PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Stabilitas Politik Dan Pemerintahan : Antara Konsensus dan Otoritarianisme

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
TRILOGI PEMBANGUNAN (2)
Stabilitas Politik dan Pemerintahan : Antara Konsensus dan Otoritarianisme


Stabilitas politik dan pemerintahan dapat diwujudkan manakala dicapai konsensus segenap komponen bangsa terhadap filosofi dan tujuan politik, sistem politik yang dipergunakan, serta kesesuaian sistem politik dengan realitas kultural masyarakatnya. Kalangan pragmatis memandang politik —secara terang-terangan maupun tersembunyi— semata-mata  sebagai instrumen atau alat perebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Sedangkan kalangan idealis memandang politik sebagai instrumen partisipasi dalam perjuangan mewujudkan kesejahteraan bangsa, tanpa tersandera keharusan memprioritaskan kepentingan pribadi, klan, maupun golongan tertentu. Menguatnya salah satu dari dua cara pandang diatas akan mempengarui penerimaan sebuah sistem politik yang hendak dipergunakan dalam sebuah negara.

Keberhasilan Presiden Soeharto menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan ditopang oleh kemampuannya membangun konsensus, bahwa muara dinamika politik nasional adalah perjuangan untuk terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat yang dilakukan dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. Untuk tujuan ini Presiden Soeharto mendorong terwujudnya dua tahapan konsensus. Pertama, konsensus bahwa Pancasila merupakan manajemen multikulturalisme Nusantara, termasuk dalam pengelolaan keragaman idiologi politik. Sebagai konsekuensinya, segala gerak gerik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara —termasuk sistem perpolitikan— harus dijalankan secara konsekuen dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif ini, segala dinamika perpolitikan bangsa harus dikelola dalam satu payung idiologi bangsa, yaitu Pancasila, sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat dibebaskan dari konflik-konflik nilai yang —selama dua puluh tahun sejak kemerdekaan— telah menguras energi bangsa.

Kedua, konsensus penyederhanaan partai berbasis kelompok idiologi dari multi partai-multi idiologi menjadi tiga partai kontestan pemilu. Partai politik berbasis idiologi nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai politik berbasis idiologi agama —Islam, karena Katolik/Protestan memilih bergabung PDI— disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Golkar didesain sebagai wadah aspirasi politik kalangan nasionalis-religius. Presiden Soeharto mengakui terwujudnya konsensus ini dilakukan secara sadar dan bukan buah dari upaya-upaya yang bersifat paksaan. Terbukti perlu waktu lama dan baru tahun 1985 —setelah 18 tahun sejak Presiden Soeharto mulai berkuasai tahun 1967—Pancasila dapat diterima sebagai satu-satunya azas kepartaian.

“Pada tahun 1985 undang-undang kepartaian dengan satu azas diterima dan azas ciri (idiologi golongan) dihilangkan. Ini merupakan salah satu pembangunan politik yang tidak kentara, akan tetapi sebetulnya merupakan salah satu prestasi bangsa kita yang dengan segala kesabarannya membangun politik. Jadi konsensus nasional itu bukan lahir karena dalam keadaan darurat, sama sekali tidak. Dalam keadaan sadar, kita menyederhanakan kehidupan politik itu dan dengan susah payah menyatukan satu pandangan dan menemukan satu landasan untuk membangun politik, sampai bisa menghilangkan azas ciri dan kembali kepada Pancasila, sebagai satu-satunya azas. Pancasila yang lahir satu hari setelah Proklamasi itu, dalam pembangunan politik tetap kita pertahankan dan sampai sekarang kita laksanakan”

Selain melalui konsensus penyederhanaan partai, stabilitas politik dan pemerintahan pada era Presiden Soeharto juga dukung oleh konsistensinya dalam menjalankan sistem MPR yang didesain para perumus konstitusi (generasi Soekarno) sebagai sistem khas Indonesia. Sistem MPR sebagaimana amanat UUD 1945 pada dasarnya bukan sistem parlementer murni ataupun presidensiil murni. Para perumus konstitusi menyadari adanya multikulturalisme politik di Indonesia sehingga penerapan sistem parlementer murni (fusion of power) dan sistim presidensiil murni (separation of power) tidak akan memberikan jaminan terciptanya stabilitas pemerintahan.

Sistem parlementer murni dinilai sebagai penerapan pandangan individualisme dan tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (merupakan fusion of power dimana kekuasaan eksekutif pada esensinya menjadi bagian kekuasaan legislatif) dan sewaktu-waktu terancam oleh mosi tidak percaya parlemen (supremacy of parliament). Sedangkan sistem presidensiil dinilai memiliki tiga kelemahan, yaitu (1) mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif apabila tidak didukung mayoritas parlemen, (2) sangat kaku, karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir dan (3) cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.

Realitas multikulturalisme idiologi politik itu mendorong para pendiri negara memilih sistem sendiri[7] dengan menempatkan MPR sebagai supreme of power, sedangkan DPR menjadi bagian dari MPR dan berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Dalam sistem ini Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dirumuskan MPR. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden mengendalikan seluruh urusan teknis penyelenggaraan pemerintahaan kecuali dalam pembuatan undang-undang, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, membuat Perpu dan penetapan APBN yang mekanismenya harus melalui persetujuan DPR terlebih dahulu.

Konsensus penyederhanaan partai berbasis golongan dan idiologi —yang berhasil diterapkan Presiden Soeharto— dituding sejumlah kalangan membatasi partisipasi politik rakyat dan keberadaanya harus didekonstruksi. Sejumlah kalangan dalam negeri ‘pro demokrasi ala Amerika’ bahkan menuding UUD 1945 melahirkan karakteristik pemerintahan otoriter karena dinilai terlalu memusatkan kekuasaan kepada Presiden (concentration of power upon the president atau the strong executive type of government). Menurut kalangan ini karakteristik tersebut tercermin dari pasal-pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 5 ayat (1) kekuasaan membentuk UU, dan ayat (2) kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah; Pasal 10 memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Perang; Pasal 11 menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian; Pasal 12 menyatakan keadaan bahaya; Pasal 13 mengangkat Duta dan Konsul serta menerima Duta negara lain; Pasal 14 memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi; Pasal 15 memberi gelar dan tanda jasa; pasal 17 ayat (2) mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; Pasal 21 ayat (2) membatalkan RUU yang disetujui DPR; Pasal 22 menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti UU; dan Pasal 23 ayat (1) mengajukan RAPBN.

