PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Bertugas di Sulawesi Selatan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan. Begitu mereka menyebutnya, sementara bagi kita adalah pengakuan kedaulatan. Wakil Mahkota Belanda yang baru menyerahkan kedaulatan itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor F. Mallinger menyerahkannya kepada Kolonel Gatot Soebroto.

Waktu Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta menerima penyerahan kekuasaan di Makassar, ia hanya dengan beherapa anggota staf dan sepasukan Polisi Militer. Kemudian anggota-anggota KNIL, yang bersedia, digabungkan ke dalam APRIS, termasuk pasukan Kapten Andi Azis pada tanggal 30 Maret 1950.

Kekurangan kekuatan TNI di Sulawesi Selatan waktu itu tentunya harus segera ditambah. Pimpinan TNI segera menetapkan akan mengirimkan Batalyon Worang dari Brigade XVIII/Jawa Timur ke Makassar dengan kapal “Waikelo”. Tetapi belum juga Batalyon Worang itu sampai di Makassar, keributan terjadi di wilayah itu, di tengah suasana pertentangan yang masih hidup antara pihak unitaris dan federalis, antara yang menginginkan Negara Kesatuan RI dan Negara RIS.

Memang suasana politik seperti itu masih hidup di pelbagai termpat yang pernah diduduki oleh tentara Belanda. Sementara sebagian kekuatan mengadakan rapat-rapat untuk menunjukkan keinginan berdirinya “negara-negara bagian”, bagian lainnya menentangnya dengan pelbagai pernyataan dan demonstrasi.

Pada hari Rabu tanggal 5 April 1950, Letkol. Mokoginta dipaksa “datang” ke asrama Kapten Andi Azis. Ternyata ia ditangkap. Sementara itu Kompi Polisi Militer di Makassar sudah dilucuti oleh bekas-bekas KNIL bersama KL Menjelang tengah hari, seluruh Makassar dikuasai oleh Andi Azis dan kapten ini lalu mengirimkan ultimatum kepada Pemerintah RIS, supaya tidak mendaratkan pasukan TNI di Sulawesi Selatan. Kapten Andi Azis memperkuat pasukannya dengan persenjataan berat dan sebuah pembom untuk membuktikan kesungguhannya.

Pemerintah di Jakarta pada mulanya berusaha menyelesaikan “Peristiwa Andi Azis” itu dengan menginsafkan Andi Azis dan memanggilnya ke Jakarta. Tetapi sekalipun kemudian Andi Azis berjanji akan memenuhi panggilan itu, ternyata ia datang terlambat, melewati batas waktu yang sudah diumumkan. Akibatnya ia dinyatakan sebagai pemberontak. Tindakan Kapten Andi Azis itu dianggap oleh Kementerian Pertahanan dan Pemerintah RIS sebagai tindakan yang melanggar hukum dan disiplin tentara, serta menghina sumpah tentara. Presiden Soekarno mengumumkan lewat radio tentang pemberontakan Andi Azis itu.

Lalu Menteri Pertahanan membentuk sebuah pasukan ekspedisi untuk menumpas pemberontakan Andi Azis itu pada tanggal 7 April 1950. Pasukan ekspedisi itu dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang yang belum lama memimpin Divisi di Sumatera Utara, dengan kekuatan satu divisi yang terdiri atas Brigade XVIII/Divisi I Jawa Timur yang dipimpin oleh Letkol. Suprapto Sukowati dan Letkol. Warrouw, Brigade I, yaitu Brigade Mataram/Divisi III Jawa Tengah yang saya pimpin, Batalyon I Brigade XIV/Siliwangi Jawa Barat yang dipimpin oleh Kapten Bohar Ardikusuma dan satu batalyon seberang dari Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayor Andi Matalatta.

Pada tanggal 8 April 1950 saya sebagai Komandan Brigade Mataram/Divisi III Diponegoro menerima perintah untuk mempersiapkan satu staf brigade mobil dan dua batalyon penggempur. Semenjak Aksi Militer Belanda ke-2, Brigade X yang saya pimpin itu bernama “Brigade Mataram” dengan panji yang berlukiskan seekor burung garuda berwarna kuning dan bertuliskan “Mataram”. Sebab itu, biasa pula orang awam menyebut brigade ini “Brigade Garuda Mataram”.

Kedua batalyon penggempur yang saya tetapkan ialah Batalyon Kresno di bawah pimpinan Darjatmo dan Batalyon Seno di bawah pimpinan Mayor Sudjono. Pada waktu itu, sebenarnya Brigade Mataram sedang mengadakan konsolidasi ke dalam, seperti halnya juga dengan kesatuan-kesatuan lainnya. Waktu untuk persiapan hanya lima hari. Kemudian kami harus terus berangkat.

Perlengkapan alat senjata yang dibawa berupa pistol dan jungle rifle bagi para perwira dan para pejabat komandan seksi ke atas; senapan sten dan bren untuk regu ringan, selanjutnya  mortir ringan bagi regu tertentu. Yang paling berat hanyalah mitralyur penangkis serangan udara ukuran 12,7 mm.

Sementara itu meskipun terjadi pemberontakan separatis di Indonesia Timur, pada tanggal 8 April 1950 Dewan Perwakilan Sementara RIS memutuskan untuk memilih Negara Kesatuan RI, negara yang dicita-citakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di tengah suasana seperti itu kami harus berangkat ke Sulawesi Selatan. Dan perubahan RIS menjadi RI kembali itu terjadi sewaktu saya masih berada di Makassar, yakni pada tanggal 17 Agustus 1950.

Tanggal 14 April 1950 bersiaplah Staf Brigade Mataram di halaman Markas untuk memberikan laporan, bahwa semua telah siap untuk berangkat. Lalu kami meninggalkan Yogya, meninggalkan keluarga masing-masing dengan penuh haru dan menyongsong nasib yang masih dipertanyakan, demi membela kemerdekaan yang sudah kita dapatkan bersama.

Dalam perjalanan, mulai dari Bedono terus sampai Semarang, terlihat bendera Belanda tiga warna, sebagai tanda di tempat-tempat itu masih terdapat KL dan KNIL yang sedang menunggu status lebih lanjut. Begitu suasana di tengah perjalanan. Insiden tidak terjadi. Kami pegang teguh disiplin.

Tanggal 17 April 1950 di Semarang Letkol. Sentot Iskandardinata, Kepala Staf pasukan ekspedisi itu, menyampaikan perintah operasi kepada saya, yakni Brigade Mataram harus mendarat di Bontain. Kemudian saya harus menguasai kota. Markas Brigade tetap di Bontain. Kemudian saya harus mengirimkan satu batalyon ke Makassar. Begitu perintah pertama.

Keesokan harinya Kolonel Kawilarang disertai Kolonel Gatot Soebroto yang saya dampingi memeriksa Batalyon Kresno dan Batalyon Seno. Ternyata kedua batalyon kami itu yang paling dulu siap di antara semua yang akan dikirimkan.

Saya sendiri menentukan formasi untuk keperluan ekspedisi itu. Dasar pertimbangan waktu itu adalah susunan yang praktis, mudah dimengerti oleh anak buah, mencukupi kebutuhan dengan tenaga sesedikit mungkin, artinya seefisien mungkin, dan persenjataan ringan, yang ada saja.

Setelah selesai persiapan, pada tanggal 19 April 1950 barang-barang anggota Brigade Mataram yang ikut serta dalam ekspedisi sudah ada di atas kapal “Waiwerang”. Keesokan harinya, tanggal 20 April seluruh staf dan anggota brigade saya telah naik ke atas kapal “Waiwerang” itu, siap melaksanakan operasi. Tanggal 21 April, jam 18.00 sore berangkatlah kami menuju sasaran, dengan kode operasi “Macan” dan sasaran kami disebut “Kelapa”.

Pada tanggal 24 April, sedikit lewat setengah dua belas malam, dalam briefing di kapal korvet “Hang Tuah”, waktu berada di tempat rendezvous di pulau De Bril, Kolonel Kawilarang mengadakan perubahan rencana operasi. ltu disebabkan oleh karena Andi Azis sudah menyerah kepada Pemerintah di Jakarta dan Batalyon Worang telah berhasil mendarat di Jeneponto, serta kemudian menguasai Makassar. Maka lalu brigade kami mendarat langsung di Makassar. Saya ditetapkan menjadi Komandan Sektor Makassar yang meliputi kota Makassar dan daerah pantai Jeneponto sampai Gunung Lompobattang, ke utara lurus sampai timur Pancana, membelok, ke barat hingga selatan Pancana. Kota Makassar ditetapkan berada di bawah Komando Militer Kota (KMK).

Pasukan-pasukan saya mendarat dengan selamat pada tanggal 26 April 1950. Rakyat menyambut kedatangan kami dengan hangat. Patut saja begitu, karena sebelumnya mereka mendapat tekanan hebat dan mengalami tindakan kejam dari orang-orang KNIL/KL itu.

Sementara itu Kolonel Kawilarang sudah diangkat menjadi Panglima T & T VII/Indonesia Timur menggantikan Letkol. A.J. Mokoginta. Pasukan-pasukan bekas KNIL dan KL itu masih saja tidak senang dengan kedatangan kami, sekalipun Andi Azis sudah menyerah. Maka terjadi beberapa insiden yang mengakibatkan korban jiwa.

Waktu itu, di samping soal KNIL/KL, masih ada masalah keamanan akibat perbuatan lasykar Pasukan Gerilya yang tidak mau tunduk kepada APRIS, dan belum jelas benar bagi kami apa tujuan mereka yang sesungguhnya.

*

Di tengah suasana penumpasan pemberontakan itu, kami berkenalan dengan keluarga Habibie yang tinggal di seberang jalan, di depan Brigade Mataram. Hal ini patut saya kenang. Di rumah keluarga Habibie itu terdapat suasana yang membuat anggota Staf Brigade kami kerasan. Ibu Habibie berasal dari Yogya dan masih fasih berbahasa Jawa. Obrolannya dalam bahasa Jawa merupakan hiburan tersendiri bagi anggota staf kami yang jauh dari keluarga.

Pada suatu hari, di tengah malam, sewaktu anggota Staf Brigade masih tidur nyenyak, datanglah dua orang anak Habibie di asrama dengan tangis yang mengharukan. Mereka memberi tahu, bahwa ayahnya sakit keras. Dokter Irsan segera memberi pertolongan dan saya menemaninya di sampingnya. Kita berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Bapak Habibie kena serangan jantung pada saat menjalankan sembahyang Isya dan tidak tertolong lagi. Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan saya, Dokter Irsan, dan keluarganya. Saya berkesempatan menutupkan matanya sambil memohonkan ampun pada Tuhan Yang Maha Esa.

Waktu itu suasana duka meliputi keluarga Habibie. Ibu Habibie sedang mengandung dan seorang anak, B.J. Habibie, yang kelak mengambil peranan penting, baru belasan tahun saja umurnya. Keluarga Brigade Mataram turut berduka cita dan membantu penguburan Bapak Habibie.

Hubungan anggota Brigade Mataram bertambah erat lagi dengan keluarga Habibie disebabkan oleh adanya seorang perwira Brigade Mataram yang menjalin cinta dengan seorang putri Habibie. Kapten Subono kawin dengan kakak B.J. Habibie dan dengan ini, saya, sebagai Komandan Brigade, “besanan” dengan lbu Habibie.

