PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

P4 Sarana Edukasi Idiologi Bangsa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Salah satu kebijakan positif era kepemimpinan Presiden Soeharto —dalam rangka transformasi philosophische grondslag— adalah penyelenggaraan edukasi publik nilai-nilai kenusantaraan yang dikemas dalam bentuk P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Melalui kegiatan tersebut, seluruh warga negara memperoleh kesempatan secara terorganisasi untuk membicarakan “siapa jati diri kita sebagai sebuah bangsa”, “apa falsafah-falsafah dan nilai-nilai yang mendasarinya”, “bagaimana sejarah masa lalunya” dan “dengan cara bagaimana peradaban bangsa ini hendak ditegakkan kembali”. Melalui pemahaman terhadap masalah-masalah tersebut, elemen-elemen bangsa relatif mudah membangun konsensus untuk secara bersama-sama mengalokasikan energinya melakukan pembangunan peradaban bangsa. Melalui kesatupaduan orientasi kebangsaan itu, Indonesia akhirnya muncul sebagai bangsa yang kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Sayangnya para elit bangsa pada era reformasi tidak menelaah fungsi strategis P4 sebagai media atau forum edukasi politik kebangsaan dan menghapuskan keberadaanya tanpa format pengganti yang lebih baik. Sebagai dampak penghapusan P4, dalam jangka pendek telah memicu terjadinya serangkaian “kegagalan manajemen konflik nilai” yang ditandai dengan banyaknya judicial review undang-undang akibat disharmonisasi antara philosophische grondslag dengan produk legislatif. Hal tersebut menunjukkan lemahnya penyusun undang-undang (pemerintah dan DPR) dalam memahami eksistansi kebangsaan dan nilai-nilai yang menjadi dasar pijakannya.

Dalam jangka panjang (beberapa generasi mendatang), penghapusan tersebut dapat menyebabkan Indonesia menjadi sebuah negara tanpa orientasi kebangsaan. Hal itu disebabkan para anggota masyarakatnya tidak lagi memahami jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang setiap anggotanya memanggul tanggung jawab untuk membangun komunitas peradaban dalam skala kebangsaan. Mengacu tengara John Gardner sebagaimana dikemukakan pada awal bab, keroposnya pijakan moral kebangsaan dalam setiap individu warganya akan menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang gagal atau bahkan secara fisik akan mengalami disintegrasi.

Penghapusan P4 pada era reformasi dilatarbelakangi alasan emosional-politis. Sejumlah kalangan menuding P4 sebagai indoktrinasi Presiden Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya. Tudingan tersebut dapat diduga sebagai upaya pelapukan eksistensi peradaban Indonesia dari dalam dengan mencerabut pijakan moralnya melalui sebuah isu yang bersifat politis. Ibarat universitas, jika terdapat mata kuliah atau content materi perkuliahan yang dinilai tidak sejalan dengan jiwa zaman, hanya perlu modifikasi terhadap kurikulumnya dan tidak membakar atau merobohkan eksistensi universitas. Penghapusan kelembagaan P4 merupakan bukti tudingan tersebut merupakan serangan antara dengan sasaran utamanya eksistensi peradaban Nusantara.

Pada era kepemimpinanya, Presiden Soeharto telah membuat kebijakan edukasi politik kenusantaraan melalui kelembagaan P4 berupa edukasi publik tolerasi beragama, falsafah bangsa, wawasan Nusantara dan arah kebijakan pembangunan bangsa. Edukasi publik yang dikelola secara sistimatis dan terorganisasi itu memungkinkan seluruh elemen bangsa mengalokasikan energinya dalam satu kesamaan orientasi kebangsaan melalui peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

Edukasi Publik Toleransi Beragama

Edukasi publik toleransi beragama merupakan upaya meningkatkan semangat ber-Ketuhanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menekankan kemerdekaan masing-masing individu dalam memilih agama yang diyakininya untuk dianut. Sedangkan kelompok-kelompok tertentu yang memaksakan diri untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama (teokrasi), melakukan tindakan-tindakan pemaksaan keyakinan kepada orang lain, provokasi atas nama agama atau politisasi agama sehingga menimbulkan keresahan atau kekerasan dalam masyarakat diberikan tindakan tegas[2].

Selain dilakukan melalui sekolah-sekolah, materi toleransi beragama merupakan salah satu materi yang ditekankan dalam setiap penataran P4. Toleransi beragama juga ditransformasikan melalui serangkaian campaign (kampanye) melalui pidato-pidato Presiden Soeharto yang disampaikan dalam berbagai kesempatan dan hal itu dilakukan secara terus menerus selama kepemimpinannya.

Mengacu realitas kehidupan beragama pada era reformasi yang ditandai munculnya konflik-konflik sosial dengan berlindung dibalik isu agama —kasus teroris, konflik etnis, kerusuhan pembagian zakat, kasus rumah ibadah, kasus Ahmadiah dan kasus-kasus lainnya— menunjukkan betapa implementasi pluralisme beragama memerlukan ketegasan dan peran aktif pemerintah baik melalui proses penyadaran maupun tindakan hukum bagi pelanggarnya. Dengan membandingkan kebijakan toleransi beragama dalam dua era pemerintahan —era orde baru dan era reformasi— menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan tegas Presiden Soeharto dalam masalah tersebut (melakukan edukasi publik sekaligus tindakan hukum) bukan merupakan kebijakan yang salah. Kebijakan itu juga didasarkan pada pijakan kuat sesuai amanat sila pertama Pancasila.

Transformasi Falsafah Bangsa dan Dasar Negara

Materi utama P4 adalah nilai-nilai yang mendasari bangunan peradaban bangsa (falsafah bangsa) yang secara formal disarikan kedalam Pancasila sebagai Dasar Negara. Materi tersebut merupakan penjabaran philosophische grondslag beserta konsep dan kebijakan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain memperoleh transformasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, peserta P4 juga didorong untuk berdialektika dalam mengkritisi nilai-nilai tersebut serta mendialektikakan dengan realitas keseharian maupun nilai-nilai eksternal yang masuk kedalam masyarakat Indonesia. Pada level tertentu peserta P4 juga mendialektikakan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan mengkonfrontasikannya pada konsepsi maupun teori-teori pembangunan dan penyelenggaraan negara yang datang dari luar, untuk kemudian melakukan telaahan kritis penjabarannya kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain merupakan bentuk transformasi falsafah bangsa dan Dasar Negara, P4 telah menjadi forum titik temu keragaman pandangan dan nilai-nilai dari berbagai latar belakang elemen bangsa dengan Pancasila sebagai panduan konsensus. P4 juga menjadi sarana edukasi publik untuk terbiasa menerima keragaman pandangan sekaligus ketrampilan manajemen problem solving (penyelesaian masalah) terhadap berbagai permasalahan —khususnya konflik nilai dan gagasan— dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tersedianya P4 sebagai forum dialektika bagi berbagai level masyarakat menyebabkan perumusan kebijakan yang menyangkut urusan publik tidak terjebak kedalam perdebatan berlarut-larut khususnya apabila berbenturan dengan konflik nilai[3]. Adanya P4 menjadikan pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif) memiliki pemahaman hampir merata terhadap koridor-koridor yang harus ditaati dalam penyelenggaraan negara —khususnya dari parameter philosophische grondslag— sehingga energinya dapat difokuskan pada perumusan kebijakan-kebijakan strategis dan konsepsi operasionalisasi teknisnya tanpa terjebak pada konflik nilai berkepanjangan.

Transformasi Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya —-dalam koridor dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945— dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa (kebulatan tekad) serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara sebenarnya memiliki dimensi luas dan tidak hanya menekankan kesadaran keutuhan wilayah (wawasan teritori fisik) Indonesia, akan tetapi mencakup nilai-nilai kenusantaraan, kesadaran kesejarahan eksistensi peradaban nusantara, manajemen peradaban Nusantara (transformasi sejarah kekuasaan/ suprastruktur peradaban Nusantara) dan interaksinya dengan kawasan di luarnya.

Melalui transformasi itu semua masyarakat Indonesia pada akhirnya menyadari: (1) adanya ikatan batin antara dirinya dengan wilayah (teritori fisik) Nusantara; (2) memahami cita-cita luhur pembangunan peradaban Nusantara; (3) memahami kenapa negara Indonesia modern dibangun di atasnya[4]; serta, (4) memahami keterkaitan antara cita-cita pembangunan peradaban Indonesia modern dengan cita-cita peradaban Nusantara. Adanya transformasi Wawasan Nusantara menjadikan segenap komponen bangsa menyadari jati dirinya sebagai sebuah bangsa dan memunculkan elan vital pembangunan peradaban dalam lingkup Negara Indonesia modern.

Terhapusnya P4 pada era reformasi menjadikan ikatan batin dengan nilai-nilai idiologis dan tumpah darah (wilayah Nusantara) banyak tercerabut dari kesadaran warga Indonesia. Bahkan terdapat sejumlah pihak menganggap Indonesia modern sebagai ilusi para pendirinya karena eksistensi peradaban Nusantara yang dijadikan dasar pijakan historis dan idiologis hanya merupakan mitos[5]. Pandangan bahwa peradaban Nusantara sebagai mitos tampaknya sengaja disebarluaskan —dengan memanfaatkan iklim kekebasan pers dan informasi— untuk melepaskan ikatan batin masyarakat Indonesia dengan sejarah dan tumpah darahnya, sehingga kebijakan negara dapat diarahkan demi pencapaian tujuan yang bersifat pragmatis. Lepasnya ikatan batin tersebut akan mempermudah pihak-pihak tertentu dalam menundukkan semangat nasionalisme warga Indonesia, sehingga agenda-agenda pragmatis untuk pengendalian kebijakan dan potensi strategis bangsa dapat mudah dilakukan tanpa perlawanan berarti.

