi.

Saya berpegang teguh pada sikap, jangan sampai ada yang memandang, bahwa TNI itu tidak ada. Dan polisi itu merupakan bagian kecil daripada satuan yang ada di kota Yogya waktu itu, bahkan di bawah komando saya, karena saya yang membuat peraturan di sana. Semua kekuatan bersenjata, kecil maupun besar, waktu itu saya perintahkan harus bergabung dengan Wehrkreise III. Pada Brigade X saya katakan, “Kalau bergerak sendiri-sendiri, akan saya lucuti.” Karena reorganisasi (sebelum Belanda menyerang Yogya) Resimen III diganti nama menjadi Resimen 22 dan terakhir menjadi Brigade X Divisi Diponegoro.

Begitulah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, selesai tanggal 30 Juni 1949, lancar, tanpa insinden. Dan seterusnya aman. Pemerintah RI kembali ke ibukotanya dengan disaksikan oleh pejabat-pejabat KTN yang diundang. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali di tengah kita di Yogya. Kemudian menyusul Sjafrudin Prawiranegara, bekas ketua PDRI. Sidang Kabinet RI pun segera dilangsungkan.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 65-67.

Masa Perjuangan : Maka Meletuslah Pemberontakan PKI Madiun

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Sekali waktu saya pergi ke Jawa Timur dan bertemu di sana antara lain dengan Pak Sungkono dan Kretarto. Ketika itu suasana di Solo sedang panas. Saya ingat, waktu itu disana ada Letkol. Suadi sebagai komandan Resimen di Solo dengan komandan batalyonnya Mayor Suharto, ada Mayor Slamet Rijadi, Mayor Sunitioso dan Mayor Sudigdo. Tetapi sebagian dari satuan Panembahan Senopati sudah dipengaruhi PKI. ltulah yang menyebabkan terjadinya insiden, bentrokan dengan Siliwangi yang sedang hijrah.

Sewaktu saya kembali dari Jawa Timur, persis di jembatan Jurug Solo, saya ditahan, lalu dibawa ke pos Siliwangi. Saya dilucuti, senjata saya diambil. Ternyata, karena nama saya Soeharto, saya dikira Mayor Suharto dari batalyon di Solo. Lalu saya dibawa ke markas kesatuan Siliwangi yang berada di gedung Walikota Solo sekarang. Saya diinterogasi di sana. Tetapi kebetulan muncul seseorang yang mengenal saya dan dia itu adalah panglimanya sendiri, Kolonel Sadikin.

”Lho, mengapa kamu di sini ?” katanya. “Saya sendiri tidak tahu, mengapa saya ditahan di sini,” kata saya. Lalu saya terangkan dari mana dan akan ke mana saya waktu itu. Pak Sadikin sendiri yang menegaskan bahwa saya adalah temannya. “Dia teman kita,” katanya. “Letnan Kolonel Soeharto, dari Yogya.” Maka kemudian saya dilepaskan. Senjata dikembalikan dan saya terus pergi ke Yogya. Kejadian inilah yang ditulis orang sekian tahun kemudian. Tetapi peristiwa itu terjadi sebelum meletusnya Madiun Affair.

Di minggu kedua bulan Agustus 1948, Muso, yang sejak tahun 1926 sudah meninggalkan Indonesia, datang dari Rusia di Yogya bersama Suripno yang disebut-sebut telah mengadakan hubungan diplomatik atas nama pemerintah Indonesia dengan beberapa negara blok Timur. Muso diterima oleh Presiden Soekarno dan mengadakan pembicaraan. Tetapi nyatanya pertemuan mereka itu tidak menghasilkan buah yang baik. Malahan sebaliknya.

Amir Sjarifuddin sudah membuka topengnya dan sangat menentang pemerintahan Hatta yang  teguh melaksanakan rasionalisasi atas Angkatan Perang kita. Sementara itu rundingan diplomasi berjalan terus dengan berpindah-pindah tempat. Cochran bicara dengan Pak Hatta, tetapi hasilnya tidak memuaskan, malahan terasa tak berujung. Dalam pada itu, Muso bersama Sjarifuddin yang telah berfusi dengan PKI, Setiadjit, dan kawan-kawannya meningkatkan kampanye politiknya dengan mengadakan rapat-rapat besar di tempat-tempat terbuka. Yang jadi sasarannya adalah kebijaksanaan pemerintahan Hatta.

Sementara itu, tokoh-tokoh militer kita berkumpul di Jalan Code 4 di Yogya, membicarakan keadaan yang terasa sekali menekan dan mencekam. Gerak-gerik Muso dan kawan-kawannya menjadi persoalan berat yang dirundingkan. Lebih-lebih lagi karena Muso berusaha merangkul pihak-pihak yang bersenjata.

Di tengah suasana ini saya mendapat tugas dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk meyakinkan Letkol. Suadi, komandan pasukan “Panembahan Senopati” dari Solo, supaya jangan sampai ia masuk perangkap Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang melawan pemerintah kita itu. Memang FDR waktu itu berusaha merangkul satuan-satuan kita, antara lain satuan “Panembahan Senopati”. Maka saya pergi ke Solo. Tapi saya tidak bisa menemukan Suadi di sana.

Dengan adanya tugas dari Jenderal Soedirman itu kepada saya, saya sudah mengetahui bahwa Pak Dirman tidak mendukung gerakan FDR. Apa lagi terlibat, jelas tidak. Dari Solo saya pergi ke Wonogiri, lewat Sukoharjo. Di Wonogiri saya bertemu dengan Suadi . Saya dan Suadi ternan baik. Maka saya sampaikan dan saya jelaskan pendapat pihak kita, supaya ia tidak sampai masuk perangkap dan terjerumus.

Kemudian saya diajak oleh Suadi untuk pergi ke Madiun. Suadi ingin menunjukkan kepada saya, bagaimana mereka yang di Madiun bersikap terhadap saya. Ia tidak mengatakan, bahwa ia terlibat. Tetapi ia mengemukakan untuk mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya mereka yang di Madiun itu, maka baik pergi ke sana.

Saya mengikuti permintaan Suadi. Gerombolan Muso, Sjarifuddin, Supeno, dan lain-lainnya itu sudah ada di Madiun. Saya pikir, kita harus mencegah jangan sampai terjadi pertempuran. jangan sampai terjadi perang saudara di antara FDR dengan TNI. Suadi bersama saya di dalam mobil saya.

Di tengah jalan, waktu dari Wonogiri ke Madiun, melewati Jatisrono dan Ponorogo, kami berpapasan dengan sebuah konvoi yang dikepalai oleh sebuah sedan. Saya bertanya kepada Suadi, siapa yang ada di dalam sedan itu. Maka Suadi menjawab, “Pak Alimin”. Terus saya bertanya lagi, “Mau ke mana mereka  ?” “Tidak tahu”, jawab Suadi. Sesampai di Madiun, kami terus ke Karesidenan. Tadinya saya akan dipertemukan dengan Amir Sjarifuddin yang sudah saya kenal. Tetapi Sjarifuddin masih tidur waktu itu. Jadi, saya tidak bisa bertemu dengan dia.

Kemudian seseorang keluar. Baru waktu itu saya tahu, bahwa dia itulah Muso. Saya belum pernah bertemu dengan dia sebelum ini, baru pertama kali itu saya melihatnya. Ia mengenakan kemeja putih, celana, dan memakai kopiah. Maka kemudian kami bicara-bicara, mengobrol. Saya tidak mengatakan bahwa saya disuruh oleh Pak Dirman. Tetapi entah apa yang dikatakan oleh Suadi kepadanya. Lalu saya kemukakan kepada Muso, bahwa “janggal, waktu kita sekarang menghadapi  Belanda, kok kita saling bermusuhan”. “Apakah tidak baik kalau kita tinggalkan permusuhan di antara kita ini dan bersatu menghadapi Belanda?” kata saya.

