PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 5 Oktober 1965 - 5 Oktober 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,


Selasa, 5 Oktober 1965
Bertepatan dengan hari ABRI ke -20, hari ini jenazah tujuh pahlawan revolusi diberangkatkan ke Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dari MBAD di jalan Merdeka Utara. Iringan jenazah dilepas oleh jutaan rakyat Jakarta disepanjang jalan menuju Kalibata, sementara suasana kota diselimuti mendung yang diselingi hujan rintik-rintik. Waperdam I Dr. Soebandrio ditunjuk oleh Presiden sebagai inspektur upacara dalam pemakaman tersebut.
Sementara itu ppada upacara peglepasan jenazah di MBAD pagi ini Jenderal Nasution, dengan dengan tersendat-sendat mengatakan: “Fitnah, fitnah adalah lebih jahat dari pembunuhan. Tetapi kita jangan dendam hati. Kami semua sedia juga mengikuti adik-adik, jika memang fitnah itu benar. Kami akan buktikan. Hari ini adalah hari Ankatan Perang yang selalu gemilang. Akan tetapi kali ini dihinakan oleh khianatan, dihinakan kekejaman,...”

Sabtu, 5 Oktober 1968
Hari ini segenap bangsa Indonesia, dan khususnya anggota ABRI , memperingati ulang tahun ABRI ke-23. Dalam memperingati ulang tahun ABRI pagi ini, Presiden Soeharto menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan peranan ABRI yang besar dalam berbagai bidan pemerintahan sekarng ini. Presiden mengatakan bahwa peranan yang besar itu “sama sekali bukan didorong oleh karena ABRI haus kekuasaan, melainkan semata-mata untuk memenuhi kehendak rakyat sebagaimana naluri ABRI yang sejak dilahirkan 23 tahun yang lalu selalu tunduk kepada rakyat”.

Minggu, 5 Oktober 1969
Pada upacara peringatan Hari ABRI ke-24 hari ini di Senayan, Presiden Soeharto mengungkapkan perubahan dan penyempurnaan struktur organisasi dan prosedur dalam Departemn Haankam. Sebagai langkah pelaksanaan pertama, mulai hari ini ABRI dinyatakan terdiri atas Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), dan Kepolisian Negara (Polri). Dalam rangka ini, maka sebutan panglima angkatan diganti dengan Kepala Staf. Menurut Presiden penyempurnaan-penyempurnaan akan dilaksanakan secara bertahap dengan tujuan mencapai peningkatan integrasi dan konsolidasi dalam tubuh ABRI.

Senin, 5 Oktober 1970
Upacara peringatan Hari ABRI yang ke-25 dipusatkan di lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam amanatnya, Presiden antara lain mengatakan bahwa selama 25 tahun ABRI telah banyak berbuat dalam mengakkan prinsip dan cita-cita kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil untuk kita semuanya. Hal ini dilakukan berdasarkan keyakinan ABRI pada Pancasila dan UUD 1945 serta kecintaannya kepada negara kesatuan RI. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut ABRI selalu mendapatkan dukungan rakyat, karena rakyat tahu bahwa ABRI berjuang untuk kepentingan rakyat. Unsur dukungan rakyat ini merupakan salah satu modal ABRI  yang terpenting, yang tidak boleh terlepas dari tangannya.
Menyinggung tentang dwifungsi, Presiden mengatakan bahwa segala yang dilakuakn ABRI itu berdasarkan tatacara, berdasarkan aturan permainan. ABRI duduk dalam lembaga perwakilan rakyat dipusat maupun di daerah, menjadi Gubernur sampai lurah berdasarkan pilihan dan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Bahkan yang lebih penting lagi ABRI menerima tugas-tugas tersebut karena di dorong oleh idealisme perjuangan, bukan karena ingin jabatan, bukan karena ingin menumpuk kekuatan untuk kepentingan sendiri.

Selasa, 5 Oktober 1971
Menhankam/Pangab Jenderal Soeharto dalam amanatnya pada peringatan Hari ABRI ke-26 hari in mengatakan bahwa tugas angkatan perang dan kepolisian RI dalam pembangunan sungguh tidak ringan. Angkatan perang dan kepolisian RI, menurut Jenderal Soeharto, harus menjadi kekuatan pembaharu masyarakat, sehingga bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang modern.
Jenderal Soeharto selanjutnya mengatakan bahwa ABRI harus menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi. Menyinggung tentang turut sertanya ABRI dalam kegiatan politik, pemerintahan dan pembangunan, dikatakan oleh Presiden bahwa hal itu adalah untuk bersama-sama rakyat menggerakkan pembangunan dan membina kehidupan politik yang demokratis berdassarkan Pancasila. Ditegaskannya bahwa hal itu bukan untuk kepentingan ABRI, bukan pula untuk mempertahankan kekuasaan, apalagi untuk menghadirkan rezim militer. Dikemukakan pula bahwa pelaksanan peranan ABRI sebagai kekuatan sosial politik, dan pengkaryaan anggota-anggota ABRI pada tugas sipil, harus dilaksanakan dengan landasan serta arah suksenya pembangunan dan kehidupan demokratis itu. Jenderal Soeharto menilai peranan ABRI sebagai usaha untuk mengembalikkan tegaknya wibawa dan kemampuan aparatur sipil.

Kamis, 5 Oktober 1972
Presiden Soehato menolak anggapan bahwa pemeliharaan stabilisasi nasional sekarang ini berlaku ketat, dan tidak memungkinkan adanya perubahan-perubahan sosial dan politik. Pengalaman menunjukkan bahwa pencegahan sebelumnya lebih penting, sebab kita tidak boleh mengambil resio apapun terhadap kemungkinan terjadinya gejolak-gejolak sosial politik baru. Demikian antara lain dikatakan Presiden Soeharto dalam amanatnya pada hari ulang tahun ABRI ke-27 hari ini.
Bertepan dengan peringatan Hari BRI, Presiden Soeharto hario ini meresmikan museum ABRI di jalan Gatot Subroto, Jakarta. Museum ini diberinya nama Satria Mandala. Dalam museum ini terdapat visualisasi perkembangan ABRI dari tahun 1945 hingga sekarang.

