PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Muda Pak Harto : Jodoh Saya

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Suasana rundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang hidup, setelah Dewan Keamanan  PBB menengahi persoalan Indonesia. Terdengar bahwa rundingan itu akan dilaksanakan di atas kapal Amerika “Renville” yang telah berlabuh di permulaan Desember di Tanjung Priok. Dan suasana rundingan Indonesia-Belanda ini ternyata disambung dengan rundingan mengenai diri saya pribadi.

Datanglah keluarga Pak Prawirowihardjo yang tinggal di Wuryantoro ke daerah di sekitar tempat saya. Maka saya menemui mereka. Percakapan kami pada mulanya menyangkut hal-hal yang biasa saja. Tetapi tidak lama setelah itu muncul pertanyaan yang tidak saya sangka. Ibu Prawiro bertanya soal hari depan saya. Diingatkannya bahwa saya sudah berusia 26 tahun. Dan hal ini menjadi pikirannya. Sebab di kampung kita, orang seusia itu mestinya sudah berumah tangga.

Mula-mula saya tidak menganggap serius soal ini. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya sedang sibuk di Resimen. Perjuangan belum selesai. Kekacauan masih mengancam. Belanda masih belum mau angkat kaki dari negeri kita. Tetapi Ibu Prawiro menekankan bahwa perkawinan tidak perlu terhalang oleh perjuangan. Membentuk keluarga adalah penting, katanya. “Tetapi siapa pasangan saya?” saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon. “Percayakan soal itu kepada kami,” kata Bu Prawiro. “Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro. Saya mengangguk, mengiyakan. Saya ingat. “Tetapi bagaimana bisa?” pikir saya.

“Apa dia akan mau?” tanya saya. “Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran.” Bu Prawiro kelihatannya seperti tidak menganggap hal itu sebagai persoalan. Mungkin dirasakannya zaman sudah berubah. “Saya kenal dengan orang yang dekat dengan mereka,” kata Bu Prawiro. “Saya akan minta dia menanyakan, apa mereka dapat menerima kedatanganku. Saya tahu cara-caranya. Saya tahu adat kebiasaan di situ, ” katanya.

Saya tidak mau mengecewakan Bu Prawiro. Dan saya ingat, apa yang dikemukakan Ibu Prawiro itu benar. Hati saya tergugah, memang benar, kita mesti membentuk keluarga. Kita diwajibkan oleh keyakinan agama kita untuk melanjutkan keturunan kita dan hanya melewati pernikahan, kita bisa melanjutkan·keturunan kita dengan sah. Sebab itu, kita harus membentuk keluarga, sebagai perantara untuk melahirkan keturunan kita.

Ternyata Pak Soemoharjomo dan Ibu Hatmanti sedia menerima kami, setelah Ibu Prawiro mendapatkan seseorang yang bertindak lebih dahulu sebagai perantara. Maka kemudian upacara “nontoni”, pertemuan antara yangakan melamar dan yang dilamar; dilangsungkan. Agak kikuk juga sebab sudah·lania saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya.

Dalam pada itu saya ingat, sudah ada pertanda baik, yakni mereka semua suka menerima kami. Itu artinya lampu hijau bagi kami. Ternyata pula suasana dalam upacara, “nontoni” itu baik sekali sehingga tidak diperlukan waktu lama, untuk kemudian langsung merundingkan soal waktu. “Ini rupanya benar-benar jodoh saya,” pikir saya. Dan jodoh itu sama seperti lahir dan ajal, menurut orang tua-tua kita. Kemudian saya tahu bahwa sewaktu kami berkunjung ke rumah mereka itu, Hartinah baru saja sembuh dari sakit selama sebulan.

Perkawinan kami dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, pada waktu saya berusia 26 tahun dan Hartinah, istri saya, dua tahun lebih muda dari saya. Dari tempat tugas saya di Yogya saya naik sebuah kendaraan dinas tua menuju Solo. Saya mengenakan pakaian penganten, serapi-rapinya untuk waktu yang tidak tenang itu. Sebilah keris terselip di punggung saya. Waktu akan naik kendaraan itu, terasa bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan.

Perkawinan kami dilangsungkan pada sore hari dengan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Hartinah. Cukupan banyaknya, sebab keluarga Pak Soemoharjomo cukup terpandang dan disegani di kota ini. Dari pihak saya hadir Sulardi dan kakaknya. Tetapi kejadian yang bagi saya amat penting ini sayang tak ada yang mengabadikannya dengan potret. Maklumlah, keadaan serba darurat. Malam harinya diadakan selamatan, tetapi cuma bisa dengan memasang beberapa buah lilin, karena kota Solo waktu itu harus digelapkan, di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi.

Tiga hari sesudah perkawinan, saya boyong istri saya ke Yogya. Saya harus kembali menjalankan tugas militer saya. Dan kemudian istri saya mulai dengan tugasnya sebagai istri Komandan Resimen. Dunia baru baginya, sekalipun sebelum ini ia giat dalam Palang Merah, dekat dengan barisan-barisan pejuang.

Alhasil, perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah “witing tresna jalaran saka kulina”, datangnya cinta karena bergaul dari dekat.