Tudingan tersebut bersisiran dengan atmosfer euforia reformasi yang ditandai dengan sindrom dan stigmatisasi “semua yang terkait dengan Presiden Soeharto harus di dekonstruksi” dan pada akhirnya mendorong amandemen UUD 1945 secara membabi buta tanpa memperhatikan aspek historis maupun latar belakang idiologis perumusan UUD 1945. Tudingan pemusatan kekuasaan pada Presiden didekonstruksi dengan merubah otoritas pembuatan undang-undang pada DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 amandemen pertama). Pasal tersebut diimplementasikan secara berlebihan oleh para anggota DPR dengan memberi hak bagi dirinya —melebihi ketentuan yang ada dalam UUD 1945— seperti hak hak menyeleksi para pejabat publik: pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Amendemen secara membabi buta juga tercermin dalam penghapusan utusan golongan dari keanggotaan MPR dan penghapusan kewenangan MPR dalam penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagaimana telah dibahas dalam bab 6, penghapusan utusan golongan dapat mematikan multikulturalisme Nusantara secara sistematis sebagaimana tumbangnya suku Indian dan Aborigin di tanah kelahirannya sendiri. Begitu pula dengan penghapusan peran MPR dalam penyusunan GBHN merupakan penyimpangan amanat sila keempat Pancasila bahwa pemerintahan Indonesia pada dasarnya pemerintahan rakyat.

Amendemen UUD 1945 beserta implementasinya secara membabi buta pada akhirnya memicu munculnya instabilitas pemerintahan yang dipicu oleh tarik ulur politik antara Presiden dengan kekuatan politik penyangganya di DPR. Hal sama juga dialami oleh pimpinan daerah yang tidak didukung kekuatan mayoritas DPRD sehingga kerja-kerja pemerintahan banyak tersandera oleh tarik ulur politik. Untuk memahami anatomi permasalahan penyebab terjadinya instabilitas pemerintahan pada era reformasi, dikemukakaan fakta-fakta berikut:

Pragmatisme Elit Politik

Kekacauan politik pada era reformasi bukan lagi disebabkan oleh konflik-konflik idiologis melainkan perebutan pos-pos strategis dalam kabinet, direktur-direktur BUMN maupun penguasaan kendali proyek-proyek pemerintah. Sistem multi partai —selama tiga kali penyelenggaraan Pemilu dalam era reformasi— belum mampu menghasilkan partai yang dapat menempatkan wakilnya secara mayoritas (lebih dari 50%) di DPR. Presiden-Wakil Presiden dan Pimpinan Daerah terpilih pada akhirnya tidak memiliki dukungan mayoritas DPR/DPRD yang mana dukungan itu menjadi syarat terciptanya stabilitas pemerintahan. Bahkan sejumlah Pimpinan Daerah terpilih justru tidak berasal dari kader partai kuat, melainkan diusung oleh gabungan partai-partai gurem. Upaya eksekutif melakukan konsolidasi dukungan parlemen seringkali dimanfaatkan oleh politisi-politisi —khususnya yang datang dari partai berbeda— sebagai pintu bargaining agar partainya memperoleh pos-pos trategis dalam pemerintahan. Tarik ulur ini seringkali menyita energi eksekutif sehingga agenda-agenda pemerintahan menjadi terbengkalai.

Bargaining dan Penyanderaan Kasus Hukum

Tarik ulur antara elit politik dengan elit eksekutif tidak jarang dilatarbelakangi komplikasi antar pelakunya yang terbelit kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Bargaining politik tidak jarang dilakukan melalui penyanderaan kasus hukum dimana kalangan elit politik dan elit pemerintahan faktanya tidak banyak yang benar-benar bersih dan terbebas dari kasus hukum. Kasus-kasus hukum ini kemudian dijadikan alat untuk saling menikam satu sama lain hingga pada suatu titik tercapai kompromi dengan bargaining-bargaining tertentu. Penyanderaan kasus hukum menyebabkan pelakunya tidak berani mengambil kebijakan atau tindakan tegas —demi kepentingan rakyat— karena dihantui kasusnya akan terbongkar oleh lawan-lawan politiknya[9].

Money Politik dan Maraknya Kasus Korupsi

Pemilihan langsung ditandai dengan maraknya money politik yang terjadi dalam skala lebih luas jika dibandingkan dengan pemilihan Presiden oleh MPR maupun kepala daerah oleh DPRD. Begitu pula pemilu anggota DPR-DPRD antara sistem proporsional (memilih partai) dan pemilihan langsung terhadap calon-calon anggota legislatif dengan sistem suara terbanyak. Dalam iklim perpolitikan yang masih diwarnai dengan mentalitas pragmatis —jabatan publik dinilai sebagai komoditas yang dapat dibeli dan bukannya sebagai amanah—, pemilu langsung memerlukan biaya lebih besar. Implikasi pembengkakan biaya politik itu dinilai sejumlah kalangan menjadi pemicu penggunaan dana publik (APBN-APBD) sebagai sasaran pengembalikan “investasi” yang telah dikeluarkan untuk membeli jabatannya.

Mentalitas korup dalam rangka pengembalian “investasi jabatan” melalui dana publik itu tercermin dari banyaknya pimpinan Daerah (125 dari 524 pimpinan daerah) yang terjerat kasus korupsi[10]. Berdasarkan telaah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 8 kelompok perkara penyebab terjadinya tindak pidana korupsi (TPK)[11]:

Banyaknya pimpinan daerah yang tersangkut kasus korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian secara langsung berupa hilangnya anggaran negara. Berlarut-larutnya proses penegakan hukum menyebabkan energi pimpinan daerah terkuras untuk upaya-upaya pembelaan diri dari jeratan hukum. Pimpinan daerah yang tersandera kasus hukum pada akhirnya tidak dapat mengalokasikan energinya dalam melakukan perencanaan dan mengorganisasi pembangunan serta pelayanan publik secara maksimal. Akibatnya anggaran yang tersedia tidak dapat dimaksimalkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Terseretnya pimpinan daerah oleh kasus hukum seringkali memunculkan gerakan-gerakan politik yang menuntut pergantian pimpinan daerah sehingga stabilitas pemerintahan menjadi terganggu. Instabilitas pemerintahan akibat kasus korupsi sebenarnya dapat diminimalisasi manakala proses penanganannya dilakukan secara cepat sehingga segera memperoleh keputusan hukum tetap. Cepatnya penanganan akan segera membebaskan pemerintah dari penyanderaan kinerjanya oleh kasus korupsi yang melilit pimpinan dan pejabat puncaknya.