Dampak lepasnya ikatan batin warga negara dengan tumpah darah dan kesadaran idiologis kenusantaraan tampak dari lemahnya kritisisme masyarakat pada era reformasi terhadap jual beli pasal dalam perumusan peraturan perundang-undangan —walaupun mungkin sudah tahu jika rumusan UU itu menyimpang dari philosophische grondslag— sehingga menguntungkan kelompok kepentingan tertentu. Selain itu juga tercermin dalam kasus lepasnya aset-aset strategis bangsa dengan alasan efisiensi manajemen perekonomian bangsa. Melalui argumentasi yang didesain tampak rasional, berbagai skenario pelemahan kedaulatan bangsa itu terlaksana tanpa memperoleh hambatan berarti.

Transformasi Arah dan Kebijakan Bangsa

Transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara dilakukan dengan menyajikan materi-materi GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai salah satu materi P4. Transformasi GBHN dimaksudkan untuk memahamkan segenap komponen masyarakat tentang strategi dan arah kebijakan negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum, terlindunginnya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, cerdasnya kehidupan bangsa dan keikutsertaannya dalam mewujudkan ketertiban dunia. Adanya pemahaman secara utuh terhadap road map perjuangan bangsa akan mendorong munculnya partispasi semua komponen masyarakat untuk turut serta mewujudkannya.

Transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara secara komprehensif dalam berbagai tingkatan masyarakat juga menjadi jembatan bagi kalangan spesialis (ahli dalam bidang teknis tertentu, misalnya pakar administrasi negara, pakar hukum, budaya, ekonomi, politik, kesehatan dan lain-lainnya) untuk mengintegrasikan keahlian dan konsep kebijakan yang dimilikinya kedalam skenario besar perjuangan peradaban bangsa. Hilangnya manajemen transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara tersebut —seiring dihapuskannya P4— menyebabkan era reformasi diwarnai kompetisi masing-masing disiplin atau sektor teknis (ego sektoral) yang berlomba-lomba memaksakan konsepnya tanpa memperhatikan skenario menyeluruh dengan memperhatikan skala-skala priotitas pembangunan bangsa.

Sebagai contoh adalah adanya kompetisi antara pendukung konsep privatisasi BUMN, percepatan investasi dengan penghalalan peran luas swasta asing serta pendukung kedaulatan ekonomi rakyat yang satu sama lain tidak terintegrasi kedalam proporsi keseimbangan peran dalam kerangka visi umum pembangunan ekonomi nasional. Tidak adanya road map terintegrasi dan visi umum yang membalut semua agenda pengembangan pilar-pilar perekonomian tersebut menjadikan swasta asing tumbuh sedemikian cepat meninggalkan swasta nasional dan kelompok usaha mikro-koperasi.

Tidak adanya integrasi kebijakan dalam kerangka visi umum juga menyebabkan kebijakan perekonomian —dalam kasus privatisasi BUMN dan terbuka luasnya kran swasta asing— telah mencederai prinsip kedaulatan bangsa dan tegaknya keadilan sosial dalam bidang ekonomi. Semakin luasnya pengendalian swasta asing terhadap sektor-sektor strategis bangsa telah menjadikan kendali penyelenggara negara terhadap kedaulatan bangsa semakin lemah. Membengkaknya proporsi swasta asing dalam penyelenggaraan ekonomi bangsa juga telah menghantam eksistensi swasta nasional maupun potensi ekonomi rakyat untuk menjadi tuan di negeri sendiri.

Transformasi ATHG

Pada era kepemimpinannya, Presiden Soeharto mentransformasikan konsep ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) terhadap keberlangsungan peradaban bangsa —baik yang datang dari dalam maupun luar negeri— kepada segenap masyarakat. Transformasi tersebut dilakukan melalui campaign —disampaikan Presiden dalam berbagai kesempatan— maupun dengan dimasukkan sebagai materi P4. Melalui transformasi secara terorganisasi dan menjangkau semua segmen manjadikan masyarakat memiliki kepekaan kewaspadaan dalam menghadapi berbagai bentuk ATHG dan terpanggil untuk berpartisipasi dalam pencegahannya.

Pemerintah Presiden Soeharto mengkonsepsikan ATHG sebagai bentuk perongrongan terhadap eksistensi peradaban bangsa yang ditegakkan melalui prinsip-prinsip Pancasila. Selain berbagai bentuk gangguan terhadap ketertiban umum, kelompok yang disebutnya sebagai ekstrim kiri (komunis) dan ekstrim kanan (kelompok-kelompok yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara agama) juga diidentifikasi sebagai ATHG. Kerangka umum batasan ATHG dalam pemerintahan Presiden Soeharto melingkupi:

Ancaman terhadap teritori fisik (wilayah) dimana eksistensi peradaban bangsa Indonesia ditegakkan.
Berbagai upaya dekonstruksi terhadap Pancasila (philosophische grondslag) sebagai penyangga idiologis peradaban Indonesia.
Ancaman terhadap kelangsungan kebijakan negara dalam rangka implementasi amanat Pancasila (philosophische grondslag) dan UUD 1945.
Selain edukasi publik melalui P4, pemerintahan Presiden Soeharto juga melaksanakan kadarkum (keluarga sadar hukum). Program tersebut dilakukan untuk mentranformasikan batasan-batasan nilai kemanusiaan dan keadilan serta keadaban —sebagaimana amanat sila kedua Pancasila— yang diformulasikan kedalam peraturan perundang-undangan dan sanksi hukum bagi para pelanggarnya. Melalui program kadarkum, setiap warga negara didorong untuk memahami batasan-batasan yang dikategorikan sebagai bentuk pencederaan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban sesuai dengan aturan formal perundang-undangan. Selain memahami peraturan prundang-undangan, masyarakat didorong memiliki pemahaman terhadap sistem penegakan hukum sehingga bisa melakukan upaya hukum manakala hak-haknya dicederai.

***
Penulis : Abdul Rohman

[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan

[2]     Dakwah dan pendidikan agama tidak termasuk dalam kategori pemaksaan, karena dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip edukasi dan memaksakan kehendak.

[3]     Misalnya tarik ulur dalam masalah Perda Syariah (antara yang pro dan kontra), privatisasi BUMN (antara  efisiensi dan kedaulatan negara), pertentangan teori-teori penyelenggaraan negara dan pembangunan, dll.

[4]     Di atas wilayah Nusantara

[5]     Argumentasi sejumlah kalangan didasarkan pada sebutan Indonesia yang sangat berbau Eropa.

Hilangnya Momentum Kebangkitan Bangsa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Pengantar

 Setelah Pak Harto berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, sebuah bangunan baru negara dan bangsa didesain para “perupa reformasi”.  Dimulai dengan kepemimpinan BJ Habibie, yang menggantikan Pak Harto sebagai Presiden, keran demokrasi dibuka lebar-lebar. Kebebasan berdemokrasi diartikan dengan mendirikan banyak partai, kebebasan pers, berunjuk rasa, dan mengembangkan ideologi-ideologi di luar Pancasila. Puncaknya, ketika para anggota MPR RI dibawah pimpinan Amien Rais melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Padahal, UUD 1945 merupakan pondasi berdirinya negara dan bangsa yang merdeka, berdaulat di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa, yang secara tulus mempersembahkannya kepada Ibu Pertiwi, agar cita-cita Proklamasi untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.

Amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan sebanyak empat kali tersebut merupakan pondasi baru bangunan bangsa dan negara. Beberapa pihak menyebutkan UUD 1945 telah berubah menjadi UUD 2002 atau UUD Amandemen, telah memporak-porandakan pondasi dan rumah bangsa bernama Republik Indonesia. Para praktisi politik melalui saluran-saluran baru yang dibentuknya, menggelontor kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengubah seluruh sistem kenegaraan dan kebangsaan yang sudah ada, dengan sistem yang diimpor dari sistem liberistik dan kapitalistik. Alasan yang dikemukakan, bahwa Republik Indonesia tidak bisa menghindar dari arus globalisasi, maka harus ikut arus merenangi globalisasi dengan mencabut akar budaya dan jatidiri bangsa di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi. Alih-alih reformasi membawa perubahan, justru membawa kemunduran, yang disebut sebagai kemunduran bangsa selama 40 tahun.

Reformasi Jalan yang Menyimpang

Pada saat ini banyak pihak sudah mengatakan, bahwa reformasi telah salah bahkan gagal total dalam membawa arah perubahan negara dan bangsa. Namun, banyak diskusi, seminar, simposium, dan lain sebagainya, hanya menghasilkan kajian-kajian dan kesimpulan-kesimpulan, tanpa mampu menggerakkan individu, kelompok, lembaga dan sejenisnya untuk mengambil langkah nyata. Menarik apa yang disampaikan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas, jika reformasi gagal membawa perubahan yang positif, sangat memungkinkan akan ada reformasi jilid II. Tapi, lagi-lagi kesadaran itu ditelan sendiri, karena secara sadar menantu Presiden Soekarno dan suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu masih memuja, bahwa reformasi adalah jalan yang tepat untuk kemajuan negara dan bangsa. Padahal, sudah nyata di depan mata, pangkal soal kesalahan Orde Reformasi/Rejim Reformasi adalah melakukan Amandemen UUD 1945. Tidak heran, apabila pernyataan Ketua MPR RI itu adalah basa-basi politik, sebab sesungguhnya yang menikmati “kemewahan reformasi” adalah para politisi dan kroni-kroninya, yang pada masa sekarang tengah menikmati kekuasaan.

Ironis memang. Dan, tentu sangat menyedihkan. Kemerdekaan yang dicapai sebuah negara dan bangsa, sesungguhnya merupakan perwujudan untuk menjadi negara berdaulat. Artinya, negara dan bangsa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, lepas dari tangan-tangan besi negara dan bangsa penjajah. Kini, seluruh pemangku kekuasaan boleh jadi sangat bangga, karena angka Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menembus angka di atas Rp 1.300 triliun. Pertanyaannya, dengan APBN tersebut apa yang sudah terealisasikan dalam wujud pembangunan? Jembatan Suramadu, yakni, jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura di Jawa Timur? Bagaimana dengan insfrastruktur yang lainnya?  Pesawat baru kepresidenan? Mobil baru para menteri dan banyak pejabat-pejabat pemerintah di pusat maupun daerah? Bantuan Langsung Tunai kepada rakyat miskin? Bagaimana dengan kewajiban pemerintah yang harus membangun bangsa dan negaranya menjadi sebuah bangsa yang sejahtera, adil dan makmur?