Dalam pada itu, saya sudah punya pegangan untuk mendayung perahu keluarga di tengah-tengah bahtera yang luas. Sebagai suami-istri, sepatutnya kita mempunyai cita-cita mendapatkan keturunan yang baik. Dan salah satu syarat untuk itu adalah adanya ketentraman di tengah kehidupan bersuami istri itu. Ketentraman itu sebenarnya adalah saling pengertian antara suami dan istri. Tanpa saling mencintai, saling mengerti, tak akan ada kebahagiaan di rumah. Dan kebahagiaan hidup antara suami-istri itu tidak hanya untuk kedua orang itu, melainkan termasuk kewajibannya untuk menurunkan keturunan sebagai kodrat orang hidup yang percaya kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Bahwasanya suka terjadi cekcok antara suami dan istri, itu adalah manusiawi. Tetapi percekcokan itu bukan sesuatu untuk dibiarkan menjadi sebab perpecahan, melainkan untuk mengoreksi satu sama yang lain, saling mengendapkan diri dan bukan untuk menjadi berantakan.

Dengan pegangan itu kami berlayar di atas perahu keluarga kami. Dan kami kemudian dititipi enam anak, yakni tiga laki-laki dan tiga perempuan.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 43-46.

Masa Muda Pak Harto : Merasa Mendapat Panggilan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Begitulah berita yang saya terima beberapa waktu kemudian. Memang kabar gembira itu diterima terlambat di Yogya seperti juga halnya di kota-kota lainnya di Jawa. Lebih-lebih lagi di pulau-pulau lainnya, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut.

Sebelum itu, di bulan Februari terjadi pemberontakan terhadap Jepang di bawah pimpinan Suprijadi di Blitar. Shodancho dan Bundancho yang terlibat ditangkap dan diajukan ke pengadlilan militer, sehingga batalyon itu tidak mempunyai komandan regu lagi. Seluruh batalyon itu kemudian di pindahkan ke Brebeg, di daerah Nganjuk, dan diasramakan di sana.

Di Madiun saya tidak tinggal di asrama, melainkan di luar, karena dapat rumah sendiri. Saya tinggal di rumah dinas itu tidak lama, karena segera ditugasi melatih prajurit-prajurit dari Batalyon Blitar untuk menjadi komandan regu (Bundancho). Latihannya di Brebeg, di tengah-tengah hutan jati.

Pada waktu Bung Karno mengumandangkan kemerdekaan kita itu, saya masih di Brebeg, sedang melatih para prajurit. Pada tanggal 18 Agustus, begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit PETA tersebut, kami diperintahkan bubar. Kami disuruh menyerahkan kembali senjata-senjata kami. Mobil pun dirampas oleh Jepang. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi di Jakarta, saya pergi dari Brebeg ke Madiun, lalu ke Yogyakarta.

Mula-mula saya tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan kita itu. Setelah tiba di Yogya, barulah saya tahu samar-samar, dan kemudian menjadi lebih jelas lagi. Saya paham akan hal itu dari teman-teman, dari orang-orang di jalan dan di rumah.·

Mendengar berita seperti itu saya pikir, “Wah, ini artinya panggilan.” Perasaan dan perhitungan saya sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Saya sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. ltu berarti panggilan bagi kita untuk membelanya.

Saya pun membaca surat kabar “Matahari” yang terbit di Yogya tanggal 19 Agustus, yang memberitakan kabar besar mengenai proklamasi dan Undang-Undang Dasar serta terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara kita yang baru lahir. Rupanya hari itu pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI serta menyatakan ikut bergembira atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Kata sambutan Sultan Hamengku Buwono IX dimuat pula dalam harian “Matahari” yang menyebutkan bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Anjuran yang sudah ada dalam pikiran saya.

Jepang masih ada di Yogya dan kelihatan masih tetap ingin berkuasa, sementara pemuda-pemuda kita menunjukkan hasratnya yarig meluap-luap untuk mendapatkan senjata guna mempertahankan kemerdekaan kita. Dalam pada itu, tentara Jepang rupanya mulai menyadari bahwa rakyat Yogya sudah tahu akan kekalahan mereka dalam peperangan. Tetapi mereka bertahan di asramanya masing-masing.

Kemudian timbul inisiatif saya untuk mengumpulkan teman-teman bekas PETA. Secara kebetulan semua teman itu tinggalnya tidak berjauhan. Saya menemui Oni Sastroatmodjo, Komandan Kompi Polisi Istimewa, dan bersama dengannya saya mengumpulkan bekas-bekas Chudancho dan Shodancho.

Kami, bekas-bekas PETA dan sejumlah pemuda lainnya berkumpul. Kami berhasil membentuk satu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya sudah diumumkan oleh Pemerintah RI. Presiden Soekarno menyerukan, agar bekas PETA, bekas Heiho, bekas Kaigun, bekas KNIL dan para pemuda lainnya segera berduyun-duyun bergabung dan mendirikan BKR-BKR di tempatnya masing-masing. Seruan Bung Karno itu bukan sesuatu yang baru buat kami. Kami sudah bergerak sejalan dengan seruan itu. Di dalam kelompok kami ada unsur polisi yang buat saya tidak asing, karena saya pun pernah jadi polisi.

Umar Slamet, teman dekat saya, terpilih jadi ketua BKR. Dan saya terpilih jadi wakilnya. Kelompok kecil ini yang adanya di Sentul, di Jalan Kusuma Negara sekarang, adalah tangga pertama dalam zaman baru yang menaikkan saya ke tangga-tangga berikutnya. Anggota-anggotanya terdiri atas bekas-bekas PETA, Heiho dan pemuda-pemuda lainnya. Saya memimpin kelompok ini dalam melucuti Jepang yang di luar asrama. Beberapa kendaraan militer juga kami rebut untuk keperluan pasukan kami. Kompi kami ini segera menjadi kuat dan banyak yang menyegani, sementara sejumlah pasukan Jepang masih tinggal di tangsinya, antara lain di Kotabaru, dengan utuh dan lengkap persenjataannya.