Berdasarkan anatomi permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas, menyeruaknya instabilitas pemerintahan pada era reformasi disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu komplikasi sistem presidensiil-multi partai, konflik kewenangan DPR-Presiden dalam urusan teknis pemerintahan dan in-efektifitas penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi elit politik dan pejabat negara. Dua faktor pertama merupakan penyebab instabilitas pemerintahan pada tingkat pusat, sedangkan faktor terakhir terjadi merata pada semua tingkatan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Khusus bagi pemerintahan daerah, kasus korupsi merupakan penyebab utama terjadinya instabilitas pemerintahan.

Komplikasi Sistem Presidensiil-Multi Partai

Penghapusan MPR sebagai locus of power (pemegang kedaulatan tertinggi) dan ditetapkanya pemilihan presiden secara langsung —melalui amandemen UUD 1945 yang ketiga— telah menandai pergeseran sistem ketatanegaraan kita ke arah presidensiil[12]. Sistem ketatanegaraan hasil amandemen, khususnya penghapusan MPR sebagai locus of power, bukan saja bergeser dari rancangan asli para perumus konstitusi —yang mendasarkan sistem ketatanegaraan kita pada kaidah dasar negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat dan penyelenggaraan demokrasi sosial ekonomi—, akan tetapi juga melupakan realitas multikultural masyarakat nusantara.

Implikasi multikulturalisme Indonesia —dalam hal budaya, idiologi dan agama—- terpantul dalam wajah perpolitikan bangsa yang ditandai dengan memunculnya banyak partai politik berbasis idiologi golongan atau kelompok. Walaupun pada saat ini perinteraksian antar faksi politik maupun dialektikanya dengan eksekutif tidak lagi diwarnai oleh perdebatan idiologis, keberadaan partai-partai tersebut berasal dari varian-varian idiologi berbeda. Fenomena itu dapat menjelaskan kenapa partai-partai menengah dari kalangan Islam —seperti PAN, PKB, PKS dan PPP— lebih memilih eksis dengan kekuatannya masing-masing dan sulit untuk diharapkan dapat melebur menjadi satu kekuatan kepartaian besar.

Amandemen UUD 1945 dengan mengabaikan aspek historis, filosofis maupun kultural pada akhirnya memunculkan kombinasi sistem presidensiil dan sistem multipartai ekstrim dalam ketatanegaraan kita. Padahal sudah sering diingatkan oleh para ilmuwan politik dan ahli Tata Negara, skema presidensiil memiliki resiko jika dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrem. Konsekuensi kombinasi presidensiil-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR— dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, sebagaimana dialami era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), dan Presiden Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014). Bahkan Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai[13].

Solusi komplikasi sistem presidensiil-multi partai dapat dilakukan dengan pembatasan jumlah partai secara alamiah —melalui mekanisme parliamentary threshold (PT)— namun tetap memperhatikan batas toleransi tertentu, agar keragaman politik sebagai pantulan ‘multikulturalisme masyarakat Nusantara’ tetap terjaga[14]. Dengan adanya PT, pragmatisme politik, cepat atau lambat akan berhadapan dengan pengadilan rakyat dalam dua bentuk. Pertama, partai yang tidak memiliki kader-kader berkualitas, berintegritas, jujur, bersih —atau tidak mampu membersihkan partainya dari kader-kader yang tidak jujur, pragmatis, tidak memiliki visi dan kompetensi dalam mewujudkan gagasan perubahan untuk kesejahteraan rakyat— dengan sendirinya akan ditinggalkan pemilih pada pemilu berikutnya. Kedua, partai yang tidak dikelola dengan manajemen organisasi secara baik —dan tidak mampu membuktikan kemampuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat— cepat atau lambat akan tereliminasi.

Kemerdekaan informasi menjadikan masyarakat semakin melek politik dan mampu membedakan partai yang benar-benar memiliki kader berkualitas serta dikelola dengan manajemen organisasi secara baik dengan partai yang dikelola secara asal-asalan dan didalamnya dipenuhi oleh politisi-politisi yang tidak berintegritas. Proses pendewasaan politik —melalui serangkaian pemilu yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun— menjadikan masyarakat semakin rasional dalam memberikan dukungan politiknya dan tidak lagi terjebak oleh fanatisme golongan, idiologi tertentu atau janji-janji manis kalangan politisi.

Mekanisme PT memang dapat mendorong penyederhanaan partai, namun dalam realitas multikultural Indonesia, penyederhanaan itu kecil kemungkinannya dapat mewujudkan dwi partai sebagaimana sistem kepartaian ideal penopang presidensiil di Amerika Serikat. PT memang bisa mengurangi komplikasi sistem presidensiil-multi partai di Indonesia, akan tetapi tidak dapat diadalkan sebagai instrumen terbentuknya sistem kepartaian ideal dalam skema presidensiil.

Pengembalian Otoritas Eksekutif dan Refungsionalisasi GBHN

Selain komplikasi sistem presidensiil-multi partai, instabilitas pemerintahan pada era reformasi juga disebabkan oleh tarik ulur kewenangan DPR-Presiden dalam urusan teknis penyelenggaraan pemerintah yang seharusnya menjadi otoritas Presiden. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (amandemen pertama) menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Otoritas ini ditafsirkan secara berlebihan oleh DPR dengan memberi hak bagi dirinya campur tangan dalam masalah teknis pelaksanaan pemerintahan, melebihi kewenangan yang diberikan UUD. Penambahan hak itu tercermin dalam proses seleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri atau pimpinan lembaga lainnya yang pembentukannya atau mekanisme pemilihanya diatur melalui undang-undang.

Menurut pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 (amandemen kedua), DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pada ayat berikutnya (dalam pasal tersebut) disebutkan bahwa selain ketiga fungsi itu, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

Selain ketiga fungsi dan hak tersebut, DPR juga diberi kewenangan dalam: (1) memberi persetujuan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, (2) memberi persetujuan dalam penetapan APBN, (3) memberi persetujuan dalam pengangkatan dan pemberhentian Komisi Yudisial, (4) dan mengusulkan sepertiga calon Mahkamah Konstitusi (MK). DPR juga memberikan pertimbangan Presiden dalam pengangkatan duta dan konsul serta dalam memberikan amnesti dan abolisi.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasar ketentuan tersebut, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan —selain yang sudah diatur secara tegas oleh UUD agar dilakukan bersama-sama DPR— merupakan kewenangan yang melekat pada Presiden (eksekutif).