Rabu, 5 Oktober 1973
Dalam amanatnya pada peringatan Hari ABRI ke-28 di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, pagi ini, Presiden Soeharto menekankan bahwa keutuhan ABRI lebih diperlukan pada tingkat perjuangan bangsa dewasa ini dimana ABRI memikul tugas sebagai kekuatan pemantap dan penggerak. Menurut Presiden, keutuhan itu lebih diperlukan, sebab sejak awal tahun1966 ABRI dengan sadar memikul tanggungjawab politik yang lebih besar. Artinya, ABRI ikut serta dalam mensukseskan pelaksanaan progaram-program nasional dalam bidang-bidang yang sangat luass ruang lingkupnya. Hal ini dilakukan dengan satu tujuan, yaitu untuk memperkokoh pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, untuk kesejaheraan dan kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Selanjutnya ditekankan oleh Presiden bahwa didalam melaksanakan tugas keamanan dan pertahan nasional, ABRI tidak hanya mengandalkan diri pada kekuatan senjata, melainkan harus berusaha juga untuk mengembangkan nilai-nilai dan nilai luhur bangsa kita sendiri yang tersimpul dalam Pancasila. Ditegaskannya pula bahwa penerapan Pancasila dan UUD 1945 dalam seluruh segi kehidupan bangsa kita inilah yang akan merupakan jaminan bagi pertumbuhan dan keselamatan bangsa kita seterusnya. Demikian antara lain yang dikemukakan  Presiden.

Sabtu, 5 Oktober 1974
Pagi ini Hari ABRI ke-29 diperingati secara nasional dalam suatu upacara di Parkir Timur, Senayan, Jakarta. Presiden Soeharto yang bertindak sebagai Inspektur Upacara dalam acara peringatan tersebut, dalam amanatnya antara lain mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak terkotak-kotak atau terbagi-bagi dalam generasi yang berlainan. Apalagi ABRI, kata  Kepala Negara, tubuhnya tidak terbagi oleh Generasi 45 dan generasi yang lebih muda.
Selanjutnya Presiden menegaskan bahwa tahun-tahun ini merupakan tahun peralihan generasi. Semangat perjuangan dan cita-cita besar yang bersumber pada nilai-nilai 45 harus dipelihara dan diperkuat, tidak hanya oleh ABRI, melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia. Nilai-nilai 45 itu bahkan harus diteruskan dari generasi; demikian penegasan Presiden Soeharto.

Minggu, 5 Oktober 1975
Presiden Soeharto mengatakan bahwa ABRI harus berani melihat kembali kekuatan dan kelemahan yang ada  pada dirinya, disamping harus berani pula melihat keberhasilan, kekurangan dan ketertinggalannya. Dorongan terhadap ABRI ini dikemukakan Kepala Negara dalam konteks kejuangan, dimana seorang pejuang ahrus memiliki cita-citanya dengan segala usaha serta memiliki pengabdian yang bertekad mewujudkan prinsip dan cita-citanya itu. Demikian antara lain diamanatkan oleh Kepala Negara, yanng bertindak sebagai Inspektur Upacara pada perayaan ulang tahun BRI ke-30 pagi ini di Parkir Timur, Senayan, Jakarta.

Selasa, 5 Oktober 1976
Ulang tahun ABRI yang ke-31, pagi ini diperingati dalam suatu upacara di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam amanatnya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa kepeloporan ABRI bukan didasarkan atas paksaan dengan mengandalkan kekuatan senjata, melainkan dengan bekal dan menyebarkan  kemurnian semangat 45 yang memang menjadi kekuatan pkok ABRI. Inti semangat 45 adalah kesetian pada dasar-dasar dan tujuan kemerdekaan, kerelaan berkorban untuk memperthankan dan mewujudkan tujuan kemerdekaan, serta kemampuan untuk menundukkan tantangan-tantangan dalam mewujudkan cita-cita itu.
Lebih jauh dikatakan oleh Presiden bahwa sepanjang hasil-hasil pemerikasaan hingga sekarang tidak ada kesatuan ABRI__ yang kecil sekalipun ­­­­­­­­­­­__ yang terlibat dalam “Gerakan Sawito” yang baru-baru ini diumumkan oleh pemerintah, Namun demikian, dimintanya agar segenap parajurit ABRI senantiasa waspada, karena setiap ada gerakan ilegal dan inkonstitusional dari manapun datangnya, selalu diusahakan agar ada oknum atau satuan-satuan ABRI yang mendukungnya.

Rabu, 5 Oktober 1977
Peringatan Hari ini dipusatkan di Senayan, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam amanatnya, Presiden mengemukakan bahwa sebagai kekuatan politik, gagasan dan pikiran ABRI mengenai masalah kenegaraan tetap disalurkan mengenai cara-cara yang demokrasi dan konstitusional. Juga diingatkan bahwa selama inni ABRI juga tidak pernah memaksakan kehendaknya. Hal ini menunjukkan bahwa ABRI sebagai pengawal Pancasila dan UUD 1945, tetap menjunjung ciri-ciri demokrasi kita, yaitu mufakat melalui musyawarah.
Menurut Kepala Negara, sejaralah yang telah melahirkan peranan kembar ABRI, yang kemudian mendapat tempat dalam kehidupan bangsa dan kenegaraan Indonesia yang kemudian dikenal dengan masa Dwifungsi ABRI. Tetapi ia menegaskan bahwa Dwifungsi sama sekali tidak berani bahwa ABRI mencampuri atau mengambil alih urusan sipil, lebih-lebih bidang atau urusan yang telah berjalan dengan baik. Namun duduknya seorang anggota ABRI dalam jabatan sipil harus dapat menjadi teladan, baik dalam mental ideologi, dalam semangat pengabdian, dalam disiplin, maupun dalam kemampuan teknnis. Demikian antara lain dikatakan Presiden Soeharto.