Dia menjawab, “Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan  kemerdekaan yang sudah kita capai. Tetapi masalahnya, saya tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Saya tidak percaya lagi kepada Belanda. Belanda itu harus kita hadapi. Sementara kita menghadapinya, rupa-rupanya Soekarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkannya. Padahal saya memberikan saran.”

“Ya, pokoknya ada perbedaan cara dalam perjuangan”, tambabnya dengan menegaskan lagi, babwa ia tidak percaya kepada Belanda dan akan terus melawan Belanda. “Tetapi Soekarno dan Hatta mau berunding dengan Belanda”, kata Muso. “Justru saya yang menghadapi Belanda, malahan akan dihancurkan. Dan saya, kalau akan dihancurkan, tidak akan menyeran begitu saja, saya akan melawan”, katanya lagi.

“Kenapa tidak diadakan pembicaraan saja ? Apakab tidak perlu diadakan pertemuan lagi  ?” tanya saya. “Malahan baru saja ada pertemuan,” katanya, “tapi toh tidak bisa sepakat.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah boleh saya sampaikan ini, Pak Muso, kepada Bung Hatta dan Bung Karno, bahwa sebenarnya Pak Muso memang masih menginginkan persatuan di antara kita untuk mengbadapi Belanda ?” “Ya, sampaikan,” katanya. “Tapi terus terang saja, Bung Harto, kalau saya akan dibancurkan, saya akan melawan.” “Susah ini,” pikir saya.

Setelah itu, saya kembali dengan Suadi ke Wonogiri. Sampai di Wonogiri Suadi turun dan kami berpisah. Saya terus menuju ke Solo, melewati Sukoharjo. Tetapi waktu itu Siliwangi sudah kelibatan bergerak.

Kalau saya terus ke Solo dari Wonogiri, maka kemungkinan besar saya akan ditangkap oleb Siliwangi, sekalipun kesatuan dari Wonogiri yang dicarinya. Begitu pikir saya. Di balik itu, si Digdo, komandan Batalyon Kleco (yang kelak jadi Batalyon 444) dengan komunisnya sudah curiga terbadap saya, karena dia tahu bahwa saya menyampaikan pesan kepada Suadi. Maka kalau saya pergi ke Solo, ada kemungkinan ditangkap oleh Siliwangi, sedang kalau tinggal di Wonogiri bisa diculik oleh Digdo.

Karena saya sudab tabu daerah Wonogiri, dan tahu pula jalan dari Wonogiri ke Manyaran, terus ke Wonosari dan terus ke Yogya, maka saya tempuh jalan yang saya kenal itu. Dalam perjalanan ini saya singgah di Wuryantoro, tempat di mana saya dibesarkan dan tiba di Yogya pagi bari.

Maka kemudian saya lapor kepada Panglima Besar Soedirman, babwa saya bertemu dengan Muso, dan saya ceritakan segala seperti adanya. Pak Dirman yang menyampaikan  kejadian  dan  basil pertemuan  saya dengan Muso  kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu saya yang bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban Ibukota RI (red=Yogya) dengan cepat mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mengamankan segalanya dari ancaman kekacauan, dari ancaman PKI.

Perkembangan terasa amat cepat. Serbu-menyerbu antar-pasukan tak terelakkan. Kaum pemberontak mengangkat  Kolonel Djokosujono menjadi “Gubernur Militer” Madiun dan Letnan Kolonel Dahlan, Komandan Brigade 29 menjadi “Komandan Komando Pertempuran” Madiun. Pihak pemberontak menguasai kota Madiun dan radio Gelora Pemuda. Sementara itu pihak kita mengangkat Kolonel Gatot Soebroto menjadi Gubernur Militer.

Tanggal 18 September 1948 pemberontakan PKI di Madiun terjadi, mengambil alih kekuasaan yang sah di sana. Presiden Soekarno dengan tegas menjawab perebutan kekuasaan itu dengan mengatakan “Pilih Muso dengan PKI-nya atau pilih Soekarno-Hatta”. Gerakan Operasi Militer I yang dilancarkan oleh Angkatan Perang kita dalam menggulung pemberontakan itu dengan cepat menguasai kembali Madiun pada tanggal 30 September. Dua bulan kemudian operasi-operasi penumpasan terhadap PKI dinyatakan selesai. Kegiatan partai politik, setelah pemberontakan itu, menurun dan untuk sementara, oposisi terhadap Kabinet Hatta mereda.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 51-55.

Masa Perjuangan : Ada yang Mau Ngapusi Saya

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
"Ada yang mau ngapusi saya"
Ada yang mau membohongi saya

Tekanan dan teror NICA terhadap pihak Republik di Jakarta menjadi-jadi. Penembakan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pejabat-pejabat tinggi lainnya sangat mengganggu pemerintahan kita.

Tanggal 4 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan Pemerintahan Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Artinya, Ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan tersebut, tugas saya sebagai Komandan Resimen III dengan pangkat Letnan Kolonel, menjaga keamanan kota Yogya bertambah berat. Saya harus pula menjaga keselamatan negara dan pemerintahan.

Tanggal 7 Januari Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara Kedaulatan Rakyat. Tetapi selang dua minggu sebutannya diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia  (TRI).

Di bulan Desember sebelumnya, pengumuman Wakil Presiden Hatta telah melahirkan partai-partai dengan lasykar-lasykarnya. Dengan itu timbul oposisi terhadap politik Sjahrir yang menjalankan diplomasi, berunding dengan pihak Belanda. Oposisi waktu itu dipimpin antara lain oleh Tan Malaka.

Kabinet Sjahrir I jatuh karena kegagalan perundingannya. Tetapi Presiden Soekarno memberikan mandatnya kepada Sjahrir lagi untuk menyusun kabinetnya yang kedua, dan kemudian Amir Sjarifuddin diangkat jadi Menteri Pertahanan.

Diplomasi berjalan, sementara senapan masih juga terus berbunyi. Tanggal 10 Februari 1946, perundingan resmi yang pertama antara Republik kita dengan pihak Belanda dilangsungkan, setelah lebih dahulu terjadi perdebatan di Dewan Keamanan PBB.

Soal pengangkutan dan pelucutan tentara Jepang dirundingkan pula, khususnya mengenai yang ada di daerah Republik. Maka lahirlah yang disebut Yogya Agreement, ‘Persetujuan Yogya’ dan dibentuklah POPDA, singkatan dari “Panitia Oeroesan Pengembalian Bangsa Djepang dan Asing”.

Tanggal 17 Mei 1946 di Semarang dilangsungkan timbang terima komandan pendudukan dari Brigade Darling, dari pihak Inggris kepada Kolonel Van Langen, Komandan Brigade “T” KNIL dari pihak Belanda. Dengan ini kita berhadapan dengan Belanda yang ingin menancapkan kembali kuku penjajahannya di bumi kita.

Belanda mendesak ke selatan. Kita menahannya sampai garis pertahanan Srondol-Banyumanik. Belanda terus mengadakan tekanan dengan menambah kekuatannya. Pasukan kami pernah mundur dan saya lagi-lagi sempat memarahi anak buah yang meninggalkan garis pertahanan dengan .tidak bertanggung jawab.

Saya bergerak dari front yang satu ke front lainnya. Waktu kembali dari front Kendal saya mendengar bahwa ibu saya, Ibu Sukirah meninggal dunia. Bisa dibayangkan betapa sedihnya saya. Beliau itu ibu yang saya hormati. Sebelum berangkat ke front, sewaktu beliau sakit, saya masih sempat menengoknya. Tetapi keadaan waktu itu yang menyebabkan saya merasa terpanggil untuk berjuang demi sesuatu yang besar, membuat saya terpaksa meninggalkannya. Sepulang saya dari front, dari garis depan, saya cepat pergi ke desa Kemusuk ke makam Ibu saya.

Sementara itu pergolakan politik terjadi di tengah-tengah Republik kita. Pada tanggal 27 Juni 1946.PM Sjahrir diculik di Solo. Segera Presiden Soekarno menyatakan negara dalam keadaan perang dan menyerukan agar PM Sjahrir segera dibebaskan. Seruan Presiden Soekarno itu ternyata dipenuhi oleh pihak yang menculik PM Sjahrir itu. Bisa dimaklumi, keadaan menjadi sangat tegang.

