PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Amanat Pejabat Presiden Jenderal Soeharto Dalam Peringatan Hari Bahari

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Sabtu, 23 September 1967 --- Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, dalam amanatnya dihadapan peserta peringatan Hari Bahari, mengatakan bahwa wawasan nusantara adalah integrasi yang bulat dan serasi daripada wawasan pertiwi, wawasan bahari, dan wawasan dirgantara.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Rayvan Lesilolo
 

Keanekaragaman Bukanlah Penghabat Bagi Bangsa Indonesia

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Kamis, 9 Agustus 1979  --- Kepala Negara mengatakan bahwa bangsa Indonesia ditantang untuk membuktikan bahwa keanekaragaman bukanlah penghambat melainkan justru mendorong kemajuan bangsa. Menurutnya, hanya dengan membuktikan kemampuan mengatasi berbagai persoalan pokok yang sedang kita hadapi, kita akan dapat mewujudkan peranan kita dalam kehidupan negara dan masyarakat yang berdasarkan Pancasila dalam kehidupan antar bangsa. Demikian dikatakan Presiden Soeharto dalam amanatnya menyambut peringtaan Nuzulul Qur’an yang berlangsung malam ini di Mesjid Istiqlal.
Selanjutnya dikatakan oleh Presiden bahwa tantangan ini harus kita jawab, bukan dengan kata-kata tapi dengan perbuatan nyata. Untuk itu diperlukan ketekunan, waktu dan kepercayaan pada diri kita sendiri. Lebih jauh dikatakannya bahwa kepercayaan pada diri sendiri itu tidak hanya didasarkan pada keyakinan bahwa kita mempunyai modal alam, modal manusia, dan modal budaya serta modal rohani. Masalah kita adalah bagaimana mengembangkan modal moral dan modal rohani yang melahirkan manusia-manusia pembangunan, yang disamping mampu juga bersih, yang disamping cakap juga jujur.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Rayvan Lesilolo

Presiden Soeharto Membuka Kongres Bahasa Jawa 1991 di Semarang, Jawa Tengah

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Senin, 15 Juli 1991. --- pukul 09.00 pagi ini, Presiden Soeharto  membuka kongres  Bahasa  Jawa 1991  di Semarang, Jawa Tengah. Dalam  kata sambutannya, Kepala Negara mengatakan  bahwa  bahasa  Jawa mempunyai arti yang besar  dalam kebudayaan Jawa  dan banyak masalah yang berkaitan  dengan bahasa Jawa. Karena  itu, demikian  Presiden  seyogianyalah  para peserta kongres memilih  pokok-pokok  bahasan  yang  relevan  dengan  perkebangan  zaman.Dengan demikian,kongres  ini juga  akan  membawa  arti bagi  perkembangan  bahasa  dankebudayaan  Jawa  di masa -masa mendatang.

Hari ini, pada  pukul 12.00  sampai  13.00, Presiden  Soeharto  menghadiri  pembukaan Pekan  Nasional Kontak  Tani dan  Nelayan  ke - 8 dan pertasikencana  Tahun 1991  dalam suatu  upacara di Magelang.Pada kesempatan  itu Kepala Negara  antara lain mengatakan bahwa  dalam  usaha  meningkatkan kemakmuran  dan  kesejateraan  rakyat  melalui pembangunan, peranan  sektor  pertanian,koperasi  dan keluarga  berencana  sangat  penting. Sebab, keberhasilan  pembangunan  sektor-sektor itu merupakan kunci penting  bagi peningkatan  kemakmuran  dan kesejateraan  rakyat. Karena  itu,merupakan  kewajiban  kita  semua untuk terus  membangun  pertanian, koperasi, dan keluarga berencana.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Rayvan Lesilolo

Presiden Soeharto Menyerahan Duplikat Bendera Pusaka dan Naskah Proklamasi Kepada Kowilhan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Selasa,14 juli 1970 --- Pagi ini  di Istana Merdeka,  Presiden  Soeharto  menyerahkan  duplikat  bendera  pusaka  dan naskah  proklamasi  kepada  Kowilhan se-Indonesia. Presiden meminta  agar bendera  dan naskah  prokamsi tersebut  disampaikan  kepada daerah-daerah  tingkat 11 di Kowilhan  yang bersangkutan.

Sekitar jam 10.30 pagi ini di tempat  yang sama, Presiden  Soeharto  menerima 15 orang  delegasi  mahasiswa  Jakarta  dan Bandung. Dalam  pertemuan  yang  diprakarsai  oleh Presiden  Soeharto itu, para mahasiswa ini minta agar kasus-kasus  korupsi  segera ditindak. Kepada  para  mahasiswa ini Presiden Soeharto mengatakan  bahwa ia tidak  dapat membenarkan  korupsi. Oleh karena  itu, ia juga  menyatakan  kesediaanya  untuk menerima  laporan-laporan  langsung  dari masyarakat  mengenai  korupsi. Asalkan  disertai  bukti-bukti  yang lengkap, maka ia tak segan-segan  untuk mengambil  tindakan tegas. Presiden  menjelaskan  bahwa  kesulitan yang dihadapi  dalam pemberantasan korupsi  berkaitan dengan masalah  pembuktian  secara hukum.

Pada akhir  pertemuan, presiden  Soeharto  menjanjikan  untuk menerima dengan baik setiap laporan mengenai korupsi  yang  disertai  oleh  bukti-bukti. Untuk itu Presiden  menyediakan  waktu untuk menerima mahasiswa  yang akan memberikan laporan tentang  korupsi setiap  hari Sabtu dari jam 9.00 sampai jam 12.00.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Rayvan Lesilolo

Wawasan Nusantara dan Politik Luar Negeri

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf keempat preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari bentuk-bentuk hard colonialism dan soft colonialism. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun perjuangan untuk tersusunnya road map maupun konsensus internasional bagi terciptanya perdamaian secara berkelanjutan dalam masyarakat internasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya pranata internasional yang dapat menjamin atau mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat internasional.

Pada tanggal 2 September 1948, —di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)— untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang” dengan mengambil contoh reposisi Indonesia dalam menghadapi perang dingin. Ia menyatakan “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”.

Sejumlah kalangan memahami usulan itu hanya dalam konteks back ground situasi yang dicontohkan Muhammad Hatta (reposisi terhadap perang dingin) dan tidak menelaahnya berdasarkan rujukan filisofis-yuridis yang dipakai. Maka tidak mengherankan jika pada era reformasi banyak pihak menilai prinsip politik bebas aktif itu tidak lagi relevan, karena perang dingin telah usai. Implikasi pergeseran pandangan itu menjadikan politik luar negeri Indonesia lebih pragmatis namun justru terjebak oleh cengkeraman skenario barat (AS, dalam pertempurannya melawan teroris) dan kepentingan ekonomi Jepang bahkan Cina)[3].

Dasar usulan Muhammad Hatta tentu saja paragrap keempat preambule UUD 1945 yang mengamanatkan tiga hal dalam pelaksanaan politik luar negeri, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme —baik hard colonialism maupun soft colonialism—, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional[4]—. Pengertian prinsip “bebas aktif” seharusnya diderivasikan dari ketiga amanat tersebut. Bebas berarti tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral. Dengan demikian sepanjang masih ada bentuk-bentuk kolonialisme, krisis perdamaian dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional, maka prinsip bebas aktif masih relevan.

Presiden Soekarno mengimplementasikan amanat paragrap keempat UUD 1945 bertumpu pada reason of power (kekuatan gagasan) progresive revolusioner yang ditopang dengan kharismanya untuk menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak pembebasan kolonialisme yang masih berlangsung di negara-negara Asia Afrika[5]. Ia hendak menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kekuatan internasional dengan berenang diantara dua karang super power dunia (Blok Barat dan Blok Timur). Sesekali ia bermesraan dengan barat (hubungan eratnya dengan Kennedy, AS) dan pada saat tertentu ia meminjam kekuatan Blok Timur untuk menghantam barat (kemesraannya dengan Soviet dalam pembebasan Irian Barat dan kampannye Nasakom dalam rangka pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Permainan Soekarno tentu saja dibaca Comintern (Comunist International) sebagai upaya menyiapkan tepuk tangan bagi dirinya dan bukan secara sungguh-sungguh untuk mendukung agenda komunisme internasional. Langkah Soekarno dihentikan Comintern-Cina melalui kudeta PKI tahun 1965 yang sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan agar kebijakan Indonesia —sebagai negara besar— benar-benar berada dalam satu garis atau dibawah kendali Comintern[6]. Kudeta PKI tahun 1965 juga bisa jadi merupakan cerminan ledakan persaingan antara gerakan Non Blok (GNB) yang dimotori Indonesia dengan kepentingan politik luar negeri Cina yang pada saat itu telah menjadi motor penggerak kekuatan Blok Timur.