Kamis, 5 Oktober 1978
Pagi ini di Parkir Timur Senayan, berlangsung upacara peringatan Hari ABRI ke-33. Pada peringatan ini Presiden Soeharto telah bertindak sebagai Inspektur Upacara. Didalam amanatnya, Presiden mengajak segenap warga ABRI untuk meresapkan dan menghayati kembali kemanunggalan ABRI dengan rakyat. Dikatakannya bahwa kemanunggalan itu telah pernah terwujud dalam kehidupan bangsa kita. Sekarang dan seterusnya, kemanunggalan itu harus makin diperkuat demi suksesnya sejarah yang diletakkan diatas pundak ABRI.
Selanjutnya dikatakan oleh Presiden bahwa ABRI bukan kelas khusus yang berada diatas rakyat. Menjadi anggota ABRI bukanlah untuk mencari suatu kehormatan, melainkan suatu kepercayaan, bukan suatu keistimewaan melainkan suatu pengabdian. Jadilah ABRI yang dicintai rakyat, karena ABRI telah setia dan mencintai rakyat. Demikian ajakan Presiden.

Jum’at, 5 Oktober 1979
Ulang tahun ABRI yang ke-34, hari ini diperingati dalam suatu upacara di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara. Dalam amanatnya, Presiden Soeharto mengatakan, ABRI harus dapat menempatkan diri dan memainkan peranan yang tepat dalam situasi rasional, regional, dan internasional sekarang ini. Hal ini karena ABRI merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional baik sebagai kekuatan pertahanan-keamanan maupun sebagai kekuatan sosial.
Selanjutnya Presiden berbicara secara panjang lebar mengenai kepribadian ABRI. Dikatakannya bahwa kepribadian ini lahir dan berkembang dari sejarah perjuangan ABRI sendiri. Karena itu ABRI adalah kekuatan bangsa yang mendukung dan berjuang untuk cita-cita kemerdekaan. Karena itu pula, ABRI sama sekali bukan semata-mata alat negara. Menurut Presiden, disinilah letak suasana kerohanian dan sumber sejarah yang melahirkan Dwifungsi ABRI. Peranan ABRI sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sebagai kekuatan sosial ini telah dilaksanakan sejak semula, jauh sebelum dikenal istilah Dwifungsi ABRI.

Minggu, 5 Oktober 1980
Pagi ini Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan hari ulang tahun ABRI yang ke-35 yang dipusatkan d jalan tol Jagorawi. Peringatan hari ulang tahun ABRI kali ini merupakan acara terbesar yang pernah diselenggrakan, dengan menggelarkan kekuatan ABRI.
Salah satu acara yang menarik adalah peragaan terjun bebas dari ketinggian 12.000 kaki oleh 40 orang anggota Kopassandha. Begitu mereka mendarat dalam jarang lebuh kurang 20 meter dari tribun kehormatan, salah seorang dari mereka menyematkan wing kehormatan ke dada Presiden, sementara yang lainnya mnyampaikan rangkaian bunga anggrek kepada Ibu Soeharto.
Kepala Negara dalam amanatnya antara lain mengatakan bahwa dalam zaman pembangunan masyarakat modern, kemanunggalan ABRI dan rakyat harus tetap kita pertahankan. Karena itulah, gerakan ABRI masuk desa yang kini sedang kita galakan lagi merupakan bagian yang penting untuk memperkuat kemanunggalan ABRI dan rakyat itu. Apapun yang dikerjakan ABRI dalam gerakkan masuk desa ini yang paling utama adalah agar rakyat merasa benar-benar tenteram hatinya. Pendek kata, demikian ditegaskan Presiden, ABRI harus berada di hati rakyat dan dicintai rakyat, karena pada rakyat itulah kekuatan ABRI.

Senin, 5 Oktober 1981
Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini menghadiri acara peringatan ulang tahun ABRI ke-36 yang dipusatkan di Cilegon, Jawa Barat. Bertindak sebagai Inspektur Upacara, dalam amanatnya Presiden antara lain mengatakan bahwa dengan segala masalah dan tantangan yang dihadapinya, Republik Proklamasi dapat tetap tegak seperti sekarng ini, antara lain adalah berkat pengawalan yang setia dari ABRI. Di sana-sini dalam sejarah pertumbuhannya, ABRI memang pernah mengalami berbagai luka pada tubuhnya. Namun secara keseluruhan ABRI tetap utuh dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945, melindungi rakyat dan membentengi negara dari segala macam ancaman.
Selanjutnya dikatakan oleh Kepala Negara bahwa jika ABRI tetap utuh sampai sekarang, maka kekuatan pokok keutuhan itu adalah kesetiaan ABRI pada cita-cita rakyat, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Jika ABRI bberhasil menunaikan panggilan tugasnya mebela keselamatan rakyat dan melindungi kedaulatan negara, maka kekuatan pokonya adalah manunggalan ABRI dan rakyat. Dengan kemanunggalan ABRI dan rakyat, dan dengan melaksanakan dwi-fungsinya, maka peranan dan kegiatan ABRI sebagai pejuang dan prajurit harus sekaligus merupakan pengalaman Pancasila dalam mewujudkan keadilan sosial bagai seluruh rakyat Indonesia.