Resminya saya tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945, yakni pada lahirnya “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Tetapi saya sudah bergerak sebelum itu.

Saya pun kemudian menghadiri pertemuan bekas PETA dan Heiho dan pemuda-pemuda serta beberapa wanita yang berkumpul di sebuah gedung yang dipakai oleh Badan Penolong Korban-korban Perang (BPKKP), badan tempat BKR bernaung. Hadir waktu itu antara lain Kepala Polisi Istimewa Sudarsono, Mohamad Saleh, Ibu Ruswo, dari lain-lainnya. Saya termasuk pendiam dalam rapat itu. Maka pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk BKR di Yogya dan memilih Sudarsono dan Umar Jo’i sebagai pemimpin dan wakil pemimpin BKR Yogya. Tugas BKR ialah meyelenggarakan keamanan dan ketertiban dalam negeri. Tetapi yang jadi soal pertama dan utama bagi kami untuk mengemban tugas itu ialah bagaimana mendapatkan senjata itu. Hal yang sudah sejak semula saya pikirkan.

Kemudian saya dengar dan sempat bertemu dengan pemuda-pemuda dan pejuang-pejuang yang bersemangat, seperti Sundjojo Sudarto, Sudomo, Sjaifudin, Maja Retno, Sudirdjo, Marsudi. Kami sibuk. Hilir-mudik, berunding, hilir-mudik lagi, bergerak menyampaikan buah pikiran dan merundingkannya dengan orang-orang lain. Maka rencana pun kami rundingkan lagi dengan tokoh-tokoh muda waktu itu, seperti Umar Slamet, Sundjojo, Umar Jo’i, Muhamad Saleh dan lain-lainnya itu.

Kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah saya, senjata baru kami dapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit. Saya mengetahui, bahwa ada sejumlah senjata yang dikirimkan dari Banyumas ke Yogya dan dibagi-bagikan kepada anggota-anggota BKR yang sedang menyusun kekuatan. Tetapi jumlahnya jauh dari mencukupi.

Terasa waktu itu Yogya mulai panas. Bara revolusi mulai membakar. Api perlawanan mulai menyala. Maka kemudian ketegangan pun terjadi antara pejuang-pejuang kita yang memerlukan senjata di satu pihak dan tentara Jepang yang bersenjata lengkap dan ingin mempertahankan kekuasaannya di lain pihak.

Ternyata Jepang bergerak lebih dahulu. Mereka melucuti polisi di Gayam. Kejadian ini menyebabkan rakyat marah, mengamuk. Akhirnya rakyat menyerang markas Jepang dan tentara Jepang angkat tangan, menyerah. Dengan ini sejumlah senjata sudah menambah yang ada pada kami. Berarti, persiapan untuk menyerang markas Jepang yang lain bertambah. Tetapi sesungguhnyalah, senjata yang ada pada pihak kami belum cukup dibandingkan dengan yang dipegang oleh pihak Jepang. Namun, sementara Slamet harus pergi dari Yogya menuju Madiun, saya mengambil oper tanggungjawabnya dan memimpin pasukan dan rakyat menyerbu markas Jepang. Saya yakin pada kekuatan semangat yang ada pada pihak kita.

Waktu itu umur saya 24. Saya bergerak di barisan paling depan, waktu serbuan itu dilakukan. Ternyata kami unggul. Tanggal 7 Oktober pukul 10.30 resmi tentara Jepang yang ada di Kotabaru itu menyerah. Mereka mengibarkan bendera putih. Senjata-senjata dan kendaraan mereka pindah ke tangan kita. Ratusan karaben dan sejumlah senapan mesin kami rampas. Senjata rampasan tersebut terus diangkut ke Markas Pemuda di Benteng, depan Gedung Agung, dulu namanya Benteng Kompeni Vredeburg. Tidak sedikit pemuda kita menjadi korban akibat tembakan peluru tentara Jepang, yang gugur 21 orang. Waktu itulah saya bertemu dengan bekas Shodancho Widodo dalam pertempuran yang tetap terkenang sampai sekarang.

Kira-kira pukul satu siang saya kembali ke Markas Pemuda di Benteng untuk memeriksa senjata-senjata hasil rampasan dari Jepang tadi pagi. Sewaktu saya turun dari kendaraan, seorang staf saya datang dengan berlari menyambut saya, memberikan laporan bahwa senjata hasil rampasan di Kotabaru habis diambil oleh pemuda-pemuda yang datang secara ramai-ramai dari berbagai penjuru kota. Mereka umumnya pemuda-pemuda yang tak tahu cara menggunakan senjata. Yang tertinggal hanya senjata berat. Memang benar apa yang dilaporkan kepada saya. Gudang senjata kosong, semua senjata ringan dan pistol habis dibagi ramai-ramai. Saya mencoba menahan diri. Bukan main kesalnya hati saya.

Di Semarang terjadi pertempuran sengit yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pertempuran Lima Hari”. Tentara Jepang mengamuk karena merasa diganggu oleh pejuang-pejuang kita yang mencoba merebut senjata mereka. Dalam kejadian itu saya diminta mengirimkan bantuan pasukan ke Semarang. “Ini dia, datang kesempatan baik,” pikir saya.

Saya umumkan kepada semua pemuda yang memiliki senjata supaya segera berkumpul untuk berangkat ke Semarang membantu pemuda-pemuda kita melawan tentara Jepang. Pagi harinya setelah semua berkumpul, saya susun pasukan dengan ketentuan tiap pemuda yang bersenjata didampingi oleh seorang bekas PETA atau Heiho. Letnan Wuston dengan pasukannya bergabung dengan pasukan bersenjata berat di bawah pimpinan Letnan Mardjuki. Mereka saya berangkatkan dengan kereta api sampai di Mranggen dan mereka bertempur di front Pandeanlamper.