Celakanya, tidak hanya angka APBN yang menggelembung dengan sedemikian rupa namun tidak tampak menetes untuk kepentingan kemakmuran rakyat, kini negara dan bangsa ini telah kehilangan jatidiri bangsanya. Para perupa reformasi telah secara sadar dan sistematis mengeliminasi kedigdayaan negara dan bangsa Indonesia, menjadi negara dan bangsa yang bangga dengan “perhiasan imitatif”, yang disematkan oleh negara-negara penganut neoliberalistik dan neokapitalistik. Serunya lagi, ideologi usang seperti komunisme tengah menjadi idola baru di tengah-tengah masyarakat yang semakin miskin. Masyarakat yang gagal dalam “pertarungan” memperebutkan kue kapitalisme, akan sangat mudah dipengaruhi kecerdasannya dengan iming-iming kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial. Pada sisi lain, ada pula masyarakat yang memilih fanatisme sempit keagamaan dalam memperjuangkan keadilan. Padahal, semua itu adalah kamuflase, yang pada akhirnya hanya untuk merebut kekuasaan.

Memasuki ruang politik-kekuasaan yang lebih dalam pada masa reformasi ini, aroma politik transaksional malah sudah mewarnai setiap ajang politik. Politik transaksional itu menggurita dari pusat sampai daerah. Tidak mengherankan, apabila banyak pejabat akhirnya masuk penjara karena kasus korupsi. Hal ini tidak lain disebabkan, banyak pejabat harus mengembalikan “uang belanja politiknya” dengan cara menilap dana-dana pembangunan. Kasus cek pelawat sampai dengan Nazarudin dan kawan-kawan harus diakui adalah sebagai akibat mahalnya “ongkos politik” para politisi itu sendiri. Disamping tentunya mentalitas hedonis yang didorong oleh tingginya konsumerisme membuat siapa pun yang tidak memiliki integritas moral, dipastikan akan terjerumus kepada penyalahgunaan wewenang, yakni, dengan melakukan tindak pidana korupsi dan menerima uang pelicin.

Kebangkitan Bangsa yang Hilang

Apabila kita menarik garis waktu ke belakang, Pak Harto setelah menggantikan Presiden Soekarno telah menata ulang kehidupan bernegara dan berbangsa. Yakni dengan menegakkan kembali sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi dengan konsistensi yang sangat tinggi. Seluruh sistem berbangsa dan bernegara dibangun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan azas Pancasila. Sehingga azas-azas lain di luar Pancasila tidak diberi ruang dan waktu untuk berkembang. Namun demikian, negara melindungi hak-hak individu untuk melaksanakan spiritualitas, pendidikan, ekonomi, budaya, dan mengekspresikan kecerdasan dengan kreativitas-kreativitas yang dimiliki. Masyarakat diberikan rasa nyaman untuk menjalankan roda kehidupannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmurannya. Sementara itu, pemerintah dengan sungguh-sungguh menggunakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk mengarahkan pembangunan nasional.

Adanya Trilogi Pembangunan menunjukkan adanya panduan untuk pelaksanaan pemerintahan. Trilogi Pembangunan yang terdiri dari Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan Pembangunan di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi, menjadi pondasi yang kokoh. Hal itu tidak hanya berhenti pada konsepsi, tapi juga implementasi. Seluruh energi kekuasaan dimanfaatkan untuk menjadi kreator, dinamisator, sekaligus fasilitator yang menggandeng seluruh potensi negara—kekayaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam—untuk mencapai cita-cita Proklamasi. Pilihan-pilihan program pembangunan tertuang dalam tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pada tahapan 25 tahun, Presiden Soeharto menyatakan Indonesia akan siap tinggal landas. Artinya, Indonesia siap menjadi negara maju karena telah memiliki pondasi yang kokoh untuk mencapai kemajuan sebuah negara dan bangsa. Itulah kemudian Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia baru bersama-sama Korea Selatan.

Sang Macan Asia baru ini membanggakan bagi negara dan bangsa Indonesia, namun membuat iri dan mengerikan bagi negara-negara tetangga serta negara-negara adidaya, khusus Amerika Serikat dan sekutunya, baik di Eropa, Asia, dan tentu Australia. Bersama para petualang politik dalam negeri, barisan sakit hati, penganut ideologi diluar Pancasila, dan tentu kaki tangan asing di Indonesia mengepung Pak Harto dengan tujuan menjatuhkannya. Apabila PKI ingin merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno dengan G 30 S/PKI-nya dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis, target utama “perupa Reformasi” adalah mengganti Pak Harto terlebih dahulu.

Setelah itu seperti kita ketahui, “perupa Reformasi” meruntuhkan bangunan kebangsaan dan kenegaraan yang sudah susah payah dipertahankan dan dibangun Pak Harto. Seolah-olah dilakukan secara konstitusional, seluruh pondasi negara dan bangsa yang diperjuangkan para pendiri bangsa dan diisi dengan pembangunan selama pemerintahan Presiden Soehato, dieliminasi. Republik Indonesia pun memiliki baju baru. Baju baru yang menanggalkan corak jatidiri bangsa, karena “perupa Reformasi”  telah melukiskan corak baru yang bernama neoliberalisme dan neokapitalisme. Negara pun digadaikan dan dijual kepada kepentingan asing, bukan dibangun untuk kepentingan rakyat seperti dicita-citakan melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka, hilanglah kesempatan bagi negara dan bangsa Indonesia untuk bangkit dan menjadi negara adidaya baru di kawasan Asia, bahkan dunia. Nah, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya kebangkitan bangsa Indonesia itu?

Penulis : Bakarudin

[1] Penulis anggota Diskusi Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB)


Konsepsi Peradaban Pancasila, Pluralisme, Kemanusiaan, Keadilan dan Keadaban

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Konsepsi Peradaban Pancasila (Bagian 3)

Sebagaimana etos transendensi, pluralisme juga telah menjiwa dalam masyarakat Nusantara. Pluralisme merupakan sistem nilai yang memandang positif dan optimis terhadap keragaman dengan menerimanya sebagai kenyataan dan melakukan kreatifitas positif dengan kenyataan itu[2]. Bukti penjiwaan pluralisme dalam masyarakat Nusantara bukan saja tercermin dari dokumen pluralisme “Bhineka Tunggal Ika” yang dicetuskan seorang Mpu era Majapahit. Akan tetapi dapat diketemukan dalam realitas hidup sehari-hari dengan adanya budaya guyub, rukun dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Bukti penjiwaan pluralisme juga tercermin dari tumbuh suburnya beragam etnis, bahasa, warna kulit maupun tradisi dan budaya. Hal itu telah membedakan dengan perkembangan peradaban bangsa Amerika dan Australia yang telah menenggelamkan eksistensi suku Indian maupun Aborigin.

Sayangnya, —mengacu kesadaran kesejarahan sesepuh Nusantara sebagaimana diungkapkan pada tulisan awal—, pemahaman dan penjiwaan masyarakat Nusantara terhadap pluralisme telah dicederai oleh kehadiran penjajah dan pendatang. Skenario disintegrasi kekaisaran Cina terhadap imperium Majapahit —puncaknya memicu perang Paregreg— telah menanamkan rasa kebencian satu sama lain dan menimbulkan polarisasi destruktif dalam masyarakat Nusantara. Perang tersebut telah dijustifikasi dengan argumentasi “perebutan hak atas tahta” sehingga masing-masing pihak bertikai dapat menarik pendukung setia. Justifikasi yang dipinjam dari idiom-idiom Nusantara itu telah menenggelamkan esensi Paregreg yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif konflik antar kawasan. Pada era kolonialis Eropa, masyarakat Nusantara juga terbelah antara sejumlah tertentu yang memposisikan diri sebagai akomodatif terhadap kolonial dan sebagian lain melakukan perlawanan[3]. Begitu pula masuknya idiologi komunis di Nusantara —yang membenarkan perjuangan klas— telah membenturkan masyarakat yang satu dengan lainnya dengan melibatkan kebencian luar biasa. Pada era reformasi, motif makro kesejarahan komunis di Indonesia hendak dilupakan dengan menggamit isu-isu perlanggaran HAM dan menempatkan para penentangnya sebagai pihak tersudut dalam persepsi masyarakat.

Mencermati ketiga peristiwa tersebut —Paregreg, politik kolonial dan idiologi komunis—, bentuk-bentuk destruktif dalam masyarakat kita memiliki latar belakang politik. Sementara itu isu etnis, ras, agama dan golongan seringkali difungsikan sebagai instrumen untuk menarik dukungan grassroot. Situasi itu masih berlanjut pada era reformasi dimana terjadinya anarkhisme seringkali dipicu motif politik. Atas dasar fakta itu permasalahan pluralisme di Indonesia merupakan problem moral elit politik dan bukan pada level grassroot. Sebagaimana pandangan kesejarahan para leluhur Nusantara, virus anarkhisme itu ditransformasikan melalui budaya politik pragmatis yang datang dari luar (politik disintegrasi kekaisaran Cina, politik kolonial Eropa dan politik pragmatisme kelompok/golongan Komunis)

Akar pluralisme pada dasarnya nilai-nilai transendensi itu sendiri. Melalui kitab suci-Nya Tuhan telah memerintahkan ummat manusia agar tidak memusuhi penganut kepercayaan yang berbeda[4] dan tidak mempersoalkan perbedaan suku, bangsa, bahasa maupun warna kulit[5]. Implikasi transendensi juga menempatkan Tuhan pada posisi serba mutlak dan serba tinggi, sehingga tidak dibenarkan menuhankan manusia yang satu oleh manusia yang lain. Setiap orang harus menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan serta menjauhkannya dari bentuk-bentuk diskriminasi maupun eksploitasi antara yang satu dengan yang lain.