Selasa, 5 Oktober 1982
Presiden dan Ibu Soeharto pagi inimenghadiri upacara peringatan hari ulang tahun ke-37 ABRI yang berlangsung di Lapangan Udara Utama Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur. Dalam amanatnya, Presiden antra lain mengatakan bahwa sejalan dengan kemajuan pembangunan kita maka ABRI sekarang makin bertambah kuat. Kita telah memiliki Angkatan Bersenjata yang mempunyai personil yang terlatih baik dan sistem persenjataan yang mutakhir di darat, laut dan udara. Kita sudah mempunyai Angkatan Bersenjata yang kemampuan profesionalnya tidak kalah dengan negara-negara berkembang lainnya. Walaupun demikian, tingkat kemampuan yang telah kita capai itu baru merupakan sebagian dari sistem pertahanan keamanan yang kita bangun, yaitu sistem pertahana keamanan yang didasarkan pada dukungan segenap potensi nasional secara semesta. Demikian Presiden.

Rabu, 5 Oktober 1983
Presiden dan Ibu Tien Soeharto pagi ini menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-38 yang berlangsung di Lapangan Parkir Timur, Senayan, Jakarta. Selain parade dan defile, peringatan ulang tahun ABRI kali ini dimeriahkan pula dengan pameran industri dan teknologi pertahanan keamanan. Pembukaan pameran ini diresmikan oleh Presiden dengan menekan tombol sirrene, sementara Ibu Tien melakukan pengguntungan pita.
Dalam amanatnya di depan para anggota ABRI dan undangan lainnya, Kepala Negara mengatakan bahwa dengan kesadaran akan tugas sejarah yang diemban, maka ABRI dengan rasa tanggungjawab yang sebesar-besarnya juga telah melaksanakan Dwifungsi dengan sebaik-baiknya. Inilah yang menjadi kunci dari mantapnya stabilitas nasional selama ini. Di satu pihak, dengan Dwifungsi itu ABRI ikut mengembangkan Demokrasi Pancasila, dan di lain pihak, ABRI secara sadar menghindarkan diri dari akses-akses negatif peranan ABRI dalam pembangunan  bangsa seperti yang menjadi pengalaman negara-negara lain yang sering melahirkan militerisme, otoriterisme, dan bahkan totaliterisme. Ditegaskan oleh Presiden bahwa di Indonesia, Dwifungsi ABRI tidak pernah dan tidak akan menjurus kepada militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme itu, justru karena ABRI adalah kekuatan pendukung dan ideologi negara, Pancasila, yang telah menjadi sumpah ABRI dalam Saptamarga. Demikian antara lain amanat Presiden Soeharto.

Jum’at, 5 Oktober 1984
Berkenaan dengan Hari ABRI ke-39, pagi ini Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara pada peringatan  yang berlangsung di Parkir Timur Senayan, Jakarta, mulai pukul 08.00. Acara ini antara lain ditandai dengan defile dan penganugerahan tanda kehormatan Satya Lencana kepada para prajurit teladan.
Dalam amanatnya, Kepala Negara telah mengajak kita semua untuk merenungkan dengan dalam hakikat perjuangan mempertahankan dan menegakkan Pancasila. Dikatakannya bahwa jika dalam babak perjuangan dahulu, ABRI bersama-sama seluruh kekuatan bangsa kita telah berhasil dalam perjuangan mempertahankan dan menegakkan Pancasila, maka dalam babak perjuangan pembangunan sekarang dan selanjutnya, bersama-sama dengan seluruh bangsa kita pun ABRI harus berhasil dalam perjuangan besar melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila.
Ini berarti, di satu pihak, dengan rasa tanggungjawab yang sebesar-besarnya ABRI harus melindungi rakyat, bangsa dan negara kita terhadap segala macam marabahaya dan rongrongan terhadap Pancasila. Dan di lain pihak, ABRI harus mampu menjadi stabilisator dan dinamisator dalam pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengalama Pancasila.
Kesetian ABRI terhadap Pancasila tidak pernah goyah sedikit pun di masa lampau sampai hari ini. Kesetian ABRI terhadap Pancasila itu tidak akan pernah goyah hari esok dan sepanjang masa. ABRI harus timbul tenggelam bersama-sama Pancasila itu, ABRI harus timbul tenggelam bersama-sama rakyat yang berjiwa Pancasila.

Sabtu, 5 Oktober 1985
Pukul 08.00 pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-40 yang dilangsungkan di lapangan udara Kemayoran, Jakarta. Hari ulang tahun ABRI kali ini ditandai oleh parade,defile, dan fly-pass. Pada peringatan  ini Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara.
Dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa kita tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan di luar negeri dan juga di dalam negeri, bahwa Dwifungsi ABRI serta peranannya sebagai stabilisator dan dinamisator suatu waktu akan melahirkan pemerintahan yang meliteristis, otoriter atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu tidak beralasan. Sejarah membuktikan bahwa dalam saat yang sulit sekalipun, dalam saat negara dan bangsa kita dihadapkan kepada bahaya yang mengancam keselamatan Pancasila, ABRI tidak pernah memikirkan dan bertindak militeristis. Sebaliknya ABRI justru membangkitkan dan mengajak semua kekuatan rakyat untuk bangkit bersama menegakkan Pancassila dan bertindak sesuai dengan semangat Pancasila.

Minggu, 5 Oktober 1986
Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara peringatan Hari ABRI ke-41 yang diadakan di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa karena Saptamarga sudah menjadi darah daging ABRI, maka proses modernisasi dan profesionalisasi prajurit ABRI tidak akan melemahkan semangat kejuangan ABRI, baik sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik. Ditegaskannya bahwa Dwifungsi ABRI akan senantiasa melekat pada ABRI, karena setiap prajurit ABRI pertama-tama haruslah seorang warganegara yang baik, kemudian ia juga harus seorang patriot sejati dan selanjutnya ia massih dituntut sebagai ksaria yang utama, maka barulah ia seoarang prajurit ABRI.
Dikemukakan pula oleh Presiden bahwa pengalama ABRI dalam perjalanan proses modernisasi seperti itu merupakkan sumbangan yang sangat berharga bagi proses modernisasi bangsa kita yang dewasa ini juga sedang berlangsung dengan cepat di segala bidang dan lapisan masyarakat kita. Lebih jauh ditegaskannya bahwa memiliki ABRI yang telah makin maju dan selalu siap siaga akan memberi perasaan aman bagi seluruh bangsa.