Taktik saya berhasil. Pemuda-pemuda yang membawa senjata mulai tidak kerasan, ingat pada orang tua dan pada ingin pulang kembali ke rumah. Semakin hari rasa panik mereka semakin menjadi. Pada saat itu datang peringatan dari tentara yang menjadi pendamping; “Siapa yang mau pulang, boleh, asal senjatanya tetap tinggal di garis depan”. Pemuda-pemuda yang belum pernah mendapat latihan kemiliteran dan disiplin itu akhirnya lebih senang memilih kembali ke rumah orang tua dan menyerahkan senjatanya kepada pendamping bekas PETA dan Heiho yang saya siapkan sebagai pendamping. Maka plonglah hati saya ini. Lega bukan main. Coba bayangkan, kalau seandainya senjata-senjata itu diminta dengan cara paksa, apa jadinya? Tentu terjadi pertumpahan darah. Syukur hal itu tidak sampai terjadi. Dalam pertempuran lima hari ini, banyak penduduk jadi korban kekejaman tentara Jepang.

Bersamaan dengan kejadian ini saya mengambil inisiatif menduduki lapangan terbang Maguwo yang waktu itu masih diduduki oleh tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Pada waktu mendekati garis awal, pasukan saya berangkat dengan kendaraan truk, sedangkan saya naik sepeda motor, bersejatakan pistol Vickers. Saya memberikan komando menyerang penjaga lapangan udara itu dan Jepang menyerah tanpa mengadakan perlawanan. Serdadu-serdadu Jepang itu kami tahan di sebuah gedung sekolah di Kepatihan Danurejan. Dengan ini kami dapatkan beberapa buah pesawat terbang yang jadi salah satu modal pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia. Semua pesawat terbang saya serahkan pada Adisutjipto, seorang penerbang didikan Belanda. Pada hari itu juga, Adisutjipto mencoba menerbangkan pesawat cureng, hasil rampasan. Umar Slamet dengan saya menyaksikan dengan rasa bangga, putra Indonesia bisa terbang sendiri.

Lalu di Yogya dibentuk Divisi IX di bawah Sudarsono yang berpangkat Jenderal Mayor. Pasukan saya diresmikan menjadi Batalyon X dengan beberapa satuan pemuda. Sementara itu saya menguasai pula markas pemuda pelajar, antara lain yang berada di jalan Batanawarsa, dan yang di Jalan Mahameru. Juga ada bengkel kendaraan di Purwodiningratan dan di Gowongan Kidul. Maka lengkaplah susunan Batalyon X dengan kompi kendaraannya dan saya berpangkat mayor.

Sementara itu di tiap kampung dan desa di wilayah Yogyakarta dibentuk “Laskar Rakyat” sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat. Semua penduduk bangsa Indonesia, laki-laki yang masih kuat badannya dan belum menjadi anggota TKR diharuskan masuk menjadi anggota Laskar Rakyat oleh Sultan Hamengku Buwono IX.

Selama ini jangankan seragam yang baik, pakaian pun masih compang-camping, tidak karuan. Tanda pangkat pun belum ada yang saya pakai. Cukup dengan wajah kita dan nama kita. ltulah jaminannya. Suatu kali saya ditanya oleh teman sesama perwira berkelakar tentang disiplin pemakaian tanda-tanda pangkat militer. Saya jawab, “Belum memikirkan untuk memakainya. Kita sekarang masih dalam revolusi. Mungkin nanti sehabis revolusi saya bersedia memakai lencana yang lebih besar.”

Tentara Sekutu datang di Semarang tanggal 19 Oktober dan Belanda/NICA “menggonceng” di dalamnya. Kabar-kabar tentang maksud tentara sekutu yang sebenarnya sudah tersebar luas di daerah. Bahwa Belanda ingin kembali berkuasa di atas bumi Indonesia ini pun sudah bukan rahasia lagi. Tindakan-tindakan mereka sesuai dengan perhitungan kita. Tetapi tokoh-tokoh politik kita menempuh jalan diplomasi. Dan kita pun percaya dan patuh pada kemampuan tokoh-tokoh politik kita, sementara para pejuang kita tetap waspada.

Di Semarang Pak Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah dari pihak Republik mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethel sebagai Panglima Sekutu di Jawa Tengah. Tetapi pihak Sekutu bukan memperhatikan aspirasi rakyat kita, melainkan malahan bergerak ke kota Magelang melalui Ambarawa. Dengan demonstratif mereka kemudian membebaskan interniran-interniran tawanan yang ada di kedua kota itu dan kekacauan pun timbul karena ulah pihak yang sombong itu.

Dalam mengimbangi kegiatan Sekutu di Semarang, Magelang dan Ambarawa, segenap potensi kita kerahkan. Lasykar Rakyat yang dibentuk di tiap desa kemudian bersatu dengan pasukan TKR menghadapi Sekutu.

Dua kali Sekutu menyerang kota Yogya dengan mengirimkan pesawat jenis pembom dengan merusak studio RRI Yogya dan Sono Budoyo serta menyebarkan pamflet yang mengacaukan, dan hal itu malah menimbulkan kemarahan rakyat kita kepada mereka.