Maka mau tidak mau saya dilibatkan dalam kekalutan politik. Dan bisa dimaklumi, sebagai Komiandan Kesatuan Resimen yang berkedudukan di Ibukota, saya menjadi rebutan mereka yang bertentangan.

Dalam pada itu, saya berusaha bersikap tenang, teguh dengan pendirian, bahwa saya tidak boleh terlibat dalam percaturan yang saling berlawanan.

Di tengah-tengah suasana yang demikian tegang, di Markas Resimen Wiyoro saya kedatangan ketua Pemuda Patuk, Sundjojo namanya. Sundjojo menjadi utusan Istana membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI untuk saya. Dari Sundjojo saya memperoleh penjelasan mengenai keadaan negara, yang sedang terancam oleh perebutan kekuasaan di mana Mayor Jenderal Sudarsono terlibat, dan saya diperintahkan menangkapnya. “Sungguh gila gagasan itu,” pikir saya. “Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” Tidak lama kemudian menyusul utusan lain dari Istana yang membawa surat perintah dari Presiden Soekarno, dan isinya sama seperti yang diuraikan oleh Sundjojo.

Saya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Yakni karena adanya perintah langsung dari Presiden/Panglima Tertinggi, tidak melewati hirarki, dan harus menangkap atasan langsung, ialah Mayor Jenderal Sudarsono.

Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut, dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Bersamaan dengan itu saya memberi jaminan, segera Resimen mengadakan siaga penuh untuk menjaga keselamatan negara dan Kepala Negara Republik Indonesia.

Dengan perasaan kesal tentunya Sundjojo kembali ke lstana dengan membawa kembali surat perintah dan·melapor kepada Presiden Soekarno. Sejam kemudian saya dapat berita lewat telepon dari Sundjojo, bahwa semuanya telah dilaporkan kepada Presiden Soekarno dan saya dapat predikat istimewa “Opsir Koppig” (Opsir keras kepala).

Apa boleh buat. Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalyon-batalyon dari Resimen III, segera saya menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono. Saya tidak melaporkan bahwa ada perintah untuk menangkap, tetapi yang saya laporkan ialah adanya informasi tentang lasykar pejuang yang belum jelas, yang akan menculik Mayor Jenderal Sudarsono. Dengan demikian, keselamatan beliau terancam. Saya menyarankan agar untuk sementara Pak Darsono mau pindah ke Resimen III Wiyoro bersama saya, karena Resimen sudah dalam keadaan siaga penuh menghadapi segala kemungkinan. Jenderal Sudarsono setuju. Saya memberi hormat, pamit mendahuluinya kembali ke Wiyoro.

Menjelang Magrib Mayor Jenderal Sudarsono tiba di Markas Resimen Wiyoro tanpa pengawal. Sekeluarnya dari mobil beliau menunjukkan surat telegram dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang isinya menyebutkan harus menghadap segera. Saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memberikan pengawalan dengan satu peleton berkendaraan truk. Mendekati waktu sembahyang Isya saya menerima telepon dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang isi pembicaraannya memerintahkan agar Mayor Jenderal Sudarsono tetap di markas Resimen III Wiyoro. Tentu saya melaporkan bahwa Mayjen. Sudarsono sudah berangkat dengan kawalan satu peleton dan akan menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dari pembicaraan lewat telepon itu, saya dapat menarik kesimpulan bahwa Pak Dirman tidak terlibat dalam konflik politik itu.

Tengah malam Pak Darsono datang lagi di Markas Resimen dengan membawa rombongan. Ternyata rombongan itu terdiri atas pemimpin politik yang dikeluarkan dari Rumah Tahanan Wirogunan. Pak Darsono memberi tahu kepada saya, bahwa beliau telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar untuk besok pagi menghadap Presiden Soekarno di Istana, menyampaikan surat yang malam ini akan disiapkan. Batin saya bicara,”Wah, keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya. “Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia.” Malam itu juga saya segera memberi informasi ke Istana, apa yang sedang terjadi di Wiyoro dan apa yang akan terjadi besok pagi di Istana. Saya persilakan menangkap sendiri Mayor Jenderal Sudarsono di Istana besok pagi dan saya jamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa.

Tanggal 3 Juli 1946 pagi, Mayor Jenderal Sudarsono dan rombongan berangkat ke Istana. Mereka menggunakan sebuah sedan dan truk dengan dikawal oleh Sersan Gudel. Setibanya di Istana, mereka ditangkap oleh Pasukan Pengawal Presiden. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Peristiwa 3 Juli”.

Lalu saya perintahkan pasukan Resimen III, supaya melarang setiap pasukan luar daerah ibukota Yogya masuk ke dalam daerah ini. Saya jaga keras, jangan sampai terjadi kekacauan.

***

Catatan:

Sejumlah pihak menilai tindakan Kolonel Soeharto ini, dengan caranya sendiri (meminta penugasan melalui hirarki),  telah menyelamatkan upaya kudeta yang pertama, dari sebuah negara yang belum berumur satu tahun. Pagi hari tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono bersama kelompoknya menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden. Mereka menuntut Presiden Soekarno agar bersedia:

Memberhentikan Kabinet Sjahrir II,
Menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik,
Mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Tuntutan itu secara jelas tidak hanya meminta pergantian Kabinet Sjahrir, akan tetapi juga meminta penyerahan kepemimpinan Presiden yang meliputi kepemimpinan politik, sosial dan ekonomi. Presiden Soekarno sudah mengetahui rencana tersebut berkat laporan Letkol Soeharto. Aparat keamanan istana sudah berjaga-jaga dan dengan mudah melakukan penangkapan terhadap Mayor Jenderal Sudarsono beserta kelompoknya. Penangkapan itu tanpa gejolak karena pasukan di konsinyir Letkol Soeharto.


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 35-38.

Masa Perjuangan : Di Masa Dwikora

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Pada tanggal 1 Mei 1963, saya diangkat menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan kembalilah saya dengan kesibukan rutin.

Sementara itu, situasi politik di dalam negeri tambah tidak menentu. PKI menggusur-gusur partai-partai dan ormas-ormas lainnya dengan menyatakan dirinya yang paling revolosuiner, sedang yang lain, yang menentangnya ditunjuknya sebagai “kontra revolusi”. Sedikit-sedikit tuduhan “kontra revolusi” itu terdengar dan telunjuk ditudingkan kepada pihak-pihak yang tidak mau diseret oleh PKI atau yang menentangnya. PKI meneriakkan “Yang tidak bersama kita adalah musuh kita”. Maksudnya, yang tidak mengikuti langkah PKI adalah lawannya”.

PKI terus mengipas-ngipas Bung Karno. Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden itu tidak ada yang berani menyampaikan pendapat mereka yang berlainan.

Gambaran politik waktu itu sudah jelas: adanya perselisihan yang tajam antara Angkatan Darat, golongan Islam yang anti komunis dan golongan nasionalis yang anti komunis di satu pihak, dengan apa yang dinamakan golongan “progresif revolusioner” alias PKI dan yang bisa disertakan dengan PKI di pihak lainnya.

Sementara itu saya sering risau karena didatangi anak buah yang meminta pendapat dan penilaian saya. Juga mereka menunjukkan tarikan muka seperti mendesak, ingin mendapat keterangan mengapa saya diam. Saya jawab, “Saya tidak buta. Saya telah melapor kepada atasan tentang keadaan. Situasi memang serius. Tetapi saya tidak mendapat reaksi apa-apa. Apa lagi dapat saya lakukan lebih dari itu ?”

Keadaan memang menekan sementara suasana terasa pengap. Sampai-sampai pasa suatu ketika saya berfikir selintas untuk berhenti saja dari kedinasan dan pindah tempat kerja, menjadi supir taksi atau menjadi petani. Dalam setengah gurau, pernah saya ceritakan pikiran selintas ini kepada teman. Tapi sahabat saya itu Cuma menyambung senyum saya dengan tertawa, lalu membelokkan percakapan kami kepada soal-soal yang ringan.