Senin, 5 Oktober 1987
Presiden Soeharto pagi ini menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-42 yang berlangsung di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Upacara yang di pimpin oleh Presiden selaku Inspektur Upacara itu berlangsung secara sederhana tanpa diwarnai dengan kegiatan kirab seperti tahun lampau. Selesai memberikan amanatnya, Presiden menerima defile seluruh pasukan di depan mimbar upacara, didampingi oleh Panglima ABRI dan Kepala Staf ketiga Angkatan dan Polri.
Dalam amanatnya Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa kita menyadari bahwa tahun-tahun mendatang merupakan tahun yang penuh dengan ujian dan tantangan berat. Aspirasi dan harapan rakyat akan meningkat. Aspirasi dan harapan itu harus mendapat saluran dan tanggapan yang sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi kekuatan positif yang akan mendorong kemajuan; dan tidak menjadi sumber kerawanan.
Dikatakannya, dalam suasana aspirasi dan harapan yang meningkat itu, kita dihadapkan pada masalah-masalah sosial ekonomi yang harus dapat kita tangani dengan baik, terutama masalah kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain sebagainya. Ujian dan tantangan kita pasti akan bertambah berat, karena semuanya itu akan kita hadapi dalam suasana perekonomian dunia yang serba tidak menentu.

Rabu, 5 Oktober 1988
Pagi ini Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada upacara peringatan Hari ABRI ke-43 yang berlangsung di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Presiden antara lain mengatakan bahwa sejarah dan pertumbuhan bangsa kita sejak proklamasi kemerdekaan penuh ujian yang besar dan berat. Semuanya itu kita anggap sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhan bangsa kita, agar kita dapat menjaddi bangsa yang kukuh kuat. Karena itulahnkita harus mengambil pelajaran yang sebaik-baiknya dan sebijaksana-bijaksananya dari semua pengalaman sejarah kita masa lampau.
Dikatakannya pula, kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dengan mengatakan yang benar adalah benar, kita akan dapat terus melanjutkannya dengan keyakinan. Dengan mengatakan yang salah adalah salah, kita akan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan penuh kesadaran. Denagn sikap itu pelajaran yang kita petik dari sejarah masa lampau akan memberi makna yang positif bagi kita semua, bukan menjadi beban yang berkepanjangan.

Kamis, 5 Oktober 1989
Presiden Soeharto hari ini bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan Hari ABRI ke-44 di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugas besar dimasa yang akan datang, kita tetap memerlukan stabilitas . Namun dinamika masyarakat dengan prakarsa dengan kreativitasnya perlu terus dikembangkan, agar kita memiliki tenaga yang besar untuk tinggal landas.
Dikatakannya bahwa pembangunan itu sendiri telah melahirkan kekuatan-kekutan baru dan aspirasi-aspirasi baru. Ini juga harus disalurkan dan diserasikan agar menjadi kekuatan positif untuk pembangunan. Karena itu, demikian Presiden, stabilitas yang kita perlukan bukanlah stabilitas yang statis, melainkan stabilitas yang dinamis, yang sehat yang sesuai dengan tuntutan kemajuan pembangunan.

Rabu, 5 Oktober 1990
Pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto menhadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-45 yang berlangsung di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Acara ini melibatkan sebanyak 7.000 anggota ABRI dari ketiga angkatan dan Polri. Dalam amanatnya Kepala Negara mengatakan bahwa kendati proses alih generasi dari generassi 45 kepada generasi penerus telah tuntas dilaksanakan, namun kesadaran dan tanggungjawab ABRI dalam melestarikan nilai-nilai kejuangan 45 serta kesetiannya kepada cita-cita kemerdekan tetap tinggi. Kepribadian ABRI sebagai prajurit pejuang dan pejuang prajurit juga berhasil dipertahankan. Bahkan kemampuan profesionalnyadapat ditingkatkan sesuai dengan kemajuan zaman. Semua itu menunjukkan bahwa selain dapat melaksanaka tugas dengan sebaik-baiknya, ABRI juga berhasil mempersiapkan generasi yang akan meneruskan perjuangannya.

Sabtu, 5 Oktober 1991
Pagi ini pukul 08.00, Presiden Soeharto menghadiri peringatan hari ulang tahun ABRI yang ke-46 yang diadakan di lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa dengan arif dan bijaksana ABRI harus dapat memahami tanda-tanda zaman. Ada saat-saat ABRI harus mengambil posisi “ing ngarso sung tulodo”. Ada pula saat-saat ABRI harus “tut wuri handayani”. Apapun peranan dan posisi yang diambil ABRI, maka sasarannya adalah mantapnya landasan pembangunan nasional agar bangsa kita dapat tumbuh dan berkembang dengan kekuatan sendiri.
Di bagian lain amanatnya, Presiden dewasa ini kita telah berada di ambang era baru dalam pembangunan, yaitu era tinggal landas. Era baru ini menghendaki keterlibatan aktif, kreatif dan dinamis dari seluruh kekuatan pembangun bangsa kita yang telah mulai tumbuh dan berkembang dalam proses pembangunan nasional selama ini. Kekuatan-kekuatan pembangun ini memerlukan ruang gerak yang cukup untuk menumbuhkan prakarsa dan kreativitas.
Menurut Kepala Negara, membangkitkan prakarsadan kreativitas masyarakat ini sejalan dengan hakikat pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional kita memang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Ini berarti, pembangunan kita harus berorientasi kemanusiaan dan mengandalkan kekuatan sumber daya manusia Indonesia sendiri.