Bentrokan tak dapat dihindarkan sehingga pada tanggal 31 Oktober, meletus pertempuran di Semarang, berkobar perlawanan pejuang-pejuang kita terhadap Sekutu, dan kemudian, keesokan harinya, rakyat Magelang mengangkat senjata melawan Sekutu dan NICA yang ada di dalamnya. Pertempuran berjalan terus. Kami tidak menginginkan Yogya berada di bawah telapak sepatu Sekutu/NICA. Kami bertahan, malahan berusaha keras mendesak supaya musuh mundur.

Badan-badan perjuangan yang dibentuk di luar TKR mengadakan Kongres Pemuda Indonesia di Yogya yang melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Tetapi justru pada waktu itu, tanggal 10 November puncak pertarungan terjadi di Surabaya dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Banyak sekali pejuang kita menjadi korban dalam peristiwa mengharukan itu yang kita kenang sampai sekarang sebagai “Hari Pahlawan”.

Letnan Jenderal Urip mengorganisasikan rapat pimpinan TKR yang pertama, bertempat di Markas Tertinggi TKR di Yogya. Rapat dihadiri oleh para perwira senior, panglima-panglima divisi dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Tentunya mereka yang dari Surabaya tidak bisa hadir, karena hari-hari itu di sana sedang sibuk-sibuknya. Dalam rapat besar ini Panglima Divisi V/Banyumas Kolonel Soedirman terpilih sebagai pemimpin tertinggi TKR, sedangkan Pak Urip yang oleh pemerintah sudah diangkat sebagai Kepala Staf Umum, terpilih sebagai Kepala Staf TKR. Satu kombinasi yang terpadu: Pak Urip meletakkan landasan-landasan teknis militer, sedangkan Pak Dirman meletakkan landasan-landasan kejiwaannya.

Perlawanan kita terhadap Sekutu yang terus mencoba mendesak kita berjalan tak henti-hentinya. Saya pimpin Batalyon X ikut menyerbu Magelang dan Sekutu pun meninggalkan kota ini, mundur menuju Ambarawa.

Lalu tentara Sekutu membuat pertahanan yang kuat di Ambarawa. Letkol Isdiman gugur dan pertempuran untuk menghalau Sekutu dari pertahanannya di Ambarawa bertambah hebat. Kolonel Soedirman, menjelang pelantikan sebagai Panglima Besar TKR, maju memimpin pertempuran. Batalyon Suryosumpeno, Batalyon A. Yani dan Batalyon Kusen, di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini berhasil membebaskan penduduk Pingit yang diteror dengan kejam oleh Sekutu.

Saya dari Yogya dengan membawa kekuatan empat kompi, yakni Kompi Soedjono, Kompi Muljono, Kompi Sukoco dan Kompi Marjono maju juga. Begitu juga Letkol. Gatot Subroto dari Divisi V/Purwokerto, dan pasukan Batalyon 8 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Empat hari empat malam Ambarawa kami gempur dengan siasat “supit udang”. Batalyon X yang saya pimpin ditugasi untuk menyerang Banyubiru lebih dahulu, kemudian mendudukinya, bertugas sebagai pengaman lambung dari pasukan induk yang bergerak ke Ambarawa. Banyubiru saya serang setelah Magrib, dan Sekutu mundur ke Ambarawa. Batalyon yang saya pimpin terus mengejarnya dan mengambil atau menyusun pertahanan jauh di depan Banyubiru. Semalam suntuk Banyubiru dihujani peluru meriam dari Ambarawa. Mendengar banyaknya tembakan meriam ke Banyubiru, Pak Gatot mengira batalyon saya sudah hancur. Kenyataannya tidak demikian, karena semuanya sudah saya perhitungkan. Mulai peristiwa itu Pak Gatot mengenal saya.

Hebat pertempuran itu. Saya pegang teguh disiplin. Saya marahi prajurit-prajurit yang mundur dengan meninggalkan senjata mereka. Di kesatrian Ambarawa, tempat saya menyusun kembali pasukan-pasukan saya, saya bicara keras di depan prajurit-prajurit yang telah meninggalkan medan pertempuran dalam keadaan panik.

“Saya marah sekali,” saya berterus terang. “Kita masih belum mampu untuk membikin senjata modern apa pun, dan kita masih belum mampu membelinya. Kita semua mempunyai saham dan tanggung jawab yang sama dalam revolusi ini. Kita sangat memerlukan senjata itu. Akan saya hukum siapa saja yang tidak dapat memelihara senjatanya dengan baik.”

Tetapi akhirnya Sekutu mundur ke Semarang. Itulah “Palagan Ambarawa” yang terkenal. Tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal dan Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf dengan tetap berpangkat letnan jenderal.

Rupanya daya upaya saya dalam “Palagan Ambarawa” mendapat perhatian Jenderal Soedirman. Dan sewaktu Pak Dirman berusaha mengadakan reorganisasi dan penyempurnaan tubuh TKR, saya diangkat menjadi Komandan Resimen III dengan pangkat letnan kolonel, menguasai daerah Yogyakarta, dengan wakil Komandan Mayor Rekso. Saya membawahkan empat batalyon: Batalyon 8 di bawah Mayor Sardjono, Batalyon 10 di bawah mayor J. Sudjono, Batalyon 19 di bawah Mayor Sumiarsono, dan Batalyon 25 di bawah Mayor Mohammad Basyuni.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 26-34.

Masa Muda Pak Harto : Dari Zaman KNIL ke Zaman PETA

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Tak dinyana, kesempatan datang untuk melamar masuk KNIL. Pada mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan. Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima.