*

Sebuah insiden terjadi pada tanggal 14 Mei 1950 di Pasar Sambung Jawa. Anggota satuan Siliwangi bertengkar dengan anggota KNIL/KL. Polisi Militer APRIS dan MP Belanda menengahi pertengkaran tadi. Tetapi keesokan harinya terjadi lagi insiden serupa di Kampung Boom. Pihak KNIL/KL tidak dapat menahan nafsu dan mereka melepaskan tembakan dari atas truk. Satuan Siliwangi segera membalasnya. Maka suasana di Kota Makassar menjadi hangat. Saya berusaha menekan api yang mulai menyala itu. Maka kelihatan kedua belah pihak segera kembali ke kesatuannya masing-masing. Tetapi rupanya itu masih untuk mempersiapkan kekuatan.

Saya sebagai Komandan Militer Kota memerintahkan siaga umum. Selanjutnya saya usahakan supaya semua pasukan tidak bergerak dan tidak melepaskan tembakan. Tetapi ternyata pertentangan tidak dapat dihindarkan. Tanggal 16 Mei 1950 pertempuran hebat terjadi. Segera saya perintahkan tiap sub sektor Makassar secara masing-masing mengirimkan pasukan satu kompi ke dalam kota. Maka pertempuran dapat dihentikan pada tanggal 18 Mei 1950. Tetapi kejadian ini telah menyebabkan gugurnya sejumlah anak buah saya dan demikian pula dari pihak KNIL/KL.

Lalu diadakan perundingan antara Komandan APRIS dan KNIL/ KL. Hasil perundingan itu adalah MP Belanda dan PM APRIS akan menjaga daerah KNIL/KL. Anggota KNIL/KL tidak boleh keluar dari daerahnya dan anggota TNI tidak boleh masuk daerah KNIL/KL.

Patroli bersama-sama diadakan di dalam kota. Garis demarkasi telah ditetapkan, tetapi rasa dendam ternyata tidak dapat dipadamkan dengan jalan begitu saja.

Untuk sementara memang tenang, sekalipun tetap tegang. Tetapi insiden kembali meledak setelah pada tanggal 1 Agustus 1950 seorang anggota “Q” ko. TTIT-TNI, Letnan Yan Ekel, dari Kepulauan Sunda Kecil yang sedang cuti dan tidak mengetahui situasi di Kota Makassar, masuk di daerah KNIL/KL. Tanpa ditanya ia langsung ditembak mati. Maka meledaklah api permusuhan yang memang masih terpendam itu. Sementara itu, jenazah Letnan Yan Ekel dirawat oleh tunangan dan calon mertuanya dan dimakamkan seperti semestinya.

Tanggal 5 Agustus 1950 Markas Brigade Mataram di Klapperlaan diserbu KNIL/KL. Pasukan penyerbu mempergunakan tank, panser dan bren-carrier. Suara tembakan berurutan di seluruh kota. Gemuruh, bising bersuitan suara peluru di atas kepala. Pada waktu Markas Brigade Mataram diserang, saya baru satu jam tiba dari Jakarta, dipanggil MBAD untuk membicarakan rencana MBAD yang akan mengirimkan Kahar Muzakkar ke Makassar. Saya menyarankan agar rencana MBAD itu ditunda, karena saya tahu watak Kahar Muzakar sewaktu di Yogya. Sukar diatur. Bahkan ia pernah saya ancam akan dilucuti.

Komando pihak musuh terdengar dipegang oleh seorang opsir KL. Dalam Komando itu, disebut-sebut nama Mayor Maastricht dan Overste Tijman.

Saya perintahkan serangan artileri dari Tello. Bahkan korvet “Hang Tuah” ikut menggempur posisi KNIL/KL dengan tembakan meriamnya. Lawan mencoba bergerak, tetapi serangan musuh itu dapat kami patahkan. Mereka segera kembali ke asrama mereka. Serangan balasan dari pihak kita kami lakukan pada tanggal 6 Agustus. Pertempuran yang paling hebat terjadi. Pihak musuh cuma bertahan dan berlindung di tempatnya. Esoknya, tanggal 7 Agustus, KNIL/KL mencoba menyerang lagi. Tetapi gerakan mereka itu kami patahkan juga. Segera saya perintahkan melakukan serangan umum.

Setelah mereka terdesak, rupanya pihak KNIL/KL itu minta bantuan Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengakhiri pertempuran. Tanggal 8 Agustus tembak-menembak berakhir. Dan istimewanya pihak Belanda menawarkan perundingan minta damai. Saya curiga terhadap mereka. Berdasarkan pengalaman yang sudah lewat, saya tidak begitu saja percaya pada ajakan damai itu, saya tolak kecuali kalau semua anggota KNIL/Kl mau meninggalkan Makassar dengan menyerahkan semua peralatan dan senjata mereka.

Kolonel Kawilarang membawa kabar tentang kesungguhan maksud orang-orang KNIL/KL untuk meminta damai itu. Saya terangkan pikiran saya. Maka kemudian rundingan dilakukan antara pihak kita dan pihak KNIL/KL itu.

Tawar-menawar terjadi. Perundingan selanjutnya dilakukan oleh kedua belah pihak di Hotel City Makassar. Pihak kita dipimpin oleh Kolonel Kawilarang dan pihak lawan oleh Jenderal Mayor Scheffelaar.

Hasil perundingan itu menetapkan semua anggota KNIL/KL keluar dari Makassar dengan meninggalkan semua peralatan dan perlengkapan mereka, sesuai dengan keinginan saya. Tanggal 9 Agustus, pukul 15.30 mulai dilakukan penyerahan kendaraan berlapis baja, seperti panser, bren-carrier dan scoutcar dari KL/KNIL kepada APRIS. Wakil UNCI yang menengahi perundingan menyatakan kegembiraannya.

Mulai tanggal 14 Agustus sampai dengan tanggal 22 Agustus 1950 dilaksanakan pengangkutan anggota-anggota KNIL/KL itu, keluar dari Makassar tanpa senjata dan perlengkapan perang lainnya. Dengan keluarnya anggota-anggota KNIL dan KL tadi pemberontakan Andi Azis pun selesai. Dan Andi Azis dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh pengadilan militer di Yogyakarta, pada tahun 1953.

Dalam pada itu, saya mendengar bahwa Markas Angkatan Darat jadi mengirim Kahar Muzakkar ke Makassar. Saya tak habis pikir, mengapa pula dia jadi dikirim? Saya mengenal wataknya dengan cukup baik.

Boleh dikata, saya menentang sengit keputusan MBAD. Kahar Muzakkar tidak pernah memenuhi janjinya. Dia akan menimbulkan lebih banyak lagi kekacauan di daerah Sulawesi Selatan ini. Dan terkaan saya itu ternyata benar. Kahar Muzakkar menimbulkan kekacauan yang panjang.

Akhir September 1950 “Brigade Mataram” kembali ke Jawa Tengah. Ternyata 17 orang dari brigade kami gugur sebagai pahlawan bangsa. Saya menundukkan kepala, berdoa bagi mereka. Semoga pahlawan-pahlawan kita itu diterima di sisi Tuhan. Saya kembali ke Yogya dan berada lagi di tengah keluarga.

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 74-81.

Masa Perjuangan : Meyakinkan Pak Dirman

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Satu masalah pelik yang timbul saat itu adalah belum kembalinya Panglima Besar Soedirman ke Yogya. Beliau masih bertahan di markasnya. Terbetik kabar bahwa beliau akan terus berjuang sampai kedaulatan penuh di tangan Republik.

Sri Sultan telah berusaha membujuk Panglima Besar untuk kembali ke Yogya. Demikian pula Kolonel Gatot Soebroto. Gubernur Militer III, perwira yang disegani oleh Pak Dirman, telah mengirim surat kepada Panglima Besar kita itu. Tetapi tak ada reaksi yang tegas dari Pak Dirman.

Akhirnya saya diserahi  tugas oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator untuk menjemput Pak Dirman. Sebenarnya saya ini bukan seorang perwira yang terhitung dekat kepada Jenderal Soedirman. Saya bertemu dengan beliau pada saat­saat penting saja. Tetapi toh keganjilan  terjadi.

Pada waktu itu Pak Soedirman berada di Karangmojo, bukan di Pathuk. Saya pergi ke sana naik kuda, karena jalan ke sana sudah kita hancurkan. Saya melewati Piyungan, terus Pathuk, terus menuju ke Kecamatan Karangmojo. Ikut serta dengan saya waktu itu dr. Irsan, dokter Brigade X dan Bung Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan. Waktu saya menemukannya, tentunya saya terharu. Mana pula tidak akan begitu. Suasana itu begitu memikat dan terjadi setelah kita mampu menghalau Belanda, musuh kita.

Dan beliau bertanya, “Bagaimana kamu, Harto ?”  Sambutan pendek dari seorang Bapak yang kita hormati, di tengah suasana demikian, meresap mengharukan. Maka saya dengan tegas menjawab, “Tentara tetap di belakang Panglima Besar”. Lalu kami mengadakan pembicaraan, malahan mirip seperti sebuah diskusi, yaitu memikirkan apa dan mana yang lebih penting.

Pak Dirman tidaklah menolak sama sekali untuk turun ke Yogya waktu itu. Tetapi beliau mempunyai pertimbangan, mana yang baik pengaruhnya kepada perjuangan. Beliau ingat bahwa sebagian besar rakyat masih berjuang di luar kota. Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kepada saya dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan, kalau beliau turun ke Yogya sementara anak buah masih banyak yang di luar. “Masakan saya meninggalkan mereka dengan masuk ke Yogya,” katanya. “Apa pikiranmu, Harto ?” tanyanya.

Saya mempunyai pikiran lain. Menjawab pertanyaan Pak Dirman itu saya memberikan argumentasi. Pertama, bahwa Yogya itu sekarang sudah menjadi wilayah kita lagi. Yogya sudah menjadi pusat pemerintahan RI lagi. Dengan itu berarti, kita kembali ke tempat di mana kita bisa memimpin perjuangan kita. Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidasi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia.

Di samping itu, saya katakan kepada Pak Dirman, “Bapak masih mempunyai kewajiban untuk memimpin perjuangan kita ini.” Sementara itu nampak sekali fisik Pak Dirman dalam keadaan Iemah dan sakit. Oleh karena itu, saya pikir, kembalinya kita ke Yogya harus kita pergunakan untuk memulihkan kesehatan Panglima Besar kita.

Mendengar saya bicara begitu, akhirnya Pak Dirman bersedia berangkat. Artinya, pikiran saya bisa diterimanya. Maka berangkatlah Pak Dirman dalam keadaan ditandu. Sementara itu di Yogya penyambutan sudah saya siapkan. Belum juga satu jam dalam perjalanan, Pak Dirman minta berhenti. Pak Dirman turun dari tandunya. Saya masih berjalan di belakang pasukan pengawal Panglima Besar kita.

Maka saya dengar saya dipanggil oleh,Pak Dirman. Saya mendekat kepadanya. Dengan airmata berlinang Pak Dirman memegang bahu saya dan berkata, “Saya percayakan keselamatan negara dan keselamatanku kepadamu,  Harto.”

Sesaat saya diam, meresapkan kata-kata itu. Keterharuan saya waktu itu tidak mungkin saya lupakan. Lalu saya berkata dengan suara rendah, tetapi dengan kepercayaan penuh, “insya Allah, Pak.” Pak Dirman diam sesaat, lalu beliau naik lagi ke atas tandu. Kemudian kami berjalan  lagi.