Berdasarkan telaahnya terhadap ayat-ayat tentang larangan syirik, Dr. Nurcholis Madjid mengidentikkan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai bentuk Syirik[6]. Ia mendasarkan pada keterangan kitab suci yang menyatakan manusia merupakan sebaik-baik ciptaan Tuhan dan akan terjatuh dalam poisisi hina dina kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal saleh (perbuatan baik yang berdampak pada kebaikan orang lain dan lingkungan sekitar). Diskriminasi dan eksploitasi terhadap manusia pada dasarnya menuhankan manusia atas manusia yang lain.

Perbendaharaan spiritual Jawa mempercayai adanya energi pembalikan atas bentuk-bentuk pencederaan —tanpa alasan yang dibenarkan— terhadap eksistensi kemanusiaan dan bahkan terhadap makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Sebagaimana nasehat yang isinya “Aja tansah gawe gelaning liyan, iku prasasat gawe gelaning awake dhewe” (jangan selalu membuat kecewa orang lain, sebab membuat kecewa orang lain itu akan membuat kecewa diri sendiri)[7]. Selain adanya energi pembalikan, pencederaan terhadap hakekat kemanusiaan dipercayai berdampak terhalangnya pencapaian seseorang dalam menemukan kesempurnaan hidup atau kebahagiaan tersejati.

Konsekuensi transendensi dan pengakuan hakekat kemanusiaan adalah menempatkan setiap manusia dan bahkan makhluk lainnya —termasuk alam sekitar— secara adil dalam proses interaksi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu perbendaharaaan spiritual Jawa juga menekankan untuk menghindari kebencian, karena menjadi sumber ketidakadilan dan konflik yang tidak ada akhir. “Aja sira gething marang liyan, jalaran iku bakal nandur cecongkrahan kang ora ana uwis-uwis” (janganlah mengajarkan kebencian terhadap sesama, sebab hal itu menanam percekcokan/ konflik yang tidak ada habis-habisnya)[8].

Secara sosial, sikap transendensi-penjiwaan pluralisme-penghargaan hakekat kemanusiaan akan melahirkan keadaban. Merupakan proses relasi sosial —baik dalam skala sempit hubungan antar manusia maupun dalam skala besar kemasyarakatan dan kebangsaan— yang harmonis, karena dibangun di atas ketulusan penghargaan kemerdekaan asasi masing-masing pribadi. Bukan saja antar hubungan manusia, harmoni akan tercipta manakala keadilan juga ditegakkan dalam proses relasi dengan alam sekitarnya. Dengan demikian kemerdekaan asasi masing-masing individu bukan berarti kebebasan tanpa batas, akan tetapi harus diletakkan dalam kerangka transendensi, keadilan dan keadaban.

Intolerasi atau pemaksaan, penghinaan, penistaan dan pencideraan terhadap sebuah keyakinan yang berbeda, merupakan tindakan yang tidak beradab. Begitu pula dengan pencideraan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, pencideraan terhadap nilai-nilai keadilan serta tindakan-tindakan destruktif merupakan bentuk sikap atau tindakan yang tidak beradab. Sebaliknya, tindakan tegas terhadap berbagai bentuk sikap, tindakan dan perilaku yang mencederai harkat dan martabat kemanusiaan, nilai-nilai keadilan dan keadaban tidak bisa dikatakan sebagai anti pluralisme, anti kemanusiaan dan keadilan.

Oleh karena itu rumusan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” mengamanatkan dua konsekuensi kepada Indonesia merdeka.

Pertama, bertanggung jawab mewujudkan pranata sosial kemasyarakat-kebangsaan-kenegaraan dalam konstruksi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Kedua, menindak tegas — secara preventif-edukatif maupun coersif— terhadap berbagai perilaku yang mencederai harkat martabat kemanusiaan, nilai-nilai keadilan dan keadaban.

Konsepsi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” harus dipahami dalam konteks kesetimbangan pengertian. Pada satu sisi menjunjung tinggi bentuk-bentuk kebebasan yang berkeadaban, namun pada saat yang bersamaan tidak mentolerir kebebasan yang tidak beradab (tindakan destruktif, pemaksaan kehendak, memicu disharmoni dan tindakan-tindakan sejenisnya).

Sikap tegas Presiden Soeharto terhadap idiologi komunis maupun apa yang disebutnya sebagai penghalang pembangunan harus dilihat secara komprehensif dalam perspektif amanat sila kedua Pancasila sebagaimana pengertian diatas. Melalui sikap tegasnya itu —salah satunya tercermin dalam kebijakan Petrus— ia hendak mewujudkan amanat Pancasila, bahwa negara mampu melindungi warganya dari bentuk-bentuk kebebasan yang yang tidak beradab. Sayangnya sejumlah kalangan menuding —secara membabi buta— sikap tegas Presiden Soeharto sebagai tindakan otoriter dan tidak memverivikasi lebih jauh bahwa perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan juga memerlukan keberanian melawan bentuk-bentuk kebebasan yang tidak beradab.

Tudingan salah konteks ini menyebabkan era reformasi —walaupun sistem besarnya mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan ketaatan hukum— seringkali menempatkan rakyat harus bertempur sendiri melawan berbagai bentuk tindak kekerasan, ketiadakadilan terselubung dan hegemoni pemegang kendali kekuasaan ekonomi maupun politik[9]. Kunci permasalahanya terletak pada rapuhnya penjiwaan idiologis “untuk apa kekuatan politik, ekonomi dan hukum diterapkan” dalam kerangka pembangunan peradaban Indonesia. Rapuhnya penjiwaan idiologis ini menyebabkan elemen-elemen penyelenggara negara, atau kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan dan mampu menguasai instrumen politik, ekonomi maupun hukum, menggunakannya —disadari atau tidak—- untuk tujuan-tujuan pragmatis, bukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bersama. Sebuah sistem yang penyelenggarannya mengalami krisis idiologis dan dikendalikan sikap pragmatis menyebabkannya tidak memiliki kekuatan dalam mewujudkan tegaknya harkat-martabat kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Sila kedua Pancasila tidak hanya mengamanatkan tanggung jawab internal skala kebangsaan dalam melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, tegaknya keadilan dan keadaban. Sebagaimana tercermin dalam rumusan paragraf keempat Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar, Indonesia merdeka juga diberi amanat untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Mengacu rumusan tersebut, keterlibatan Indonesia dalam kancah pergaulan internasional bukan semata-mata didorong oleh motif pragmatis[10] akan tetapi oleh motif tegaknya pranata dunia yang dibangun dalam kerangka penghargaan dan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban. Amanat tersebut memberikan tanggung jawab terhadap politik luar negeri Indonesia untuk menjalankan misi:

Perjuangan Pembebasan Kolonialisme

Diplomasi internasional Indonesia harus berada dalam koridor perjuangan untuk terwujudnya hak kemerdekaan atau kedaulatan setiap bangsa dan mendorong terhapuskannya penjajahan diatas dunia (amanat paragrap pertama UUD 1945). Amanat ini tidak hanya relevan manakala penjajahan fisik masih berlangsung. Dominasi dan campur tangan suatu negara terhadap negara lainnya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan merupakan soft colonialism yang juga harus dihapuskan[11]. Hak hidup berdaulat sebuah bangsa bersumber pada kenyataan bahwa eksistensi suku-bangsa di dunia merupakan keniscayaan penciptaan Tuhan[12]. Keberadaannya untuk saling melakukan perinteraksian positif-konstruktif demi kebaikan bersama dan tidak untuk saling menegasikan satu sama lain. Kontekstualisasinya pada hari ini dalam pergaulan internasional adalah sikap proaktif Indonesia dalam turut serta menciptakan pranata internasional yang terbebas dari hard colonialism dan soft colonialism dalam bentuk apapun.

Perjuangan Untuk Terwujudnya Perdamaian Dunia.

Misi politik luar negeri Indonesia harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya perdamaian dunia. Peran ini tidak hanya diukur dari partisipasinya dalam pengiriman pasukan perdamaian PBB, akan tetapi juga oleh inisiatif-kreatifnya dalam menyajikan konsep (road map) dan mediasi penyelesaian konflik yang terjadi di belahan-belahan dunia. Selain keterlibatan case per case penyelesaian konflik, politik luar negeri Indonesia juga harus secara proaktif dalam mewujudkan pranata internasional (konsensus-konsensus internasional melalui forum-forum internasional) yang bisa mengantarkan tercapainya perdamaian abadi (secara berkelanjutan) dalam masyarakat Internasional.

Pengalaman Indonesia sebagai negara multikultural akan mempermudahnya dalam memahami dan mengarifi keragaman masyarakat internasional. Salah satu syarat terwujudnya perdamaian abadi adalah terbebasnya pola relasi internasional dari bentuk-bentuk dominasi atau pemaksaan sistem dan cara pandang sebuah negara kepada negara lainnya[13]. Dominasi dan pemaksaan akan mengundang ketersinggungan hubungan antar negara yang dapat memicu lahirnya perasaan “kedaulatannya sedang dicederai“ sehingga memunculkan reaksi yang dapat menimbulkan konflik-konflik baru. Mengambil pelajaran manajemen pluralisme yang ada di Indonesia, harmoni masyarakat internasional tercipta manakala pola relasinya dibangun atas dasar pemahaman, penghargaan dan perlindungan terhadap kearifan masing-masing negara dan bangsa. Adanya komitmen penghargaan dan perlindungan dalam masalah itu akan meminimalisasi munculnya rasa curiga untuk sewaktu-waktu eksistensinya terancam oleh negara atau bangsa lainnya.

Perjuangan Terwujudnya Keadilan Sosial Masyarakat Internasional

Selain misi pembebasan kolonialisme dan terciptanya perdamaian dunia, misi politik luar negeri Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional. Manifestasi keadilan sosial itu adalah terwujudnya keadilan pola relasi (dalam berbagai bidang) antar negara dan antar kawasan, terbebaskannya penduduk dunia dari bentuk-bentuk diskriminasi, pencederaan harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan.