Kegagalan Presiden Soekarno menjadi bahan pelajaran bagi Presiden Soeharto untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam hal tumpuan kekuatan penyangga pelaksanaan politik luar negeri. Sebagai seorang yang kaya pengalaman militer, Presiden Soeharto menekankan pada kekuatan stabilitas internal (dalam negeri) sebagai pijakan. “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia. Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi”, itulah jawaban Presiden Soeharto ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam perjalanan pulang dari kunjunganya ke Moskow tahun 1989[7]. Presiden Soeharto mengakui bahwa prinsip keberhasilan politik luar negeri harus berpijak pada kekuatan dalam negeri merupakan ajaran Bung Karno sendiri[8]. Selain menarik pelajaran dari kegagalan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tampaknya meletakkan tumpuan politik luar negeri pada konsepsi geostrategi Gajah Mada yang didasarkan pada Wawasan Nusantara skala makro. Sebuah strategi politik luar negeri yang diletakkan pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara yang terdiri dari wilayah inti (NKRI) maupun negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara.

Stabilitas dalam negeri dibangun melalui konsensus nasional yang diletakkan pada Pancasila sebagai road map idiologis dan diimplementasikan secara konsekuen. Saluran-saluran subversive diputus dan dikontrol ketat untuk tidak memiliki ruang gerak di Indonesia seperti dalam tindakan tegasnya terhadap bentuk-bentuk gerakan ekstrim kanan (obsesi pendirian negara agama di Indonesia), pembubabaran PKI beserta ormas-ormasnya serta pemutusan diplomatik dengan RRC. Pembubaran PKI bukan saja untuk mengakhiri kekacauan yang semakin memuncak, akibat tuntutan rakyat agar pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya tidak bisa ditahan lagi. Pembubaran PKI juga dimaksudkan untuk memutus saluran kepentingan eksternal (comintern) agar tidak lagi memiliki sarana melakukan dekonstruksi idiologis dan suprastruktur peradaban bangsa. Begitu pula dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC —yang dinilai turut berkonspirasi dalam kudeta 1965— merupakan upaya menutup saluran saluran formal diplomatik dari kepentingan subversive asing. Setelah anasir-anasir subversive itu bisa dikendalikan, hubungan diplomatik dengan RRC dibuka kembali (normalisasi) pada tahun 1980.

Stabilitas wilayah lingkar dekat Nusantara dibangun melalui pendekatan baru dengan tidak lagi memaksakan akuisisi fisik kedalam wilayah Indonesia sehingga konfrontasi dengan Malaysia —untuk memasukkan Kalimantan Utara kedalam teritori fisik Indonesia— segera diakhiri. Pendekatan ini memiliki rujukan historis dimana kesepakatan dalam sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda dan memberikan pilihan kepada wilayah Nusantara di luarnya untuk bergabung atau mandiri sebagai negara berdaulat[9]. Oleh karena itu keinginan Malaysia untuk merdeka perlu dihargai, namun harus bisa dikelola —dalam konteks hubungan antar negara berdaulat— agar tidak dijadikan sebagai pintu masuk kepentingan asing menghantam Indonesia. Presiden Soeharto juga memberikan dukungan kepada Lee Kuan Yew mengambil alih kepemimpinan Singapura dengan konsesi penghentian mafia perdagangan senjata ilegal ke Indonesia yang bermarkas ke Singapura. Komitmen Lee Kuan Yee itu pada akhirnya dapat memutus mata rantai suplai persenjataan ilegal kepada kelompok separatis di Indonesia dari broker-broker senjata yang berbasis atau beroperasi di Singapura.

Stabilitas lingkar luar Nusantara diwujudkan dengan pembentukan ASEAN hanya selang lima bulan dari pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Menlu Adam Malik dapat meyakinkan Thailand, Philipina, Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia di bawah Orde Baru memiliki keinginan kuat dan komitmen untuk bersikap konstruktif terhadap eksistensi dan kedaulatan negara-negara tetangga. Ia juga berhasil meyakinkan bahwa Jenderal Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia tidak merepresentasikan kelompok militer yang agresif, namun memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan solidaritas negara-negara Asia Tenggara[10].

Pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani deklarasi Bangkok sebagai tonggak berdirinya ASEAN. Kelak dikemudian hari, Lee Kuan Yew mengakui prakarsa Indonesia yang didukung penuh Presiden Soeharto itu menjadikan wilayah Asia Tenggara relatif stabil dan terbebas dari konflik dalam masa yang panjang. Konsolidasi Asia Tenggara dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendorong Amerika meninggalkan Vietnam dan pangkalan lautnya di Subic Philipina. Harold Crouch seorang Indonesianist mengakui dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia tumbuh menjadi adikuasa regional dan sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia[11].

Sebelum diangkat menjadi pejabat Presiden, —beberapa saat setelah memperoleh mandat sebagai pemegang Supersemar— Jenderal Soeharto mendukung kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB[12]. Pengaktifan itu memiliki makna strategis untuk mendobrak isolasi internasional terhadap kepentingan Indonesia, khususnya dalam menggalang program bantuan ekonomi. Sama ketika mendengar adanya keputusan pembubaran PKI, pengaktifan keanggotaan RI dalam PBB mengundang kemarahan Presiden Soekarno, namun ia tidak melakukan langkah-langkah berarti karena keputusan itu didukung penuh Jenderal Soeharto[13].

Selain stabilitas politik dan keamanan, Presiden Soeharto juga menekankan pada stabilitas ekonomi sebagai pijakan politik luar negeri. Oleh karena itu sejak diangkat sebagai pejabat Presiden —selain fokus penyelenggaraan pemilu—- juga menekankan pada agenda-agenda pembangunan ekonomi. Agenda ini didukung oleh kreatifitas dan komitmen pemerintahannya menyelesaian utang-utang luar negeri ke sejumlah negarai Blok Barat mupun Timur sesuai jadwal yang disepakati. Penumpukan utang warisan Presiden Soekarno ini dahulunya lebih banyak dipergunakan untuk pengadaan persenjataan.

Untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia —-yang berantakan akibat inflasi 600 persen dalam era Demokrasi Terpimpin— pemerintahan Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasi dukungan finansial dari kelompok negara-negara maju. Duta Besar Soedjatmoko —yang memiliki kedekatan pribadi dengan Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS dan kemudian menjadi Pimpinan Bank Dunia— berhasil menggalang terbentuknya group negara-negara sahabat untuk mendukung pembangunan melalui forum Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Group tersebut tidak saja menyediakan skema bantuan kepada pembangunan Indonesia, akan tetapi juga melakukan campaign pembentukan citra internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang bersahabat.

Setelah mengukuhkan pijakannya atas kendali stabilitas keseluruhan Nusantara —dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara— Presiden Soeharto baru melancarkan politik luar negeri dalam skala lebih luas. Indonesia mulai proaktif dalam agenda pembebasan dunia dari bentuk-bentuk soft and hard colonialism, seperti dukungan penuhnya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga mengarahkan politik luar negeri Indonesia untuk terlibat secara proaktif dalam proses-proses perdamaian seperti mediator penyelesai perang saudara di Kamboja, bantuan mediasi penyelesaian pemberontakan bangsa Moro Filipina dan fasilitasi serangkaian diskusi negara-negara yang mempunyai klaim-klaim teritorial tumpang tindih di Laut Cina Selatan serta dukungannya terhadap ummat Islam Bosnia. Indonesia juga proaktif dalam mengkonstribusikan pasukan bersenjatanya dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB sehingga reputasi tentara Indonesia memperoleh pengakuan internasional.

Upaya mewujudkan pranata internasional yang berkeadilan —khususnya dalam bidang ekonomi, perlindungan hukum dan HAM, sosial budaya serta pola relasi antar negara dan antar kawasan— tercermin dari upayanya merevitalisasi orientasi gerakan Non Blok di penghujung perang dingin, sehingga terpilih menjadi ketua gerakan ini pada tahun 1992. Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994. Wadah ini dibentuk atas prakarsa PM Australia Paul Keating dan keanggotaannya melibatkan AS dan bahkan Presiden Bill Clinton datang ke Bogor. Selain itu Indonesia juga aktif dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun organisasi negara pengespor minyak (OPEC).

Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai sejumlah kalangan terlalu cenderung ke Barat. Penilaian ini menegasikan ketegasan sikap Presiden Soeharto ketika menolak pengiriman pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam misinya di Vietnam pada tahun 1970-an. Walaupun anti komunis dan relatif mesra dengan barat, ia juga tidak pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet maupun Vietnam yang Komunis[14]. Bahkan ketika saluran-saluran potensi subversif telah berhasil dikendalikan, Pemerintah Presiden Soeharto melakukan rehabilitasi hubungan diplomatiknya dengan RRC (tahun 1980). Sikap tegas terhadap barat juga ditunjukkan ketika Jan Pronk —menteri Belanda bidang bantuan internasional— dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia menunjukkan sikap kecongkakannya dan mengusik masalah-masalah politik dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda[15].

Berdasar ilustrasi diatas, kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto didasarkan pada kemampuannya dalam menyiapkan kekuatan tumpuan yang berpijak pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara (dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara). Selain itu juga ditopang oleh kemampuannya dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang secara konsisten sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme (baik dilakukan secara halus maupun terang-terangan), perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan terwujudnya keadilan sosial dalam tata pergaulan internasional.

Masalah kekuatan pijakan stabilitas dalam skala Nusantara dan konsistensinya terhadap visi idiologis politik luar negeri tampaknya menjadi jawaban, kenapa pada era reformasi kewibawaan Indonesia merosot dalam pergaulan internasional. Stabilitas dalam negeri Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik. Begitu pula dengan soliditas negara-negara lingkar luar maupun lingkar dekat yang saat ini sedang merosot. Pada era reformasi, bargaining politik luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis dan bertumpu pada iming-iming sebagai the emerging market sehingga sangat rentan ketika berhadapan dengan daya saing negara-negara lain yang lebih baik.

Kedepan, wawasan makro kenusantaraan perlu direaktualisasi sehingga soliditas negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara dapat dikonsolidasi untuk berada dalam satu kesatuan orientasi kebijakan pembangunan Peradaban Nusantara. Visi politik luar negeri Indonesia juga perlu dikembalikan pada amanat UUD 1945, yaitu perjuangkan pembebasan dunia dari soft and hard colonialism, perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan untuk terwujudnya keadilan sosial dalam pranata internasional, termasuk keadilan dalam interaksi perekonomian antar kawasan dan antar negara.

***


[1]     Disarikan dari Bab VII, buku Politik Kenusantaraan
[2]     Jurnasyanto Sukarno, “Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa”, http:// www. suarapembaruan.com/ News/ 2005/08/12

[3]     Sebagai contoh adalah terlarutnya Indonesia dalam kampanye perang terhadap terorisme dan isu lingkungan sehingga melemahkan kritisismenya dalam memperjuangkan pembebasan dunia dari hard colonialism dan soft colonialism, terwujudnya perdamaian dunia dan keadilan sosial dalam masyarakat internasional.

[4]     Keadilan sosial masyarakat internasional meliputi segenap aspek, termasuk keadilan HAM, ekonomi, politik maupun sosial budaya. Bentuk partisipasi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat internasional termasuk dalam aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan lebih tegas.

[5]     Soekarno mengkampanyekan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imperialis melalui wadah Gerakan Non-Blok. Gerakan itu didirikan pada tahun 1955 di Bandung oleh lima pemimpin dunia, yaitu Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Josep Broz Tito presiden Yugoslavia, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

[6]     Mari kita renungkan tiga hal berikut: (1) dokumen Gilchrist ternyata diskenariokan agen komunis yang bermarkas di Praha, (2) isu sakit permanennya Presiden Soekarno setelah memperoleh perawatan dokter-dokter komunis Cina (skenario politik Medis), (3) rencana pengasingan Soekarno ke Danau Angsa RRC pasca kudeta.

[7]     Harian The Jakarta Post, Kamis 14 September 1989.

[8]     Lihat dialog antara Presiden Soekarno dengan Mayjen Soekarno dalam “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara”, Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997, hlm. 29.

[9]     Menteri Luar Negeri Adam Malik, beberapa tokoh militer (Ali Moertopo & Benny Moerdani) dan Des Alwi (karena kedekatan secara pribadi dengan pimpinan Malaysia) memiliki kontribusi dalam mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Jenderal Soeharto —sebagai pemegang mandat Supersemar— menghadiri upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, untuk secara formal mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

[10]    Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.

[11]    Harold Crouch, Memandang Ke Barat Terperosok di Timur, http://majalah.tempointeraktif.com/ id/arsip/2008/02/04/LU/mbm.20080204.

[12]    Melalui Sidang Umum PBB tahun 1966, Indonesia secara resmi bergabung kembali dalam keanggotaan PBB.

[13]    Pergeseran dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto merupakan cerminan strategi mendayung dua karang dalam menghadapi dinamika eksternal dan keputusan-keputusan  Jenderal Soeharto di setujui secara diam-diam oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengemukakan pernyataan-pernyataan terbuka menentang kebijakan Jendral Soeharto, namun tidak melakukan langkah-langkah yang bisa menghalangi kebijakan itu.

[14]    Sikap ini sering disalahpahami sebagai bentuk pragmatisme politik luar negeri Presiden Soeharto. Sikap ini sebenarnya dapat dipahami dari sudut pandang budaya pluralisme di Indonesia yang dipegang amat kuat. Pada satu sisi menolak untuk dijadikan negara komunis karena tidak sejalan dengan idiologi masyarakat Nusantara dan menolak campur tangan komunis dalam urusan internal bangsa Indonesia. Namun Indonesia tetap menghargai kedaulatan negara lain yang berpaham komunis. Sikap ini identik dengan toleransi beragama di Indonesia. Pada satu sisi menolak dan akan sangat marah apabila dipaksa mengikuti paham keagamaan yang tidak diyakininya. Namun tidak menjadi soal dan tidak memusuhi kepada orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Jadi permusuhan itu terhadap sifat pemaksaan yang dilakukan dan bukan pada perbedaan keyakinan.

Penulis : Abdul Rohman

WAWASAN NUSANTARA DAN POLITIK LUAR NEGRI

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,


Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf keempat preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari bentuk-bentuk hard colonialism dan soft colonialism. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun perjuangan untuk tersusunnya road map maupun konsensus internasional bagi terciptanya perdamaian secara berkelanjutan dalam masyarakat internasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya pranata internasional yang dapat menjamin atau mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat internasional.

Pada tanggal 2 September 1948, —di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)— untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang” dengan mengambil contoh reposisi Indonesia dalam menghadapi perang dingin. Ia menyatakan “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”[2].

Sejumlah kalangan memahami usulan itu hanya dalam konteks back ground situasi yang dicontohkan Muhammad Hatta (reposisi terhadap perang dingin) dan tidak menelaahnya berdasarkan rujukan filisofis-yuridis yang dipakai. Maka tidak mengherankan jika pada era reformasi banyak pihak menilai prinsip politik bebas aktif itu tidak lagi relevan, karena perang dingin telah usai. Implikasi pergeseran pandangan itu menjadikan politik luar negeri Indonesia lebih pragmatis namun justru terjebak oleh cengkeraman skenario barat (AS, dalam pertempurannya melawan teroris) dan kepentingan ekonomi Jepang bahkan Cina)[3].

Dasar usulan Muhammad Hatta tentu saja paragrap keempat preambule UUD 1945 yang mengamanatkan tiga hal dalam pelaksanaan politik luar negeri, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme —baik hard colonialism maupun soft colonialism—, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional[4]—. Pengertian prinsip “bebas aktif” seharusnya diderivasikan dari ketiga amanat tersebut. Bebas berarti tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral. Dengan demikian sepanjang masih ada bentuk-bentuk kolonialisme, krisis perdamaian dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional, maka prinsip bebas aktif masih relevan.

Presiden Soekarno mengimplementasikan amanat paragrap keempat UUD 1945 bertumpu pada reason of power (kekuatan gagasan) progresive revolusioner yang ditopang dengan kharismanya untuk menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak pembebasan kolonialisme yang masih berlangsung di negara-negara Asia Afrika[5]. Ia hendak menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kekuatan internasional dengan berenang diantara dua karang super power dunia (Blok Barat dan Blok Timur). Sesekali ia bermesraan dengan barat (hubungan eratnya dengan Kennedy, AS) dan pada saat tertentu ia meminjam kekuatan Blok Timur untuk menghantam barat (kemesraannya dengan Soviet dalam pembebasan Irian Barat dan kampannye Nasakom dalam rangka pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Permainan Soekarno tentu saja dibaca Comintern (Comunist International) sebagai upaya menyiapkan tepuk tangan bagi dirinya dan bukan secara sungguh-sungguh untuk mendukung agenda komunisme internasional. Langkah Soekarno dihentikan Comintern-Cina melalui kudeta PKI tahun 1965 yang sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan agar kebijakan Indonesia —sebagai negara besar— benar-benar berada dalam satu garis atau dibawah kendali Comintern[6]. Kudeta PKI tahun 1965 juga bisa jadi merupakan cerminan ledakan persaingan antara gerakan Non Blok (GNB) yang dimotori Indonesia dengan kepentingan politik luar negeri Cina yang pada saat itu telah menjadi motor penggerak kekuatan Blok Timur.