Senin, 5 Oktober 1992
Presiden dan Ibu Soeharto yang di dampingi oleh Pangab ABRI serta ketiga Kepala Staf Angkatan dan Kapolri pagi ini menghadiri peringatan Hari ABRI ke-47 yang berlangsung di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan kualitas fungsi sosial ABRI secara terus menerus dalam mendukung tercapainya sasaran-sasaran pembangunan nasional pada babak baru mendatang. Dalam tahun mendatang, kata Presiden, peranan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator perlu dialihkan titik beratnya ke bidang-bidang pembangunan nasional.
Dikatakan pula bahwa ABRI adalah potensi modern dalam masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang membangun. ABRI merupakan kekuatan bangsa yang terdidik dan terlatih serta mahir dalam berorganisasi dalam menangani peralatan teknologi tinggi. Apalagi dalam masyarakat yang modern ditandai oleh makin menonjolnya spesialisasi, maka kemampuan ABRI amat dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.
Lebih jauh dikatakan Presiden bahwa masalah pertahan keamanan yang menjadi porsi terbesar tugas ABRI, tidaklah berdiri sendiri. Masalah tersebut berkaitan erat dengan bidang politi, ekonomi, sosial budaya di dalam maupun di luar negeri. Karena itu ABRI dalam mengemban tugasnya itu senantiasa mempertahankan watak dan tradisinya sebagai pejuang. Justru sebagai pejuang yang bertanggungjawab itulah ABRI selalu tanggap  dan peka terhadap masalah yang dihadapi bangsa. Denagn penuh kehati-hatian dan kewaspadaan kearifan dan keteguhan, ABRI melaksanakan perannya sebagai kekuatan  perjuangan di bidang sosial, politik dan sebagai kekuatan pertahanan keamanan.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayvan Lesilolo

Jejak Langkah Pak Harto 30 September 1967 - 30 September 1990

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,


Sabtu, 30 September 1967
Dalam menyambut peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang disiarkan secara nasional oleh TVRI malam ini, Jenderal Soeharto menyerukan agar bangsa Indonesia tetap mawas diri, melakukan koreksi total di bidang ideologi, politik, ketatanegaraan, ekonomi dan sikap mental. Mengenang kembali peristiwa penghianatan PKI dua tahun yang lalu, Pejabat Presiden mengatakan bahwa persoalan pokok yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 itu sebenarnya adalah soal hidup-matinya Pancasila. Pada waktu itu telah berhadapan dua kekuatan yang bertentangan, yaitu Pancasila dan sebagian besar rakyat dengan PKI beserta pendukung-pendukungnya. Oleh karena kesaktian Pancasila itulah maka tragedi nasional yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 itu dengan cepat disusul oleh kemenangan nasional, di mana kekuatan-kekuatan rakyat dan Pancasila bersatu padu.

Sabtu, 30 September 1972
Presiden Soeharto berpesan kepada para gubernur agar benar-benar memperhatikan persiapan-persiapan untuk menyukseskan rencana produksi beras pada tahun yang akan datang. Persiapan-persiapan tersebut menyangkut panca usaha, seperti pupuk, obat-obatan, kredit bank untuk petani, dan lain-lain. Pesan tersebut disampaikan kepada  Gubernur Jawa Barat Solichin GP, Gubernur Jawa Tengah  Munadi, Gubernur Jawa Timur M Noer, Gubernur Sulawesi Selatan Achman Lamo, serta Wakil Gubernur DI Yogyakarta Sri Paku Alam, yang menghadapnya di Bina Graha hari ini.
Presiden Soeharto dan Kepala Bulog Achmand Tirtosudiro di Bina Graha hari ini membahas masalah  harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari, dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kenaikan harga dan untuk memelihara stabilisasi harga. 

Senin, 30 September 1974
Bertempat di Istana Merdeka, pagi ini Presiden Soeharto menerima Deputi Menteri Pertanahan AS, William P Clements Jr. Dalam pertemuan itu telah dibahas mengenai situasi Asia Tenggara yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak. Kepada pers William Clements menjelaskan bahwa ia telah mengemukakan pandangan negaranya tentang Diego Garcia yang amat penting bagi keamanan dan perdamaian kawasan sekitarnya. Di sana Amerika Serakat merencanakan untuk membuat pangkalan militer, tetapi rencana itu mendapat tantangan keras dari berbagai negara. Kepada Deputi Menteri Pertanahan AS itu Kepala Negara telah menegaskan bahwa Indonesia tidak menginginkan lautan disekitarnya menjadi area pertentangan, sebab hal itu dapat menghambat proses pembangunan Indonesia.

Jum’at, 30 September 1977
Presiden Soeharto merasa prihatin atas kejadian yang menimpa beberapa kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang sebagian rakyatnya menderita kekurangan pangan. Demikian pernyataan yang dikemukakan Solihin GP di depan unsur-unsur pemerintah dan rakyat setempat. Lebih lanjut dikatakannya bahwa Kepala Negara telah menginstruksikan pejabat-pejabat tingkat pusat sampai provinsi dan kabupaten Karawang untuk memberikan prioritas perhatian guna menanggulangi kekurangan pangan itu. Presiden juga menghendaki agar prioritas perhatian harus menjamin perbaikan keadaan yang dihadapi rakyat di daerah itu agar jangan lebih memburuk. Disamping itu harus pula diupayakan untuk menyelamatkan penduduk dari keadaan darurat pangan ini, sehingga mereka dapat kembali kepada kehidupan yang normal secepat mungkin.

Sabtu, 30 September 1978
Pukul 09.00 pagi ini Presiden Soeharto menerima Menteri Pertambangan dan Energi, Prof. Subroto. Menteri Subroto menghadap untuk melaporkan tentang perkembangan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) di daerah Kamojang, Jawa Barat. Pembangkit listrik ini akan segera berfungsi.
Pada kesempatan itu Presiden Soeharto menginstruksikan Departemen Pertambangan dan Energi untuk mengembangkan pembangkit-pembangkit listrik geothermal di daerah-daerah lain yang memiliki potensi  untuk itu.