Penyerobotan hak eksekutif oleh DPR melebihi porsi yang ditetapkan UUD 1945 bukan saja inkonstitusional, akan tetapi juga memperlebar ruang penyanderaan DPR atas kebijakan dan agenda-agenda Presiden. Penyerobotan hak eksekutif ini —sebagaimana dalam kasus seleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri atau pimpinan lembaga lainnya yang pembentukannya atau mekanisme pemilihannya diatur melalui undang-undang— seringkali memicu ketegangan Presiden-DPR sehingga program-program eksekutif menjadi terganggu. Pengembalian kewenangan DPR sesuai dengan pengaturan UUD 1945 bukan saja merupakan pelurusan konstitusional terhadap peran dan fungsi DPR. Pengembalian tersebut juga dapat menghindarkan eksekutif dari ancaman dikatorial partai yang selama ini menjadi pemicu munculnya instabilitas pemerintahan.

Selain pengembalian otoritas Presiden sesuai ketentuan UUD, pengembalian fungsi MPR untuk menetapkan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) juga dapat meminimalisasi konflik DPR-eksekutif. Adanya GBHN akan menjadi panduan tentang arah dan kebijakan negara, sehingga dialektika DPR-Presiden akan dikerangkai oleh isu-isu kebijakan yang benar-benar terkait dengan kemajuan bangsa secara berkelanjutan, dan bukannya terjebak oleh kemauan atau ide-ide pragmatis atau ide-ide bersifat temporal yang datang dari faksi-faksi politik di DPR[15]. Pengembalian fungsi MPR menetapkan GBHN bukan saja meminimalisasi dialektika kebangsaan yang tidak produktif, akan tetapi juga merupakan amanat sila keempat Pancasila agar sistem pemerintahan melibatkan partisipasi seluruh rakyat melalui para wakil-wakilnya.

Efektifitas Hukum Bagi Pejabat Publik dan Elit Politik

Selain mendudukan kembali fungsi, kewenangan, dan hak DPR sesuai ketentuan UUD, instabilitas pemerintahan juga dapat diminimalisasi dengan penegakan hukum, khususnya percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi agar segera memperoleh kekuatan hukum tetap. Selama ini para tersangka korupsi tetap mendapat keleluasaan menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara, pimpinan daerah atau anggota legislatif dengan berlindung dibalik argumentasi “kasusnya belum P-21” atau “belum memperoleh kekuatan hukum tetap”. Argumentasi itu kerap dijadikan senjata oleh kalangan koruptor untuk tetap mempertahankan jabatan dan pada saat bersamaan menggunakan fasilitas jabatan yang dimilikinya untuk membersihkan diri dari jeratan hukum. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus korupsi berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan karena energi para pejabatnya terkuras untuk melakukan pembelaan diri dari jeratan kasus hukum.

Salah satu upaya percepatan penanganan kasus korupsi adalah dengan perubahan ketentuan UU No 32/ 2004 yang menyatakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden[16]. Para penyidik seringkali beralasan, lambatnya ijin dari presiden sebagai faktor penghambat penanganan perkara korupsi. Dengan menghapuskan ketentuan “ijin dari presiden”, penanganan kasus korupsi yang melilit pimpinan daerah dapat segera dilaksanakan tanpa harus terjebak birokrasi yang panjang. Para pejabat yang kasusnya dinyatakan P-21 dengan sendirinya harus di non aktifkan dari jabatannya —-hingga proses hukumnya memperoleh kekuatan hukum tetap— agar penanganan kasusnya tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu juga diperlukan sistem yang dapat memaksa aparat hukum agar mampu menyelesaikan proses penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan (hingga status P-21) —terhadap dugaan kasus korupsi yang dilakukan elit politik dan pejabat negara— dalam batasan waktu tertentu. Deadline itu diperlukan agar tersangka korupsi segera memiliki kepastian hukum (dengan kekuatan hukum tetap) bahwa dirinya dinyatakan bersalah atau tidak. Apabila dinyatakan tidak bersalah maka nama baiknya dipulihkan dan jabatannya diberikan kembali. Namun apabila pejabat yang diduga korup benar-benar memenuhi unsur tidak pidana korupsi maka prosesnya akan cepat diselesaikan tanpa mengganggu kinerja pemerintahan. Para politisi juga tidak bisa menggunakan kasus korupsi sebagai instrumen penyanderaan terhadap kerja-kerja eksekutif menjalankan pemerintahan.