Kegagalan Presiden Soekarno menjadi bahan pelajaran bagi Presiden Soeharto untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam hal tumpuan kekuatan penyangga pelaksanaan politik luar negeri. Sebagai seorang yang kaya pengalaman militer, Presiden Soeharto menekankan pada kekuatan stabilitas internal (dalam negeri) sebagai pijakan. “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia. Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi”, itulah jawaban Presiden Soeharto ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam perjalanan pulang dari kunjunganya ke Moskow tahun 1989[7]. Presiden Soeharto mengakui bahwa prinsip keberhasilan politik luar negeri harus berpijak pada kekuatan dalam negeri merupakan ajaran Bung Karno sendiri[8]. Selain menarik pelajaran dari kegagalan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tampaknya meletakkan tumpuan politik luar negeri pada konsepsi geostrategi Gajah Mada yang didasarkan pada Wawasan Nusantara skala makro. Sebuah strategi politik luar negeri yang diletakkan pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara yang terdiri dari wilayah inti (NKRI) maupun negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara.

Stabilitas dalam negeri dibangun melalui konsensus nasional yang diletakkan pada Pancasila sebagai road map idiologis dan diimplementasikan secara konsekuen. Saluran-saluran subversive diputus dan dikontrol ketat untuk tidak memiliki ruang gerak di Indonesia seperti dalam tindakan tegasnya terhadap bentuk-bentuk gerakan ekstrim kanan (obsesi pendirian negara agama di Indonesia), pembubabaran PKI beserta ormas-ormasnya serta pemutusan diplomatik dengan RRC. Pembubaran PKI bukan saja untuk mengakhiri kekacauan yang semakin memuncak, akibat tuntutan rakyat agar pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya tidak bisa ditahan lagi. Pembubaran PKI juga dimaksudkan untuk memutus saluran kepentingan eksternal (comintern) agar tidak lagi memiliki sarana melakukan dekonstruksi idiologis dan suprastruktur peradaban bangsa. Begitu pula dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC —yang dinilai turut berkonspirasi dalam kudeta 1965— merupakan upaya menutup saluran saluran formal diplomatik dari kepentingan subversive asing. Setelah anasir-anasir subversive itu bisa dikendalikan, hubungan diplomatik dengan RRC dibuka kembali (normalisasi) pada tahun 1980.

Stabilitas wilayah lingkar dekat Nusantara dibangun melalui pendekatan baru dengan tidak lagi memaksakan akuisisi fisik kedalam wilayah Indonesia sehingga konfrontasi dengan Malaysia —untuk memasukkan Kalimantan Utara kedalam teritori fisik Indonesia— segera diakhiri. Pendekatan ini memiliki rujukan historis dimana kesepakatan dalam sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda dan memberikan pilihan kepada wilayah Nusantara di luarnya untuk bergabung atau mandiri sebagai negara berdaulat[9]. Oleh karena itu keinginan Malaysia untuk merdeka perlu dihargai, namun harus bisa dikelola —dalam konteks hubungan antar negara berdaulat— agar tidak dijadikan sebagai pintu masuk kepentingan asing menghantam Indonesia. Presiden Soeharto juga memberikan dukungan kepada Lee Kuan Yew mengambil alih kepemimpinan Singapura dengan konsesi penghentian mafia perdagangan senjata ilegal ke Indonesia yang bermarkas ke Singapura. Komitmen Lee Kuan Yee itu pada akhirnya dapat memutus mata rantai suplai persenjataan ilegal kepada kelompok separatis di Indonesia dari broker-broker senjata yang berbasis atau beroperasi di Singapura.

Stabilitas lingkar luar Nusantara diwujudkan dengan pembentukan ASEAN hanya selang lima bulan dari pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Menlu Adam Malik dapat meyakinkan Thailand, Philipina, Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia di bawah Orde Baru memiliki keinginan kuat dan komitmen untuk bersikap konstruktif terhadap eksistensi dan kedaulatan negara-negara tetangga. Ia juga berhasil meyakinkan bahwa Jenderal Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia tidak merepresentasikan kelompok militer yang agresif, namun memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan solidaritas negara-negara Asia Tenggara[10].

Pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani deklarasi Bangkok sebagai tonggak berdirinya ASEAN. Kelak dikemudian hari, Lee Kuan Yew mengakui prakarsa Indonesia yang didukung penuh Presiden Soeharto itu menjadikan wilayah Asia Tenggara relatif stabil dan terbebas dari konflik dalam masa yang panjang. Konsolidasi Asia Tenggara dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendorong Amerika meninggalkan Vietnam dan pangkalan lautnya di Subic Philipina. Harold Crouch seorang Indonesianist mengakui dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia tumbuh menjadi adikuasa regional dan sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia[11].

Sebelum diangkat menjadi pejabat Presiden, —beberapa saat setelah memperoleh mandat sebagai pemegang Supersemar— Jenderal Soeharto mendukung kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB[12]. Pengaktifan itu memiliki makna strategis untuk mendobrak isolasi internasional terhadap kepentingan Indonesia, khususnya dalam menggalang program bantuan ekonomi. Sama ketika mendengar adanya keputusan pembubaran PKI, pengaktifan keanggotaan RI dalam PBB mengundang kemarahan Presiden Soekarno, namun ia tidak melakukan langkah-langkah berarti karena keputusan itu didukung penuh Jenderal Soeharto[13].

Selain stabilitas politik dan keamanan, Presiden Soeharto juga menekankan pada stabilitas ekonomi sebagai pijakan politik luar negeri. Oleh karena itu sejak diangkat sebagai pejabat Presiden —selain fokus penyelenggaraan pemilu—- juga menekankan pada agenda-agenda pembangunan ekonomi. Agenda ini didukung oleh kreatifitas dan komitmen pemerintahannya menyelesaian utang-utang luar negeri ke sejumlah negarai Blok Barat mupun Timur sesuai jadwal yang disepakati. Penumpukan utang warisan Presiden Soekarno ini dahulunya lebih banyak dipergunakan untuk pengadaan persenjataan.

Untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia —-yang berantakan akibat inflasi 600 persen dalam era Demokrasi Terpimpin— pemerintahan Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasi dukungan finansial dari kelompok negara-negara maju. Duta Besar Soedjatmoko —yang memiliki kedekatan pribadi dengan Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS dan kemudian menjadi Pimpinan Bank Dunia— berhasil menggalang terbentuknya group negara-negara sahabat untuk mendukung pembangunan melalui forum Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Group tersebut tidak saja menyediakan skema bantuan kepada pembangunan Indonesia, akan tetapi juga melakukan campaign pembentukan citra internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang bersahabat.

Setelah mengukuhkan pijakannya atas kendali stabilitas keseluruhan Nusantara —dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara— Presiden Soeharto baru melancarkan politik luar negeri dalam skala lebih luas. Indonesia mulai proaktif dalam agenda pembebasan dunia dari bentuk-bentuk soft and hard colonialism, seperti dukungan penuhnya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga mengarahkan politik luar negeri Indonesia untuk terlibat secara proaktif dalam proses-proses perdamaian seperti mediator penyelesai perang saudara di Kamboja, bantuan mediasi penyelesaian pemberontakan bangsa Moro Filipina dan fasilitasi serangkaian diskusi negara-negara yang mempunyai klaim-klaim teritorial tumpang tindih di Laut Cina Selatan serta dukungannya terhadap ummat Islam Bosnia. Indonesia juga proaktif dalam mengkonstribusikan pasukan bersenjatanya dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB sehingga reputasi tentara Indonesia memperoleh pengakuan internasional.

Upaya mewujudkan pranata internasional yang berkeadilan —khususnya dalam bidang ekonomi, perlindungan hukum dan HAM, sosial budaya serta pola relasi antar negara dan antar kawasan— tercermin dari upayanya merevitalisasi orientasi gerakan Non Blok di penghujung perang dingin, sehingga terpilih menjadi ketua gerakan ini pada tahun 1992. Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994. Wadah ini dibentuk atas prakarsa PM Australia Paul Keating dan keanggotaannya melibatkan AS dan bahkan Presiden Bill Clinton datang ke Bogor. Selain itu Indonesia juga aktif dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun organisasi negara pengespor minyak (OPEC).

Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai sejumlah kalangan terlalu cenderung ke Barat. Penilaian ini menegasikan ketegasan sikap Presiden Soeharto ketika menolak pengiriman pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam misinya di Vietnam pada tahun 1970-an. Walaupun anti komunis dan relatif mesra dengan barat, ia juga tidak pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet maupun Vietnam yang Komunis[14]. Bahkan ketika saluran-saluran potensi subversif telah berhasil dikendalikan, Pemerintah Presiden Soeharto melakukan rehabilitasi hubungan diplomatiknya dengan RRC (tahun 1980). Sikap tegas terhadap barat juga ditunjukkan ketika Jan Pronk —menteri Belanda bidang bantuan internasional— dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia menunjukkan sikap kecongkakannya dan mengusik masalah-masalah politik dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda[15].

Berdasar ilustrasi diatas, kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto didasarkan pada kemampuannya dalam menyiapkan kekuatan tumpuan yang berpijak pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara (dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara). Selain itu juga ditopang oleh kemampuannya dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang secara konsisten sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme (baik dilakukan secara halus maupun terang-terangan), perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan terwujudnya keadilan sosial dalam tata pergaulan internasional.

Masalah kekuatan pijakan stabilitas dalam skala Nusantara dan konsistensinya terhadap visi idiologis politik luar negeri tampaknya menjadi jawaban, kenapa pada era reformasi kewibawaan Indonesia merosot dalam pergaulan internasional. Stabilitas dalam negeri Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik. Begitu pula dengan soliditas negara-negara lingkar luar maupun lingkar dekat yang saat ini sedang merosot. Pada era reformasi, bargaining politik luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis dan bertumpu pada iming-iming sebagai the emerging market sehingga sangat rentan ketika berhadapan dengan daya saing negara-negara lain yang lebih baik.

Kedepan, wawasan makro kenusantaraan perlu direaktualisasi sehingga soliditas negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara dapat dikonsolidasi untuk berada dalam satu kesatuan orientasi kebijakan pembangunan Peradaban Nusantara. Visi politik luar negeri Indonesia juga perlu dikembalikan pada amanat UUD 1945, yaitu perjuangkan pembebasan dunia dari soft and hard colonialism, perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan untuk terwujudnya keadilan sosial dalam pranata internasional, termasuk keadilan dalam interaksi perekonomian antar kawasan dan antar negara.

[1]     Disarikan dari Bab VII, buku Politik Kenusantaraan
[2]     Jurnasyanto Sukarno, “Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa”, http:// www. suarapembaruan.com/ News/ 2005/08/12

[3]     Sebagai contoh adalah terlarutnya Indonesia dalam kampanye perang terhadap terorisme dan isu lingkungan sehingga melemahkan kritisismenya dalam memperjuangkan pembebasan dunia dari hard colonialism dan soft colonialism, terwujudnya perdamaian dunia dan keadilan sosial dalam masyarakat internasional.

[4]     Keadilan sosial masyarakat internasional meliputi segenap aspek, termasuk keadilan HAM, ekonomi, politik maupun sosial budaya. Bentuk partisipasi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat internasional termasuk dalam aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan lebih tegas.

[5]     Soekarno mengkampanyekan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imperialis melalui wadah Gerakan Non-Blok. Gerakan itu didirikan pada tahun 1955 di Bandung oleh lima pemimpin dunia, yaitu Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Josep Broz Tito presiden Yugoslavia, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

[6]     Mari kita renungkan tiga hal berikut: (1) dokumen Gilchrist ternyata diskenariokan agen komunis yang bermarkas di Praha, (2) isu sakit permanennya Presiden Soekarno setelah memperoleh perawatan dokter-dokter komunis Cina (skenario politik Medis), (3) rencana pengasingan Soekarno ke Danau Angsa RRC pasca kudeta.

[7]     Harian The Jakarta Post, Kamis 14 September 1989.

[8]     Lihat dialog antara Presiden Soekarno dengan Mayjen Soekarno dalam “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara”, Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997, hlm. 29.

[9]     Menteri Luar Negeri Adam Malik, beberapa tokoh militer (Ali Moertopo & Benny Moerdani) dan Des Alwi (karena kedekatan secara pribadi dengan pimpinan Malaysia) memiliki kontribusi dalam mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Jenderal Soeharto —sebagai pemegang mandat Supersemar— menghadiri upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, untuk secara formal mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

[10]    Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.

[11]    Harold Crouch, Memandang Ke Barat Terperosok di Timur, http://majalah.tempointeraktif.com/ id/arsip/2008/02/04/LU/mbm.20080204.

[12]    Melalui Sidang Umum PBB tahun 1966, Indonesia secara resmi bergabung kembali dalam keanggotaan PBB.

[13]    Pergeseran dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto merupakan cerminan strategi mendayung dua karang dalam menghadapi dinamika eksternal dan keputusan-keputusan  Jenderal Soeharto di setujui secara diam-diam oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengemukakan pernyataan-pernyataan terbuka menentang kebijakan Jendral Soeharto, namun tidak melakukan langkah-langkah yang bisa menghalangi kebijakan itu.

[14]    Sikap ini sering disalahpahami sebagai bentuk pragmatisme politik luar negeri Presiden Soeharto. Sikap ini sebenarnya dapat dipahami dari sudut pandang budaya pluralisme di Indonesia yang dipegang amat kuat. Pada satu sisi menolak untuk dijadikan negara komunis karena tidak sejalan dengan idiologi masyarakat Nusantara dan menolak campur tangan komunis dalam urusan internal bangsa Indonesia. Namun Indonesia tetap menghargai kedaulatan negara lain yang berpaham komunis. Sikap ini identik dengan toleransi beragama di Indonesia. Pada satu sisi menolak dan akan sangat marah apabila dipaksa mengikuti paham keagamaan yang tidak diyakininya. Namun tidak menjadi soal dan tidak memusuhi kepada orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Jadi permusuhan itu terhadap sifat pemaksaan yang dilakukan dan bukan pada perbedaan keyakinan.

[15]    Sabam Siagian, Op. Cite.

Penulis : Abdul Rohman

Wawasan Nusantara

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan tentunya didasarkan pula pada satu cita-cita kesatuan wilayah yang utuh. Mukadimah UUD ’45 menyebut negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan ini berarti juga bahwa wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan oleh selat dan laut, harus benar-benar diwujudkan dalam negara kesatuan. Karena itu pula, perjuangan untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan secara utuh mutlak perlu. Pengakuan itu harus kita peroleh.

Kita memiliki kurang-lebih 13.000 pulau. Di tengah itu ada lautan dan selat-selat yang cukup luas. Bahkan dari keseluruhan wilayah kita sekarang yang lebih dari 5,5 juta km2, 2/3-nya adalah lautan, perairan, dan cuma 1/3-nya daratan.

Secara geografis, Indonesia mempunyai kekhususan. Kita di persimpangan jalan antara dua benua, antara Asia dan Australia, antara dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dengan demikian, letak Indonesia sangat strategis.

Di tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan “Deklarasi 13 Desember 1957″ yang merupakan salah satu sendi pokok dari kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia, menyangkut soal kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Konsepsi negara Nusantara dan perkembangannya menjadi Wawasan Nusantara, dimulai dengan “Deklarasi 13 Desember 1957″ itu. Dengan deklarasi itu pemerintah RI mengemukakan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia.

Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI mengeluarkan pernyataan wilayah perairan Indonesia ini adalah antara lain bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri atas beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri pula. Di samping itu, bagi kesatuan wilayah (teritorial) negara RI, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat. Penetapan batas-batas laut teritorial yang diwariskan pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939″ tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara kita. Sedangkan setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan­tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

Perubahan atas “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939″ menjadikan luas wilayah negara Indonesia yang tadinya 2.000.000 Km2 lebih (daratan) menjadi kurang lebih 5.200.000 Km2 (darat dan laut), jadi satu penambahan wilayah berupa perairan nasional (laut) sebesar kurang-lebih 3.200.000 Km2.

Undang-undang yang ditetapkan tahun 1960 mengubah penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis rendah (low water line) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Seluruhnya ada 200 titik pangkal yang dihubungkan oleh hampir 200 buah garis pangkal lurus dengan jumlah panjang seluruhnya sebesar lebih dari 8.000 mil laut.