Saya berpikir mengenai kejadian ini. Tentu itu diucapkan Pak Dirman setelah tadi malam kami bercakap-cakap. Waktu itu beliau masih kelihatan ragu. Mungkin pikirannya, apakah Belanda itu bersikap sungguh-sungguh atau membohongi kita seperti di waktu­waktu yang sudah. Juga Pak Dirman mungkin masih terganggu oleh rasa keraguannya terhadap para pemimpin politik yang akhirnya menyerah pada tanggal 19 Desember itu. Dalam percakapan malam itu, sebelum berangkat, beliau menunjukkan penghargaannya pada apa yang saya lakukan dengan serangan umum 1 Maret. Beliau pun setuju mengenai sikap saya sewaktu berunding dengan Sri Sultan tentang keberangkatan Belanda dari Yogya.

Sewaktu kami berjalan menuju ke Yogyakarta, rupanya sudah ada yang mempunyai pikiran, bahwa Jenderal kita itu harus datang dalam pakaian kebesaran. Bukan saya yang menyiapkan pakaian kebesaran itu, melainkan Pak Simatupang yang waktu itu adalah Kepala Stafnya.

Pak Simatupang dan Jenderal Hardjo mencegat kami di Piyungan. Di sana mereka sudah siap dengan kendaraan dan pakaian kebesaran itu. Maksud mereka, begitu Jenderal kita itu tiba, begitu mereka akan minta Pak Dirman naik ke dalam kendaraan dengan lebih dulu menukar pakaiannya.

Waktu tercetus pembicaraan mengenai pakaian jenderal yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman itu, Panglima Besar kita bertanya kepada saya, “Bagaimana ?”

Sejenak saya berpikir, tetapi cepat pula saya menjawab. “Kalau saya, lebih baik begini saja.” Maksud saya, biar Pak Dirman mengenakan pakaian yang asal saja, tak perlu diganti. “Begini juga sudah baik, Pak,” kata saya, dengan pikiran, “tak ada cacat sedikit pun memimpin gerilya dengan pakaian serupa itu. “Kalau nanti sudah berada di kota, barulah boleh berganti pakaian,” pikir saya.

Maka Pak Dirman pun rupanya sepaham dengan saya. Beliau tidak mengganti pakaiannya. Beliau tetap mengenakan yang asal, dengan mantel Australia paling luar. Badan beliau kurus. Tetapi dengan mengenakan mantel yang tebal itu beliau kelihatan gemuk. Mantelnya itu berat sekali.

Di Piyungan itu kami hanya mampir sebentar. Rencana yang tadinya di sana Panglima Besar kita akan berganti pakaian, tidak jadi dilakukan. Jenderal kita memutuskan lain. Dan tandu diganti dengan jeep yang sudah disediakan.

Sewaktu sampai di kota, dengan dielu-elu oleh rakyat sepanjang jalan, Pak Dirman bertanya kepada saya, “Bagaimana, terus langsung ke pasukan?”. Memang saya menyiapkan pasukan. Tetapi saya jawab, “Wah, tidak baik kalau begitu, Pak. Bisa disangka ada pertentangan. Lebih baik kita ke Istana saja dulu, melapor kepada Presiden”. Maka kemudian saya bawa Pak Dirman ke Istana, saya yang mengemudikan jeep ke tempat berkumpulnya Presiden dengan yang lainnya.

Waktu turun dari jeep, Pak Dirman dan Bung Karno berpelukan. Mulanya Panglima Besar kita tidak mau berbuat begitu. Tetapi barangkali dipandangnya tidak baik bila menolak, dipandangnya perlu dilakukan sekali pun untuk sandiwara, untuk tampak keluar. Sementara itu, pasukan pengawal sudah berangkat ke rumah yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman, bersama tandu yang bersejarah itu.

Lalu di Istana, Pak Dirman pamit untuk pergi ke alun-alun. Di sana Panglima Besar kita diterima Pasukan Kehormatan yang sudah kami. siapkan. Saya tidak mengira bahwa upacara di alun-alun itu adalah yang terakhir buat Panglima Besar kita itu semasa hidupnya. Beliau seperti tidak diizinkan lagi oleh yang Mahakuasa melakukan tugasnya. Padahal kami masih mengharapkan bimbingannya.

Kesehatannya yang menurun menyebabkan beliau harus dipindahkan ke Magelang, dengan harapan, mudah-mudahan udara di kota itu yang lebih segar menjadikannya pulih kembali. Beliau ditempatkan di peristirahatan tentara Taman Badakan Magelang. Tetapi ternyata tempat yang disenanginya itu tidak juga menolongnya.

Tanggal 29 Januari 1950 justru setelah berlangsungnya pengakuan atas kedaulatan RI, setelah bendera Merah Putih Biru diturunkan di Istana, dan diganti dengan Sang Merah Putih, Panglima Besar Soedirman meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Di siang hari yang cerah Pak Dirman yang bekas guru itu masih sempat memeriksa rapor putra-putrinya. Tetapi belum sempat beliau menandatanganinya, sakit hebat tiba­tiba menyerangnya. Dan Pak Dirman tak berdaya. Pertolongan diberikan dengan sedapat mungkin. Tetapi malang, beliau tak bisa diselamatkan.

Pada sore hari kira-kira pukul 18.30, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dengan ini, bukan saja keluarganya, istrinya dan tujuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil yang terpukul, tetapi seluruh jajaran angkatan bersenjata kita kehilangan seorang pemimpin teladan yang amat besar. Rasa duka yang mendalam menusuk hati sanubari saya, sekalipun saya sadar bahwa begitulah Tuhan  sudah menetapkannya.

Saya, yang telah membereskan kembali Brigade saya dengan berkedudukan di Yogya setelah pengakuan kedaulatan, ditunjuk untuk memimpin pengangkutan jenazah Panglima Besar Soedirman dari Magelang ke Yogya pada tanggal 30 Januari.

Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari, dengan mengibarkan bendera setengah tiang. Pemerintah menjadikannya Hari Berkabung Nasional dengan wafatnya Panglima Besar  kita itu.

Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dalam pidatonya mengumumkan keputusan pemerintah, menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi Jenderal.

Saya pimpin iringan jenazah almarhum itu meninggalkan Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan di Mesjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya, di tempat peristirahatan terakhir Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, pendampingnya.

Presiden Soekarno yang sudah diangkat menjadi Presiden RIS dan berkedudukan di Jakarta, sedang berada di India untuk melaksanakan kunjungan persahabatan. Tetapi di akhir Desember sebelumnya beliau sempat menulis sepucuk surat kepada almarhum, meminta maaf atas kekhilafan-kekhilafan dan kesalahannya. Beliau seperti sudah merasa, bahwa perpisahan untuk selama-lamanya dengan Panglima Besar itu sudah berada di ambang pintu. “Mohonkanlah supaya Kanda di dalam jabatan baru selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa sesuatu apa, hanya Dialah yang menentukan segala-galanya ……,” tulis Presiden Soekarno kepada Panglima Besar Soedirman.

Acting Presiden RI Mr. Assaat, selaku wakil Pemerintah RI mengucapkan kata-kata selamat jalan. Dr. J. Leimena, mewakili Pemerintah RIS, Jenderal Mayor Suhardjo, mewakili Angkatan Perang RIS menyatakan penghormatan.

Suasana haru meliputi Taman Makam Pahlawan itu, sebelum dan sesudah salvo ditembakkan. Penghormatan diberikan dan peti jenazah diturunkan perlahan-lahan ke dalam liang kubur di bawah naungan bendera Merah Putih.

Ibu Dirman yang pertama menimbunkan tanah ke atas peti jenazah diikuti oleh Acting Presiden RI Mr. Assaat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor Suhardjo, Kolonel Gatot Soebroto, Dr. Leimena,  dan lain-lainnya.

Saya memimpin para perwira lainnya melakukan penimbunan yang terakhir, dengan mengucapkan doa yang setulus-tulusnya di dalam hati. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 68-73.

Masa Perjuangan : Belanda Meninggalkan Jogja

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Serangan Umum 1 Maret 1949 ternyata memang berpengaruh. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda yang angkuh itu untuk berunding dengan Indonesia dan menghentikan tembak-menembak. Rundingan berjalan lagi dengan sebutan yang terkenal “Perundingan Roem-Royen”. Sesuai dengan perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949, pasukan Belanda yang tadinya ada di ibukota RI harus meninggalkan Yogya, dan pasukan RI dengan segenap aparat pemerintahannya kembali.

Tanggal 24 Juni 1949 Van Royen mengumumkan persetujuan penarikan tentara Belanda dari Yogya sejak tanggal tersebut. Berkenaan dengan ini, satu pihak punya pikiran untuk dilakukan serah terima dan Belanda melakukan penyerahan kota Yogya kepada Polisi Rl. Saya yang bertanggungjawab atas keamanan di Yogya, tidak setuju. Kemudian pikiran orang lain itu diubahnya, yakni akan menyerahkan Yogya itu kepada TNI. ltu pun saya tolak.

Buah pikiran yang ada di tengah-tengah politisi kita waktu itu memang saya tentang. Saya anggap tidak benar. Maka Sri Sultan yang rupanya mendengar pula sikap saya, mengenai pikiran serah terima kota Yogyakarta dari Belanda kepada Polisi atau TNI kita itu, mengirimkan sepucuk surat kepada saya dengan mengatakan, “Overste Soeharto, kalau Overste tidak mendukung saya, mandat akan saya kembalikan“.

Beliau salah paham, begitu reaksi saya atas surat itu. Maka untuk menjaga agar suasana hubungan kami yang demikian itu tidak berkepanjangan, saya sendiri masuk kota untuk menjelaskan kepada beliau dasar pikiran saya, mengapa saya menolak. Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949.

Dalam perundingan di Kraton Yogyakarta, di kamar yang kemudian jadi terkenal itu, saya jelaskan pendirian saya kepada Sri Sultan. “Saya tidak merasa, bahwa Belanda berkuasa di Yogya,” begitulah pangkal pikiran saya. “Sebab itu, saya berpendirian, kalau Belanda akan meninggalkan Yogya, ya, tinggalkan sajalah. Saya tidak mau diadakan upacara serah terima secara resmi dari Belanda kepada Indonesia. Saya tidak memandang Belanda berkuasa di sini. Pasukan Wehrkreise masih ada di mana-mana, baik di kota maupun di luar kota. Kalau Belanda nanti sudah tidak ada, anak-anak kami akan muncul. Dengan sangat gampang mereka akan muncul”.

Saya mengerti, pihak yang mau supaya diadakan upacara serah terima itu merasa, supaya setelah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, keadaannya benar-benar jadi aman. Dan karena polisi yang akan diserahi soal keamanan ini, maka yang akan melaksanakan serah terima dari pihak kita itu adalah polisi. Saya tolak pikiran itu atas dasar perhitungan, bahwa kalau begitu halnya, maka seolah-olah TNI itu tidak ada. Padahal dalam keadaan perang, saya sebagai komandannya yang bertanggungjawab mengenai soal keamanan, dan bukan polisi.

Saya kukuh pada pendirian saya ini. Dan suara saya ternyata sangat diperhitungkan. Kesempatan masuk di dalam kota kali ini, tidak dalam memimpin serangan umum; saya pergunakan untuk bertemu dengan istri dan menengok anak saya yang sulung. Sudah berbulan saya nantikan kesempatan ini. Dan sewaktu saya menemui mereka, dalam keadaan yang masih berbahaya, saya harus mampu menahan kegembiraan saya supaya tidak tembus keluar dinding kraton. Bukan main lucunya anak saya yang baru berumur empat bulan itu. Tak habis-habisnya saya menciuminya.