Waktu itu ada dua macam kesempatan masuk KNIL, yakni bisa masuk ke Dinas Panjang yang disebut Langverband, atau ikatan Dinas Pendek, Kortverband. Dinas pendek yang latihannya diadakan di Gombong, tak ubahnya dengan milisi saja, tiga tahun lamanya, tetapi bisa mendapat pensiun. Yang masuk dinas ini umumnya lulusan HIS ke atas. Yang diterima di Langverband ialah mereka yang dari kelas tiga sekolah dasar, malahan ada juga yang sama sekali belum sekolah. Latihannya diadakan di Depo Purworejo.

Yang mendapat latihan di Gombong bisa mendapat kesempatan untuk terus mengikuti Kader School dan menjadi kopral. Lulusan Langverband bisa masuk di batalyon, tetapi mungkin setelah sepuluh tahun baru bisa menjadi kopral. Setelah menjadi kopral bisa praktek di batalyon. Dan setelah menjadi kopral selama 5 tahun, barulah bisa ujian lagi untuk menjadi sersan. Saya masuk Kortverband di Gombong. Kami berlatih dari pagi sampai malam. Pengalaman ini berbeda sekali dengan sewaktu sekolah tempo hari atau pun sewaktu menjadi pembantu klerek bank. Tetapi saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini.

Saya lulus sebagai yang terbaik. Lalu saya disuruh berpraktek di Batalyon XIII di Rampal, dekat Malang, sebagai wakil komandan regu. Saya tidak pernah praktek di Batalyon Surabaya seperti dikira orang. Yang saya alami adalah praktek jaga malam di pantai pertahanan Gresik, kurang lebih dua minggu lamanya. Dan sewaktu itulah saya mulai terkena penyakit malaria.

Penyakit saya ini kambuh lagi sewaktu di Malang, sampai-sampai saya pingsan lalu digotong, dimasukkan rumah sakit kurang lebih dua minggu lamanya. Setelah keluar dari rumah sakit, saya ujian lagi, dan ditetapkan untuk masuk Sekolah Kader di Gombong, untuk mendapatkan pangkat sersan.

Pada waktu di Malang itulah sepupu saya Sulardi, yang lebih suka saya sebut adik saya, putra Pak Prawirowihardjo, menuntut pelajaran di sekolah pertanian di kota yang sama. Maka apabila ada waktu senggang, saya pergunakan untuk menengok Dik Sulardi dan pergi bersama-sama dengannya ke pelbagai tempat tamasya atau menonton, satu-satunya hiburan selama saya terikat oleh kedinasan saya waktu itu .

Saya masih ingat, sewaktu saya berdinas pada KNIL itu, sahabat saya·yang terdekat adalah Amat Sudano. Kami tidur di tempat tidur susun. Mas Sudano tidur di atas, saya di bawah. Dia mengalah, memudahkan saya untuk sembahyang.

Kawan lainnya adalah Kosasih, yang kemudian pernah jadi polisi, lalu pensiun dan kabarnya sekarang tinggal di Bandung. Kawan lainnya lagi adalah Suwoto yang sudah meninggal. Teman saya dari satu kelas ialah Yayi Suwondo, yang tinggal di Kelapa Gading. Ia pensiunan Angkatan Udara. Saya beri ia rumah di Perumahan “Bermis”. Belum lama ini ia meninggal. Orang Belanda yang masih saya ingat ialah komandan kompi saya, Kapten Dryber, yang sekarang, katanya masih ada di negerinya. Lalu saya masih ingat komandan peleton  saya, Letnan Hyneman.

Kapten Dryber pernah menulis surat kepada saya, menanyakan, apakah benar Soeharto yang bersama dengannya dalam kompinya yang menjadi Presiden Indonesia sekarang. Saya menyuruh menjawabnya dengan menyatakan “ya”. Tetapi entah, apa surat balasan dari saya itu sampai kepadanya atau tidak, saya tidak tahu. Lalu masih ada komandan regu, Jansen, yang masih saya ingat. Tetapi saya tidak tabu apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.

Waktu di Sekolah Kader itulah pecah perang. Sekiranya peristiwa itu tidak terjadi, saya akan dikembalikan kepada kesatuan. Tetapi karena pecah Perang Dunia ke-2, selesai sekolah di Gombong dan meraih pangkat sersan, saya terus dikirim ke Bandung, dijadikan cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat. Saya ditempatkan di Cisarua. Namun, cuma satu minggu saya berada di situ. Perubahan pun terjadi.

Pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah. Jepang berkuasa di tanah air kita. Saya masih menunggu apa yang akan terjadi dengan diri saya. Saya berpikir, tentu saya akan ditawan. Dalam keadaan menunggu nasib seperti itu saya main kartu cemeh dengan kartu Londo. Waktu mulai main cemeh itu saya hanya punya uang satu gulden. Tetapi dalam permainan kartu itu uang saya bertambah menjadi 50 gulden. Dan uang itulah yang saya pergunakan bersama Amat Sudono pulang ke kampung.

Kami tidak mau ditawan. Kami pergi ke Cimahi dulu, membeli pakaian, lalu terus langsung ke Yogya naik kereta api. Sampai di.stasiun Tugu, kami mendengar pengumuman, bahwa semua bekas tentara harus masuk kantor, untuk melaporkan diri di Jetis. Kami tidak keluar dari stasiun. Kami kukuh pada pikiran semula, tidak mau diringkus oleh Jepang. Lalu kami mencari akal, naik kereta yang menuju Sleman, ke tempat Amat Sudono. Di rumah Mas Dono saya menginap satu malam. Esok harinya saya naik bis·ke Wonogiri, lalu terus ke Wuryantoro.

Sesampai di Wuryantoro saya diserang penyakit malaria lagi. Enam bulan saya mesti berbaring dengan merasakan panas dingin tidak keruan itu. Saya ingat, selama di Gombong saya tidak pernah sakit lagi. Begitu kembali ke Wuryantoro penyakit saya itu kumat.