Selasa, 30 September 1980
Bertempat di Istana Merdeka, hari ini secara berturut-turut Presiden Soeharto menerima surat-surat kepercayaan dari Duta Besar Guinea dan Duta Besar Austria. Ketika menerima surat kepercayaan Duta Besar Republik Rakyat Revolusioner Guinea, RY Mandiou Toure, Kepala Negara mengatakan bahwa sejak kelahirannya sebagai negara merdeka pada tahun 1945, Indonesia selalu mendukung perjuangan rakyat Afrika untuk mencapai kemerdekaan nasionalnya. Dikatakannya bahwa kalimat pertama Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihhapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karena itu, kata Presiden, pemerintah dan rakyat Indonesia mengutuk politik apartheid serta penindasan yang dijalankan Afrika Selatan, karena hal ini bertentangan dengan asas kemerdekaan dan rasa keadilan serta perikemanusiaan.
Sementara itu, membalas pidato Duta Besar Austria, Dr. Edgar Selzer, Kepala Negara mengatakan bahwa Indonesia akan dapat lebih banyak memberikan sumbangan kepada perdamaian, ketertiban dan kesejahteraan dunia jika rakyatnya lebih maju dan sejahtera daripada sekarang ini. Oleh itu, kata Presiden, bangsa Indonesia menyadari bahwa berhassilnya pembangunan yang dewasa ini sedang giat-giatnya dilaksanakan sangat menetukan.

Jum’at, 30 September 1983
Para peserta Rapim ABRI 1983 diterima oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka pagi ini. Pada kesempatan itu, Panglima ABRI , Jenderal LB Murdani, memberika laporran mengenai penyelenggaraan Rapim  ABRI tahun ini. Kepada Presiden kemudian diserahkannya hasil-hasil Rapim yang pada tahun ini bertema “Dengan jiwa kejuangan dan profesionalisme yang tinngi, ABRI bertekad untuk mensukseskan Repelita IV”.
Dalam pengarahannya, Presiden telah mengungkapkan penilaiannya terhadap ABRI. Dikatakannya bahwa sampai sekarang ini ia menilai ABRI telah berhassil baik dalam menjalankan Dwifungsi serta peranannya sebagai stabilisator dan dinamisator. Menurut Presiden, dalam memperjuangkan kayakinannya mengenai apa yang baik bagibangsa ini, ABRI sebagai kekuatan sosial menggunakan cara-cara yang masuk akal dan dengan pendekatan-pendekatan yang demokratis dan konstitusional. Sebagian kekuatan sosial, ABRI dengan sadar menempatkan diri sederajat dengan kekuatan sosial politik lainnya dalam alam Demokrasi Pancasila ini. Sikap yang demikian, menurut Kepala Negara, sungguh merupakan sumbangan yang penting bagi pelaksanaan dan pengembangan Demokrasi pancasila.
Presiden mengarahkan bahwa, sebagaimana yang digariskan dalam GBHN, dalam tahun-tahun yang akan datang kita perlu melanjutkan modernisassi ABRI. Namun yang tidak kalah pentingnya menurut Presiden adalah mengembangkan terus doktrin perlawanan rakyat semesta dalam rangka bela negara, yang dilaksanakan dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta untuk mempertahankan kkedaulatan dan kemerdekaan negara. Dalam rangka ini Kepala Negara meminta perhatian terhadap pembinaan wilayah dan masyarakatnya, yang perlu terus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat yang makin maju.

Rabu, 30 September 1987
Gubernur Timor Timur, Mario Viegas Carascaloa, diterima Presiden Soeharto pagi ini di Bina Graha. Ia menghadap Kepala Negara untuk melapor mengenai perkembangan Timor Timur selama ini.
Pada kesempatan itu Presiden telah memberikan bantuan berupa 125 unit alat pemecah kopi untuk rakyat Timor Timur. Presiden mengharapkan agar alat tersebut dapat disalurkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, mengingat lahan kopi yang terdapat di Timor Timur cukup luas, yaitu sekitar 580.000 hektar.

Minggu, 30 September 1990
Malam ini Presiden dan Ibu Soeharto menghadiri acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang diadakan di Istana Negara. Memberikan kata sambutan pada acara tersebut, Presiden menyerukan agar kita semua mencurahkan upaya yang lebih besar lagi dalam bidang pendidikan. Sebab, pada akhirnya, peningkatan kualitas manusia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pendidikan. Dikatakannya bahwa kita semua menyadari bahwa kegiatan pendidikan di negeri kita masih jauh dari apa yang kita dambakan. Masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Yang harus kita lakukan  adalah berpikir kerass dan bekerja keras untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan yang ada.
Sebelumnya Presiden mengatakan bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan sepeti Maulud Nabi ini hendaknya mendorong kita untuk selalu mawas diri, bertanya pada diri kita sendiri, mengapa keadaan kita masih jauh dari kehidupan yang dicita-citakan oleh agama kita? mengapa terdapat jurang yang dalam dan lebar antara cita-cita dan realita?

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayvan Lesilolo

Jejak Langkah Pak Harto 29 September 1969 - 29 September 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,


Senin, 29 September 1969
Presiden Soeharto meresmikan stasiun bumi Jatiluhur. Dalam sambutannya, Presiden mengatakan bahwa dengan digunakannya stasiun bumi ini maka bangsa Indonesia sekarang memasuki taraf  baru dalam memanfaatkan secara langsung hasil teknologi tinggi. Ia juga mengingatkan arti penting telekomunikasi sebagai sarana yang mutlak diperlukan untuk menunjang kelancaran-kelancaran kegiatan pembangunan, seperti dalam hal perdagangan, pengangkutan, perbankan dan pemerintahan.
Usai peresmian, Presiden mengadakan percakapan telepon dengann Duta Besar RI di Washington, Sudjadmoko, Duta Besar RI di Tokyo, Ashari, dan Duta Besar RI di London, Ibrahim Adjie.