Keuntungan yang kita peroleh dengan cara penetapan batas-batas berdasarkan konsepsi negara kepulauan ini tidak kecil, yaitu kedaulatan Republik Indonesia yang penuh atas kurang lebih 3.000.000 km2 lautan dengan dasar serta tanah di bawahnya di dalam batas-batas negara Nusantara, ditambah dengan 800.000 Km2 landas kontinen di luar batas-batas negara kepulauan dengan ditambah pula dengan 3.000.000 km2 hak mengeksploitasi kekayaan alam berdasarkan zone ekonomi eksklusif.

Tidak lama setelah “Deklarasi tanggal 13 Desember 1957″ itu dikeluarkan, beberapa negara menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di antara pulau-pulau kita itu. Di antara negara-negara yang menyatakan tidak setuju ialah Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Selandia Baru. Dalam pada itu, Wawasan Nusantara ditetapkan di tahun 1973 dengan Tap IV MPR sebagai wawasan yang melandasi pembangunan nasional Indonesia.

Ditetapkannya Wawasan Nusantara yang antara lain menekankan pada prinsip kesatuan wilayah, bangsa dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan, sampai sekarang merupakan tahapan terakhir daripada perkembangan konsepsi Nusantara yang dimulai sejak akhir tahun  1957 itu.

Maka kemudian dilaksanakan perjuangan Indonesia di forum internasional, pada Konferensi Hukum Laut Internasional sejak Juli 1974 hingga sekarang, yang pada hakekatnya adalah memperjuangkan Konsepsi Hukum Negara Kepulauan. Setelah konsepsi ini disahkan menjadi bagian dari Konvensi Internasional, berarti lebih memantapkan Negara RI sebagai negara Nusantara ditinjau dari sudut Hukum Internasional.

Sementara kita memperjuangkan pengakuan atas satu wilayah yang terdiri dari ribuan pulau, sekian laut dan sekian selat itu, timbul pertanyaan, siapa yang mau mengakui kita seperti yang kita tetapkan?

Karena itu, dalam kita memegang prinsip —saya katakan— kita harus juga memberikan jalan keluar yang akomodatif bagi kepentingan negara dan bangsa lain, yakni untuk menghubungkan antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara benua Asia dan Australia, baik melewati darat maupun udara.

Memang banyak yang mempunyai kepentingan dengan wilayah kita ini. Orang yang akan pergi dari sebelah barat atau utara ke Australia tidak mungkin berputar, turut meminggir menyusur batas wilayah kita. Karena itu, maka saya beritahukan bahwa kalau kita ingin memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan, Negara Nusantara, di mana kita mempunyai kedaulatan di darat, di laut, maupun di udara, kita harus memberikan  jalan  kepada mereka.

Di banyak kunjungan kenegaraan saya langsung mengemukakan masalah kekuasaan negara kepulauan itu. Hal ini diakui oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, ahli kita di bidang hukuni laut dan diplomasi, banyak membantu usaha memperoleh pengakuan dunia internasional.

Secara pribadi saya juga turut memikirkan jalan keluar dari masalah-masalah sulit, antara lain masalah lintas kapal perang. Sistem sumbu adalah salah satu hasil pemikiran saya yang timbul pada saat masalah ini saya bicarakan dengan Mochtar Kusumaatmadja di tahun 1976.

Sementara pihak merasa lautan kita itu lautan bebas. Maka mereka melakukan dengan caranya sendiri melewati lautan kita yang mengakibatkan kedaulatan kita diinjak-injak. Maka kita tawarkan kepada mereka, “Kamu harus mengakui kedaulatan wilayah Indonesia, dan kami akan mengakui pula kepentinganmu.” Maka saya berikan petunjuk, tentukan porosnya, jangan sampai perairan kita ini bisa dijelajahi dengan semau-maunya.

Kalau mau lewat, ini porosnya. Kita izinkan mereka menggunakan poros yang kita tentukan itu. Tetapi tentu saja dengan syarat, yakni harus memberi tahu lebih dahulu. “Saya mau lewat,” begitu isyarat mereka, dan kita izinkan mereka lewat. Dengan demikian, kita bisa mengawasi mereka dan kita tidak merasa kedaulatan kita dilanggar oleh mereka yang mau menggunakan jalur itu. Dalam rangka memperkenalkan dan memperjuangkan prinsip Wawasan Nusantara itu, gagasan kita lontarkan melalui forum internasional, yakni konferensi PBB tentang Hukum Laut.

Dalam sidang di bulan April 1982, telah berhasil disahkan rumusan-rumusan tentang Hukum Laut sebagai yang telah dibahas selama hampir 10 tahun, menjadi konvensi Hukum Laut Internasional Baru yang di dalamnya tertera prinsip-prinsip Hukum Laut tentang Wawasan Nusantara dalam bentuk prinsip-prinsip mengenai negara kepulauan.

Sekarang, dengan cara penetapan batas-batas berdasarkan konsepsi negara kepulauan itu, kita harus memanfaatkan keuntungan-keuntungan yang kita peroleh yang tidak kecil artinya itu. Konvensi Hukum Laut 1982 itu telah ditandatangani oleh Indonesia dan oleh lebih dari 150 negara lainnya. Setelah DPR kita menyetujui konvensi itu di bulan Desember 1985, saya sebagai Presiden mensahkan konvensi itu dengan UU No.17, pada akhir Desember tahun itu.

Tinggallah sekarang kita mendorong supaya negara-negara penandatangan lainnya, terutama negara-negara ASEAN, Pasifik, khususnya Jepang dan Korea Selatan, negara-negara maju, dan negara berkembang lainnya meratifikasinya.

***

[1]      Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 319-322.

Unsur Ke-1 Wawasan Nusantara: Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Bangunan Peradaban

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara
Wawasan Nusantara (Bagian 1)
Unsur Ke-1 Wawasan Nusantara: Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Bangunan Peradaban

“Ono Warisane Pak Harto sing dilaleake. Mongko ing kono ngemu wadi wibowo lan kuncaraning bongso. Warisan iku ora liyo Wawasan Nusantara”

(Ada warisan Pak Harto yang dilupakan orang. Padahal didalamnya tersimpan rahasia kenapa pada era pemerintahannya Indonesia begitu berwibawa dan disegani bangsa-bangsa lain di dunia. Warisan itu tiada lain Wawasan Nusantara)

Pernyataan singkat yang diperoleh penulis dari seseorang yang tinggal di sudut pedesaan Jawa Timur itu pada awalnya sulit ditarik benang merah, antara Wawasan Nusantara yang dipopulerkan Presiden Soeharto dengan meroketnya kewibawaan dan harga diri bangsa pada masa kepemimpinannya. Setelah melakukan pencermatan, pangkal tolak keterputusan benang merah itu adalah perspektif (sudut pandang) para pembantu Presiden Soeharto dalam menerjemahkan secara formal konsepsi Wawasan Nusantara, yang hanya terfokus pada konstruksi kesatupaduan dan kedaulatan teritori fisik (darat-laut-udara) Indonesia modern, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam lingkup teritori fisik Indonesia moderen itulah pemahaman kita terhadap Wawasan Nusantara dibentuk, sehingga tidak bisa memahami secara utuh back mind (latar belakang pemikiran) Wawasan Nusantara yang sebenarnya dijadikan pijakan Presiden Soeharto.

Para pembantu Presiden Soeharto mengkonstruksikan Wawasan Nusantara sebagai konsep politik bangsa Indonesia yang memandang wilayah Indonesia modern (eks wilayah jajahan Belanda) sebagai satu kesatuan teritori fisik, meliputi tanah (darat), air (laut) —termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya— dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh, menyeluruh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam[2]. Pada era orde baru, Wawasan Nusantara —sebagai konsepsi politik kenegaraan dan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia— ditegaskan dalam GBHN melalui Tap. MPR No.IV tahun 1973. Konsepsi itu dari sudut proses formal dinilai sebagai tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang diperjuangkan sejak Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.

Para pembantu Presiden Soeharto memang berhasil mengkonstruksikan konsepsi formal Wawasan Nusantara dalam perspektif kesatupaduan dan kedaulatan teritori fisik Indonesia modern, maupun spirit/ nilai-nilai kenusantaraan (Pancasila) sebagai penopang idiologis tegaknya peradaban yang dibangun di atasnya. Namun konsepsi tersebut belum mengkonstruksikan secara baik ketiga aspek lainnya yaitu: (1) kekuatan SDM berbasis multikulturalisme Nusantara, (2) kesadaran kesejarahan rotasi dan kronik kekuasaan, serta (3) kesadaran kesejarahan geostrategi yang menyangkut eksistensi teritori fisik dan interseksinya dengan kawasan luar yang sebenarnya dipahami dan aplikasikan betul oleh Presiden Soeharto melalui arahan-arahan kebijakannya.