Tetapi saya tidak bisa lama-lama bersama mereka .Saya mesti cepat kembali. Perjuangan menanti. Namun, saya sudah punya harapan, tak akan lama lagi kami bisa kumpul kembali.

Benar pula, jadinya Belanda meninggalkan Yogya tanpa timbang terima. Begitu Belanda meninggalkan setiap sudut kota, pejuang kita yang telah berada di kantong-kantong di kota muncul untuk menjaga keamanan. Polisi saya suruh masuk dari sebelah barat, dari Godean, memakai tambur, berbaris setelah Belanda pergi. Djen Muhammad yang memimpinnya pada waktu itu. Saya demonstrasikan kejadian ini. Kemudian, setelah satu jam polisi bergerak, saya perintahkan anak buah saya menyerahkan keamanan pada polisi.

Saya berpegang teguh pada sikap, jangan sampai ada yang memandang, bahwa TNI itu tidak ada. Dan polisi itu merupakan bagian kecil daripada satuan yang ada di kota Yogya waktu itu, bahkan di bawah komando saya, karena saya yang membuat peraturan di sana. Semua kekuatan bersenjata, kecil maupun besar, waktu itu saya perintahkan harus bergabung dengan Wehrkreise III. Pada Brigade X saya katakan, “Kalau bergerak sendiri-sendiri, akan saya lucuti.” Karena reorganisasi (sebelum Belanda menyerang Yogya) Resimen III diganti nama menjadi Resimen 22 dan terakhir menjadi Brigade X Divisi Diponegoro.

Begitulah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, selesai tanggal 30 Juni 1949, lancar, tanpa insinden. Dan seterusnya aman. Pemerintah RI kembali ke ibukotanya dengan disaksikan oleh pejabat-pejabat KTN yang diundang. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali di tengah kita di Yogya. Kemudian menyusul Sjafrudin Prawiranegara, bekas ketua PDRI. Sidang Kabinet RI pun segera dilangsungkan.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 65-67.

Masa Perjuangan : Maka Meletuslah Pemberontakan PKI Madiun

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Sekali waktu saya pergi ke Jawa Timur dan bertemu di sana antara lain dengan Pak Sungkono dan Kretarto. Ketika itu suasana di Solo sedang panas. Saya ingat, waktu itu disana ada Letkol. Suadi sebagai komandan Resimen di Solo dengan komandan batalyonnya Mayor Suharto, ada Mayor Slamet Rijadi, Mayor Sunitioso dan Mayor Sudigdo. Tetapi sebagian dari satuan Panembahan Senopati sudah dipengaruhi PKI. ltulah yang menyebabkan terjadinya insiden, bentrokan dengan Siliwangi yang sedang hijrah.

Sewaktu saya kembali dari Jawa Timur, persis di jembatan Jurug Solo, saya ditahan, lalu dibawa ke pos Siliwangi. Saya dilucuti, senjata saya diambil. Ternyata, karena nama saya Soeharto, saya dikira Mayor Suharto dari batalyon di Solo. Lalu saya dibawa ke markas kesatuan Siliwangi yang berada di gedung Walikota Solo sekarang. Saya diinterogasi di sana. Tetapi kebetulan muncul seseorang yang mengenal saya dan dia itu adalah panglimanya sendiri, Kolonel Sadikin.

”Lho, mengapa kamu di sini ?” katanya. “Saya sendiri tidak tahu, mengapa saya ditahan di sini,” kata saya. Lalu saya terangkan dari mana dan akan ke mana saya waktu itu. Pak Sadikin sendiri yang menegaskan bahwa saya adalah temannya. “Dia teman kita,” katanya. “Letnan Kolonel Soeharto, dari Yogya.” Maka kemudian saya dilepaskan. Senjata dikembalikan dan saya terus pergi ke Yogya. Kejadian inilah yang ditulis orang sekian tahun kemudian. Tetapi peristiwa itu terjadi sebelum meletusnya Madiun Affair.

Di minggu kedua bulan Agustus 1948, Muso, yang sejak tahun 1926 sudah meninggalkan Indonesia, datang dari Rusia di Yogya bersama Suripno yang disebut-sebut telah mengadakan hubungan diplomatik atas nama pemerintah Indonesia dengan beberapa negara blok Timur. Muso diterima oleh Presiden Soekarno dan mengadakan pembicaraan. Tetapi nyatanya pertemuan mereka itu tidak menghasilkan buah yang baik. Malahan sebaliknya.

Amir Sjarifuddin sudah membuka topengnya dan sangat menentang pemerintahan Hatta yang  teguh melaksanakan rasionalisasi atas Angkatan Perang kita. Sementara itu rundingan diplomasi berjalan terus dengan berpindah-pindah tempat. Cochran bicara dengan Pak Hatta, tetapi hasilnya tidak memuaskan, malahan terasa tak berujung. Dalam pada itu, Muso bersama Sjarifuddin yang telah berfusi dengan PKI, Setiadjit, dan kawan-kawannya meningkatkan kampanye politiknya dengan mengadakan rapat-rapat besar di tempat-tempat terbuka. Yang jadi sasarannya adalah kebijaksanaan pemerintahan Hatta.

Sementara itu, tokoh-tokoh militer kita berkumpul di Jalan Code 4 di Yogya, membicarakan keadaan yang terasa sekali menekan dan mencekam. Gerak-gerik Muso dan kawan-kawannya menjadi persoalan berat yang dirundingkan. Lebih-lebih lagi karena Muso berusaha merangkul pihak-pihak yang bersenjata.

Di tengah suasana ini saya mendapat tugas dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk meyakinkan Letkol. Suadi, komandan pasukan “Panembahan Senopati” dari Solo, supaya jangan sampai ia masuk perangkap Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang melawan pemerintah kita itu. Memang FDR waktu itu berusaha merangkul satuan-satuan kita, antara lain satuan “Panembahan Senopati”. Maka saya pergi ke Solo. Tapi saya tidak bisa menemukan Suadi di sana.

Dengan adanya tugas dari Jenderal Soedirman itu kepada saya, saya sudah mengetahui bahwa Pak Dirman tidak mendukung gerakan FDR. Apa lagi terlibat, jelas tidak. Dari Solo saya pergi ke Wonogiri, lewat Sukoharjo. Di Wonogiri saya bertemu dengan Suadi . Saya dan Suadi ternan baik. Maka saya sampaikan dan saya jelaskan pendapat pihak kita, supaya ia tidak sampai masuk perangkap dan terjerumus.

Kemudian saya diajak oleh Suadi untuk pergi ke Madiun. Suadi ingin menunjukkan kepada saya, bagaimana mereka yang di Madiun bersikap terhadap saya. Ia tidak mengatakan, bahwa ia terlibat. Tetapi ia mengemukakan untuk mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya mereka yang di Madiun itu, maka baik pergi ke sana.

Saya mengikuti permintaan Suadi. Gerombolan Muso, Sjarifuddin, Supeno, dan lain-lainnya itu sudah ada di Madiun. Saya pikir, kita harus mencegah jangan sampai terjadi pertempuran. jangan sampai terjadi perang saudara di antara FDR dengan TNI. Suadi bersama saya di dalam mobil saya.

Di tengah jalan, waktu dari Wonogiri ke Madiun, melewati Jatisrono dan Ponorogo, kami berpapasan dengan sebuah konvoi yang dikepalai oleh sebuah sedan. Saya bertanya kepada Suadi, siapa yang ada di dalam sedan itu. Maka Suadi menjawab, “Pak Alimin”. Terus saya bertanya lagi, “Mau ke mana mereka  ?” “Tidak tahu”, jawab Suadi. Sesampai di Madiun, kami terus ke Karesidenan. Tadinya saya akan dipertemukan dengan Amir Sjarifuddin yang sudah saya kenal. Tetapi Sjarifuddin masih tidur waktu itu. Jadi, saya tidak bisa bertemu dengan dia.

Kemudian seseorang keluar. Baru waktu itu saya tahu, bahwa dia itulah Muso. Saya belum pernah bertemu dengan dia sebelum ini, baru pertama kali itu saya melihatnya. Ia mengenakan kemeja putih, celana, dan memakai kopiah. Maka kemudian kami bicara-bicara, mengobrol. Saya tidak mengatakan bahwa saya disuruh oleh Pak Dirman. Tetapi entah apa yang dikatakan oleh Suadi kepadanya. Lalu saya kemukakan kepada Muso, bahwa “janggal, waktu kita sekarang menghadapi  Belanda, kok kita saling bermusuhan”. “Apakah tidak baik kalau kita tinggalkan permusuhan di antara kita ini dan bersatu menghadapi Belanda?” kata saya.

Dia menjawab, “Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan  kemerdekaan yang sudah kita capai. Tetapi masalahnya, saya tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Saya tidak percaya lagi kepada Belanda. Belanda itu harus kita hadapi. Sementara kita menghadapinya, rupa-rupanya Soekarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkannya. Padahal saya memberikan saran.”

“Ya, pokoknya ada perbedaan cara dalam perjuangan”, tambabnya dengan menegaskan lagi, babwa ia tidak percaya kepada Belanda dan akan terus melawan Belanda. “Tetapi Soekarno dan Hatta mau berunding dengan Belanda”, kata Muso. “Justru saya yang menghadapi Belanda, malahan akan dihancurkan. Dan saya, kalau akan dihancurkan, tidak akan menyeran begitu saja, saya akan melawan”, katanya lagi.

“Kenapa tidak diadakan pembicaraan saja ? Apakab tidak perlu diadakan pertemuan lagi  ?” tanya saya. “Malahan baru saja ada pertemuan,” katanya, “tapi toh tidak bisa sepakat.” Lalu saya bertanya lagi, “Apakah boleh saya sampaikan ini, Pak Muso, kepada Bung Hatta dan Bung Karno, bahwa sebenarnya Pak Muso memang masih menginginkan persatuan di antara kita untuk mengbadapi Belanda ?” “Ya, sampaikan,” katanya. “Tapi terus terang saja, Bung Harto, kalau saya akan dibancurkan, saya akan melawan.” “Susah ini,” pikir saya.

Setelah itu, saya kembali dengan Suadi ke Wonogiri. Sampai di Wonogiri Suadi turun dan kami berpisah. Saya terus menuju ke Solo, melewati Sukoharjo. Tetapi waktu itu Siliwangi sudah kelibatan bergerak.

Kalau saya terus ke Solo dari Wonogiri, maka kemungkinan besar saya akan ditangkap oleb Siliwangi, sekalipun kesatuan dari Wonogiri yang dicarinya. Begitu pikir saya. Di balik itu, si Digdo, komandan Batalyon Kleco (yang kelak jadi Batalyon 444) dengan komunisnya sudah curiga terbadap saya, karena dia tahu bahwa saya menyampaikan pesan kepada Suadi. Maka kalau saya pergi ke Solo, ada kemungkinan ditangkap oleh Siliwangi, sedang kalau tinggal di Wonogiri bisa diculik oleh Digdo.

Karena saya sudab tabu daerah Wonogiri, dan tahu pula jalan dari Wonogiri ke Manyaran, terus ke Wonosari dan terus ke Yogya, maka saya tempuh jalan yang saya kenal itu. Dalam perjalanan ini saya singgah di Wuryantoro, tempat di mana saya dibesarkan dan tiba di Yogya pagi bari.