Sementara itu Jepang sudah membentuk lembaga-lembaga keamanan di kampung-kampung, di kecamatan-kecamatan, di kota-kota besar dan di karesidenan-karesidenan, seperti Keibodan, Seinendan. Wanita-wanita juga dikerahkan dengan dibentuknya Fujin Kai. Pengangkatan pamongpraja juga sudah tidak lagi menurut kebiasaan lama. Yang jadi bupati, kenco, juga tidak usah lagi menurut keturunan seperti biasanya dilakukan di zaman Belanda. Dibentuk pula romusha yang tidak berapa lama kemudian menjadi badan pengerahan tenaga secara paksa. Bukan main gencarnya pengerahan romusha itu di desa-desa. Tadinya tenaga-tenaga itu dipakai untuk membangun dobuku (dam irigasi) di pelbagai tempat di Jawa, akhirnya mereka dikirim, ke luar sampai ke Birma, membuat jalan dan lain-lain sebagainya untuk kebutuhan tentara Jepang.

Bendera Merah-Putih yang semula diizinkan berkibar, segera dilarang oleh Jepang untuk dikibarkan, diganti dengan bendera Jepang, dengan bendera Hinomaru. Begitu juga lagu Indonesia Raya digantinya dengan Kimigayo. Pada waktu itu, sandang pangan tambah susah. Bekicot dianjurkan untuk dimakan. Benang kain kian bertambah sulit didapat hingga akhirnya yang dipakai ialah sarung karet mentah disablon yang tidak hilang baunya.

Di tengah suasana seperti itu pelan-pelan saya sembuh kembali. Hidup sebagai petani di kampung sudah tidak mungkin. Cuma bakal jadi beban mereka yang sudah berdesakan dan tambah kekurangan. Terlalu sempit tanah garapan di sana. Dan kegersangan sesudah zaman perang tambah mengerikan. Maka saya pikir, saya mesti menjual tenaga di tempat yang lebih lapang, di kota.

Saya pergi ke Yogya, mengadu untung. Membosankan sekali hidup tanpa pekerjaan. Maka saya masuk kursus mengetik di Patuk, di depan asrama polisi, dengan harapan akan bisa mengatasi kejemuan saya. Tetapi sewaktu itu saya jatuh sakit lagi. Sungguh, saya dituntut untuk bersabar, penguasaan diri yang kelak pun harus saya lakukan. Pada suatu hari saya membaca pengumuman Polisi, yang menyebutkan, bahwa Keibuho, Polisi, menerima anggota baru. Mulanya saya ragu, apakah saya sudah aman di mata Jepang. Tetapi kemudian saya memberanikan diri. Saya mendaftar.

Badan saya diperiksa. Nasib baik. Saya lulus, tak diketahuinya, bahwa saya mengidap penyakit malaria. Lalu terus saya mendapat latihan selama tiga bulan. Dengan sendirinya saya lulus dari latihan yang kebanyakan berupa baris berbaris itu, karena saya pernah berlatih sebagai kader sersan. Malahan saya lulus sebagai nomor satu. Tidak aneh. Dan karena saya lulus sebagai nomor satu itu, maka saya dijadikan tukang hilir mudik dan kemudian disuruh belajar bahasa Jepang. Lewat itu saya diberi tahu, setengah dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang, untuk mendaftarkan diri pada PETA [4] yang baru dibuka.

Maka masuklah saya jadi PETA, lewat saringan. Tentu saja saya tidak menyebutkan diri saya bekas KNIL waktu mendaftar untuk diterima. Saya tetap jaga-jaga, jangan sampai ditangkap oleh Jepang. Seharusnya, barangkali, bekas KNIL menjadi Heiho. Melalui ujian saya diterima untuk dilatih sebagai Shodancho.

Dari sekian banyak pelamar dari Yogya, saya satu-satunya dari polisi yang lulus dalam ujian itu. Memang bisa dimengerti pula, karena saya sudah mempunyai dasar pendidikan militer, sehingga saya tidak menemukan kesulitan dalam mengikuti ujian itu.

Salah seorang di antara kawan-kawan dari Yogya waktu itu adalah Pranoto Wijono yang sekarang sudah pensiun. Teman lainnya yang masih ada sekarang dan pernah bersama-sama di Kyoikutai (sekolah latihan) di Bogor itu ,adalah Supio. Di asrama di Bogor, ia tidur berdampingan dengan saya, di tempat tidur yang didempetkan pada tempat tidur saya, berjejer.

Supio menjadi ternan dekat saya. Kalau habis latihan dia kemudian harus mencucikan pakaian saya. Dalam pada itu saya mendapat bagian membersihkan senjata. Artinya, membersihkan senjata saya dan senjata Supio. Dia juga mesti antri untuk membeli kue moci, makanan yang muncul di zaman Jepang dan menyerupai onde-onde, di kantin. Kalau tidak cepat antri, kita tidak bakal kebagian, karena tidak cukup banyak yang tersedia.

Dalam latihan PETA ini terasa hidup patriotisme, kecintaan untuk membela tanah air. Tak percuma sebutan “Pembela Tanah Air” yang lazim pula disebut pada waktu itu “tentara sukarela”. Jepang menyebutnya Bo Ei Gyugun, atau disingkatkan Gyugun. Yang diterima untuk dilatih di Kyoikutai adalah lulusan sekolah rendah sampai sekolah menengah tinggi (SMT). Di samping itu ada juga kiai-kiai, guru-guru sekolah agama dan bekas pegawai-pegawai kantoran.