Adanya keterputusan pemahaman itu —bahkan mengesampingkan konsepsi yang sudah ada— menyebabkan para penyelenggara negara pasca mundurnya Presiden Soeharto mengalami kegagapan dalam mempertahankan peran Indonesia sebagai regional leader kawasan Asia Tenggara maupun wibawanya dalam percaturan internasional. Kebingungan itu tercermin dari pergeseran peran Indonesia, dari semula sebagai pemegang inisiatif percaturan internasional —khususnya di kawasan Asia Tenggara—, menjadi defensif oleh deraan konflik-konflik perbatasan dengan negara sekitarnya. Berbagai pihak menuding krisis alutsista (alat utama sistem persenjataan) sebagai faktor pemicu, tanpa menelaah prestasi Presiden Soeharto —menjadikan Indonesia sebagai regional leader— bukan semata-mata disebabkan oleh canggihnya persenjataan dan kekuatan militer yang dimiliki.

Keberhasilan Presiden Soeharto meneguhkan peranan Indonesia sebagai regional leader didukung oleh penguasaan Wawasan Nusantara secara utuh. Wawasan itu kemudian diimplementasikan secara konsisten sehingga kebijakan politik luar negeri Indonesia memiliki pijakan stabilitas dalam negeri yang kuat dan memperoleh dukungan dari negara-negara sekitar, khususnya Asia Tenggara.

Wawasan Nusantara secara utuh meliputi lima unsur cara pandang, yaitu: (1) cara pandang terhadap keseluruhan wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban, (2) nilai-nilai kenusantaraan sebagai pijakan idiologis tegaknya peradaban, (3) kemampuan pengelolaan kekuatan SDM berbasis multikulturalisme suku/ sub suku bangsa, (4) kesadaran kesejarahan rotasi dan kronik kekuasaan Nusantara, serta (5) kesadaran kesejarahan geostrategi yang menyangkut teritori fisik dan interseksinya dengan kawasan di luarnya. Dalam konteks Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban, NKRI merupakan kekuatan inti dan keberadaanya harus didukung (mampu memobilisi) negara-negara sekitarnya sebagai kekuatan penyangganya. Konsepsi wawasan Nusantara secara utuh itu diilustrasikan sebagai berikut:

Unsur ke-1 Wawasan Nusantara: Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Bangunan Peradaban

Merupakan cara pandang bahwa peradaban Nusantara merupakan entitas peradaban skala kebangsaan yang dibangun di atas wilayah Nusantara secara utuh —sebuah kawasan yang dibatasi oleh dua lautan besar (Hindia-Pasifik) dan dua benua besar (Asia-Australia)—. Peradaban itu dibangun oleh bangsa Nusantara, yaitu orang-orang yang memiliki ikatan batin dengan tanah air Nusantara[4]. Oleh karena itu konstruksi peradaban yang terbentuk memiliki corak kenusantaraan atau didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Nusantara, dengan penyandaran pada aspek-aspek transendensi, perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan serta tegaknya keadilan dalam kerangka pranata kemasyarakatan dan kebangsaan yang berkeadaban.

Orientasi transendensi, kemanusiaan, keadilan dan keadaban merupakan jiwa masyarakat Nusantara, bahwa pencapaian hidup dan kehidupan bukanlah kemenangan semu (kemashuran, kekayaan dan superioritas), melainkan pencapaian kemenangan yang sesungguhnya dari masing-masing individu maupun keseluruhan entitas bangsa Nusantara. Yaitu sebuah orientasi pencapaian kesejahteraan bersama dalam bingkai harmoni relasi antara individu, Tuhan dan lingkungan sekitar, maupun antara kehidupan dunia dan kehidupan sesudahnya, yang diimplementasikan dalam kerangka pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berketuhanan, berperikemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban. Sebagai sebuah entitas peradaban, eksistensi peradaban Nusantara bukan didasarkan atas motif penegasian atau merendahkan peradaban-peradaban lain, akan tetapi dibangun oleh kesadaran bahwa eksistensinya merupakan salah satu penyangga peradaban dunia, sebagaimana eksistensi peradaban India, Eropa, Cina, Afrika, Timur Tengah, maupun bangsa-bangsa di benua Amerika.

Eksistensi Nusantara sebagai satu kesatuan bangunan peradaban mengalami distorsi seiring keberhasilan proyek disintegrasi Nusantara oleh kekaisaran Cina. Proyek disintegrasi itu mencapai puncaknya dalam perang saudara (Paregreg) dan menyebabkan peradaban Nusantara mengalami pelapukan atau pengeroposan dari dalam. Keroposnya suprastruktur peradaban Nusantara (runtuhnya Majapahit oleh Paregreg) menyebabkan laju kolonialisasi Eropa tidak dapat dibendung dan akhirnya berhasil mengkotak-kotak wilayah Nusantara menjadi bagian-bagian kecil dibawah naungan negara-negara kolonialis Eropa. Inggris menguasai Singapura, semenanjung Malaya, sebagian Kalimantan hingga Hongkong. Belanda menguasai Sumatera, Jawa, Bali, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Papua. Portugis menguasai pulau Timor, Australia menguasai sebagian Papua dan Spanyol menguasai Filipina.

Apa yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang tidak mengembalikan keutuhan wilayah Nusantara yang meliputi pulau delapan —Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, Halmahera dan Papua— beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya[5]. Oleh karena itu Indonesia modern hanya berhasil diletakkan dalam lingkup teritori fisik bekas wilayah jajahan Belanda, dan membiarkan Kalimantan Utara menjadi bagian negara Malaysia dan Brunei, Singapura menjadi negara mandiri serta sebagian Papua (Papua New Guinea) menjadi negara merdeka dibawah pengaruh Australia. Para pendiri negara —melalui sidang BPUPKI— sepakat mendirikan Indonesia di atas wilayah bekas jajahan Belanda dan memilih menawarkan opsi kepada wilayah-wilayah Nusantara yang ada diluarnya —Kalimantan Utara, Brunei dan Papua New Guinea— untuk bergabung dengan kemauan sendiri atau menentukan nasibnya sendiri (mendirikan negara sendiri) setelah negara Indonesia memproklamasikan diri. Opsi itu diambil dengan sebuah kesadaran bahwa ketidakutuhan wilayah Indonesia atas Nusantara pada saatnya akan menjadi bumerang bagi kedaulatan negara dan bangsa Indonesia yang keberadaannya didesain sebagai kekuatan inti pembangunan kembali (rekonstruksi) peradaban Nusantara.

Kesepakatan para pendiri negara —atas teritori fisik Indonesia Merdeka dalam batas bekas wilayah jajahan Belanda— terpaksa diambil atas dasar kondisi obyektif dan pertimbangan-pertimbangan taktis pada saat itu. Pertama, para pendiri negara harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan wilayah inti Nusantara, yang secara dejure —-berdasarkan penjanjian Wina 1942—- akan dikembalikan kepada pemilik koloni sebelumnya (kerajaan Belanda), pasca kekalahan Jepang dari Perang Dunia II. Kedua, membebaskan seluruh wilayah Nusantara pada saat bersamaan akan berhadapan dengan Belanda, Inggris dan Australia sekaligus, dimana negara Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, belum memiliki kekuatan militer memadai. Bahkan pembebasan bekas wilayah eks kolonialis Belanda saja harus memakan waktu panjang, dimana Irian Barat baru bisa dibebaskan pada tahun 1963, atau 18 tahun setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