Maka kemudian saya lapor kepada Panglima Besar Soedirman, babwa saya bertemu dengan Muso, dan saya ceritakan segala seperti adanya. Pak Dirman yang menyampaikan  kejadian  dan  basil pertemuan  saya dengan Muso  kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu saya yang bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban Ibukota RI (red=Yogya) dengan cepat mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mengamankan segalanya dari ancaman kekacauan, dari ancaman PKI.

Perkembangan terasa amat cepat. Serbu-menyerbu antar-pasukan tak terelakkan. Kaum pemberontak mengangkat  Kolonel Djokosujono menjadi “Gubernur Militer” Madiun dan Letnan Kolonel Dahlan, Komandan Brigade 29 menjadi “Komandan Komando Pertempuran” Madiun. Pihak pemberontak menguasai kota Madiun dan radio Gelora Pemuda. Sementara itu pihak kita mengangkat Kolonel Gatot Soebroto menjadi Gubernur Militer.

Tanggal 18 September 1948 pemberontakan PKI di Madiun terjadi, mengambil alih kekuasaan yang sah di sana. Presiden Soekarno dengan tegas menjawab perebutan kekuasaan itu dengan mengatakan “Pilih Muso dengan PKI-nya atau pilih Soekarno-Hatta”. Gerakan Operasi Militer I yang dilancarkan oleh Angkatan Perang kita dalam menggulung pemberontakan itu dengan cepat menguasai kembali Madiun pada tanggal 30 September. Dua bulan kemudian operasi-operasi penumpasan terhadap PKI dinyatakan selesai. Kegiatan partai politik, setelah pemberontakan itu, menurun dan untuk sementara, oposisi terhadap Kabinet Hatta mereda.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 51-55.

Masa Perjuangan : Ada yang Mau Ngapusi Saya

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
"Ada yang mau ngapusi saya"
Ada yang mau membohongi saya

Tekanan dan teror NICA terhadap pihak Republik di Jakarta menjadi-jadi. Penembakan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pejabat-pejabat tinggi lainnya sangat mengganggu pemerintahan kita.

Tanggal 4 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan Pemerintahan Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Artinya, Ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan tersebut, tugas saya sebagai Komandan Resimen III dengan pangkat Letnan Kolonel, menjaga keamanan kota Yogya bertambah berat. Saya harus pula menjaga keselamatan negara dan pemerintahan.

Tanggal 7 Januari Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara Kedaulatan Rakyat. Tetapi selang dua minggu sebutannya diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia  (TRI).

Di bulan Desember sebelumnya, pengumuman Wakil Presiden Hatta telah melahirkan partai-partai dengan lasykar-lasykarnya. Dengan itu timbul oposisi terhadap politik Sjahrir yang menjalankan diplomasi, berunding dengan pihak Belanda. Oposisi waktu itu dipimpin antara lain oleh Tan Malaka.

Kabinet Sjahrir I jatuh karena kegagalan perundingannya. Tetapi Presiden Soekarno memberikan mandatnya kepada Sjahrir lagi untuk menyusun kabinetnya yang kedua, dan kemudian Amir Sjarifuddin diangkat jadi Menteri Pertahanan.

Diplomasi berjalan, sementara senapan masih juga terus berbunyi. Tanggal 10 Februari 1946, perundingan resmi yang pertama antara Republik kita dengan pihak Belanda dilangsungkan, setelah lebih dahulu terjadi perdebatan di Dewan Keamanan PBB.

Soal pengangkutan dan pelucutan tentara Jepang dirundingkan pula, khususnya mengenai yang ada di daerah Republik. Maka lahirlah yang disebut Yogya Agreement, ‘Persetujuan Yogya’ dan dibentuklah POPDA, singkatan dari “Panitia Oeroesan Pengembalian Bangsa Djepang dan Asing”.

Tanggal 17 Mei 1946 di Semarang dilangsungkan timbang terima komandan pendudukan dari Brigade Darling, dari pihak Inggris kepada Kolonel Van Langen, Komandan Brigade “T” KNIL dari pihak Belanda. Dengan ini kita berhadapan dengan Belanda yang ingin menancapkan kembali kuku penjajahannya di bumi kita.

Belanda mendesak ke selatan. Kita menahannya sampai garis pertahanan Srondol-Banyumanik. Belanda terus mengadakan tekanan dengan menambah kekuatannya. Pasukan kami pernah mundur dan saya lagi-lagi sempat memarahi anak buah yang meninggalkan garis pertahanan dengan .tidak bertanggung jawab.

Saya bergerak dari front yang satu ke front lainnya. Waktu kembali dari front Kendal saya mendengar bahwa ibu saya, Ibu Sukirah meninggal dunia. Bisa dibayangkan betapa sedihnya saya. Beliau itu ibu yang saya hormati. Sebelum berangkat ke front, sewaktu beliau sakit, saya masih sempat menengoknya. Tetapi keadaan waktu itu yang menyebabkan saya merasa terpanggil untuk berjuang demi sesuatu yang besar, membuat saya terpaksa meninggalkannya. Sepulang saya dari front, dari garis depan, saya cepat pergi ke desa Kemusuk ke makam Ibu saya.

Sementara itu pergolakan politik terjadi di tengah-tengah Republik kita. Pada tanggal 27 Juni 1946.PM Sjahrir diculik di Solo. Segera Presiden Soekarno menyatakan negara dalam keadaan perang dan menyerukan agar PM Sjahrir segera dibebaskan. Seruan Presiden Soekarno itu ternyata dipenuhi oleh pihak yang menculik PM Sjahrir itu. Bisa dimaklumi, keadaan menjadi sangat tegang.

Maka mau tidak mau saya dilibatkan dalam kekalutan politik. Dan bisa dimaklumi, sebagai Komiandan Kesatuan Resimen yang berkedudukan di Ibukota, saya menjadi rebutan mereka yang bertentangan.

Dalam pada itu, saya berusaha bersikap tenang, teguh dengan pendirian, bahwa saya tidak boleh terlibat dalam percaturan yang saling berlawanan.

Di tengah-tengah suasana yang demikian tegang, di Markas Resimen Wiyoro saya kedatangan ketua Pemuda Patuk, Sundjojo namanya. Sundjojo menjadi utusan Istana membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI untuk saya. Dari Sundjojo saya memperoleh penjelasan mengenai keadaan negara, yang sedang terancam oleh perebutan kekuasaan di mana Mayor Jenderal Sudarsono terlibat, dan saya diperintahkan menangkapnya. “Sungguh gila gagasan itu,” pikir saya. “Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” Tidak lama kemudian menyusul utusan lain dari Istana yang membawa surat perintah dari Presiden Soekarno, dan isinya sama seperti yang diuraikan oleh Sundjojo.

Saya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Yakni karena adanya perintah langsung dari Presiden/Panglima Tertinggi, tidak melewati hirarki, dan harus menangkap atasan langsung, ialah Mayor Jenderal Sudarsono.

Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut, dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Bersamaan dengan itu saya memberi jaminan, segera Resimen mengadakan siaga penuh untuk menjaga keselamatan negara dan Kepala Negara Republik Indonesia.

Dengan perasaan kesal tentunya Sundjojo kembali ke lstana dengan membawa kembali surat perintah dan·melapor kepada Presiden Soekarno. Sejam kemudian saya dapat berita lewat telepon dari Sundjojo, bahwa semuanya telah dilaporkan kepada Presiden Soekarno dan saya dapat predikat istimewa “Opsir Koppig” (Opsir keras kepala).

Apa boleh buat. Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalyon-batalyon dari Resimen III, segera saya menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono. Saya tidak melaporkan bahwa ada perintah untuk menangkap, tetapi yang saya laporkan ialah adanya informasi tentang lasykar pejuang yang belum jelas, yang akan menculik Mayor Jenderal Sudarsono. Dengan demikian, keselamatan beliau terancam. Saya menyarankan agar untuk sementara Pak Darsono mau pindah ke Resimen III Wiyoro bersama saya, karena Resimen sudah dalam keadaan siaga penuh menghadapi segala kemungkinan. Jenderal Sudarsono setuju. Saya memberi hormat, pamit mendahuluinya kembali ke Wiyoro.

Menjelang Magrib Mayor Jenderal Sudarsono tiba di Markas Resimen Wiyoro tanpa pengawal. Sekeluarnya dari mobil beliau menunjukkan surat telegram dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang isinya menyebutkan harus menghadap segera. Saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memberikan pengawalan dengan satu peleton berkendaraan truk. Mendekati waktu sembahyang Isya saya menerima telepon dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang isi pembicaraannya memerintahkan agar Mayor Jenderal Sudarsono tetap di markas Resimen III Wiyoro. Tentu saya melaporkan bahwa Mayjen. Sudarsono sudah berangkat dengan kawalan satu peleton dan akan menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dari pembicaraan lewat telepon itu, saya dapat menarik kesimpulan bahwa Pak Dirman tidak terlibat dalam konflik politik itu.

Tengah malam Pak Darsono datang lagi di Markas Resimen dengan membawa rombongan. Ternyata rombongan itu terdiri atas pemimpin politik yang dikeluarkan dari Rumah Tahanan Wirogunan. Pak Darsono memberi tahu kepada saya, bahwa beliau telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar untuk besok pagi menghadap Presiden Soekarno di Istana, menyampaikan surat yang malam ini akan disiapkan. Batin saya bicara,”Wah, keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya. “Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia.” Malam itu juga saya segera memberi informasi ke Istana, apa yang sedang terjadi di Wiyoro dan apa yang akan terjadi besok pagi di Istana. Saya persilakan menangkap sendiri Mayor Jenderal Sudarsono di Istana besok pagi dan saya jamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa.

Tanggal 3 Juli 1946 pagi, Mayor Jenderal Sudarsono dan rombongan berangkat ke Istana. Mereka menggunakan sebuah sedan dan truk dengan dikawal oleh Sersan Gudel. Setibanya di Istana, mereka ditangkap oleh Pasukan Pengawal Presiden. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Peristiwa 3 Juli”.

Lalu saya perintahkan pasukan Resimen III, supaya melarang setiap pasukan luar daerah ibukota Yogya masuk ke dalam daerah ini. Saya jaga keras, jangan sampai terjadi kekacauan.

***

Catatan:

Sejumlah pihak menilai tindakan Kolonel Soeharto ini, dengan caranya sendiri (meminta penugasan melalui hirarki),  telah menyelamatkan upaya kudeta yang pertama, dari sebuah negara yang belum berumur satu tahun. Pagi hari tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono bersama kelompoknya menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden. Mereka menuntut Presiden Soekarno agar bersedia:

Memberhentikan Kabinet Sjahrir II,
Menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik,
Mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Tuntutan itu secara jelas tidak hanya meminta pergantian Kabinet Sjahrir, akan tetapi juga meminta penyerahan kepemimpinan Presiden yang meliputi kepemimpinan politik, sosial dan ekonomi. Presiden Soekarno sudah mengetahui rencana tersebut berkat laporan Letkol Soeharto. Aparat keamanan istana sudah berjaga-jaga dan dengan mudah melakukan penangkapan terhadap Mayor Jenderal Sudarsono beserta kelompoknya. Penangkapan itu tanpa gejolak karena pasukan di konsinyir Letkol Soeharto.


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 35-38.

Masa Muda Pak Harto : Jodoh Saya

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Suasana rundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang hidup, setelah Dewan Keamanan  PBB menengahi persoalan Indonesia. Terdengar bahwa rundingan itu akan dilaksanakan di atas kapal Amerika “Renville” yang telah berlabuh di permulaan Desember di Tanjung Priok. Dan suasana rundingan Indonesia-Belanda ini ternyata disambung dengan rundingan mengenai diri saya pribadi.