Ketidakadilan relasi antar negara dan antar kawasan (misalnya dalam bidang ekonomi) dapat memicu munculnya distabilitas antar negara dan antar kawasan. Begitu pula pembiaran berlangsungnya diskriminasi (pencederaan terhadap pluralisme), pencederaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan dalam sebuah negara ataupun kawasan tertentu juga akan memicu munculnya distabilitas kawasan. Selain tujuan harmoni, terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional merupakan tanggung jawab Ke-Tuhanan (sebagaimana tercermin dalam setiap misi kenabian) untuk terwujudnya tatanan dunia yang bebas dari diskriminasi (pencederaan terhadap pluralisme), pencederaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan.

Kontektualisasi misi tersebut bagi politik luar negeri Indonesia adalah peran aktifnya dalam forum-forum internasional untuk terciptanya konsensus dan tersedianya road map yang dapat membimbing terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional. Termasuk proaktif Indonesia untuk secara kritis melakukan evaluasi apakah konsensus-konsensus internasional selama ini (dalam bidang ekonomi, resolusi-resolusi penyelesaian konflik maupun kebijakan lembaga-lembaga internasional) telah mencerminkan rasa keadilan sosial bagi seluruh komponen masyarakat internasional. Selain itu Indonesia juga harus secara proaktif dalam memperjuangkan implementasi konsensus dan road map itu dalam penyelesaian mikro-mikro persoalan ketidakadilan yang terjadi dalam dunia internasional.

Adanya ketiga amanat tersebut —perjuangan pembebasan kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional— maka politik luar negeri Indonesia dirumuskan dalam strategi “bebas aktif”. Bebas yang dapat diartikan tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral.

Pada era Presiden Soekarno, politik luar negeri itu diaplikasikan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari jepitan dua kekuatan imperalisme internasional, yaitu imperialisme Blok Barat dan Blok Timur yang berujung pada peristiwa berdarah G.30.S/PKI. Sedangkan pada era Presiden Soeharto, misi politik luar negeri itu diaplikasikan dan ditransformasikan melalui peran aktif-kreatifnya dalam lembaga regional (ASEAN), lembaga Internasional (PBB), Gerakan Non Blok maupun OKI (Organisasi Konferensi Islam). Peran aktif politik luar negeri yang dibalut dalam semangat perjuangan pembebasan kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional itu telah menjadikan kepemimpinan Presiden Soeharto diterima dan diakui secara meluas dalam dunia internasional. Bahkan Perdana Menteri Singapura Lew Kuan Yew secara terang-terangan mengakui terciptanya stabilitas bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lepas dari kepemimpinan Indonesia dalam forum regional itu.

Presiden Soeharto tampil dengan penuh percaya diri untuk secara konsisten menolak berbagai bentuk kolonialisme dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan melalui sikapnya terhadap Palestina dan Bosnia. Ia mengesampingkan superioritas Yahudi —yang bisa jadi menguntungkan ekonomi Indonesia— apabila menarik kebijakannya terhadap Palestina. Presiden Soeharto juga mengembangkan Asean way dengan mengedepankan dialog dalam penyelesaian konflik di negara-negara Asean. Ia juga mendorong negara-negara berkembang —dalam balutan gerakan Non Blok— untuk bahu membahu mengejar ketertinggalannya dari negara-negara barat dan menjaganya dari kemungkinan dijadikannya ajang konflik dua kekuatan blok besar dunia (barat dan komunis).

Penerimaan terhadap kepemimpinan Indonesia —khususnya oleh negara-negara Asean dan Gerakan Non Blok— dimungkinkan oleh adanya kepercayaan atas komitmen dan visi Indonesia dalam pergaulan internasional. Bahwa kehadirannya untuk secara bersama-sama melakukan perjuangan pembebasan berbagai bentuk kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional dengan tetap menghargai keragaman, prinsip dan kedaulatan masing-masing negara. Walaupun tidak memiliki instrumen penekan yang kuat —kekuatan militer, ekonomi dan lobi pada lembaga-lembaga internasional—, kekuatan visi yang disodorkan Indonesia menjadi magnitude solidaritas negara-negara Asean maupun Non Blok dan pada akhirnya memberikan kekuatan tersendiri bagi keberadaan Indonesia dalam panggung internasional.

Pada era reformasi, wacana politik luar negeri Indonesia lebih mengedepankan kepada isu-isu pragmatis, misalnya bidang ekonomi (khususnya statistik dagang) yang sejak awal memang tidak memiliki kekuatan untuk diperhitungkan. Indonesia juga terlarut pada agenda isu negara-negara barat seputar penegakan HAM, terorisme dan penyelamatan lingkungan tanpa secara kritis menempatkanya dalam kerangka relasi keadilan sosial dalam percaturan internasional. Isu-isu tersebut diterapkan secara membabi buta kepada negara-negara yang dianggapnya “tidak beradab” (pelanggar HAM, teroris dan kontributor kerusakan lingkungan) dengan standar dan perspektif yang ditetapkan secara sepihak oleh barat.

Terhadap isu-isu itu, Indonesia seakan tidak memiliki daya untuk menyodorkan evaluasi kritis dan perspektif berbeda. Misalnya konsep implementasi agenda-agenda itu tanpa harus mengusik kedaulatan, prinsip-prinsip dasar dan keragaman kearifan masing-masing bangsa. Adanya sodoran dan perjuangan Indonesia terhadap konsep itu memungkinkan implementasi agenda-agenda tersebut tidak mengarah atau dapat mencegah munculnya soft colonialism negara-negara barat (seperti halnya AS) terhadap negara-negara dan bangsa-bangsa diluarnya (kasus Afganistan, Iraq, dll).

***


[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan

[2]     Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm xxv

[3]     Tidak sedikit orang-orang nusantara yang menjadi pasukan kolonial Belanda dan bersedia diadu dengan kalangan pejuang.

[4]     Lihat keterangan Nomor 12, Tuhan memerintahkan menghargai terhadap keyakinan yang berbeda, hanya diperkenankan memusuhi yang zalim (berbuat aniaya, kerusakan). Sedangkan berdasarkan Q.S, 3:64, Tuhan memerintahkan untuk mengajak Ahli Kitab —dengan berdialektika secara baik—, untuk bersatu dalam titik kesamaan antara  semuanya, yaitu iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan hanya beribadat kepada-Nya. Apabila berpaling terhadap peringatan itu  maka diperintahkan untuk menegaskan dirinya sebagai orang yang tunduk, pasrah kepada-Nya (Muslim), dan tidak diperintahkan untuk memusuhi.

[5]     Q.S, 30:22; “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” .

[6]     Syirik —menyekutukan Tuhan dengan yang lain— merupakan dosa besar dan paling dibenci Tuhan dimana dosanya tidak terampuni.

[7]     Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik, (Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 168

[8]     Ibid

[9]     Hukum masih bisa dijadikan sebagai komoditas bagi orang-orang yang mampu membelinya, sehingga “masyarakat tidak mampu secara ekonomi” belum memiliki kesetaraan dalam penegakan hukum. Sebagai contoh adalah: (1)  orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomi ketika berhadapan dengan manajemen rumah sakit (kasus Prita), (2) TKI berhadapan dengan Tekong/Majikan, (3) lumpuhnya Pemerintahan Daerah karena lambannya penanganan korupsi para pejabat puncaknya. Akibatnya stabilitas pemerintahan terganggu  —tidak mampu merumuskan program pembangunan yang baik dan berkelanjutan—, sehingga anggaran yang diserap dari pajak rakyat tidak bisa dimaksimalkan untuk sebesarnya-besarnya kesejahteraan. Bukti lain masyarakat harus bertempur sendiri adalah berlangsungnya berbagai bentuk kekerasan di masyarakat seperti pembunuhan, mutilasi, perampokan, dll, merupakan cerminan ketidakberdayaan aparat.

[10]    Misalnya hanya untuk kepentingan keuntungan dalam kerangka kerjasama ekonomis maupun dominasi peran dalam kancah internasional.

[11]    Sebagai contoh adalah perlunya verifikasi, apakah misi pasukan AS dan sekutunya di Iraq dan Afganistan berdasar pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan dalam etika pergaulan internasional atau merupakan bentuk-bentuk kolonialisme yang harus dilawan.

[12]    Sebagaimana keterangan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia!. Sungguh, Kami telah menciptakan Kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan Kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulai diantara Kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

[13]    Baik pemaksaan secara langsung maupung melalui lembaga-lembaga internasional

Penulis : Abdul Rohman

Konsepsi Peradaban Pancasila 
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6

Konsepsi Peradaban Pancasila, Idiologi Bangsa Syarat Tegaknya Peradaban Besar

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

Konsepsi Peradaban Pancasila (Bagian 1)

(Prinsip hidup orang Nusantara asli itu hidup rukun dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan penderitaan maupun hilangnya nyawa orang lain. Munculnya budaya pertengkaran itu karena dibawa pejajah dan pendatang)

Pandangan kesejarahan sebagaimana diungkapkan sesepuh-sesepuh (orang-orang yang di tuakan) di pedalaman Jawa diatas memiliki dua dimensi pengertian. Pertama, merupakan peringatan terhadap situasi kebangsaan yang penghuninya semakin jauh dari spirit dan nila-nilai kenusantaraan. Karakter asli masyarakat Nusantara adalah ketaatannya terhadap pijakan nilai-nilai transendensi —keyakinan dan ketundukan terhadap esensi dan nilai-nilai Ke-Tuhanan—, memegang teguh harmoni dan kerukunan —keguyuban dan gotong royong—, menghargai keragaman (pluralitas) dan menolak bentuk-bentuk perilaku yang dapat menyebabkan penderitaan maupun hilangnya nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Pada saat ini karakter tersebut terdegradasi mencapai taraf mencemaskan dengan ditandai maraknya perilaku destruktif dalam mencapai tujuan. Pandangan kesejarahan itu merupakan bentuk peringatan, bahwa sejarah kegemilangan Nusantara pada masa lalu dibangun di atas spirit dan nilai-nilai tersebut. Tercerabutnya spirit dan nilai-nilai itu dapat mengagalkan upaya meneguhkan kembali peradaban Nusantara —dalam konstruksi Indonesia modern— sehingga cita-cita menghadirkan kembali kegemilangan masa lalu dengan prestasi yang lebih baik —sebagaimana harapan segenap masyarakat Indonesia— hanya akan menjadi fatamorgana.