Mengacu anatomi permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas, percepatan penanganan tindak pidana korupsi terhadap elit politik dan pejabat akan memberikan kontribusi besar dalam mengembalikan stabilitas pemerintahan. Percepatan penanganan korupsi akan membebaskan penyanderaan roda pemerintahan —baik pusat maupun daerah— dari para pejabat tersangka kasus korupsi yang masih bercokol dan mencengkeram jabatannya.
  1. Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan
  2. Pada tingkat ekstrim, pragmatisme politik akan mengantarkan dinamika perpolitikan bangsa kedalam kumparan perebutan kekuasaan berbasis egoisme kelompok atau klan tertentu, walaupun dikemas dengan isu-isu kesejahteraan. Pada suatu titik, dinamika itu seringkali mengabaikan kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa demi kecemerlangan politik kelompok atau klan yang di dukungnya.
  3. Dalam perdebatan lebih lanjut memunculkan kontroversi apakah para wakil rakyat merupakan delegates/ messenger boy (terikat oleh kepentingan partai) atau trustee (anggota DPR mengeluarkan suaranya sebagai sosok merdeka, menurut perasaan kehormatan dan keinsafan batinnya, tidak selalu atas perintah atau kewajiban mengikuti induk partainya).
  4. Pidato Presiden, Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara, (Jakarta: Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997), hlm 40.
  5. Ibid, hl 40-41
  6. Sofian Effendi, makalah dengan judul “Sistem Pemerintahan Adalah Jati Diri Bangsa”, (Yogyakyakarta: Universitas Gajah Mada: 2 Februari 2005), hlm 8.
  7. Sistem pemerintahan yang disusun para pendiri negara Indonesia bukanlah mencontek apa adanya dari sistem parlementer atau presidensil, akan tetapi menggunakan sistem sendiri. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Lihat dalam Sofian Effendi, makalah dengan judul “Sistem Pemerintahan Adalah Jati Diri Bangsa”, (Yogyakyakarta: Universitas Gajah Mada: 2 Februari 2005), hlm 8.
  8. Wawan Kurniawan, evektifitas versus demokrasi, SAKSI No. 21 Tahun IV 23 Juli 2002.
  9. Sebagai contoh kasus Bibit-Candra yang pada awalnya terbelit kasus hukum namun agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat kasusnya di Deponering. Mereka berdua akhirnya diijinkan mengikuti pemilihan ketua KPK dalam sebuah proses di DPR yang menandakan keberadaan mereka diterima oleh para anggota DPR. Namun ketika KPK mulai melakukan penangkapan terhadap politisi partai-partai besar yang terjerat kasus gratifikasi pemilihan Gubernur BI, para politisi kemudian mempersoalkan kembali Deponering yang telah membebaskan mereka berdua dari tuntutan hukum.
  10. Rincian:18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati, 8 wakil walikota.
  11. Sudah 125 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi Dengan Status Tersangka, Lawang Post, 7 November 2010
  12. Sofian Efendi, Op. Cite, hlm 7
  13. Samsudin Haris, Presidensial Cita Rasa Parlementer, http://picasaweb.google.com, Jum’at, 28 November 2008
  14. Kecuali jika dapat dicapai konsensus penyederhanaan partai (tanpa menggunakan mekanisme PT ataupun ET) sebagaimana dilakukan Presiden Soeharto, maka komplikasi presidensial-multipartai akan dengan sendirinya dapat diatasi.
  15. Tidak adanya GBHN menjadikan dialektika pembangunan pada era reformasi diwarnai oleh penyikapan terhadap ide-ide baru yang bermunculan secara sporadis sehingga hanya menghasilkan perbaikan-perbaikan atau sekenario pembangunan secara parsial. Adanya GBHN akan menjadikan dialektika kebangsaan tetap berada dalam koridor agenda menyeluruh pembangunan bangsa sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan oleh MPR.
  16. Kecuali kasus yang ditangani KPK, maka prosesnya tidak memerlukan ijin Presiden.
Penulis : Abdul Rohman

Stabilitas Keamanan : Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
TRILOGI PEMBANGUNAN I
Stabilitas Keamanan : Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter

“Pers ramai menulis kematian misterius sejumlah orang dengan menyebutnya “penembakan misterius”, atau disingkatnya lagi dengan sebutan “petrus”. Kalangan cendekiawan dan juga di forum-forum internasional ada yang menyinggungnya, mengeksposnya. Dia tidak mengerti masalah sebenarnya. 

Kejadian itu misterius juga tidak. Masalah sebenarnya didahului oleh ketakutan yang dirasakan rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh dan sebagainya. Seolah-olah ketenteraman di negeri ini tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu tidak hanya melanggar hukum, akan tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja orang tua sudah dirampas kemudian masih dibunuh.

 Perempuan yang diambil kekayaannnya dan si istri orang lain itu masih juga di perkosa oleh orang jahat itu di depan suaminya. Itu sudah keterlaluan. Apa hal itu mau didiamkan saja?. Kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana?. Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor! Begitu saja. Bukan !, tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan kejahatan masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Maka meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”.

Tindakan tegas Presiden Soeharto mewujudkan stabilitas Nasional —sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Petrus— merupakan salah satu upayanya melakukan konsolidasi energi bangsa yang sebelumnya terpecah-pecah dalam dinamika dan kompetisi politis-pragmatis maupun konflik-konflik ideologis. Dalam suasana tanpa konsensus itu, bangsa ini —hingga 20 tahun merdeka— tidak segera bisa beranjak memanfaatkan jembatan emas kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, kegiatan-kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa, dan turut serta mewujudkan ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan UUD 1945. 

Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis, Presiden Soeharto menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Sebuah road map kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang —yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap rakyat— dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.

“Tinggalkan perdebatan-perdebatan yang tidak perlu. Saatnya bekerja, membangun bangsa dalam semua aspek kehidupan. Kalau menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang adil, makmur dan mandiri, energi semua komponen bangsa harus dialokasikan untuk membangun. Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan”. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.

Apabila kita telaah secara mendalam, Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan road map bagi bangsa Indonesia —yang digelorakan Presiden Soeharto— untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu terwujudnya sebuah pemerintahan dalam negara Indonesia merdeka yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dalam koridor philosophische grondslag yang kita kenal bersama sebagai Pancasila.

Untuk mewujudkan tujuan negara, penyelenggara negara harus mampu menciptakan stabilitas agar semua energi komponen bangsa tidak terganggu oleh motif-motif destruktif sehingga dapat dialokasikan sebesar-besarnya untuk pencapaian tujuan itu. Pemerintah juga harus mampu mengelola energi semua komponen bangsa kearah tepat, yaitu pembangunan di segala bidang secara berkelanjutan dan bukannya terjebak kedalam konflik horisontal sehingga menelantarkan tujuan utama penyelenggaraan negara. Pembangunan itu sendiri harus dapat dirasakan oleh segenap rakyat sehingga pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda pembangunan itu sendiri. Hanya dengan cara seperti itulah kemandirian bangsa dan peradaban Nusantara dapat diwujudkan sehingga keberadaannya tidak lagi menjadi halaman belakang dari peradaban dunia dan jerih payah perjuangan kemerdekaan tidak akan berakhir sia-sia.

Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Bab Ini akan membahas stabilitas kemanan, untuk dapat melihat secara jernih perbedaan antara sikap tegas dan tindakan otoriter. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu merupakan kebenaran universal dan berlaku di kolong bumi manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab —dalam aspek apapun— tidak bisa ditoleransi.

Indonesia telah mengikrarkan sebagai negara hukum dan oleh karena itu pembentukan masyarakat yang berkeadaban dikelola secara legal frame work atau berdasarkan pada kerangka hukum. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disetujui rakyat (DPR), dimana rujukan filosofisnya disandarkan pada philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945. Oleh karena itu terbentuknya stabilitas nasional harus dikelola berdasarkan sistem hukum dan semua ketentuannya harus ditaati segenap elemen bangsa.