Datanglah keluarga Pak Prawirowihardjo yang tinggal di Wuryantoro ke daerah di sekitar tempat saya. Maka saya menemui mereka. Percakapan kami pada mulanya menyangkut hal-hal yang biasa saja. Tetapi tidak lama setelah itu muncul pertanyaan yang tidak saya sangka. Ibu Prawiro bertanya soal hari depan saya. Diingatkannya bahwa saya sudah berusia 26 tahun. Dan hal ini menjadi pikirannya. Sebab di kampung kita, orang seusia itu mestinya sudah berumah tangga.

Mula-mula saya tidak menganggap serius soal ini. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya sedang sibuk di Resimen. Perjuangan belum selesai. Kekacauan masih mengancam. Belanda masih belum mau angkat kaki dari negeri kita. Tetapi Ibu Prawiro menekankan bahwa perkawinan tidak perlu terhalang oleh perjuangan. Membentuk keluarga adalah penting, katanya. “Tetapi siapa pasangan saya?” saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon. “Percayakan soal itu kepada kami,” kata Bu Prawiro. “Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro. Saya mengangguk, mengiyakan. Saya ingat. “Tetapi bagaimana bisa?” pikir saya.

“Apa dia akan mau?” tanya saya. “Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran.” Bu Prawiro kelihatannya seperti tidak menganggap hal itu sebagai persoalan. Mungkin dirasakannya zaman sudah berubah. “Saya kenal dengan orang yang dekat dengan mereka,” kata Bu Prawiro. “Saya akan minta dia menanyakan, apa mereka dapat menerima kedatanganku. Saya tahu cara-caranya. Saya tahu adat kebiasaan di situ, ” katanya.

Saya tidak mau mengecewakan Bu Prawiro. Dan saya ingat, apa yang dikemukakan Ibu Prawiro itu benar. Hati saya tergugah, memang benar, kita mesti membentuk keluarga. Kita diwajibkan oleh keyakinan agama kita untuk melanjutkan keturunan kita dan hanya melewati pernikahan, kita bisa melanjutkan·keturunan kita dengan sah. Sebab itu, kita harus membentuk keluarga, sebagai perantara untuk melahirkan keturunan kita.

Ternyata Pak Soemoharjomo dan Ibu Hatmanti sedia menerima kami, setelah Ibu Prawiro mendapatkan seseorang yang bertindak lebih dahulu sebagai perantara. Maka kemudian upacara “nontoni”, pertemuan antara yangakan melamar dan yang dilamar; dilangsungkan. Agak kikuk juga sebab sudah·lania saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya.

Dalam pada itu saya ingat, sudah ada pertanda baik, yakni mereka semua suka menerima kami. Itu artinya lampu hijau bagi kami. Ternyata pula suasana dalam upacara, “nontoni” itu baik sekali sehingga tidak diperlukan waktu lama, untuk kemudian langsung merundingkan soal waktu. “Ini rupanya benar-benar jodoh saya,” pikir saya. Dan jodoh itu sama seperti lahir dan ajal, menurut orang tua-tua kita. Kemudian saya tahu bahwa sewaktu kami berkunjung ke rumah mereka itu, Hartinah baru saja sembuh dari sakit selama sebulan.

Perkawinan kami dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, pada waktu saya berusia 26 tahun dan Hartinah, istri saya, dua tahun lebih muda dari saya. Dari tempat tugas saya di Yogya saya naik sebuah kendaraan dinas tua menuju Solo. Saya mengenakan pakaian penganten, serapi-rapinya untuk waktu yang tidak tenang itu. Sebilah keris terselip di punggung saya. Waktu akan naik kendaraan itu, terasa bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan.

Perkawinan kami dilangsungkan pada sore hari dengan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Hartinah. Cukupan banyaknya, sebab keluarga Pak Soemoharjomo cukup terpandang dan disegani di kota ini. Dari pihak saya hadir Sulardi dan kakaknya. Tetapi kejadian yang bagi saya amat penting ini sayang tak ada yang mengabadikannya dengan potret. Maklumlah, keadaan serba darurat. Malam harinya diadakan selamatan, tetapi cuma bisa dengan memasang beberapa buah lilin, karena kota Solo waktu itu harus digelapkan, di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi.

Tiga hari sesudah perkawinan, saya boyong istri saya ke Yogya. Saya harus kembali menjalankan tugas militer saya. Dan kemudian istri saya mulai dengan tugasnya sebagai istri Komandan Resimen. Dunia baru baginya, sekalipun sebelum ini ia giat dalam Palang Merah, dekat dengan barisan-barisan pejuang.

Alhasil, perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah “witing tresna jalaran saka kulina”, datangnya cinta karena bergaul dari dekat.

Dalam pada itu, saya sudah punya pegangan untuk mendayung perahu keluarga di tengah-tengah bahtera yang luas. Sebagai suami-istri, sepatutnya kita mempunyai cita-cita mendapatkan keturunan yang baik. Dan salah satu syarat untuk itu adalah adanya ketentraman di tengah kehidupan bersuami istri itu. Ketentraman itu sebenarnya adalah saling pengertian antara suami dan istri. Tanpa saling mencintai, saling mengerti, tak akan ada kebahagiaan di rumah. Dan kebahagiaan hidup antara suami-istri itu tidak hanya untuk kedua orang itu, melainkan termasuk kewajibannya untuk menurunkan keturunan sebagai kodrat orang hidup yang percaya kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Bahwasanya suka terjadi cekcok antara suami dan istri, itu adalah manusiawi. Tetapi percekcokan itu bukan sesuatu untuk dibiarkan menjadi sebab perpecahan, melainkan untuk mengoreksi satu sama yang lain, saling mengendapkan diri dan bukan untuk menjadi berantakan.

Dengan pegangan itu kami berlayar di atas perahu keluarga kami. Dan kami kemudian dititipi enam anak, yakni tiga laki-laki dan tiga perempuan.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 43-46.

Masa Muda Pak Harto : Merasa Mendapat Panggilan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Begitulah berita yang saya terima beberapa waktu kemudian. Memang kabar gembira itu diterima terlambat di Yogya seperti juga halnya di kota-kota lainnya di Jawa. Lebih-lebih lagi di pulau-pulau lainnya, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut.

Sebelum itu, di bulan Februari terjadi pemberontakan terhadap Jepang di bawah pimpinan Suprijadi di Blitar. Shodancho dan Bundancho yang terlibat ditangkap dan diajukan ke pengadlilan militer, sehingga batalyon itu tidak mempunyai komandan regu lagi. Seluruh batalyon itu kemudian di pindahkan ke Brebeg, di daerah Nganjuk, dan diasramakan di sana.

Di Madiun saya tidak tinggal di asrama, melainkan di luar, karena dapat rumah sendiri. Saya tinggal di rumah dinas itu tidak lama, karena segera ditugasi melatih prajurit-prajurit dari Batalyon Blitar untuk menjadi komandan regu (Bundancho). Latihannya di Brebeg, di tengah-tengah hutan jati.

Pada waktu Bung Karno mengumandangkan kemerdekaan kita itu, saya masih di Brebeg, sedang melatih para prajurit. Pada tanggal 18 Agustus, begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit PETA tersebut, kami diperintahkan bubar. Kami disuruh menyerahkan kembali senjata-senjata kami. Mobil pun dirampas oleh Jepang. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi di Jakarta, saya pergi dari Brebeg ke Madiun, lalu ke Yogyakarta.

Mula-mula saya tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan kita itu. Setelah tiba di Yogya, barulah saya tahu samar-samar, dan kemudian menjadi lebih jelas lagi. Saya paham akan hal itu dari teman-teman, dari orang-orang di jalan dan di rumah.·

Mendengar berita seperti itu saya pikir, “Wah, ini artinya panggilan.” Perasaan dan perhitungan saya sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Saya sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. ltu berarti panggilan bagi kita untuk membelanya.

Saya pun membaca surat kabar “Matahari” yang terbit di Yogya tanggal 19 Agustus, yang memberitakan kabar besar mengenai proklamasi dan Undang-Undang Dasar serta terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara kita yang baru lahir. Rupanya hari itu pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI serta menyatakan ikut bergembira atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Kata sambutan Sultan Hamengku Buwono IX dimuat pula dalam harian “Matahari” yang menyebutkan bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Anjuran yang sudah ada dalam pikiran saya.

Jepang masih ada di Yogya dan kelihatan masih tetap ingin berkuasa, sementara pemuda-pemuda kita menunjukkan hasratnya yarig meluap-luap untuk mendapatkan senjata guna mempertahankan kemerdekaan kita. Dalam pada itu, tentara Jepang rupanya mulai menyadari bahwa rakyat Yogya sudah tahu akan kekalahan mereka dalam peperangan. Tetapi mereka bertahan di asramanya masing-masing.

Kemudian timbul inisiatif saya untuk mengumpulkan teman-teman bekas PETA. Secara kebetulan semua teman itu tinggalnya tidak berjauhan. Saya menemui Oni Sastroatmodjo, Komandan Kompi Polisi Istimewa, dan bersama dengannya saya mengumpulkan bekas-bekas Chudancho dan Shodancho.

Kami, bekas-bekas PETA dan sejumlah pemuda lainnya berkumpul. Kami berhasil membentuk satu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya sudah diumumkan oleh Pemerintah RI. Presiden Soekarno menyerukan, agar bekas PETA, bekas Heiho, bekas Kaigun, bekas KNIL dan para pemuda lainnya segera berduyun-duyun bergabung dan mendirikan BKR-BKR di tempatnya masing-masing. Seruan Bung Karno itu bukan sesuatu yang baru buat kami. Kami sudah bergerak sejalan dengan seruan itu. Di dalam kelompok kami ada unsur polisi yang buat saya tidak asing, karena saya pun pernah jadi polisi.

Umar Slamet, teman dekat saya, terpilih jadi ketua BKR. Dan saya terpilih jadi wakilnya. Kelompok kecil ini yang adanya di Sentul, di Jalan Kusuma Negara sekarang, adalah tangga pertama dalam zaman baru yang menaikkan saya ke tangga-tangga berikutnya. Anggota-anggotanya terdiri atas bekas-bekas PETA, Heiho dan pemuda-pemuda lainnya. Saya memimpin kelompok ini dalam melucuti Jepang yang di luar asrama. Beberapa kendaraan militer juga kami rebut untuk keperluan pasukan kami. Kompi kami ini segera menjadi kuat dan banyak yang menyegani, sementara sejumlah pasukan Jepang masih tinggal di tangsinya, antara lain di Kotabaru, dengan utuh dan lengkap persenjataannya.

Resminya saya tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945, yakni pada lahirnya “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Tetapi saya sudah bergerak sebelum itu.

Saya pun kemudian menghadiri pertemuan bekas PETA dan Heiho dan pemuda-pemuda serta beberapa wanita yang berkumpul di sebuah gedung yang dipakai oleh Badan Penolong Korban-korban Perang (BPKKP), badan tempat BKR bernaung. Hadir waktu itu antara lain Kepala Polisi Istimewa Sudarsono, Mohamad Saleh, Ibu Ruswo, dari lain-lainnya. Saya termasuk pendiam dalam rapat itu. Maka pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk BKR di Yogya dan memilih Sudarsono dan Umar Jo’i sebagai pemimpin dan wakil pemimpin BKR Yogya. Tugas BKR ialah meyelenggarakan keamanan dan ketertiban dalam negeri. Tetapi yang jadi soal pertama dan utama bagi kami untuk mengemban tugas itu ialah bagaimana mendapatkan senjata itu. Hal yang sudah sejak semula saya pikirkan.