Tanggal 16 September 1963 terbentuklah Federasi Malaysia.

Presiden Soekarno yang sebelumnya telah membuat langkah-langkah menghalang-halangi lahirnya negara bentukan baru itu, sangat marah dengan kejadian ini dan menilainya sebagai suatu pelanggaran terhadap kesepakatan yang sudah ditetapkan terdahulu. Presiden Soekarno menganggap “Malaysia” ini sebagai proyek neokolonialisme Inggris.

Berkenaan dengan itu kita patut menengok ke belakang.

Pada tahun 1962, terjadi pemberontakan anti Malaysia di Brunei. Bung Karno melihat, pemberontakan itu patut didukung. Pendiriannya berkenaan dengan ini adalah bahwa “Indonesia selalu berjuang untuk membela hak penentuan nasib sendiri dari semua bangsa di dunia”

Katanya lagi, “Gerilyawan dari Indonesia menyokong pemberontakan di Brunei itu. Brunei telah menyokong revolusi Indoensia di masa yang lalu dengan sukarelawan, makanan, dan uang. Perdana Menteri dari pemerintahan pemberontakan itu, Azhari, pernah jadi kapten pada TNI”.

Dalam proses ke arah pembentukan “Malaysia” itu pernah dilaksanakan pertemuan-pertemuan puncak pemerintah Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Presiden Soekarno pernah berunding dengan Tengku Abdul Rachman Putera di Tokyo, di bulan Juni 1963.

Sebentar reda suhu politik berkenaan dengan rencana pembentukan “Malaysia” itu. Tetapi kemudian Bung Karno berteriak lagi karena PM Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen mengenai pembentukan Federasi Malaysia satu bulan lebih setelah pertemuan mereka berdua di Tokyo itu. Bung Karno menunjukkan kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum, bahwa “Pemerintah Indonesia telah dikentuti”. Bung Karno kelihatan ngambek benar terhadap Tengku, karena ingat juga, bahwa Tengku adalah seorang yang telah membantu pemberontakan-pemberontakan yang melawan Bung Karno dengan membiarkan mereka tinggal dan berkeliaran di Malaya.

“Maphilindo”, yakni Malaysia, Filipina, dan Indonesia, terdengar seolah-olah akan menyelesaikan persoalan. Tetapi ternyata tidak mampu.

Sementara itu persoalan “Malaysia” ini sudah berada di tangan PBB.

Diplomasi terus berjalan.m Pertemuan puncak dari tiga kepala negara, Malaya, Filipina dan Indonesia dilangsungkan pada akhir Juli 1963 di Manila.

Pertemuan manila itu menghasilkan tiga dokumen yang antara lain menyebutkan, bahwa ketiga kepala negara yang berunding mufakat untuk meminta Sekjen PBB menyelidiki keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan dimaksukkan ke dalam Federasi Malaysia itu. Indonesia dan Filipina menyambut baik bilamana keinginan rakyat telah diselidiki oleh suatu otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekjen PBB atau wakilnya.

Sepulang dari Manila, Bung Karno bukan menjadi cerah dan gembira. Tanggapan mengenai “Malaysia” itu malahan mendorongnya supaya Indonesia lebih siaga. Tentunya pelbagai informasi mengenai masalah ini masuk kepadanya dari pelbagai jurusan, diantaranya dari PKI yang waktu itu sedang giat-giatnya menjalankan programnya, antara lain dengan rencananya untuk membentuk “Angkatan ke-V” yang kami tolak”.

Semula pembentukan Federasi Malaysia itu akan dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1963 di London. Tapi kemudian rencana itu diundur. Dan kenyataan membuktikan, bahwa pada tanggal 16 September 1963, walaupun misi PBB belum menyampaikan hasil laporan penyelidikannya mengenai kehendak rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam yang disebut Malaysia itu, pembentukan Malaysia tetap dilaksanakan.

Maka demonstrasi pun terjadi di Kuala Lumpur terhadap Kedutaan Besar RI dan begitu juga di Jakarta terhadap Kedutaan Besar Malaysia dan Inggris.

Sudah bisa diramalkan sebelumnya, bahwa hal itu akan terjadi. Dan kenyataan menunjukkan lebih lagi. Sebab kemudian, pada tanggal 17 September 1963 Pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintahan Kuala Lumpur.

Berkorbarlah api yang disulut sewaktu Presiden Soekarno menyerukan Komando Pengganyangan Malaysia yang dikenal dengan Dwi-Komando-Rakyat atau singkatannya “Dwikora”, dalam sebuah apel besar Sukarelawan di Jakarta 3 Mei 1964. “Dwikora” itu menetapkan: perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner rakyat Serawak dengan menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia.

Situasi terasa amat berbahaya. Di wajtu-waktu yang meresahkan ini lahir anak kami yang keenam, seorang perempuan, yang kami beri nama Siti Hutami Endang Adiningsih. Kelahirannya pada tanggal 23 Agustus 1964 melewati operasi. Hari kelahiran istri saya tanggal 23 Agustus 1923. Jadi pada ulang tahunnya yang ke 41, hadiahnya operasi melahirkan anak kami yang keenam. Ceritanya aneh tapi nyata. Pada waktu istri saya mengandung tua, saya mengikuti latihan terjun payung. Rupanya ada yang memberi tahu bahwa latihan terjun payung itu berat, jungkir-balik, bisa menyangku di pohon, dan lain sebagainya. Ternyata berita itu berpengaruh pada istri saya dan bayi yang dikandungnya. Letak bayi sungsang. Dokter telah berusaha membetulkan, tetapi kembali lagi sungsang. Untuk keselamatan ibu dan bayi. Dokter memutuskan operasi. Setelah operasi berhasil, saya masih sempat menyelesaikan latihan terjun payung karena tinggal terjun terakhir, ialah pada malam hari. Semua latihan terjun dapat saya ikuti dan dinyatakan lulus. Sebagai Panglima Kostrad, dengan selesainya latihan terjun itu, saya dapat mengetahui dan merasakan suka duka pasukan payung . Saya lebih siap menghadapi kemungkinan. Suasana konfrontasi dengan Malaysia makin panas.

*

Maka dibentuklah komando dalam rangka Dwikora itu. Panglimanya dipilih Omar Dhani. Rupanya mereka punya keyakinan bahwa yang bisa memimpin perang bukan hanya Angkatan Darat, tetapi juga angkatan lainnya. Karena itulah, maka pimpinannya dipercayakan kepada Angkatan Udara.

Pada Tanggal 2 September 1964 ditetapkan susunan Komando Siaga (KOGA) dengan panglimanya Laksamana (U) Omar Dhani. Wakil panglimanya ialah Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen A. Wiranatakusumah. Kepala stafnya Komodor (U) Leo Watimena.

Ternyata kemudian terjadi kekacauan. Dan saya dipanggil untuk menjadi Wakil Panglima dalam Komando bentukan baru.

Tanggal 28 Februari 1965, jadi setelah lima bulan kemudian setelah dibentuknya KOGA, Presiden mengubah KOGA itu dengan membentuk “Komando Mandala Siaga” (KOLAGA). Sekarang saya diangkat menjadi Wakil Panglima I KOLAGA tiu sementara panglimanya tetap bekas Panglima KOGA, Omar Dhani. Yang diangkat jadi Wakil Panglima II ialah Laksamana (L) Mulyadi. Kepala stafnya tetap Leo Watimena yang sudah jadi Laksda. (U). Ia didampingi oleh wakil Kepala Staf Brigjen A. Satari.

Saya ingat, waktu itu baru saja dijalankan operasi seperti pola “Trikora” dengan infiltrasi dan menerjunkan pasukan dan sebagainya dengan pesawat. Tetapi infiltrasi itu tidak ada yang berhasil, bahkan pesawatnya masuk laut. Dengan ini terbukti bahwa melaksanakan tugas serupa “Trikora” itu tidak segampang seperti dikira sementara orang.