Latihan Shodancho, komandan peleton, lamanya empat bulan. Latihannya sangat berat, sedang latihan Chudancho, komandan kompi, yang juga diadakan di sana dan latihan Daidancho (komandan batalyon) lebih santai. Ditempakan kepada kami, PETA juga harus mampu menjadi cadangan Rikiugun atau Angkatan Darat. Maka latihan untuk Shodancho dititikberatkan pada penguasaan taktik kesatuan kecil ialah peleton atau seksi, lengkap harus menguasai tugas peleton, walaupun waktu latihan sangat singkat.

Terasa latihan Shodancho cukup berat. Untungnya saya sudah pernah mendapatkan latihan seperti itu. Di balik itu Jepang bertindak keras, rupanya menjaga kalau-kalau yang dilatih masih kurang taat kepadanya. Kami alami mesti minum air kotor dari sungai di belakang pabrik karet “Good Year” di tengah-tengah latihan yang melelahkan itu. Sekali dua kali kami pernah disuruh berlutut berjam-jam lamanya, karena salah seorang di antara kami membuang peci Hancho.

Di tengah-tengah ini ditekankan kepada kami semangat anti Inggris-Amerika dan ditanamkan semangat “Asia untuk Asia” yang sebenarnya adalah “Asia untuk Jepang”. Lebih dulu semboyan “Tiga A” sudah didengung-dengungkan. Tapi yang terjadi adalah bahwa tekanan Jepang itu menyebabkan semangat di antara kami, sebagai putra-putra Indonesia yang ingin membela tanah air, bertambah besar. Kekeluargaan kami bertambah erat. Begitu juga rasa persatuan PETA dengan rakyat dan dengan barisan-barisan lain, seperti dengan Barisan Shuishintai atau Pelopor dan Seinendan, Keibodan yang semula dijadikan kaki tangan polisi Jepang.

Di tangsi itu kami jadi tahu sikap dan tabiat Jepang yang sebenarnya. Maka terjadilah satu dua kali perlawanan terhadap Jepang. Ada yang berani menempeleng Jepang dengan harus menerima akibatnya yang parah. Tetapi tekanan Jepang itu kemudian tidak tertahankan lagi di beberapa tempat.

Pada pembentukan PETA ditentukan, bahwa prajurit PETA dari setiap karesidenan (Syu) tidak boleh dikirimkan atau ditempatkan di daerah karesidenan lain, apalagi ke luar Indonesia. Maka setelah selesai saya dilatih untuk Shodancho di Bogor itu, saya dikembalikan ke Yogyakarta dan ditempatkan di Batalyon di Wates. Kemudian, bersama-sama dengan Pranoto saya dipilih lagi untuk dilatih menjadi Chudancho di Bogor. Pelajaran taktik dan strategi perang kami selesaikan di tahun 1944.

Sementara itu di Bogor saya berkenalan dengan Shodancho Singgih yang dalam riwayat hidupnya kemudian, menjelang diproklamasikannya kemerdekaan itu, bersama-sama dengan pemuda-pemuda lainnya membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok. Selesai latihan Chudancho saya ditempatkan di Seibu, markas besar Peta di Solo, di Kusumoyudan. Pada waktu itu saya bertemu lagi dengan Sulardi yang sudah berkeluarga dan bekerja di Kantor Pertanian Kota.

Sebelum sekolah Chudancho saya ditempatkan di pos pertahanan di Glagah, di pantai selatan Yogyakarta. Kemudian saya dipindahkan ke Solo, terus ke Madiun. Maka saya mengenal lebih baik lagi daerah itu. Pranoto waktu itu dikembalikan ke Yogya. Sebagai Chudancho di Markas Besar PETA saya memegang bagian pendidikan. Karena itu saya dipindahkan ke Jaga Monyet[5] di Jakarta untuk melatih murid-murid STM yang akan menjadi tentara zeni. Pada waktu itulah saya berjumpa kembali dengan Shodancho Singgih.

Selesai melatih anak lulusan STM menjadi Bundancho, saya dikembalikan ke Markas Besar PETA yang sudah pindah ke Madiun dari Solo. Pengalaman-pengalaman di PETA menumbuhkan keyakinan dalam hati saya bahwa tindak-tanduk kebanyakan opsir Jepang tidak bisa kami setujui. Tumbuh keinginan saya untuk melawan mereka yang menyakiti hati kami itu.

Dengan terjadinya pemberontakan PETA di Blitar, Jepang berusaha membersihkan korps perwira PETA di pelbagai tempat. Terdengar, saya pun di antara mereka yang akan diberhentikan. Tetapi beberapa orang Jepang yang masih menghargai saya mencegah supaya saya tidak dilepas. Kemudian saya ditempatkan di kaki Gunung Wilis di desa Brebeg, di sebelah selatan Madiun. Di sana saya melatih prajurit PETA dari Batalyon Blitar untuk dijadikan Bundancho. Bundanco yang saya latih bersama Bundancho Imam Munandar (mantan Gubernur Riau) itulah yang akan mengganti para Bundancho yang dihukum mati oleh Jepang, karena memberontak.

Sementara itu terasa bahwa Perang Pasifik sudah mendekati akhir. Tetapi saya yang berada di tempat pedalaman belum mengetahui banyak mengenai apa yang terjadi di kota-kota besar, apalagi di Jakarta. Hubungan dengan tempat-tempat itu lamban sekali.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 19-25.

[2]     Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)

[3]     Holands lnlandse School, SD di zaman Belanda

[4]     Tentara Sukarela Pembeld  Tanah Air

[5]     Jaga Monyet, nama asrama Tentara