Kedua, merupakan jawaban atas berbagai tudingan sebagian pihak yang menilai masyarakat Nusantara memiliki sifat hipokrit (munafik). Pada satu sisi menekankan dan membanggakan nilai-nilai adiluhung namun secara bersamaan dijumpai fakta adanya bentuk-bentuk perilaku destruktif dan moralitas yang rendah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (perilaku kriminal, korupsi, dll). Pandangan kesejarahan itu dimaksudkan untuk membuka kesadaran bersama, bahwa munculnya sifat destruktif merupakan perilaku bawaan penjajah dan pendatang yang harus dikikis habis[1]. Pandangan itu tanpa bermaksud memungkiri sebagian pendatang juga menyumbangkan nilai-nilai kearifan yang dapat memperkaya spirit dan nilai-nilai kenusantaraan[2].

Mengacu pesan kesejarahan orang-orang Jawa[3] itu dapat kita tarik pemahaman, kenapa Presiden Soeharto menekankan wasiat untuk tetap berpijak pada Pancasila sebagai pijakan idiologis penyelenggaraan Negara.

 “Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya, (dan tetap setia kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dengan sendirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang ingin tetap merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai”[4]

Pancasila merupakan spirit dan nilai-nilai kenusantaraan yang berhasil dielaborasi kembali oleh generasi Bung Karno. Sebelumnya, spirit dan nilai-nilai itu tertanam kuat dalam kantong-kantong kultural masyarakat Nusantara dan menjadi pijakan bagi tegaknya peradaban Nusantara berabad-abad lampau. Spirit dan nilai-nilai itu ditransformasikan secara terus menerus kepada generasi-generasi bangsa dan juga diterima oleh Presiden Soeharto melalui para leluhur-leluhurnya. Pancasila merupakan road map idiologis, bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali (merekonstruksi) eksistensi peradabannya yang tenggelam akibat Paregreg, maupun upaya-upaya dekonstruksi pada masa-masa kolonial di era-era sesudahnya.

Spirit idiologis merupakan syarat pembangunan sebuah peradaban. Sebagaimana diungkapkan John Gardner, cendekiawan Amerika dan pernah menjadi Menteri Kesehatan Pemerintahan John J.F. Kennedy yang menyatakan:

“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran, kecuali bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar[5]”.

Wasiat Presiden Soeharto diatas bukanlah sekedar himbauan normatif, akan tetapi merupakan cerminan pandangan kesejarahan bahwa —sebagaimana syarat tegaknya peradaban bangsa-bangsa lain— tegaknya kembali peradaban Nusantara memerlukan keteguhan masyarakatnya memegang teguh spirit dan nilai-nilai bangsanya sendiri. Spirit dan nilai-nilai itu dalam format Indonesia Merdeka terelaborasi kedalam Pancasila.

Pancasila bukanlah agama, akan tetapi —sebagaimana piagam Madinah—merupakan “manajemen pemersatu keragaman”. Keragaman sendiri merupakan keniscayaan pencipataan Tuhan[6] dan keberadaanya bukan untuk dihapuskan, akan tetapi dikelola sedemikian rupa agar melahirkan prestasi-prestasi positif bagi kesejahteraan ummat manusia secara menyeluruh[7]. Pancasila —meminjam istilah Dr. Nucholish Madjid— merupakan nuktah-nuktah pemersatu keragaman masyarakat Nusantara yang multikultural (terdiri dari berbagai suku, bangsa, bahasa, warna kulit dan agama). Pancasila juga merupakan titik temu komitmen kebangsaan atau rumusan konsensus nasional (seluruh elemen bangsa) dalam mewujudkan tatanan peradaban Indonesia.

Tanpa adanya konsensus —dalam semangat keragaman— pembangunan peradaban tidak bisa ditegakkan. Sebaliknya, pemangkasan keragaman atas nama kepentingan pencapaian tujuan bersama juga akan menjadi batu sandungan pembangunan sebuah peradaban. Oleh karena itu titik temu kepentingan bersama (konsensus nasional) harus dicapai —dalam konstruksi pengakuan terhadap berbagai keragaman— sebagai prasyarat terlaksananya pembangunan peradaban bangsa.

Pancasila —meminjam istilah Bung Karno— merupakan philosophische grondslag yang disepakati bersama sebagai idiologi bangsa. Merupakan weltanschaung dimana arah dan tujuan negara Indonesia diletakkan dan dengan cara apa tujuan itu hendak dicapai. Pancasila merupakan koridor yang harus ditaati segenap komponen bangsa dalam melakukan rekonstruksi dan menegakkan kembali eksistensi peradabannya.

Pancasila merupakan sebuah konsepsi peradaban yang diletakkan diatas nilai-nilai transendensi (sila 1), tegak dan terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan (sila ke-2), kebulatan tekad segenap komponen bangsa mewujudkan peradaban tersebut diatas keutuhan teretori NKRI, terselenggaranya mekanisme demokrasi yang dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara (sila ke-4) dan  komitmen untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila ke-5).

Orientasi transendensi adalah ketertundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan, Hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antara sesama warga yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan. Maka mengacu sila pertama Pancasila, peradaban yang hendak diwujudkan di atas bumi nusantara dalam format Indonesia moderen (NKRI) adalah peradaban dari masyarakat atau bangsa ber-Tuhan. Sebuah pranata sosial-kemasyarakatan dan kebangsaan yang dielaborasi dari hukum-hukum kehidupan universal yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhanan.

Berdasar konsepsi tersebut, negara bertanggung jawab mendorong seluruh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ber-Tuhan sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing, dan menjaga harmoni antar ummat beragama untuk saling menghargai/toleran atas pilihanan agama sesuai keyakinan setiap warga negara. Dorongan negara kepada seluruh masyarakat untuk ber-Tuhan tidak dilakukan melalui pemaksanaan, melainkan melalui proses edukasi dengan mendorong terlembaganya sistem edukasi keagamaan, sehingga setiap individu memiliki kedewasaan, kematangan dan kemerdekaan menentuan pilihannya dalam beragama. Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah prinsip kemutlakan keyakinan  dari masing-masing ajaran agama dan keragaman tingkat pemahaman keagamaan masing-masing individu yang dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman dan memicu keresahan dalam hubungan antar ummat beragama. Disinilah peran negara untuk membuat pengaturan agar keresahan itu bisa direduksi sehingga kehidupan antar ummat beragama yang toleran dapat diwujudkan.

Ketika pengetahuan, pemahaman dan sikap-sikap keagamaan masing-masing individu telah diresapi dalam tingkat kedewasaan dan kematangan, maka spirit nilai-nilai ke-Tuhanan akan terejawantah kedalam pranata sosial-kemasyarakatan-kenegaraan-kebangsaan dan dengan sendirinya akan membentuk sebuah peradaban yang disangga oleh hukum-hukum kehidupan universal yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan. Kehadiran negara untuk memfasilitasi gairahnya sistem edukasi keagamaan dan pengaturan untuk terwujudnya toleransi beragama tidak bisa dikatakan sebagai bentuk campur tangan negara terhadap kemerdekaasn pilihan setiap warga untuk beragama atau berkeyakinan. Tanpa adanya kehadiran negara dalam dua hal tersebut, bentuk-bentuk intoleran yang dilatarbelakangi oleh ketidakmatangan dan ketidakdewasaan sikap kegamaan akan bermunculan dan menggagalkan terwujudnya sebuah peradaban yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhanan itu sendiri.

Konsekuensi orientasi transendensi (ber-Tuhan) adalah komitmen untuk tegak dan terlindunginya nilai-nilai dan harkat martabat kemanusiaan.  Konsekuensi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” bukanlah kebebasan individual tanpa batas, akan tetapi sebuah perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan dalam kerangka keadaban. Maka bentuk-bentuk kebebasan yang tidak beradab tidak mendapat tempat sebagai bagian dari perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Begitu pula implementasi perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), tidak bisa diterapkan kedalam bentuk-bentuk perilaku yang esensinya melanggar HAM itu sendiri.

Rumusan sila ketiga Pancasila adalah “Persatuan Indonesia” yang dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad segenap warga negara untuk mewujudkan peradaban Pancasila melalui format Indonesia modern, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Rumusan sila tersebut bukan semata-mata “keutuhan wilayah NKRI”, akan tetapi komitmen untuk secara bersama-sama melindungi keutuhan teritori fisik dan idiologi bangsa (visi peradaban) yang hendak diwujudkan diatasnya. Maka bentuk-bentuk upaya dekonstruksi kedaulatan teritori fisik dan idiologi bangsa —sebagai road maps pembangunan peradaban– merupakan pengingkaran terhadap sila ke-3 Pancasila ini.

Konsepsi peradaban Pancasila juga menekankan terselenggaranya mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan negara, namun dengan penekanan bimbingan “hikmat kebijaksanaan” dalam proses permusyawaratan. Dalam Konsepsi UUD 1945 (sebelum amandemen), kehadiran institusi “hikmat kebijaksanaan” ini dimanifestasikan dengan utusan golongan. Selain untuk menjadi penyeimbang para wakil rakyat hasil proses pemilu bebas, utusan golongan dimaksudkan untuk mengakomodasi  multikulturalisme Indonesia. Sebagai contoh, suku-suku kecil di Indonesia yang secara kualitas maupun kuantitas akan kesulitan menyodorkan wakilnya untuk turut menentukan arah dan kebijakan negara melalui proses pemilu bebas.

Peradaban Pancasila juga menekankan proses penyelenggaraan negara dilakukan secara adil untuk semua golongan. Rumusan sila ke-5 Pancasila menekankan terwujudnya sistem yang adil dalam segala bidang, sehingga seluruh sumber daya dan capaian pembangunan dapat diakses serta dinikmati secara adil.

Sebagai philosophische grondslag, kelima sila tersebut menjadi dasar/ rujukan atau koridor-koridor yang harus ditaati dalam mewujudkan tujuan negara, yaitu terlindunginya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, majunya kesejahteraan umum, cerdasnya kehidupan bangsa dan keikutsertaanya dalam mewujudkan ketertiban dunia. Konsepsi peradaban Pancasila ini pada era reformasi banyak diabaikan. Implikasinya bangsa Indonesia seakan berjalan tanpa orientasi, tanpa jati diri, dan kehadirannya tidak memiliki gaung atau harga diri dalam percaturan peradaban-peradaban dunia.