Maka setelah saya diangkat jadi Wakil Panglima KOLAGA, saya mengadakan perjalanan inspeksi ke daerah Indonesia di bagian utara Kalimantan dan ke Sumatera Utara. Direncanakan dari daerah-daerah itu akan dilancarkan serangan terhadap Malaysia, memenuhi ketetapan Dwikora. Saya melihat berbagai hal yang tidak beres. Maka saya mencoba membenahi keadaan yang kusut itu. Tetapi karena kegiatan operasinya sedang berjalan, pola itu harus melanjut. Operasi infiltrasi dengan penerjunan udara sudah gagal, tidak mungkin dilanjutkan. Karena itu, saya ubah dengan pembentukan kantong-kantong lebih dulu, dengan menghubungi orang-orang Malaysia yang pro Republik. Jalan yang paling aman hanya dari punggung mereka. Dibangun pos komando gelap di Bangkok, dengan jalur logistik lewat laut Jakarta-Bangkok. Team Ali Murtopo, Ramly dan Benny Moerdani serta Sumendap yang ditugasi. Dan team ini pula yang ditugasi untuk mengadakan kontak-kontak dengan Tun Abdul Razak, Gazali dan Des Alwi dalam menghentikan konfrontasi, setelah G.30.S./PKI digagalkan.

Dalam pada itu, PKI terus meningkatkan agitasinya. Teriakan “Ganyang ini ! Ganyang itu! Ganyang setan Desa! Ganyang setan kota” tak henti-hentinya.

Di pelbagai tempat terjadi keributan. Di Kediri terjadi keributan, Seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh orang-orang PKI. Di bandar Bersy, Sumatera Utara, Peltu Sudjono dikeroyok secara beramai-ramai oleh orang-orang PKI sampai meninggal.

PKI menuntut Nasakomisasi di segala bidang. Lalu PKI menuntut Pembentukan “Angkatan ke-V”, yaitu buruh dan tani dipersenjatai. Silsilahnya adalah, PM Chou En Lai menyarankan kepada PKI untuk membentuk “Angkatan ke-V”. Waktu itu kita mengenal empat angkatan disini, yakni Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Angkatan Kepolisian. Chou En Lai menjanjjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara Cuma-Cuma untuk pembentukan Angkatan ke-V itu.

Pimpinan Angkatan Darat dengan tegas menolak tuntutan PKI itu. Begitu juga pimpinan Angkatan lainnya, kecuali pimpinan AURI, Omar Dhani menyetujui.

Politik luar negeri terus meluncur setelah putusnya hubungan diplomatik Jakarta-Kuala Lumpur. Tetapi persoalan “Malaysia” tidak berhenti sampai di sana. Sementara suntikan RRC masuk Indonesia, Malaysia berusaha untuk diterima menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

Para diplomat kita di New York dicambuk untuk bekerja keras, supaya usaha Malaysia untuk bisa diterima sebagai anggota Dewan Keamanan PBB itu gagal. Maka gebrakan pun yng dilakukan di Jakarta diteruskan ke pusat PBB: “Jika PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia akan keluar, Indonesia akan meninggalkan PBB sekarang”.

Tetapi kondisi dan situasi PBB waktu itu menunjukkan kenyataan, menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan.

Tak selang lama, Presiden Soekarno memutuskan, Indoensia keluar dari PBB, Menlu Subandrio dengan resmi menyatakan sikap Indonesia seperti demikian pada tanggal 1 januari 1965.

*

Lalu PKI menghebus-hembuskan issue tentang yang disebutnya “Dewan Jenderal” disertai dengan disiarkannya apa yang disebut “Document Gilchrist”. Gilchrist adalah Duta Besar Inggris yang waktu itu bertugas di Indonesia. Dan dokumen yang memakai namanya itu dikatakan ditemukan di rumah Bill Palmer, di Puncak, waktu rumah orang Amerika itu, importir film-film Amerika, di obrak abrik Pemuda Rakyat.

Aidit mengemukakan masalah yang disebutnya “Dewan Jenderal” itu. Subandrio membicarakannya. Sampai ke telinga Presiden Soekarno yang kemudian menanyakan kepada Pangab Letjen A. Yani. Presiden bertanya, “Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat yang katanya bertugas antara lain untuk melakukan penilaian-penilaian terhadap kebijaksanaan yang telah saya gariskan?”. Jenderal Yani menjawab, “Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti” (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi), sebagai panitia untuk mengurus jabatan dan kepangkatan Perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat”.

Lalu issue tentang “Dewan Jenderal” itu dikembangkan, tentunya oleh Aidit, dengan menyebutkan, bahwa “ada jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Pemimpin Besar Revolusi”. Dan akhirnya menyebutkan, bahwa “Dewan Jenderal akan mengadakan coup”.

Issue mengenai “Dewan Jenderal” itu mencapai tingkat yang berkembang sekitar bulan Mei, Juni dan Juli, serta mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Tanggal 4 Agustus 1964 Presiden jatuh pingsan dan muntah-muntah. Kejadian ini dupanya menimbulkan pikiran yang mendesak pada Aidit yang baru kembali dari perjalanannya ke Moskow dan Peking, untuk mengadakan tindakan, yakni merebut kekuasaan. Ia salah terka. Rupanya ia berfikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh Angkatan Darat, seperti yang dibayangkannya sendiri. Maka terjadilah malapetaka di negeri kita ini, berdasarkan pikiran-pikiran mereka yang jahat itu.

***

1 Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982.

Masa Perjuangan : Yang Menang Kita Bersama

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Sementara di Jakarta DPR-GR sibuk dengan mengundang MPRS untuk mengadakan Sidang Istimewa, di daerah pegunungan Kendeng, di desa Nginggil; perbatasan Kabupaten Ngawi dan Blora, Jawa Tengah, muncul percobaan kembalinya PKI dengan berpusat pada seseorang yang menamakan dirinya mBah Suro. Tetapi gerakan yang bermaksud mengacau Sidang MPRS itu bisa cepat kita tumpas.

Sebelum saya berangkat ke gedung MPRS pun saya sudah siap dengan pegangan hidup saya, “tiga aja” itu, “aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh.” Saya sudah memohon petujuk-Nya.

Maka saya beranggapan kejadian di Sidang MPRS itu biasa saja. Ada kesenangan atau bukan kesenangan, kita harus bersahaja saja. Tidak perlu kaget, tidak perlu terkejut, tetapi juga “aja dumeh peh dipilih” (jangan mentang-mentang karena terpilih) jadi Pejabat Presiden,  kemudian terus berlebih-lebihan.

Sebaliknya, kalau nanti memperoleh kesulitan, jangan pula karenanya lantas kita terus mapa (patah arang), terus putus asa. Jangan !

Kalau kita percaya bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan itu bisa terjadi, mengapa pula kita harus gumun (red=heran), mengapa harus kaget? Kalau Tuhan menghendaki, siapa pula yang bisa mencegahnya?

Ya, kalau kita mendapat kesenangan, itu rahmat dari Tuhan dan sepantasnya kita mengucapkan alhamdulillah. Tidak perlu kita bersikap berlebih-lebihan dan terus pesta-pesta.

Kalau saya mangkel terhadap seseorang, terhadap sesuatu, maka saya cepat berpegang kepada petunjuk ‘sabar, sabar!’.

Sewaktu saya masih muda, jauh lebih muda dari sekarang, dan gregetan terhadap anak saya yang bersalah, saya hanya dalam hati ber­getem-getem’ (jengkel yang tidak diperlihatkan) saja. Ya, kalau terlalu sekali nakalnya anak itu, maka dalam hati saya berkata ‘kurang ajar’. Ya dalam hati saja.

*

Sidang Istimewa MPRS itu dibuka dalam suasana yang mencekam pada tanggal 8 Maret 1967. Delapan ribu anggota pasukan dari keempat angkatan yang dikonsentrasikan di Jakarta dan sekitarnya menjaga agar sidang tidak terganggu. Semua mendambakan ketentraman itu tidak terganggu. Semua sudah mendambakan ketenangan.