Stabilitas Keamanan: Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter

Terwujudnya stabilitas keamanan dalam masyarakat terkait erat dengan bekerja efektifnya sistem hukum dalam sebuah negara. Permasalahan tradisional yang selalu membelit efektifitas penegakan hukum adalah eksistensi hukum itu sendiri yang berlakunya tidak secara otomatis dan otonom, akan tetapi tergantung kepada kemampuan penyelenggara negara untuk menegakkannya. Efektifitas hukum bersandar pada empat pilar penegakan hukum, yaitu tersedianya peraturan perundang-undangan yang baik dan sejalan dengan komitmen spiritual masyarakatnya, profesionalisme aparat penegak hukum, tersedianya fasilitas penegakan hukum secara memadai dan kesadaran masyarakat untuk mematuhi semua peraturan hukum yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi empat syarat. Pertama, syarat yuridis dimana produk hukum tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ataupun membuka ruang terjadinya konflik hukum yaitu pertentangan produk hukum yang satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, syarat filosofis yaitu peraturan hukum harus sejalan dengan komitmen spiritual atau gemuruh suara batin masyarakat. Standar paling mudah dalam pemenuhan syarat filosofis ini adalah kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945 selain aspirasi yang sedang berkembang dalam masyarakat. Ketiga, syarat sosiologis-historis yaitu peraturan hukum harus memperhatikan historical contex masyarakat atau obyek yang hendak diatur. Pengabaian aspek sosiologis dan historis juga dapat menyebabkan sebuah peraturan tidak dapat dilaksanakan secara baik. Keempat, perkembangan lingkungan strategis yang mana peraturan hukum harus mengakomodasi perkembangan atau perubahan jiwa zaman (geistgebodenheit).

Untuk dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang baik memerlukan —atau harus melibatkan— pelaku legislasi yang memahami keempat syarat diatas, sehingga dapat mengurangi kelemahan sebuah produk hukum yang dihasilkan. Kasus era reformasi adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang akhirnya di judicial review karena proses pembuatannya —bisa jadi— kurang mematuhi keempat syarat diatas. Begitu pula amandemen UUD 1945 yang secara filosofis mengalami berbagai distorsi (sebagaimana dibahas dalam bab 6) dan pengabaian aspek sosiologis-historis sehingga melahirkan konflik Yogya khususnya dalam penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta[3]. Rumusan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memberikan kepastian hukum sehingga tidak memunculkan multi intepretasi yang dapat dimanfaatkan pengacara hitam untuk meloloskan client-nya dari jeratan hukum.

Penegakan hukum mutlak memerlukan profesionalisme penegak hukum (penguasaan aspek teknis penegakan hukum, kejujuran dan komitmenya dalam mewujudkan peradaban Nusantara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945) yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai. Penegakan hukum juga memerlukan komitmen masyarakatnya untuk secara disiplin mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terwujudnya kepatuhan hukum memerlukan edukasi publik sehingga memahami apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta konsekuensi tindakan tegas bagi para pelanggarnya.

Terlepas adanya keharusan pemenuhan keempat pilar diatas —undang-undang yang baik, profesionalisme penegak hukum, kepatuhan hukum masyarakat dan sarana-prasarana memadai— penegakan hukum selalu dihadapkan dengan fenomena-fenomena berikut:

Akselerasi Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang seringkali kalah cepat jika dibandingkan dengan perkembangan bentuk-bentuk atau modus operandi tindak kejahatan. Sebagai contoh adalah pada tahun 1990-an belum muncul cybercrime, akan tetapi pada tahun 2000-an korban-korban mulai berjatuhan. Sementara itu piranti perundang-undangan belum disiapkan dan aparat hukum belum memiliki kompetensi memadai untuk secara sigap mengantisipasinya. Begitu pula dengan kejahatan terorisme yang undang-undangnya juga harus disiapkan manakala aksi-aksi teror sudah menelan korban. Kasus pencurian uang melalui ATM juga sempat menghebohkan masyarakat yang pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah baru bagi aparat hukum.

Konsolidasi Pelaku Tindak Kejahatan

Pelaku tindak kejahatan tidaklah bersifat statis dalam hal organisasi dan kemampuannya menguasai teknik-teknik kejahatan. Mereka selalu menempa dan mengorganisasi diri untuk dapat mengungguli atau meloloskan diri dari sistem hukum yang ada. Apabila aparat penegak hukum tidak dapat mengimbangi peningkatan penguasaan teknik dan organisasi tindak kejahatan, maka dapat dipastikan akan selalu kebobolan dan kalah cepat dengan aksi para pelaku tindak kejahatan. Modus-modus penyelundupan narkoba semakin hari semakin rapi dan menembus area luas. Pencurian kendaraan bermotor juga bukan lagi untuk konsumsi penadah dalam negeri, akan tetapi juga untuk di ekspor secara besar-besaran ke luar negeri (sebagaimana terungkap dalam kasus penyelundupan kendaraan bermotor curian ke Afrika yang terungkap di Tanjung Priok pada tahun 2010). Modus pembunuhan juga semakin meningkat seperti semakin familiarnya penggunaan senjata api dan kasus-kasus mutilasi yang agak merepotkan —memerlukan proses panjang— dalam menemukan pelakunya.

Intervensi Kelompok Kuat (Ekonomi dan Politik)

Hukum selalu lembek manakala berhadapan dengan kelompok kuat, baik secara politik maupun ekonomi. Elit politik hitam seringkali menggunakan kekuatan pengaruhnya dalam melemahkan kerja aparat hukum agar kejahatan yang dilakukannya terbebas dari jeratan hukum. Sedangkan kelompok ekonomi kuat menggunakan sumber daya ekonomi yang dimilikinya untuk membeli keadilan, mulai dari penyuapan aparat hukum, membayar pengacara hitam untuk mengaburkan bukti-bukti kejahatan atau membayar sindikat kejahatan agar dapat meloloskan diri dari kejaran —atau membuat keder— aparat hukum. Cara kerja kelompok kuat dalam melemahkan penegakan hukum —agar dapat meloloskan dirinya dari jeratan hukum— biasanya menggunakan cara-cara terorganisasi, sangat rapi dan sistematis. Kedua kelompok kuat ini (politisi dan pengusaha hitam) merupakan kontributor maraknya mafia peradilan yang selalu menjadi sorotan publik, namun keberadaannya tidak kunjung bisa diatasi.