Kemudian saya dengar dan sempat bertemu dengan pemuda-pemuda dan pejuang-pejuang yang bersemangat, seperti Sundjojo Sudarto, Sudomo, Sjaifudin, Maja Retno, Sudirdjo, Marsudi. Kami sibuk. Hilir-mudik, berunding, hilir-mudik lagi, bergerak menyampaikan buah pikiran dan merundingkannya dengan orang-orang lain. Maka rencana pun kami rundingkan lagi dengan tokoh-tokoh muda waktu itu, seperti Umar Slamet, Sundjojo, Umar Jo’i, Muhamad Saleh dan lain-lainnya itu.

Kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah saya, senjata baru kami dapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit. Saya mengetahui, bahwa ada sejumlah senjata yang dikirimkan dari Banyumas ke Yogya dan dibagi-bagikan kepada anggota-anggota BKR yang sedang menyusun kekuatan. Tetapi jumlahnya jauh dari mencukupi.

Terasa waktu itu Yogya mulai panas. Bara revolusi mulai membakar. Api perlawanan mulai menyala. Maka kemudian ketegangan pun terjadi antara pejuang-pejuang kita yang memerlukan senjata di satu pihak dan tentara Jepang yang bersenjata lengkap dan ingin mempertahankan kekuasaannya di lain pihak.

Ternyata Jepang bergerak lebih dahulu. Mereka melucuti polisi di Gayam. Kejadian ini menyebabkan rakyat marah, mengamuk. Akhirnya rakyat menyerang markas Jepang dan tentara Jepang angkat tangan, menyerah. Dengan ini sejumlah senjata sudah menambah yang ada pada kami. Berarti, persiapan untuk menyerang markas Jepang yang lain bertambah. Tetapi sesungguhnyalah, senjata yang ada pada pihak kami belum cukup dibandingkan dengan yang dipegang oleh pihak Jepang. Namun, sementara Slamet harus pergi dari Yogya menuju Madiun, saya mengambil oper tanggungjawabnya dan memimpin pasukan dan rakyat menyerbu markas Jepang. Saya yakin pada kekuatan semangat yang ada pada pihak kita.

Waktu itu umur saya 24. Saya bergerak di barisan paling depan, waktu serbuan itu dilakukan. Ternyata kami unggul. Tanggal 7 Oktober pukul 10.30 resmi tentara Jepang yang ada di Kotabaru itu menyerah. Mereka mengibarkan bendera putih. Senjata-senjata dan kendaraan mereka pindah ke tangan kita. Ratusan karaben dan sejumlah senapan mesin kami rampas. Senjata rampasan tersebut terus diangkut ke Markas Pemuda di Benteng, depan Gedung Agung, dulu namanya Benteng Kompeni Vredeburg. Tidak sedikit pemuda kita menjadi korban akibat tembakan peluru tentara Jepang, yang gugur 21 orang. Waktu itulah saya bertemu dengan bekas Shodancho Widodo dalam pertempuran yang tetap terkenang sampai sekarang.

Kira-kira pukul satu siang saya kembali ke Markas Pemuda di Benteng untuk memeriksa senjata-senjata hasil rampasan dari Jepang tadi pagi. Sewaktu saya turun dari kendaraan, seorang staf saya datang dengan berlari menyambut saya, memberikan laporan bahwa senjata hasil rampasan di Kotabaru habis diambil oleh pemuda-pemuda yang datang secara ramai-ramai dari berbagai penjuru kota. Mereka umumnya pemuda-pemuda yang tak tahu cara menggunakan senjata. Yang tertinggal hanya senjata berat. Memang benar apa yang dilaporkan kepada saya. Gudang senjata kosong, semua senjata ringan dan pistol habis dibagi ramai-ramai. Saya mencoba menahan diri. Bukan main kesalnya hati saya.

Di Semarang terjadi pertempuran sengit yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pertempuran Lima Hari”. Tentara Jepang mengamuk karena merasa diganggu oleh pejuang-pejuang kita yang mencoba merebut senjata mereka. Dalam kejadian itu saya diminta mengirimkan bantuan pasukan ke Semarang. “Ini dia, datang kesempatan baik,” pikir saya.

Saya umumkan kepada semua pemuda yang memiliki senjata supaya segera berkumpul untuk berangkat ke Semarang membantu pemuda-pemuda kita melawan tentara Jepang. Pagi harinya setelah semua berkumpul, saya susun pasukan dengan ketentuan tiap pemuda yang bersenjata didampingi oleh seorang bekas PETA atau Heiho. Letnan Wuston dengan pasukannya bergabung dengan pasukan bersenjata berat di bawah pimpinan Letnan Mardjuki. Mereka saya berangkatkan dengan kereta api sampai di Mranggen dan mereka bertempur di front Pandeanlamper.

Taktik saya berhasil. Pemuda-pemuda yang membawa senjata mulai tidak kerasan, ingat pada orang tua dan pada ingin pulang kembali ke rumah. Semakin hari rasa panik mereka semakin menjadi. Pada saat itu datang peringatan dari tentara yang menjadi pendamping; “Siapa yang mau pulang, boleh, asal senjatanya tetap tinggal di garis depan”. Pemuda-pemuda yang belum pernah mendapat latihan kemiliteran dan disiplin itu akhirnya lebih senang memilih kembali ke rumah orang tua dan menyerahkan senjatanya kepada pendamping bekas PETA dan Heiho yang saya siapkan sebagai pendamping. Maka plonglah hati saya ini. Lega bukan main. Coba bayangkan, kalau seandainya senjata-senjata itu diminta dengan cara paksa, apa jadinya? Tentu terjadi pertumpahan darah. Syukur hal itu tidak sampai terjadi. Dalam pertempuran lima hari ini, banyak penduduk jadi korban kekejaman tentara Jepang.

Bersamaan dengan kejadian ini saya mengambil inisiatif menduduki lapangan terbang Maguwo yang waktu itu masih diduduki oleh tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Pada waktu mendekati garis awal, pasukan saya berangkat dengan kendaraan truk, sedangkan saya naik sepeda motor, bersejatakan pistol Vickers. Saya memberikan komando menyerang penjaga lapangan udara itu dan Jepang menyerah tanpa mengadakan perlawanan. Serdadu-serdadu Jepang itu kami tahan di sebuah gedung sekolah di Kepatihan Danurejan. Dengan ini kami dapatkan beberapa buah pesawat terbang yang jadi salah satu modal pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia. Semua pesawat terbang saya serahkan pada Adisutjipto, seorang penerbang didikan Belanda. Pada hari itu juga, Adisutjipto mencoba menerbangkan pesawat cureng, hasil rampasan. Umar Slamet dengan saya menyaksikan dengan rasa bangga, putra Indonesia bisa terbang sendiri.

Lalu di Yogya dibentuk Divisi IX di bawah Sudarsono yang berpangkat Jenderal Mayor. Pasukan saya diresmikan menjadi Batalyon X dengan beberapa satuan pemuda. Sementara itu saya menguasai pula markas pemuda pelajar, antara lain yang berada di jalan Batanawarsa, dan yang di Jalan Mahameru. Juga ada bengkel kendaraan di Purwodiningratan dan di Gowongan Kidul. Maka lengkaplah susunan Batalyon X dengan kompi kendaraannya dan saya berpangkat mayor.

Sementara itu di tiap kampung dan desa di wilayah Yogyakarta dibentuk “Laskar Rakyat” sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat. Semua penduduk bangsa Indonesia, laki-laki yang masih kuat badannya dan belum menjadi anggota TKR diharuskan masuk menjadi anggota Laskar Rakyat oleh Sultan Hamengku Buwono IX.

Selama ini jangankan seragam yang baik, pakaian pun masih compang-camping, tidak karuan. Tanda pangkat pun belum ada yang saya pakai. Cukup dengan wajah kita dan nama kita. ltulah jaminannya. Suatu kali saya ditanya oleh teman sesama perwira berkelakar tentang disiplin pemakaian tanda-tanda pangkat militer. Saya jawab, “Belum memikirkan untuk memakainya. Kita sekarang masih dalam revolusi. Mungkin nanti sehabis revolusi saya bersedia memakai lencana yang lebih besar.”

Tentara Sekutu datang di Semarang tanggal 19 Oktober dan Belanda/NICA “menggonceng” di dalamnya. Kabar-kabar tentang maksud tentara sekutu yang sebenarnya sudah tersebar luas di daerah. Bahwa Belanda ingin kembali berkuasa di atas bumi Indonesia ini pun sudah bukan rahasia lagi. Tindakan-tindakan mereka sesuai dengan perhitungan kita. Tetapi tokoh-tokoh politik kita menempuh jalan diplomasi. Dan kita pun percaya dan patuh pada kemampuan tokoh-tokoh politik kita, sementara para pejuang kita tetap waspada.

Di Semarang Pak Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah dari pihak Republik mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethel sebagai Panglima Sekutu di Jawa Tengah. Tetapi pihak Sekutu bukan memperhatikan aspirasi rakyat kita, melainkan malahan bergerak ke kota Magelang melalui Ambarawa. Dengan demonstratif mereka kemudian membebaskan interniran-interniran tawanan yang ada di kedua kota itu dan kekacauan pun timbul karena ulah pihak yang sombong itu.

Dalam mengimbangi kegiatan Sekutu di Semarang, Magelang dan Ambarawa, segenap potensi kita kerahkan. Lasykar Rakyat yang dibentuk di tiap desa kemudian bersatu dengan pasukan TKR menghadapi Sekutu.

Dua kali Sekutu menyerang kota Yogya dengan mengirimkan pesawat jenis pembom dengan merusak studio RRI Yogya dan Sono Budoyo serta menyebarkan pamflet yang mengacaukan, dan hal itu malah menimbulkan kemarahan rakyat kita kepada mereka.

Bentrokan tak dapat dihindarkan sehingga pada tanggal 31 Oktober, meletus pertempuran di Semarang, berkobar perlawanan pejuang-pejuang kita terhadap Sekutu, dan kemudian, keesokan harinya, rakyat Magelang mengangkat senjata melawan Sekutu dan NICA yang ada di dalamnya. Pertempuran berjalan terus. Kami tidak menginginkan Yogya berada di bawah telapak sepatu Sekutu/NICA. Kami bertahan, malahan berusaha keras mendesak supaya musuh mundur.

Badan-badan perjuangan yang dibentuk di luar TKR mengadakan Kongres Pemuda Indonesia di Yogya yang melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Tetapi justru pada waktu itu, tanggal 10 November puncak pertarungan terjadi di Surabaya dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Banyak sekali pejuang kita menjadi korban dalam peristiwa mengharukan itu yang kita kenang sampai sekarang sebagai “Hari Pahlawan”.

Letnan Jenderal Urip mengorganisasikan rapat pimpinan TKR yang pertama, bertempat di Markas Tertinggi TKR di Yogya. Rapat dihadiri oleh para perwira senior, panglima-panglima divisi dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Tentunya mereka yang dari Surabaya tidak bisa hadir, karena hari-hari itu di sana sedang sibuk-sibuknya. Dalam rapat besar ini Panglima Divisi V/Banyumas Kolonel Soedirman terpilih sebagai pemimpin tertinggi TKR, sedangkan Pak Urip yang oleh pemerintah sudah diangkat sebagai Kepala Staf Umum, terpilih sebagai Kepala Staf TKR. Satu kombinasi yang terpadu: Pak Urip meletakkan landasan-landasan teknis militer, sedangkan Pak Dirman meletakkan landasan-landasan kejiwaannya.