Saya naik mimbar. Seperti biasa, saya tidak menyukai menunjukkan emosi. Saya mengucapkan kata-kata dalam sidang pembukaan  MPRS itu. Saya berusaha keras menghindarkan konflik. Dengan tenang saya uraikan dengan panjang Iebar fakta-fakta tentang kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Halim pada tanggal 1 Oktober 1965. Kejadian itu saya nilai dengan tidak memihak. Memang sampai saat itu tidak ada satu bukti yang jelas menunjukkan apakah Presiden Soekarno telah menghasut secara  langsung atau telah menjadi otaknya. Kecuali jika masih ada fakta-fakta yang belum kita temukan hingga hari ini, kata saya. Itu mengenai Presiden Soekarno sehubungan dengan G.30.S/PKI. Dalam pada itu terus terang saya lukiskan dalam kesempatan itu bahwa ada dua golongan kekuatan dalam Orde Baru, yaitu mereka yang “rasional” dan yang “irrasional”. Yang saya maksudkan dengan kelompok yang kedua ialah yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan irrasional yang masih dapat dimengerti, seperti penghormatan terhadap prestasi yang dicapai Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan, penemuan Pancasila, peranannya dalam memproklamasikan republik kita dan sebagai Presiden yang pertama.

Saya jelaskan juga, dengan alasan-alasan yang mendalam dan dengan penuh pengertian serta pemahaman tentang kesalahan­kesalahan Bung Karno, mereka secara irrasional dan dengan itikad baik berharap bahwa Bung Karno tidak diperlakukan secara tidak adil.

Bila pendukung irrasional dari Orde Baru itu tidak diperhitungkan, mungkin mereka akan bertekad untuk mendukung Orde Lama.

“Secara terus terang”, juga saya katakan di depan sidang MPRS itu, bahwa “anggota-anggota dari kelompok irrasional ini ada di dalam angkatan bersenjata.”

Ya, saya harus mengemukakan data-data yang sebenarnya di depan sidang wakil wakil rakyat itu. Saya mesti menyelamatkan kesatuan republik kita ini dan menjaga tidak timbulnya perpecahan yang tidak kita inginkan. Melalui perdebatan sengit beberapa hari lamanya, akhirnya kesepakatan didapat dalam Sidang Istimewa MPRS itu.

Perumusannya menyebutkan, bahwa Presiden Soekarno belum dapat melaksanakan pertanggungjawaban konstitusionalnya, dan bahwa Presiden Soekarno belum berhasil melaksanakan amanat dan keputusan-keputusan MPRS. Karena itu MPRS melarang Presiden Soekarno mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan politik sampai pemilihan umum dan untuk memberlakukan keputusan ini, mencabut mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta semua kekuasaan pemerintah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 45.

Keputusan MPRS lainnya menyebutkan pula bahwa penyelesaian masalah hukum sehubungan dengan Dr. Ir. Soekarno akan diserahkan kepada Pejabat Presiden. Ditambahkan suatu penjelasan sebagai lampiran yang menyatakan bahwa arti kekuasaan pemerintah sama dengan apa yang dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar, sehingga Presiden Soekarno dengan demikian digantikan oleh Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

Kemudian MPRS mengangkat saya sebagai Pejabat Presiden. Saya tidak kaget, saya tidak terkejut, saya tidak merasa mentang­mentang. Setelah saya dilantik sebagai Pejabat Presiden, saya berbicara kepada diri sendiri, “Saya mesti membuktikan bahwa saya harus menjawab kepercayaan para wakil rakyat itu dengan berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan tugas saya dengan sebaik-baiknya”.

Dengan pengangkatan saya sebagai Pejabat Presiden, saya tidak merasa sebagai pemenang. Saya sadar, masih terdapat ketegangan­ketegangan di tengah-tengah rakyat. Saya katakan pada penutupan Sidang Istimewa MPRS itu, “Tidak ada satu golongan pun yang menang terhadap yang lain, sebab yang menang adalah kita bersama. Yang menang adalah kepentingan rakyat, yang menang adalah keadilan dan kebenaran, yang menang adalah kita semua dalam menegakkan kembali UUD 1945. Yang menang adalah Orde Baru.”

Tak lupa pula saya menyampaikan penghormatan kepada pemuda­pemuda yang telah mendahului kita dalam perjuangan memenuhi panggilan rakyat.

“Tugas kita masih berat. Tugas kita masih banyak yang harus kita selesaikan. Kesulitan-kesulitan masih harus kita hadapi. Marilah kita lebih giat bekerja untuk kepentingan rakyat. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi rahmat dan bimbingan kepada kita semuanya,” demikian saya menutup pidato itu.

Selintas saya ingat kepada Bung Karno. Bung Karno memang punya keistimewaan. Beliau punya kharisma yang hebat. Beliau adalah orator yang hebat. Tidak semua orang mempunyai kepandaian seperti kepandaian yang beliau punyai. Beliau mempunyai daya pikat yang luar biasa dalam berpidato.

Tetapi kita tidak perlu terlalu kagum. ltu memang sudah pemberian Tuhan. Akhirnya saya memandang ilmu untuk melaksanakan jabatan pimpinan tertinggi di negara ini adalah “ilmu katon” saja, ilmu yang bisa kelihatan dan bisa dipelajari. Maka saya bertekad untuk berusaha mempelajari semua yang bersangkutan dengan tugas itu dengan sungguh-sungguh.

Ada orang yang berpikir bahwa sebagai pemimpin, Bung Karno telah bersalah dan perlu dipenjarakan atau di-Mahmilubkan. Dalam pada itu saya mempunyai keyakinan, bahwa “memang benar Bung Karno mempunyai kesalahan, seperti juga manusia lain; tetapi saya berkepastian, beliau bukanlah seorang PKI”.

Kebijaksanaannya sampai memberikan kesempatan kepada PKI untuk bisa berkembang, itu benar. Tetapi, bukan pula maksudnya untuk memberi kesempatan kepada PKI sampai PKI bisa mencapai tujuannya. Cuma PKI memanfaatkan keadaan dan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Segera setelah berakhirnya Sidang Istimewa MPRS saya bicara melalui radio dan televisi. Saya jelaskan, bahwa suatu konflik dan dualisme dalam pimpinan telah berakhir untuk selama-lamanya dan bahwa Presiden Soekarno tidak Iagi menjalankan tugas-tugasnya sebagai Presiden. Saya puji kebijaksanaan MPRS karena tidak menyebutkan pemberhentian Presiden Soekarno dari jabatan Presiden.

Juga saya jelaskan bahwa suatu team dokter yang bekerja di bawah sumpah memberikan laporan tentang buruknya kesehatan Bung Karno. “Untuk sementara kita akan memperlakukan Bung Karno sebagai Presiden yang tidak lagi memegang kekuasaan, sebagai Presiden yang tidak mempunyai kuasa di bidang politik, kenegaraan atau pemerintahan.”

Dengan Tulus saya berbisik lagi pada diri sendiri, “Tidak ada satu golongan pun yang menang, yang menang adalah kita bersama.”

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 193-197.

Masa Perjuangan : Semasa Menguber DI/TII

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Penataan kembali organisasi dalam Angkatan Perang kita berjalan baik. Menteri Pertahanan menetapkan 7 wilayah Tentara­Teritorium (TT) dalam susunan TNI Angkatan Darat, yakni TT-l di Medan, TT-II di Palembang, TT-III di Bandung, TT-IV di Semarang, TT-V di Malang, TT-VI di Banjarmasin, dan TT-VII di Makassar.

Panglima TT-IV Kolonel Gatot Soebroto mengubah susunan brigade yang tadinya delapan buah menjadi lima buah, yakni Brigade N di Slawi dengan komandannya Letkol. M. Bachrum, Brigade O di Yogyakarta, berkekuatan 7 batalyon yang diserahkan pimpinannya kepada saya, bermarkas di Yogyakarta. Brigade P di Solo diserahkan kepada Mayor Suharto. Brigade Q di Salatiga diserahkan kepada Letkol. A. Yani, dan Brigade R di Pati diserahkan kepada Letkol. M. Sarbini.