Ketiga fenomena itu —lambatnya peraturan perundang-undangan mengantisiapsi perkembangan modus kejahatan, laju konsolidasi pelaku tindak kejahatan dan intervensi kelompok kuat— seringkali menyebabkan proses penegakan hukum mengalami kemacetan. Selain disebabkan oleh kekosongan hukum manakala modus kejahatan baru sudah bermunculan, kemacetan hukum juga disebabkan oleh lemahnya kemampuan penegak hukum dalam pembuktian formal pada saat berhadapan dengan tindak kejahatan yang dilakukan dengan cara-cara canggih dan sulit dibuktikan di muka pengadilan. Kerja aparat hukum semakin sulit manakala intervensi kelompok kuat menghalang-halangi kinerja aparat hukum. Apabila aparat penegak hukum tidak mampu mengantisipasi ketiga fenomena ini, maka kondisi negara akan terjerumus kedalam situasi seakan-akan tidak ada yang bisa mengatasi tindak kejahatan. Eksistensi pemerintah akan dianggap tidak ada, karena tidak mampu menegakkan keadilan maupun pranata yang berkeadaban dalam skala kebangsaan.

Mengacu argumentasi Presiden Soeharto sebagaimana tercermin dalam kasus Petrus juga dilatarbelakangi oleh adanya kebuntuan dalam penegakan hukum. Suatu kondisi dimana aparat hukum yang tersedia tidak dapat mengimbangi laju tindak kejahatan yang semakin marak dan meresahkan masyarakat. Penambahan jumlah dan peningkatan profesionalisme aparat serta pembenahan sarana prasarana penegakan hukum tentunya memerlukan proses, sementara rakyat terus menjadi korban tindak kejahatan. Presiden Soeharto kemudian menarik beban tanggung jawab pada pundak dirinya —- tidak menimpakan beban tanggung jawab kepada para aparat penegak hukum yang ada di bawahnya— dengan mendeklarasikan dan memimpin sendiri perang melawan kejahatan. Dengan menggunakan aparat kepolisian yang didukung satuan-satuan militer, ia melakukan pengejaran terhadap sindikat-sindikat kejahatan dan melakukan eksekusi kepada mereka yang melakukan perlawanan senjata. Kebijakan ini membuat shock pelaku kejahatan dan stabilitas keamanan dapat diwujudkan.

Tindakan tegas Presiden Soeharto telah mengundang kritikan banyak pihak dengan menudingnya sebagai pelanggar HAM karena dinilai melakukan eksekusi tanpa melalui proses peradilan. Para pengkritiknya tampaknya melupakan fakta bahwa praktek penegakan keamanan dalam negeri di negara yang mengklaim sebagai mercusuar demokrasipun (Amerika Serikat) memerlukan organ-organ super kuat semacam FBI yang bekerja lintas departemental dan sewaktu-waktu mengambil alih penanganan kasus tindak kejahatan manakala kerja aparat kepolisian mengalami kebuntuan. Organ ini tidak hanya dilengkapi dengan personil yang memiliki pemahaman luas terhadap teknis penegakan hukum dan perkembangan modus operandi tindak kejahatan, namun juga dibekali dengan kemampuan intelejen, penguasaan teknik militer serta peralatan canggih agar dapat menaklukkan penjahat-penjahat kakap. Bahkan hingga tahun 2011, FBI masih melakukan perang melawan sindikat mafia sebagaimana akhirnya dapat menangkap ratusan anggota sindikat itu di New Jersey.

Film-film Amerika juga gencar melakukan campaign dengan menggambarkan dilema penegak hukum manakala harus membunuh para penjahat sebelum menuai resiko dirinya terbunuh, setelah penegak hukum itu mengetahui adanya kejahatan akan tetapi gagal membuktikannya di pengadilan. Penggambaran pada film-film itu sebenarnya merupakan public campaign (kampanye publik) agar masyarakat memaklumi tugas berat aparat hukum yang kadangkala harus membunuh penjahat oleh suatu alasan membela diri.

Kritikan terhadap kebijakan stabilitas yang dilakukan Presiden Soeharto kemungkinan muncul dari kelompok-kelompok —dari dalam maupun luar negeri— yang tidak menginginkan Indonesia tumbuh menjadi negara kuat dan stabil. Mereka merupakan bagian dari kelompok kepentingan atau sindikat kejahatan —termasuk sayap-sayapnya dari kalangan politisi maupun pengusaha hitam— yang merasa dirugikan atau ruang geraknya menjadi sempit akibat kebijakan stabilitas. Kelompok ini kemudian melontarkan tudingan kepada Presiden Soeharto sebagai pemimpin otoriter dan pelanggar HAM agar kebijakan stabilitas yang ada di Indonesia didekonstruksi sedemikian rupa sehingga memberinya keleluasaan untuk melakukan tindak kejahatan.

Isu pelanggaran HAM yang dilontarkan secara serampangan tanpa verifikasi konteks dan batasan-batasannya[4] pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk mendekonstruksi kebijakan stabilitas di Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia juga ikut terlarut dengan isu itu dan gagal memisahkan antara tindakan Presiden Soeharto sebagai tindakan otoriter dengan ketegasannya sebagai pimpinan negara dalam mengatasi kemacetan cara-cara konvensional penegakan hukum. Kalangan ilmuwan juga tidak sedikit menjadi pendukung isu itu dengan mengabaikan bentangan jarak yang lebar antara teori-teori normatif penegakan hukum dengan realitas yang mengharuskan perlunya langkah-langkah ekstra ordinary dalam mengatasi kemacetan hukum.

Dampak dekonstruksi kebijakan stabilitas itu pada akhirnya terbukti pada era reformasi yang ditandai dengan maraknya tindak kejahatan dan gangguan keamanan. Masyarakat menjadi resah oleh munculnya beragam gangguan keamanan seperti maraknya ledakan bom, peningkatan tindak pidana maupun kekerasan antar warga. Kejadian tindak pidana mengalami peningkatan rata-rata 12,31% pertahun selama kurun waktu 2003-2009. Secara kuantitatif —dalam kurun waktu tersebut– tindak pidana mencapai rata-rata 279.383 kejadian pertahun. Risiko penduduk terkena (korban) tindak pidana selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya dan meningkat tajam selama kurun waktu 2003-2009. Pada tahun 2003, resiko penduduk terkena tindak pidana mencapai 93 orang per seribu penduduk pertahun dan pada tahun 2009 telah meningkat mencapai 148 orang perseribu penduduk pertahun. Selang waktu kejadian juga semakin pendek antara kejadian tindak pidana yang satu dengan tindak pidana berikutnya. Pada tahun 2003 selang waktu kejadian berada dalam kisaran 160 menit atau setiap 160 menit terjadi tindak pidana di Indonesia. Selang waktu itu semakin pendek pada tahun 2009 menjadi hanya 91 menit atau setiap 91 menit terjadi tindak pidana di Indonesia.