***

[1]     Konflik antar masyarakat itu merupakan kelanjutan politik disintegrasi kekaisaran Cina terhadap kerajaan induk (Majapahit)-vasal masa Paregreg, politik adu domba Kolonialis Eropa serta pembenaran pertentangan (perlawanan) kelas dan antar golongan dalam idiologi komunisme. Peristiwa tersebut (yang kesemuanya dibawa dari luar) telah menyemaikan pertentangan antar sejumlah anggota masyarakat Nusantara dan perilaku tersebut terbawa hingga saat ini.

[2]     Banyak Wali Songo berlatar belakang pendatang, namun keberadaanya merupakan penganjur kearifan dan akhirnya diterima secara penuh dalam masyarakat Nusantara. Oleh karena itu harus dihindarkan dari simplikasi antara ajaran-ajaran/ nilai-nilai positif dengan budaya hidup yang dibawa pendatang.

[3]     Bagi sesepuh-sesepuh Jawa, penggunaan istilah “orang Jawa” bukan mengacu pada etnis penghuni Pulau Jawa saja, akan tetapi melingkupi masyarakat Nusantara yang terdiri dari berbagai etnis. “Wis Jowo” memiliki pengertian sebagai penggambaran kepribadian matang, dewasa, atau full personality, insan kamil. Sedangkan “Ora Jowo” adalah penggambaran sosok pengertian sebagai pribadi yang tidak dewasa, split personality, walaupun usianya sudah tergolong tua. Kesalahan dalam memaknai penyebutan itu menyebabkan pengajuan falsafah-falsafah Jawa seringkali dinilai sebagai bentuk “Jawa sentris”. Padahal yang dimaksudkan adalah masyarakat Nusantara secara keseluruhan. Namun tidak dipungkiri nilai-nilai tersebut banyak terdokumentasikan (terlembagakan) di Jawa, sebagai konsekuensi adanya imperium besar skala kebangsaan (Majapahit) yang berpusat di pulau Jawa).

[4]     G. Dwipayana & Ramadan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Kharisma Bunda, 1989), hlm 566-567.

[5]     Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) hlm xxiii.

[6]     Sebagaimana diungkapkan dalam cacatan kaki no. 93 pada Bab V.

[7]     Sebagaimana ajaran Islam, menekankan keberadaan ummatnya harus mampu memegang tehuh ajarannya agar bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam raya, dan bukan hanya untuk kepentingan primordial sempit pemeluknya.

Penulis : Abdul Rohman

Konsepsi Peradaban Pancasila
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6

Wawasan Nusantara dan Politik Luar Negeri

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf keempat preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari bentuk-bentuk hard colonialism dan soft colonialism. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun perjuangan untuk tersusunnya road map maupun konsensus internasional bagi terciptanya perdamaian secara berkelanjutan dalam masyarakat internasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya pranata internasional yang dapat menjamin atau mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat internasional.

Pada tanggal 2 September 1948, —di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)— untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang” dengan mengambil contoh reposisi Indonesia dalam menghadapi perang dingin. Ia menyatakan “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”.

Sejumlah kalangan memahami usulan itu hanya dalam konteks back ground situasi yang dicontohkan Muhammad Hatta (reposisi terhadap perang dingin) dan tidak menelaahnya berdasarkan rujukan filisofis-yuridis yang dipakai. Maka tidak mengherankan jika pada era reformasi banyak pihak menilai prinsip politik bebas aktif itu tidak lagi relevan, karena perang dingin telah usai. Implikasi pergeseran pandangan itu menjadikan politik luar negeri Indonesia lebih pragmatis namun justru terjebak oleh cengkeraman skenario barat (AS, dalam pertempurannya melawan teroris) dan kepentingan ekonomi Jepang bahkan Cina)[3].

Dasar usulan Muhammad Hatta tentu saja paragrap keempat preambule UUD 1945 yang mengamanatkan tiga hal dalam pelaksanaan politik luar negeri, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme —baik hard colonialism maupun soft colonialism—, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional[4]—. Pengertian prinsip “bebas aktif” seharusnya diderivasikan dari ketiga amanat tersebut. Bebas berarti tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral. Dengan demikian sepanjang masih ada bentuk-bentuk kolonialisme, krisis perdamaian dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional, maka prinsip bebas aktif masih relevan.

Presiden Soekarno mengimplementasikan amanat paragrap keempat UUD 1945 bertumpu pada reason of power (kekuatan gagasan) progresive revolusioner yang ditopang dengan kharismanya untuk menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak pembebasan kolonialisme yang masih berlangsung di negara-negara Asia Afrika[5]. Ia hendak menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kekuatan internasional dengan berenang diantara dua karang super power dunia (Blok Barat dan Blok Timur). Sesekali ia bermesraan dengan barat (hubungan eratnya dengan Kennedy, AS) dan pada saat tertentu ia meminjam kekuatan Blok Timur untuk menghantam barat (kemesraannya dengan Soviet dalam pembebasan Irian Barat dan kampannye Nasakom dalam rangka pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Permainan Soekarno tentu saja dibaca Comintern (Comunist International) sebagai upaya menyiapkan tepuk tangan bagi dirinya dan bukan secara sungguh-sungguh untuk mendukung agenda komunisme internasional. Langkah Soekarno dihentikan Comintern-Cina melalui kudeta PKI tahun 1965 yang sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan agar kebijakan Indonesia —sebagai negara besar— benar-benar berada dalam satu garis atau dibawah kendali Comintern[6]. Kudeta PKI tahun 1965 juga bisa jadi merupakan cerminan ledakan persaingan antara gerakan Non Blok (GNB) yang dimotori Indonesia dengan kepentingan politik luar negeri Cina yang pada saat itu telah menjadi motor penggerak kekuatan Blok Timur.

Kegagalan Presiden Soekarno menjadi bahan pelajaran bagi Presiden Soeharto untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam hal tumpuan kekuatan penyangga pelaksanaan politik luar negeri. Sebagai seorang yang kaya pengalaman militer, Presiden Soeharto menekankan pada kekuatan stabilitas internal (dalam negeri) sebagai pijakan. “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia. Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi”, itulah jawaban Presiden Soeharto ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam perjalanan pulang dari kunjunganya ke Moskow tahun 1989[7]. Presiden Soeharto mengakui bahwa prinsip keberhasilan politik luar negeri harus berpijak pada kekuatan dalam negeri merupakan ajaran Bung Karno sendiri[8]. Selain menarik pelajaran dari kegagalan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tampaknya meletakkan tumpuan politik luar negeri pada konsepsi geostrategi Gajah Mada yang didasarkan pada Wawasan Nusantara skala makro. Sebuah strategi politik luar negeri yang diletakkan pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara yang terdiri dari wilayah inti (NKRI) maupun negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara.

Stabilitas dalam negeri dibangun melalui konsensus nasional yang diletakkan pada Pancasila sebagai road map idiologis dan diimplementasikan secara konsekuen. Saluran-saluran subversive diputus dan dikontrol ketat untuk tidak memiliki ruang gerak di Indonesia seperti dalam tindakan tegasnya terhadap bentuk-bentuk gerakan ekstrim kanan (obsesi pendirian negara agama di Indonesia), pembubabaran PKI beserta ormas-ormasnya serta pemutusan diplomatik dengan RRC. Pembubaran PKI bukan saja untuk mengakhiri kekacauan yang semakin memuncak, akibat tuntutan rakyat agar pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya tidak bisa ditahan lagi. Pembubaran PKI juga dimaksudkan untuk memutus saluran kepentingan eksternal (comintern) agar tidak lagi memiliki sarana melakukan dekonstruksi idiologis dan suprastruktur peradaban bangsa. Begitu pula dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC —yang dinilai turut berkonspirasi dalam kudeta 1965— merupakan upaya menutup saluran saluran formal diplomatik dari kepentingan subversive asing. Setelah anasir-anasir subversive itu bisa dikendalikan, hubungan diplomatik dengan RRC dibuka kembali (normalisasi) pada tahun 1980.

Stabilitas wilayah lingkar dekat Nusantara dibangun melalui pendekatan baru dengan tidak lagi memaksakan akuisisi fisik kedalam wilayah Indonesia sehingga konfrontasi dengan Malaysia —untuk memasukkan Kalimantan Utara kedalam teritori fisik Indonesia— segera diakhiri. Pendekatan ini memiliki rujukan historis dimana kesepakatan dalam sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda dan memberikan pilihan kepada wilayah Nusantara di luarnya untuk bergabung atau mandiri sebagai negara berdaulat[9]. Oleh karena itu keinginan Malaysia untuk merdeka perlu dihargai, namun harus bisa dikelola —dalam konteks hubungan antar negara berdaulat— agar tidak dijadikan sebagai pintu masuk kepentingan asing menghantam Indonesia. Presiden Soeharto juga memberikan dukungan kepada Lee Kuan Yew mengambil alih kepemimpinan Singapura dengan konsesi penghentian mafia perdagangan senjata ilegal ke Indonesia yang bermarkas ke Singapura. Komitmen Lee Kuan Yee itu pada akhirnya dapat memutus mata rantai suplai persenjataan ilegal kepada kelompok separatis di Indonesia dari broker-broker senjata yang berbasis atau beroperasi di Singapura.

Stabilitas lingkar luar Nusantara diwujudkan dengan pembentukan ASEAN hanya selang lima bulan dari pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Menlu Adam Malik dapat meyakinkan Thailand, Philipina, Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia di bawah Orde Baru memiliki keinginan kuat dan komitmen untuk bersikap konstruktif terhadap eksistensi dan kedaulatan negara-negara tetangga. Ia juga berhasil meyakinkan bahwa Jenderal Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia tidak merepresentasikan kelompok militer yang agresif, namun memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan solidaritas negara-negara Asia Tenggara[10].

Pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani deklarasi Bangkok sebagai tonggak berdirinya ASEAN. Kelak dikemudian hari, Lee Kuan Yew mengakui prakarsa Indonesia yang didukung penuh Presiden Soeharto itu menjadikan wilayah Asia Tenggara relatif stabil dan terbebas dari konflik dalam masa yang panjang. Konsolidasi Asia Tenggara dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendorong Amerika meninggalkan Vietnam dan pangkalan lautnya di Subic Philipina. Harold Crouch seorang Indonesianist mengakui dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia tumbuh menjadi adikuasa regional dan sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia[11].

Sebelum diangkat menjadi pejabat Presiden, —beberapa saat setelah memperoleh mandat sebagai pemegang Supersemar— Jenderal Soeharto mendukung kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB[12]. Pengaktifan itu memiliki makna strategis untuk mendobrak isolasi internasional terhadap kepentingan Indonesia, khususnya dalam menggalang program bantuan ekonomi. Sama ketika mendengar adanya keputusan pembubaran PKI, pengaktifan keanggotaan RI dalam PBB mengundang kemarahan Presiden Soekarno, namun ia tidak melakukan langkah-langkah berarti karena keputusan itu didukung penuh Jenderal Soeharto[13].

Selain stabilitas politik dan keamanan, Presiden Soeharto juga menekankan pada stabilitas ekonomi sebagai pijakan politik luar negeri. Oleh karena itu sejak diangkat sebagai pejabat Presiden —selain fokus penyelenggaraan pemilu—- juga menekankan pada agenda-agenda pembangunan ekonomi. Agenda ini didukung oleh kreatifitas dan komitmen pemerintahannya menyelesaian utang-utang luar negeri ke sejumlah negarai Blok Barat mupun Timur sesuai jadwal yang disepakati. Penumpukan utang warisan Presiden Soekarno ini dahulunya lebih banyak dipergunakan untuk pengadaan persenjataan.

Untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia —-yang berantakan akibat inflasi 600 persen dalam era Demokrasi Terpimpin— pemerintahan Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasi dukungan finansial dari kelompok negara-negara maju. Duta Besar Soedjatmoko —yang memiliki kedekatan pribadi dengan Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS dan kemudian menjadi Pimpinan Bank Dunia— berhasil menggalang terbentuknya group negara-negara sahabat untuk mendukung pembangunan melalui forum Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Group tersebut tidak saja menyediakan skema bantuan kepada pembangunan Indonesia, akan tetapi juga melakukan campaign pembentukan citra internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang bersahabat.

Setelah mengukuhkan pijakannya atas kendali stabilitas keseluruhan Nusantara —dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara— Presiden Soeharto baru melancarkan politik luar negeri dalam skala lebih luas. Indonesia mulai proaktif dalam agenda pembebasan dunia dari bentuk-bentuk soft and hard colonialism, seperti dukungan penuhnya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga mengarahkan politik luar negeri Indonesia untuk terlibat secara proaktif dalam proses-proses perdamaian seperti mediator penyelesai perang saudara di Kamboja, bantuan mediasi penyelesaian pemberontakan bangsa Moro Filipina dan fasilitasi serangkaian diskusi negara-negara yang mempunyai klaim-klaim teritorial tumpang tindih di Laut Cina Selatan serta dukungannya terhadap ummat Islam Bosnia. Indonesia juga proaktif dalam mengkonstribusikan pasukan bersenjatanya dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB sehingga reputasi tentara Indonesia memperoleh pengakuan internasional.

Upaya mewujudkan pranata internasional yang berkeadilan —khususnya dalam bidang ekonomi, perlindungan hukum dan HAM, sosial budaya serta pola relasi antar negara dan antar kawasan— tercermin dari upayanya merevitalisasi orientasi gerakan Non Blok di penghujung perang dingin, sehingga terpilih menjadi ketua gerakan ini pada tahun 1992. Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994. Wadah ini dibentuk atas prakarsa PM Australia Paul Keating dan keanggotaannya melibatkan AS dan bahkan Presiden Bill Clinton datang ke Bogor. Selain itu Indonesia juga aktif dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun organisasi negara pengespor minyak (OPEC).

Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai sejumlah kalangan terlalu cenderung ke Barat. Penilaian ini menegasikan ketegasan sikap Presiden Soeharto ketika menolak pengiriman pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam misinya di Vietnam pada tahun 1970-an. Walaupun anti komunis dan relatif mesra dengan barat, ia juga tidak pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet maupun Vietnam yang Komunis[14]. Bahkan ketika saluran-saluran potensi subversif telah berhasil dikendalikan, Pemerintah Presiden Soeharto melakukan rehabilitasi hubungan diplomatiknya dengan RRC (tahun 1980). Sikap tegas terhadap barat juga ditunjukkan ketika Jan Pronk —menteri Belanda bidang bantuan internasional— dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia menunjukkan sikap kecongkakannya dan mengusik masalah-masalah politik dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda[15].

Berdasar ilustrasi diatas, kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto didasarkan pada kemampuannya dalam menyiapkan kekuatan tumpuan yang berpijak pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara (dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara). Selain itu juga ditopang oleh kemampuannya dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang secara konsisten sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme (baik dilakukan secara halus maupun terang-terangan), perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan terwujudnya keadilan sosial dalam tata pergaulan internasional.

Masalah kekuatan pijakan stabilitas dalam skala Nusantara dan konsistensinya terhadap visi idiologis politik luar negeri tampaknya menjadi jawaban, kenapa pada era reformasi kewibawaan Indonesia merosot dalam pergaulan internasional. Stabilitas dalam negeri Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik. Begitu pula dengan soliditas negara-negara lingkar luar maupun lingkar dekat yang saat ini sedang merosot. Pada era reformasi, bargaining politik luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis dan bertumpu pada iming-iming sebagai the emerging market sehingga sangat rentan ketika berhadapan dengan daya saing negara-negara lain yang lebih baik.

Kedepan, wawasan makro kenusantaraan perlu direaktualisasi sehingga soliditas negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara dapat dikonsolidasi untuk berada dalam satu kesatuan orientasi kebijakan pembangunan Peradaban Nusantara. Visi politik luar negeri Indonesia juga perlu dikembalikan pada amanat UUD 1945, yaitu perjuangkan pembebasan dunia dari soft and hard colonialism, perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan untuk terwujudnya keadilan sosial dalam pranata internasional, termasuk keadilan dalam interaksi perekonomian antar kawasan dan antar negara.

***


[1]     Disarikan dari Bab VII, buku Politik Kenusantaraan
[2]     Jurnasyanto Sukarno, “Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa”, http:// www. suarapembaruan.com/ News/ 2005/08/12

[3]     Sebagai contoh adalah terlarutnya Indonesia dalam kampanye perang terhadap terorisme dan isu lingkungan sehingga melemahkan kritisismenya dalam memperjuangkan pembebasan dunia dari hard colonialism dan soft colonialism, terwujudnya perdamaian dunia dan keadilan sosial dalam masyarakat internasional.

[4]     Keadilan sosial masyarakat internasional meliputi segenap aspek, termasuk keadilan HAM, ekonomi, politik maupun sosial budaya. Bentuk partisipasi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat internasional termasuk dalam aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan lebih tegas.

[5]     Soekarno mengkampanyekan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imperialis melalui wadah Gerakan Non-Blok. Gerakan itu didirikan pada tahun 1955 di Bandung oleh lima pemimpin dunia, yaitu Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Josep Broz Tito presiden Yugoslavia, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

[6]     Mari kita renungkan tiga hal berikut: (1) dokumen Gilchrist ternyata diskenariokan agen komunis yang bermarkas di Praha, (2) isu sakit permanennya Presiden Soekarno setelah memperoleh perawatan dokter-dokter komunis Cina (skenario politik Medis), (3) rencana pengasingan Soekarno ke Danau Angsa RRC pasca kudeta.

[7]     Harian The Jakarta Post, Kamis 14 September 1989.

[8]     Lihat dialog antara Presiden Soekarno dengan Mayjen Soekarno dalam “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara”, Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997, hlm. 29.

[9]     Menteri Luar Negeri Adam Malik, beberapa tokoh militer (Ali Moertopo & Benny Moerdani) dan Des Alwi (karena kedekatan secara pribadi dengan pimpinan Malaysia) memiliki kontribusi dalam mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Jenderal Soeharto —sebagai pemegang mandat Supersemar— menghadiri upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, untuk secara formal mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

[10]    Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.

[11]    Harold Crouch, Memandang Ke Barat Terperosok di Timur, http://majalah.tempointeraktif.com/ id/arsip/2008/02/04/LU/mbm.20080204.

[12]    Melalui Sidang Umum PBB tahun 1966, Indonesia secara resmi bergabung kembali dalam keanggotaan PBB.

[13]    Pergeseran dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto merupakan cerminan strategi mendayung dua karang dalam menghadapi dinamika eksternal dan keputusan-keputusan  Jenderal Soeharto di setujui secara diam-diam oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengemukakan pernyataan-pernyataan terbuka menentang kebijakan Jendral Soeharto, namun tidak melakukan langkah-langkah yang bisa menghalangi kebijakan itu.

[14]    Sikap ini sering disalahpahami sebagai bentuk pragmatisme politik luar negeri Presiden Soeharto. Sikap ini sebenarnya dapat dipahami dari sudut pandang budaya pluralisme di Indonesia yang dipegang amat kuat. Pada satu sisi menolak untuk dijadikan negara komunis karena tidak sejalan dengan idiologi masyarakat Nusantara dan menolak campur tangan komunis dalam urusan internal bangsa Indonesia. Namun Indonesia tetap menghargai kedaulatan negara lain yang berpaham komunis. Sikap ini identik dengan toleransi beragama di Indonesia. Pada satu sisi menolak dan akan sangat marah apabila dipaksa mengikuti paham keagamaan yang tidak diyakininya. Namun tidak menjadi soal dan tidak memusuhi kepada orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Jadi permusuhan itu terhadap sifat pemaksaan yang dilakukan dan bukan pada perbedaan keyakinan.

Penulis : Abdul Rohman