Dalam periode ini, selama lima tahun, yakni dari mulai September 1950 waktu diserahi memimpin Brigade O di Yogyakarta, sampai pada permulaan tahun 1956, salah satu kesibukan yang terkenang oleh saya adalah mengenai penumpasan gerombolan DII/TII dan penyelesaian pemberontakan Batalyon 426.

Kartosuwirjo dengan anak buahnya mendirikan apa yang disebut “Negara Islam Indonesia” di bulan Agustus 1949. “Persetujuan Renville” yang menyebabkan hijrahnya kurang-lebih 35.000 pasukan TNI ke daerah RI, mengakibatkan gerombolan DII/TII di Jawa Barat bertambah kuat. Amir Fatah menyusun kekuatan di daerah Tegal-Brebes. Kembalinya pasukan yang hijrah ke tempat asalnya pada waktu terjadi agresi Belanda yang kedua malahan ditentang oleh gerombolan DI/TII, bahkan diserangnya.

Sewaktu saya diserahi tugas memimpin Brigade O yang kemudian diubah menjadi “Brigade Pangeran Mangkubumi” di Yogya, kami mendapat kegembiraan yang istimewa. Anak kami yang kedua, laki­ laki yang kami nanti-nantikan lahir pada tanggal 1 Mei 1951. Kami beri nama dia Sigit Harjojudanto.

Lalu saya dipindahkan ke Salatiga, diserahi memimpin “Brigade Pragola I”, di bawah pimpinan Letkol. A. Yani. “Brigade Pragola II” dipimpin oleh Letkol. Sarbini. Dua brigade ini kemudian menjadi satu brigade dengan nama Brigade Pragola. Kekuatan brigade ini terdiri atas sembilan batalyon, tiga batalyon TNI asli, tiga batalyon bekas KNIL, dan tiga batalyon bekas lasykar Hisbullah, dan Batalyon Maladi Jusuf bekas Pesindo (beraliran kiri).

Saya ditugasi untuk menyusun 9 batalyon menjadi 4 batalyon. Betapa sulitnya tugas itu ! Bukan karena teknisnya, melainkan faktor psikologislah yang mempersulit, yakni harus mengorbankan banyak perwira. Rupanya Tuhan memberi jalan, karena ternyata salah satu batalyon ialah Batalyon 426 yang dipimpin oleh Mayor Munawar dan wakilnya Kapten Sofjan memberontak. Dalam menghadapi dan menyelesaikan pemberontakan Batalyon 426 ini saya dapat melakukan seleksi secara alamiah.

Pada minggu keempat bulan Januari 1950, terjadi peristiwa APRA[2] di Bandung. Sementara itu di Jawa Tengah mulai dilakukan dengan lebih sungguh-sungguh penumpasan terhadap DI/TII, dengan pembentukan Gerakan Benteng Nasional (GBN). Dengan itu, Panglima TT-IV menetapkan ketegasannya, harus memisahkan gerombolan DI/TII pimpinan Amir Fatah dari gerombolan DI/TII Kartosuwirjo, yang kemudian menghancurkannya sama sekali, serta membersihkan sel-selnya yang masih ada di daerah-daerahnya. Operasi penumpasan gerombolan ini ternyata memakan waktu panjang.

Di bulan Desember 1951 terjadi pemberontakan Batalyon Infantri 426. Mayor TII Mughny tertembak, dan dari kematiannya terungkap hubungan rahasia antara beberapa perwira Batalyon 423 dan 426 dengan DII/TII. Dengan peristiwa ini Panglima TT-IV bertindak tegas. Beberapa perwira Batalyon 423, termasuk komandannya Mayor Basuno segera diperiksa, dan sewaktu pemeriksaan itu Mayor Basuno ditembak anak buahnya sendiri yang sudah kena pengaruh DI/TII. Mayor Basuno ditembak di rumahnya sendiri di Jatingaleh, Semarang. Berikutnya, Komandan Batalyon 426, Mayor Munawar,.Kapten Sofjan, dan seorang perwira lain dipanggil menghadap Panglima. Ternyata Kapten Sofjan membangkang dan malahan menyatakan “siap perang”.

Lalu saya perintahkan kepada Batalyon 424 untuk melucuti tiga kompi dari Batalyon 426 di Kudus, setelah Kapten Sofjan tetap melawan perintah untuk menyerahkan diri. Pada tanggal 8 Desember 1951, Batalyon 424 mengepung asrama Jatikudus. Kapten Sofjan yang dikepung meminta waktu sepuluh menit untuk mengumpulkan anak buahnya, dengan janji akan taat. Ternyata yang terjadi kebalikannya: anak buah Kapten Sofjan melepaskan tembakan dengan berbagai senapan dan terjadilah pertempuran sengit.

Rupanya Kapten Sofjan dan anak buahnya sudah membuat rencana yang matang. Mereka dapat lolos dari pengepungan Batalyon 424, lari melalui selokan yang ada di belakang asrama di tengah hujan lebat. Diketahui, pihak yang dikejar itu lari menuju daerah Klaten, tempat yang sudah dipersiapkan oleh pengikut-pengikutnya untuk dijadikan basis pemberontak. Maka kemudian saya mengatur pasukan-pasukan yang saya perintah untuk mengejar dan menghadang pembangkang-pembangkang itu.

Sementara itu Panglima TT-IV membentuk satuan tugas Operasi Merdeka Timur V (OMT-V); pada permulaannya yang jadi komandannya ialah Letkol. M. Bachrum, Kepala Staf TT-IV. Tidak lama kemudian, Letkol. M. Bachrum diangkat menjadi Panglima TT­ IV, menggantikan Pak Gatot. Pimpinan OMT-V diserahkan kepada saya.

Sebagai wakil saya adalah Mayor Suharto, Komandan Brigade Panembahan Senopati, dan Kepala Staf kami ialah Mayor Surono. Maka pengejaran terhadap pemberontak-pemberontak  itu kami lakukan secara terpadu. Juga Angkatan Udara RI kami minta bantuannya. Batalyon 426 masih terus saja lari, lolos dari kepungan, dan sempat mengelabui beberapa pihak yang sesungguhnya sudah bisa rnenangkapnya. Kapten Sofjan dengan anak buahnya berusaha menerobos ke daerah Klaten.

Ternyata mereka memusatkan kekuatan mereka di Simo-Boyolali. Maka kami kejar mereka untuk menggempurnya. Pada tanggal 25 Januari 1952, terjadi pertempuran hebat. Empat puluh pemberontak mati, lebih dari dua puluh orang dari pihak lawan kena peluru kita dan lebih dari tiga . puluh pemberontak itu tertangkap. Pemberontak melarikan diri ke timur sampai tapal batas Jawa Timur. Akhirnya mereka kembali melalui Tawangmangu, Karangpandan, Wuryantoro, Manyaran terus ke Klaten. Di daerah Manyaran, Kapten Sofjan, pemimpin pemberontak, mati berduel dengan Sersan Bardjo (oleh teman-temannya diberi nama Umar Moyo). Sisa anak buah Sofjan lari ke Klaten dan sebagian dapat ditumpas. Yang masih selamat melarikan diri ke barat, bergabung dengan DI/TII di Bumiayu.

Akhirnya pemberontakan Batalyon 426 itu dapat kami tumpas. Tetapi dari pihak kita juga gugur banyak pahlawan yang setia kepada TNI, beberapa perwira, termasuk Mayor Kusmanto, Komandan Brigade, Mayor Sunarjo, Komandan Batalyon 417. Dengan selesainya penumpasan pemberontakan Batalyon 426 itu, konsolidasi Brigade Pragola dapat dilaksanakan dengan mudah tanpa menimbulkan gejolak dan empat batalyon yang tangguh dapat disusun. Brigade Pragola ini kemudian  berubah menjadi Resimen 14.