Selain adanya peningkatan jumlah tindak pidana, pada era reformasi juga ditandai dengan maraknya aksi-aksi kekerasan massa (bentrok antar warga, bentrok antar suporter, kekerasan massa atas nama etnis dan agama) serta rentetan gangguan keamanan seperti ledakan bom, perampokan dan pencurian yang terus menerus terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi dalam sejumlah kawasan tertentu, akan tetapi meluas di seluruh wilayah Indonesia. Kekerasan ini juga marak mengiringi kalender politik seperti pemilu legislatif maupun pemilihan pimpinan-pinpinan daerah.

Data-data statistik peningkatan jumlah tindak pidana maupun gangguan keamanan sebagaimana dikemukakan diatas merupakan bukti adanya kemacetan dalam penegakan hukum. Pada saat buku ini ditulis, media juga masih ramai memberitakan kasus pembunuhan, pembobolan bank (kasus CIMB-Niaga), kekerasan antar warga, tawuran suporter maupun tawuran pelajar serta bobolnya rumah tahanan oleh kegesitan Gayus Tambunan (mafia pajak) keluar tahanan sebanyak 68 kali untuk melenggang ke Bali maupun luar negeri[5]. Fenomena itu telah memunculkan kesan publik bahwa pemerintah era reformasi telah benar-benar tidak berdaya menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Sebuah situasi —sebagaimana ilustrasi Presiden Soeharto sebelum mengambil kebijakan Petrus— “seakan-akan tidak ada lagi yang bisa bertindak dan mengatasi tindak kejahatan” yang terjadi di negeri ini.

Menyikapi maraknya tindak pidana, gangguan keamanan dan lambatnya penyelesaian perkara oleh aparat hukum, sejumlah pihak —dari kalangan politisi maupun masyarakat— mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dapat bertindak tegas untuk mengatasi kebuntuan hukum yang terjadi. Bahkan tidak sedikit kalangan menuding ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk pembiaran karena tidak adanya treatment dalam menghadapi proses penegakan hukum yang nyaris mengalami kemacetan. Desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu bertindak tegas dalam memberantas tindak kejahatan merupakan pengakuan terselubung bahwa tudingan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto —tindakan tegasnya menegakkan stabilitas di Indonesia telah melewati batas, otoriter serta melanggar HAM— merupakan tudingan yang tidak berdasar.

Munculnya desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu merupakan bukti bahwa tudingannya kepada Presiden Soeharto selama ini merupakan tudingan serampangan dan tidak mengkalkulasi implikasinya terhadap stabilitas bangsa. Masyarakat mulai menyadari maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan pada era reformasi tidak lain merupakan konsekuensi dekonstruksi secara membabi buta terhadap kebijakan stabilitas yang dicapai pemerintahan Presiden Soeharto[6]. Dekonstruksi itu harus dibayar mahal pada era reformasi dengan maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan yang tidak kunjung bisa diatasi.

Kedepan perlu kebijakan tegas dalam bentuk ketersediaan peraturan perundang-undangan yang keberadaanya dapat menjadi perisai bagi Presiden untuk dapat secara leluasa mengatasi munculnya bentuk-bentuk instabilitas keamanan. Tanpa adanya pengaturan yang jelas, siapapun Presidennya akan tetap diliputi keragu-raguan bertindak, karena dihantui oleh trauma tudingan otoriter dan pelanggaran HAM sebagaimana dialami Presiden Soeharto.

Untuk tujuan ini, pemerintah dan DPR dapat menjabarkan Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menyatakan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Selama ini intepretasi “negara dalam keadaan bahaya” kemungkinan hanya dipahami dalam konteks adanya serangan dari luar yang mengancam Indonesia. Pengertian “negara dalam keadaan bahaya” perlu ditafsirkan secara lebih jelas dalam berbagai konteks sesuai kondisi saat ini. Sebagai contoh adalah ‘apakah peningkatan jumlah tindak pidana sebesar 12% pertahun atau setara dengan 279.383 kejadian pertahun dapat dikategorikan sebagai negara dalam keadaan bahaya atau bukan?’. Seharusnya jumlah kejadian tindak pidana dalam jumlah ambang batas tertentu —dimana cara-cara konvensional tidak dapat menghentikannya— perlu dikategorikan sebagai “negara dalam keadaan bahaya”, sehingga dilakukan langkah-langkah khusus untuk menanganinya. Pengertian dalam keadaan bahaya juga bisa diterapkan dalam memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemaksaan evakuasi masyarakat di sekitar wilayah bencana. Keadaan bahaya nasional barangkali juga dapat diterapkan dalam menyikapi peningkatan jumlah korban kecelakaan transportasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penyelesaiannya memerlukan treatment khusus dan tidak hanya mengandalkan cara-cara konvensional.
  1. Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan
  2. Penjelasan Presiden Soeharto seputar kebijakannya menegakkan stabilitas keamanan, khususnya kasus Petrus. Sebagaimana dikutip dalam G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), hlm 389-391.
  3. Salah satu keistimewaan Yoyakarta adalam penetapan secara otomatis Sri Sultan sebagai Gubernur dan Pakualam sebagai Wakil Gubernur. Namaun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (Amandemen II) menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Amandemen terhadap pasal ini yang tidak memperhatikan historical contexs menyebabkan rakyat Yogya berhadap-hadapan dengan pemerintah pusat.
  4. Bahwa tindakan tegas Presiden Soeharto dalam menegakkan stabilitas dilatarbelakangi oleh kebuntuan cara-cara konvensional dalam penegakan hukum.
  5. Kerinduan masyarakat terhadap suasana stabil sebagaimana era Presiden Soeharto juga diserap penulis melalui dept interview yang dilakukan terhadap para sopir taksi di Jakarta selama tahun 2008 s/d 2010 dan wawancara kepada sejumlah masyarakat daerah pada kurun waktu tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan tidak dalam suasana formal itu juga diketahui semakin meningkatnya beban biaya hidup masyarakat, karena pendapatannya tidak lagi mampu mengcover kebutuhan berbagai kebutuhan hidup. Melonjaknya harga-harga menyebabkan penurunan nilai uang sehingga para sopir taksi tidak lagi mampu saving seperti pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.
  6. Sebuah kebijakan tegas tanpa kompromi dan jika perlu memanfaatkan segala alat keamanan yang ada untuk menindak berbagai macam potensi Hambatan Tantangan Aancaman dan Gangguan (HTAG) baik dari luar maupun dari dalam.
Penulis : Abdul Rohman