Perlawanan kita terhadap Sekutu yang terus mencoba mendesak kita berjalan tak henti-hentinya. Saya pimpin Batalyon X ikut menyerbu Magelang dan Sekutu pun meninggalkan kota ini, mundur menuju Ambarawa.

Lalu tentara Sekutu membuat pertahanan yang kuat di Ambarawa. Letkol Isdiman gugur dan pertempuran untuk menghalau Sekutu dari pertahanannya di Ambarawa bertambah hebat. Kolonel Soedirman, menjelang pelantikan sebagai Panglima Besar TKR, maju memimpin pertempuran. Batalyon Suryosumpeno, Batalyon A. Yani dan Batalyon Kusen, di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini berhasil membebaskan penduduk Pingit yang diteror dengan kejam oleh Sekutu.

Saya dari Yogya dengan membawa kekuatan empat kompi, yakni Kompi Soedjono, Kompi Muljono, Kompi Sukoco dan Kompi Marjono maju juga. Begitu juga Letkol. Gatot Subroto dari Divisi V/Purwokerto, dan pasukan Batalyon 8 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Empat hari empat malam Ambarawa kami gempur dengan siasat “supit udang”. Batalyon X yang saya pimpin ditugasi untuk menyerang Banyubiru lebih dahulu, kemudian mendudukinya, bertugas sebagai pengaman lambung dari pasukan induk yang bergerak ke Ambarawa. Banyubiru saya serang setelah Magrib, dan Sekutu mundur ke Ambarawa. Batalyon yang saya pimpin terus mengejarnya dan mengambil atau menyusun pertahanan jauh di depan Banyubiru. Semalam suntuk Banyubiru dihujani peluru meriam dari Ambarawa. Mendengar banyaknya tembakan meriam ke Banyubiru, Pak Gatot mengira batalyon saya sudah hancur. Kenyataannya tidak demikian, karena semuanya sudah saya perhitungkan. Mulai peristiwa itu Pak Gatot mengenal saya.

Hebat pertempuran itu. Saya pegang teguh disiplin. Saya marahi prajurit-prajurit yang mundur dengan meninggalkan senjata mereka. Di kesatrian Ambarawa, tempat saya menyusun kembali pasukan-pasukan saya, saya bicara keras di depan prajurit-prajurit yang telah meninggalkan medan pertempuran dalam keadaan panik.

“Saya marah sekali,” saya berterus terang. “Kita masih belum mampu untuk membikin senjata modern apa pun, dan kita masih belum mampu membelinya. Kita semua mempunyai saham dan tanggung jawab yang sama dalam revolusi ini. Kita sangat memerlukan senjata itu. Akan saya hukum siapa saja yang tidak dapat memelihara senjatanya dengan baik.”

Tetapi akhirnya Sekutu mundur ke Semarang. Itulah “Palagan Ambarawa” yang terkenal. Tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal dan Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf dengan tetap berpangkat letnan jenderal.

Rupanya daya upaya saya dalam “Palagan Ambarawa” mendapat perhatian Jenderal Soedirman. Dan sewaktu Pak Dirman berusaha mengadakan reorganisasi dan penyempurnaan tubuh TKR, saya diangkat menjadi Komandan Resimen III dengan pangkat letnan kolonel, menguasai daerah Yogyakarta, dengan wakil Komandan Mayor Rekso. Saya membawahkan empat batalyon: Batalyon 8 di bawah Mayor Sardjono, Batalyon 10 di bawah mayor J. Sudjono, Batalyon 19 di bawah Mayor Sumiarsono, dan Batalyon 25 di bawah Mayor Mohammad Basyuni.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 26-34.

Masa Perjuangan : Di Tengah Kemelut

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Tahun 1948 keadaan terasa semakin gawat. Bersamaan dengan kekecewaan yang disebabkan “Persetujuan Renville” itu, muncul persoalan “Rekonstruksi-Rasionalisasi” yang lebih terkenal dengan singkatan: Re-Ra. Penetapan Presiden tertanggal 2 Januari 1948 menentukan pengaturan itu.

Panglima Besar Soedirman dan Jenderal Urip Sumohardjo sempat menghadap kepada Presiden Soekarno, mengemukakan pendapat­-pendapat mereka berkenaan dengan Re-Ra itu. Tetapi rencana “Re-Ra” yang diajukan oleh Amir Sjarifuddin dan disetujui oleh Presiden Soekarno itu terus dijalankan. Sebagai akibatnya, banyak anggota Angkatan Perang (AP) kita harus mengundurkan diri, karena pelaksanaan penciutan jumlah anggota AP kita waktu itu. Begitu juga diadakan penurunan pangkat tentara. Yang berpangkat jenderal mayor turun menjadi kolonel, yang kolonel jadi letnan kolonel, yang letnan kolonel jadi mayor. Jenderal Soedirman sendiri diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal, dan Letnan Jenderal Urip menjadi Mayor Jenderal.

Desakan partai-partai, desakan masyarakat mengubah pemerintahan kita. Amir Sjarifuddin meletakkan jabatannya. Bung Hatta mendapat kepercayaan untuk memegang pemerintahan di samping tetap sebagai Wakil Presiden.

Re-Ra adalah basil Kabinet Amir Sjarifuddin. Tetapi Kabinet Hatta yang harus melaksanakannya. Sementara itu ternyata “Persetujuan Renville” itulah yang menyebabkan tentara kita sebanyak kurang lebih 30.000 orang dari Jawa Barat (minus dari Banten) dan Jawa Timur harus hijrah ke daerah “pedalaman” Republik.

Belanda beranggapan bahwa daerah-daerah yang kota-kotanya diduduki oleh tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 itu merupakan daerah pendudukan Belanda. Karena itu, mereka menuntut agar gerilya TNI ditarik dari daerah-daerah yang mereka “duduki” ke daerah yang masih belum diserang oleh Belanda, yakni ke daerah yang ada di balik “Garis Van Mook”, menurut sebutan mereka.

Tetapi bagaimanapun juga kecewanya TNI yang berjuang dengan senjata waktu itu, tetap taat kepada keputusan pemerintah. Prinsip TNI “Politik Negara adalah politik tentara” tetap kita pegang teguh.

Setelah “Renville” wilayah kekuasaan RI yang nyata di Jawa tinggal 1/3 luas pulau, tinggal “sedaun kelor” sebutan orang.

Dengan kejadian ini daerah Yogya jadi padat. Kami hams menyediakan atap untuk berteduh dan ruangan untuk berbaring bagi mereka yang berdatangan. Rumah-rumah jadi bertambah penghuninya. Asrama-asrama jadi padat. Gedung-gedung sekolah juga dipakai untuk tidur. Gudang-gudang dipakai untuk berhias. Malahan ada pendatang yang harus tidur di gerbong-gerbong kereta api, karena rumah-rumah sudah sesak dengan pendatang yang lebih dahulu.

Begitu di Yogya. Begitu pula di kota-kota lainnya di daerah Republik, seperti Madiun, Solo, Magelang, penuh sesak dengan pendatang-pendatang dari luar daerah Republik. Waktu itu jadinya penghidupan di daerah Republik makin sulit, karena daerah surplus, seperti Malang, Besuki, Jawa Barat, sudah direbut Belanda.

Nilai uang rupiah, uang putih kita, tambah merosot sementara sejumlah bahan makanan jadi berkurang, malahan ada yang menghilang sama sekali. Dalam keadaan demikian bukan saja partai-partai politik bereaksi keras terhadap “Persetujuan Renville”, tetapi juga masyarakat luas, dan terutama pejuang bersenjata menyatakan kecewa dan menentang hasil kebijaksanaan Amir Sjarifuddin itu.

Di balik gunung, di daerah pendudukan, Belanda sibuk terus dengan usahanya. Mereka terus-menerus menambah pasukannya yang didatangkan dari Eropa supaya mencapai jumlah sampai lebih dari 100.000 orang, yang meliputi beberapa divisi dan beberapa brigade yang berdiri sendiri.

Sementara itu mereka terus menambah “negara-negara boneka”, di Madura, di Bandung, di Sumatera Timur, di Sulawesi Selatan. Rundingan berjalan terus, sementara tekanan berat dari pihak Belanda juga terus ditimpakan kepada kita.

Dalam suasana demikian suhu politik meningkat. Pertentangan politik menjadi-jadi sampai terjadi insiden bersenjata di beberapa tempat. Usaha Critchley dan Du Bois menyusun naskah kesepakatan berjalan. Tetapi perundingan tidak menemukan hasil. Sementara itu suasana hangat jadi panas. Gelombang perjuangan terus merambat, disambung dan bergerak. Tetapi api yang disulut juga terasa menjalar.

Kejadian-kejadian yang meletup-letup terdapat di pelbagai tempat. Dan yang tambah menghebohkan dan menegangkan pada waktu itu adalah pembunuhan. Pada permulaan Juli 1948 Kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV/TNI (Divisi Panembahan Senopati) tewas ditembak seorang penembak gelap ketika ia sedang turun dari mobil di depan rumahnya, di Solo. Tuding menuding mengenai peristiwa ini terjadi. Siapa sebenarnya yang jadi pembunuhnya, gelap sampai sekarang.

Menyusul penculikan-penculikan. Dr. Muwardi, tokoh pemuda penyelenggara Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta diculik di Solo dan kemudian dibunuh oleh penculiknya. Residen Iskak diculik. Sementara suasana culik-menculik mencekam kita waktu itu, buruh di pabrik karung Delanggu mogok. Tentunya ada yang menghasut.

Waktu itu Bung Hatta sibuk dengan diplomasi. Wakil-wakil Komisi Tiga Negara menyampaikan usulnya sendiri yang dikenal sebagai “Usul Critchley-Du Bois.”

Sementara itu perpecahan antara kelompok Sjahrir dan Amir sudah terjadi dan segera lebih jelas ketika terbentuk Kabinet Presidensial Hatta. Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang Kabinet Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir menyokongnya.

Pertengahan Februari 1948 terjadi perpecahan di antara mereka. Kelompok Amir membentuk Partai Sosialis baru, sedangkan Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia. Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dan Abdul Madjid kemudian dalam rapat mereka di Surakarta membentuk Front Demokrasi Rakyat atau FDR.

Lama-kelamaan FDR bertambah ekstrim dalam Iangkah­ langkahnya. Anggota-anggotanya yang terkemuka menghendaki penghentian segala perundingan dengan Belanda, sementara orang masih tetap ingat, bahwa yang menghasilkan “Persetujuan Renville” itu adalah Amir Sjarifuddin sendiri.

Alhasil Amir sudah berubah sekali dan malahan kemudian ia mengherankan kawan-kawannya dan mengejutkan pemerintah, sewaktu ia, setelah Muso datang, berkata bahwa ia sebenarnya adalah seorang komunis, dan sejak tahun 1935, ketika berada di Surabaya, masuk “PKI illegal” pimpinan Muso. Juga Setiadjit, Abdul Madjid, dan Tan Ling Djie yang tadinya dari Partai Sosialis, mengaku bahwa mereka juga telah lama menjadi komunis.

Saya, sebagai perwira muda saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik. Saya membaca berbagai peristiwa politik itu, dan dengan diam-diam saya menganalisanya.

***

[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 47-50.