Upaya penyatuan keutuhan teritori fisik Nusantara dalam Kerangka negara Indonesia modern pernah diikhtiarkan oleh Presiden Soekarno melalui kampanye “Ganyang Malaysia”. Upaya ini dibajak oleh Komunis internasional (comintern) —melalui kudeta PKI tahun 1965— dengan agenda menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Pengkomunisan masyarakat Nusantara jelas-jelas tidak sejalan dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yang hendak merekonstruksi (melakukan pembangunan kembali) peradaban Nusantara secara berdaulat dan independen, termasuk dalam hal idiologi bangsa. Mengkomuniskan Nusantara sama artinya dengan mendekonstruksi peradaban Nusantara, khususnya dalam hal idiologi maupun tata nilai yang selama ini menjadi spirit tegaknya peradaban, untuk kemudian diganti dengan paham dan tata nilai Komunis. Secara fisik, keberhasilan kudeta PKI 1965 akan mensubordinasi kedaulatan Indonesia, karena kebijakan negara komunis selalu berada dibawah pengaruh kebijakan Comintern. Pengkomunisan Nusantara juga akan memiliki dampak yang sama —bahkan lebih destruktif— dengan upaya rekolonialisasi Kerajaan Belanda (melalui agresi-agresi militernya), yaitu penggagalan rekonstruksi peradaban Nusantara untuk dapat kembali berdiri tegak, sebagai sebuah bangunan peradaban yang independen dan bercorak ke-Nusantaraan, yang telah dideklarasikan kebangkitannya melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Presiden Soeharto tentu saja menyerap substansi dialektika para pendiri negara dalam proses perumusan teritori fisik Indonesia moderen, dengan tetap melihat kaitan perlunya penyatupaduan wilayah Nusantara, sebagai satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban. Ia melihat realitas wilayah-wilayah di luar eks kolonialis Belanda telah mengambil sikap dengan berdiri sendiri sebagai sebuah negara —Malaysia, Brunei, Singapura, Papua New Guinea— dan keberadaannya harus dihargai sebagai negara berdaulat yang hidup berdampingan. Oleh karena itu ia menempuh pendekatan baru dengan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan inti pembangunan kembali peradaban Nusantara dengan melibatkan negara-negara mandiri di sekitarnya sebagai bagian tak terpisahkan.

Pelibatan itu dilakukan dengan membangun konsensus agar negara-negara di kawasan Nusantara dapat hidup berdampingan secara damai, tidak saling melemahkan satu sama lain dan secara bersama-sama memperjuangkan pancapaian kesejahteraan bersama. Konsensus itu juga diimplementasikan dalam bentuk komitmen untuk menutup kemungkinan penggunaan negara-negara di kawasan ini sebagai pintu masuk intervensi kekuatan asing dalam menusuk atau melemahkan eksistensi wilayah inti Nusantara (NKRI). Oleh karena itu dapat dimengerti jika dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mempelopori adanya ASEAN way, yaitu sebuah pola penyelesaian konflik negara-negara ASEAN dengan menggunakan mekanismenya sendiri, tanpa campur tangan negara-negara yang ada di kawasan luar, dan tetap menghargai kedaulatan maupun harga diri masing-masing negara anggota. ASEAN way diilhami oleh kebutuhan bahwa kesatupaduan orientasi pembangunan peradaban negara-negara di kawasan ini merupakan prioritas dan tidak boleh dirobek oleh silang kepentingan yang muncul dalam hubungan antar negara.

ASEAN way bukan semata-mata kerangka kerjasama regional untuk saling menguntungkan secara ekonomi. Keberadaannya harus dilihat dalam perspektif geopolitik untuk memutus intervensi negara-negara yang berasal dari kawasan lain terhadap wilayah Nusantara. Sebagai contoh masih adanya ikatan emosional dalam kerangka persemakmuran (commonwealth) antara Inggris dengan Singapura-Malaysia dan Amerika dengan kepentingan pangkalan Angkatan Laut-nya di Philipina[8]. Bagi Indonesia —-sebagai wilayah inti pembangunan Peradaban Nusantara— ASEAN way merupakan konsep geopolitik untuk menjadikan negara-negara lingkar dekat (Malaysia, Brunei, Singapura) dan lingkar luar kawasan Nusantara (Thailand, Vietnam, Philipina, Laos, Kamboja) sebagai perisai masuknya intervensi asing, sekaligus daya dukung pembangunan kembali peradaban Nusantara. Oleh karena itu negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara harus dikelola sedemikian rupa, agar tidak menjadi zona konsolidasi bagi kekuatan-kekuatan dari kawasan lain dalam mengendalikan atau bahkan melemahkan eksistensi Indonesia.

Mengingat wilayah lingkar dekat maupun lingkar luar telah berubah menjadi negara mandiri, maka konsepsi Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban menekankan cara pandang agar negara-negara yang berada di wilayah Nusantara dapat dikelola dalam satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban, dalam kerangka hubungan antar negara berdaulat. Kesatuan orientasi tersebut bukan hanya dalam lingkup usaha-usaha pencapaian kemakmuran ekonomi, akan tetapi juga meliputi komitmen untuk membentengi wilayah Nusantara dari campur tangan yang datang dari kawasan luar.

Terlepas strategi yang dipergunakan —operasi intelijen, bargaining kepentingan ekonomi ataupun perlindungan terhadap stabilitas dan kepentingan bersama—-, Presiden Soeharto berhasil menjalin kemesraan dengan Malaysia, Singapura dan Brunei serta memasukkan kembali Timor Timur sebagai bekas jajahan Portugis menjadi bagian wilayah Indonesia[9]. Kemesraan itu menjadi bekal positif Indonesia untuk mengkonsolidasi negara-negara lingkar luar Nusantara (Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Filiphina) agar memiliki komitmen dalam mewujudkan stabilitas kawasan Asia Tenggara tanpa campur tangan pihak asing manapun. Kemampuan Indonesia menempatkan dirinya sebagai regional leader dalam mewujudkan stabilitas kawasan Asia Tenggara telah mengukuhkan peranannya dalam level Asia-Afrika. Melalui gerakan Non Blok, Indonesia bahkan berperan aktif sebagai penyeimbang percaturan internasional, khususnya dialektika politik antara Blok Barat dan Blok Timur yang pada saat itu sedang memuncak.

Pada era reformasi, para penyelenggara negara tidak cukup memiliki road map dan bargaining dalam menyatukan negara-negara di wilayah Nusantara, untuk berada dalam satu kesatuan orientasi dengan arah dan kebijakan Indonesia. Akibatnya kebijakan negara-negara di kawasan ini justru memperlemah eksistensi Indonesia, dan bahkan menjadi pintu masuk kelompok-kelompok kepentingan internasional dalam mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Indonesia.

  1. Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan
  2. Kesatuan ini hanya dalam batasan lingkup negara Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam batasan wilayah bekas jajahan Belanda.
  3. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  4. Masyarakat nusantara asli adalah entitas bangsa multikultur yang mendiami kawasan kepulauan yang membentang di antara dua samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Australia-Asia). Bangsa Nusantara adalah orang-orang yang memiliki keterikatan batin (lahir, tumbuh dan dibesarkan) dengan wilayah nusantara dan memiliki ciri khas sebagai masyarakat kepulauan.
  5. Pandangan yang menyatakan bahwa wilayah Nusantara meliputi pulau delapan dan pulau-pulau kecil disekitarnya, dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan juga disetujui Bung Karno dalam pembahasan-pembahasan sidang BPUPKI tahun 1945.
  6. Implikasi geopolitik ketidakutuhan wilayah Indonesia atas Nusantara, secara kuat dikemukakan oleh Muhamamad Yamin. Sedangkan usulan adanya opsi penggabungan diri dan tidak melalui skenario pembebasan secara paksa bagi wilayah Nusantara diluar eks jajahan Belanda, salah satunya diusulkan Muhammad Hata. Menurutnya pembebasan dengan cara paksa terhadap wilayah-wilayah tersebut akan menjerumuskan Indonesia kedalam tabiat kolonialis, hal mana pembebasan dari kolonialisme merupakan spirit tegaknya peradaban Nusantara. Melihat adanya keinginan penduduk di wilayah Kalimantan Utara dan Malaysia —melalui kontak masyarakat setempat dengan Soekarno— untuk menggabungkan diri dengan Indonesia, maka pemberian opsi inisiatif masyarakat setempat dan bukan pembebasan dengan cara paksa merupakan strategi yang akan ditempuh dalam menyatukan kembali keutuhan Nusantara.
  7. Belanda hendak melakukan rekolonialisasi melalui Agresi I dan II, Inggris tentu tidak menerimakan begitu saja dengan lepasnya Malaysia dan Singapura, sementara Australia jelas tidak menginginkan Papua New Guinea lepas dari kendalinya.
  8. Amerika akhirnya menutup pangkalan Angkatan Laut-nya di Subic Philipina.
  9. Pengembalian Timor Timur kedalam lingkup NKRI atas dukungan AS dan Australia.
  10. Singapura sebagai basis kelompok-kelompok kepentingan ekonomi internasional dalam penguasaan potensi-potensi ekonomi strategis Indonesia. Sedangkan Malaysia menjadi basis agenda-agenda disintegrasi, seperti lepasnya Sipadan-Ligitan dalam kerangka persekongkolan negara-negara persemakmuran dan basis anggota-anggota GAM.
Penulis : Abdul Rohman