Selasa, 29 September 1970
Hri ini Presiden Soeharto mengirimkan kawat belasungkawa kepada pemerintah RPA, sehubungan dengan meninggalnya Presiden RPA Gamal Abdel Nasser.

Rabu, 29 September 1976
Presideen Soeharto pukul 11.00 pagi ini di Cendana menerima Ketua Umum PDI, Sanusi Hardjadinata, yang didampingi oleh Prof. Usep Ranawidjaja, salah seorang ketua dalam struktur kepemimpinan partai itu. Mereka datang untuk bersilaturahmi dengan Kepala Negara.
Pada kesempatan itu Presiden memberitahukan mereka tentang dokumen-dokumen Sawito. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut diketahui bahwa Sawito dengan gerakkannya bermaksud untuk mengganti kepala negara dengan cara yang inkonstitusional. Salah seorang yang terlibat dalam gerakan itu adalah Supeno, seorang kader Pesindo (Pemuda Spesialis Indonesia), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan terlibat dalam Peristiwa Madiun.

Selasa, 29 September 1981
Presiden Soeharto menghimbau agar di masa-masa mendatang penanam modal dalam negeri diberikan kesempatan yang luas untuk menanamkan modalnya. Menurut Presiden, sekarang telah tiba saatnya bagi kita untuk mengadakan pembatasan yang tegas mengenai penanaman modal asing. Demikian dikatakan oleh Ketua BKPM, Ir. Soehartoyo, setelah menghadap Kepala Negara di Bina Graha pagi ini. Ia datang untuk memberikan laporan mengenai proyek-proyek mesin kendaraan bermotor, dan penyusunan buku Daftar Skala Prioritas.

Senin, 29 September 1986
Bertempat di Istana Negara, pada jam 10.00 pagi ini Presiden Soeharto membuka rapat kerja Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Dalam amanatnya Kepala Negara mengatakan bahwa keputusan mendevaluassi mata uang rupiah baru-baru ini merupakan keputusan yang sangat beratdan sulit bagi pemerintah. Namun, setelah mempertimbangkan dengan saksama dan dalam waktu yang cukup lama, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan yang berat dan sulit itu demi kelangsungan pembangunan jangka panjang.
Dikatakannya bahwa tujuan utama devaluasi adalah untuk menjamin agar dalam tahun-tahun yang akan datang neraca pembayaran kita dalam keadaan yang sehat, sehingga mampu mendukung kelanjutan pembangunan. Untuk itu jalan yang paling utama adalah meningkatkan penerimaan devisa negaradari ekspor non-migas dan pariwisata, untuk mengimbangi penurunan yang sangat tajam dari penerimaan devisa dari sektor migas.
Karena itu, demikian ditegaskannya Presiden, peningkatan kegiatan kepariwisataan dan ekspor non-migas merupakan medan juang yang harus kita perjuangkan secara mati-matian. Devaluasi mata uang rupiah kita merupakan peluang yang harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk menarik wisatawan luar negeri dan peningkatan ekspor non-migas itu.

Selasa, 29 September 1987
Indonesia akan membicarakan lebih serius mengenai kemungkinan peluncuran satelit komunikasi Palapa B-2R dengan roket Ariane milik Prancis, setelah Exim Bank dari Amerika Serikat tidak dapat memenuhi permintaan kredit untuk harga satelit tersebut. Demikian dikatakan oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Achmad Tahir hari ini usai melaporkan masalah terssebut kepada Presiden di Bina Graha. Sebagaimana diketahui, semula Palapa B-2R direncanakan diluncurkan di roket Delta milik AS.

Minggu, 29 September 1991
Pukul 07.00 pagi ini, di Tapos, Presiden Soeharto menerima 75 orang perwira tinggi peserta Rapim ABRI dipimpin Pangab Jenderal Try Strisno. Dalam acara itu hadir pula Menteri Hankam LB Moerdani. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengharapkan kepada ABRI dan seluruh lapisan masyarakat agar hasil yang telah diperoleh didalam proses pembangunan nasional supaya dipertahankan, dan jangan sampai mengalami kemunduran.
Dihadapan para peserta Rapim ABRI  tersebut, Kepala Negara juga berbicara mengenai hubungan antara pemerintah dengan DPR. Dikatakannya bahwa pemerintah dan DPR tidak perlu saling berhadapn, dan tidak bisa saling menjatuhkan, tetapi saling isi mengisi. Namun ditegaskannya bahwa tidak ada larangan bagi anggota DPR untuk bicara vokal dan melakukan kritik terhadap pemerintah, asalkan itu dilakukan sesuai dengan sopan santun Demokrasi Pancasila dan aturan main yang ada, serta tidak asal “jeplak” atau asal ingin diap berani saja. Menurut Presiden, DPR tidak dilarang untuk vokal dalam menyuarakan aspirasi rakyat, karena memang tugasnya adalah mengontrol pemerintah. Namun, dalam soal mengeritik, hal itu harus dalam batas-batas wewenangnya. Presiden mengakui bahwa masih banyak orang yang tidak mengerti Demokrasi Pancasila yang berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam musyawarah untuk mufakat itu kepentingan rakyat dan kepentingan negara harus diutamakan dan sebaliknya kepentingan pribadi dan golongan harus disingkirkan.

Selasa, 29 September 1992
Dalam penerbangan menuju tanah air, Presiden Soeharto, sebagai Ketua Gerakan Non-Blok, menyatakan pendapatnya bahwa keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB perlu ditambah minimal enam negara lagi. Negara-negara yang dianggapnya pantas menjadi anggota Dewan Keamanan adalah Indonesia, India, Jepang, Jerman dan masing-masing satu wakil dari Afrika dan satu dari Amerika.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayan Lesilolo