Sementara itu terjadi lagi perubahan nama dan susunan organisasi TT-IV. Instruksi KSAD tertanggal 5 Januari 1952 menetapkan, Brigade Pragola yang saya pimpin menjadi Resimen Infantri 14 (RI 14) dengan kedudukan di Salatiga. Brigade Yudonegoro menjadi Resimen Infantri 12 (RI 12) di Purwokerto. Brigade Pangeran Mangkubumi menjadi Resimen Infantri 13 (RI 13) di Yogyakarta dan Brigade Panembahan Senopati di Solo menjadi Resimen 15 (RI 15).

Pada waktu itu, sewaktu menjadi Komandan Resimen 14 di Salatiga, saya menerima kabar bahwa ayah saya, Bapak Kertosudiro, meninggal dunia di Kemusuk karena sakit. Cepat saya bersama istri pergi ke Kemusuk. Beruntunglah, kami masih sempat bisa melihat jenazahnya yang sudah dimandikan. Maka kemudian kami mengantarkan jenazah ayah yang saya hormati itu ke makam di desa itu. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.

Pada tanggal 1 Maret 1953, saya dipindahkan ke Solo menjadi Komandan Resimen Infantri 15. Dan pada waktu itu, kami dititipi satu anak lagi, seorang laki-laki, anak kami yang ketiga yang kami beri nama Bambang Trihatmodjo. Ia lahir pada tanggal 23 Juli 1953, dalam suasana yang sudah agak tenang dari tugas pengejaran gerombolan.

Panglima TI-IV sudah beralih dari Kolonel. Gatot Soebroto kepada Kolonel M. Bachrum, yang terjadi di bulan September 1952. Maka penumpasan terhadap DI/TII diteruskan oleh GBN dengan operasi Guntur. Komandan operasi pada waktu itu Letkol. A. Yani dengan kekuatan empat batalyon, diperkuat oleh batalyon-batalyon dari resimen lainnya secara bergantian. Lalu dibentuklah “Banteng Raiders” sebagai satuan penggempur khusus. Pasukan ini dilatih di Purworejo untuk bisa bertempur dalam segala medan dengan mobilitas yang tinggi.

Dalam memperlancar operasi GBN itu, dengan tujuan menghancurkan pengaruh DI/TII, memelihara kepercayaan penduduk kepada pemerintah RI dan aparatnya, serta menanamkan rasa pasti menang dalam menghadapi kekacauan, diikutsertakanlah rakyat. Maka dibentuklah Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) di daerah GBN, yang mendapat pembinaan dan latihan dari TNI, untuk menjaga keamanan kampung dan juga dalam membantu melaksanakan tugas operasi.

Kekuatan DI/TII mengalami kehancuran dengan adanya operasi Guntur dan operasi GBN itu. Pertempuran yang terjadi di bulan November 1952 di Sumedo dan di Cipelem pada bulan yang sama, membuat gerombolan itu morat-marit. Ratusan anggota DI/TII menjadi korban dalam kedua pertempuran itu. Lalu sisanya terus lari dengan siasat “ayam alas”, taktik gerilya. Maka operasi TNI pun kita ubah. Operasi Guntur dihentikan dan dilancarkan operasi teritorial hingga tertumpasnya  sisa DI/TII itu.

Pada masa itu dilaksanakan konsolidasi Resimen 15. Mayor Kusmanto, Pejabat Komandan Resimen 15, gugur pada waktu operasi penumpasan pemberontakan Batalyon 426. Setelah saya berhasil menumpas pemberontakan Batalyon 426 dan mengkonsolidasi resimen 14 (ex. Brigade Pragola) saya alami kejatuhan sampur lagi, memperoleh tugas memperbaiki Resimen 15 yang berkedudukan di Surakarta. Karena itu, walaupun belum lama berada di Salatiga, saya harus pindah ke Solo.

Resimen 15 di Solo itu tadinya adalah satuan-satuan dari Divisi Panembahan Senopati dengan panglimanya Kolonel Sutarto yang terbunuh oleh unsur komunis, karena pertentangan politik. Pengaruh pertentangan politik karena ideologi, memang hebat sekali di Solo, dan berpengaruh pula pada satuan-satuan ABRI.

Batalyon Digdo yang bermarkas di Kleco memperoleh pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin, di antaranya Untung dan Suradi, yang kemudian pada tahun 1965 mempimpin G.30.S/PKI. Karena itu, tidak sulit bagi saya untuk menerka siapa yang berada di belakang G.30.S/ PKI, setelah saya mendengar siaran lewat radio bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Untung.

Saya ingat, sebagian perwira Resimen 15 berpendapat, bahwa perwira harus berpolitik; bila tidak, diibaratkan seperti “kip zonder kop” (ayam tanpa kepala). Akibatnya, daya tempur satuannya rendah, dan setiap ditugasi di GBN menghadapi DII/TII, korbannya banyak.

Saya ditugasi untuk meningkatkan kemampuan tempur itu. Apa yang harus saya lakukan? Sasaran dan perencanaan tidak ada. Latihan dan pendidikan belum berjalan pada waktu itu. Saya tempuh jalan mendidik instruktur dulu. Semua bintara instruktur dari kompi-kompi saya kumpulkan dan saya latih sendiri, dengan bantuan perwira operasi batalyon dan resimen. Latihannya berat. Pertama kali saya menggunakan peluru tajam untuk latihan, “vuur doop“. Hasilnya membanggakan. Mereka menjadi instruktur yang  tangguh  untuk melatih batalyon demi batalyon. Batalyon demi batalyon secara bergiliran dilatih. Caranya, pada mulanya setiap batalyon dipecah. Komandan peleton ke atas dilatih tersendiri. Komandan regu dilatih tersendiri pula. Prajuritnya juga dilatih tersendiri. Setelah masing­masing selesai dilatih oleh para instruktur, baru mereka digabungkan dalam peleton dan kompi untuk dilatih dalam hubungan batalyon. Walaupun tidak mempunyai ruangan kelas, meja dan papan tulis melainkan hanya dengan alat-alat tulis yang sederhana, cukup di-emper dan di bawah pohon bila melaksanakan pelajaran teori, hasilnya cukup membesarkan hati. Semua batalyon jadinya memiliki teknik dan taktik bertempur lebih sempurna, lebih percaya pada kemampuannya sendiri dan lebih berhasil dalam melaksanakan tugas GBN, menumpas DII/TII.

*

Dalam pada itu, di bulan Oktober 1952 di Jakarta terjadi suatu peristiwa yang kemudian disebut “Peristiwa 17 Oktober 1952″. Saya sama sekali tidak mengerti peristiwa apa itu sebenarnya, sementara saya sibuk dengan menghadapi pemberontakan. Kemudian saya dengar­dengar, bahwa akibatnya adalah permusuhan antara Siliwangi dengan Brawijaya, dan kemudian lagi Diponegoro bisa menengahi kedua belah pihak dan mendamaikan mereka.

Melihat peristiwanya, saya pikir, telah terjadi sesuatu yang terlalu “over acting“. Dengan meriam yang dihadapkan ke Istana, saya kira, itu tidak taktis. Katanya, mereka yang pergi ke Istana itu bermaksud ingin menyampaikan sesuatu kepada Presiden, Panglima Tertinggi Tetapi dengan cara begitu, dengan menghadapkan senjata yang begitu besar ke Istana, adalah tindakan yang berlebihan. Sebetulnya dengan bersiap saja, siap menghadapi kemungkinan yang terjadi, sudah cukup.

Dalam waktu-waktu itu, sementara saya sibuk dengan menghadapi soal gerombolan, terjadi hal-hal yang penting, yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja. Konferensi Asia-Afrika terlaksana di bulan April 1955 di Bandung. Dan di bulan September terlaksana pemilihan umum yang pertama. ltu merupakan kesibukan tersendiri, tetapi masih tidak lepas dari penanganan saya pribadi.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 82-88.

[2] Angkatan Perang Ratu Adil, bentukan Westerling