PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Komando Mandala Pembebasan Irian Barat

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,
Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan Irian Barat disepakati akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Sebagaimana tabiat aslinya, Belanda berusaha merobek perjanjian dengan berbagai cara, termasuk melalui pintu diplomasi maupun cara-cara militer dengan terus memperkuat tentaranya di Irian Barat. Setelah melalui jalur diplomasi tidak menuai hasil, pemerintah Indonesia memutuskan pembebasan Irian Barat dilakukan melalui konfrontasi di segala bidang termasuk dengan menggunakan kekuatan militer.

Pada awalnya, langkah-langkah militer pembebasan Irian Barat kurang menuai hasil. Sampai suatu ketika Presiden Soekarno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat sekaligus memenuhi usulannya —usulan Mayor Jenderal Soeharto— menjadikan Kawasan Timur Indonesia-Irian Barat sebagai satu kesatuan Mandala di bawah satu komando.

Secara keseluruhan operasi, perjuangan pembebasan Irian Barat dilaksanakan dalam empat fase. Pertama, fase diplomasi. Kedua, fase operasi militer pra Mandala. Ketiga, fase Mandala terintegrasi, dan; Keempat, fase konsolidasi. Melalui keempat fase tersebut dapat diketahui peran penting Mayor Jenderal Soeharto dalam proses percepatan pembebasan Irian Barat.

1. Fase Diplomasi (Desember 1950-November 1957)

Merupakan fase perjuangan pembebasan Irian Barat dalam bentuk diplomasi, baik secara bilateral dengan Belanda maupun secara multilateral melalui forum-forum internasional. Misi diplomasi adalah terealisasinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang salah satu klausulnya menyatakan penyelesaian Irian Barat dalam waktu satu tahun (pada akhir tahun 1950, secara de facto maupun de jure sudah menjadi bagian Indonesia). Upaya diplomasi itu menemui fakta baru, dimana Belanda secara terang-terangan merobek hasil KMB dengan mempengaruhi PBB agar memutuskan Irian Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Belanda juga memasukkan Irian Barat sebagai bagian wilayahnya pada bulan Agustus 1952. Sikap Belanda tersebut membuat eskalasi politik diplomasi Indonesia-Belanda semakin panas. Perlawanan rakyat Irian Barat terhadap tentara Belanda yang menduduki wilayahnya semakin meningkat. Desakan rakyat untuk segera membentuk provinsi Irian Barat juga semakin menguat.

Sikap Belanda di satu sisi (mengingkari KMB) dan desakan rakyat Irian Barat maupun rakyat Indonesia di sisi lain (menuntut segera dilakukan pembebasan Irian Barat) pada akhirnya mendorong pemerintah Indonesia mempergencar diplomasi internasional. Negara-negara Asia-Afrika berhasil digalang untuk memberikan dukungan terhadap Indonesia dalam forum-forum internasional. Upaya-upaya itu terus dihadang Belanda, sehingga upaya memasukkan masalah Irian Barat sebagai agenda Sidang Umum (SU) PBB terus menemui jalan buntu karena masalah quorum. Akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda dan mengarahkan perjuangan pembebasan Irian Barat melalui konfrontasi di segala bidang.

Salah satu kegagalan politik diplomasi Indonesia dalam perjuangan pembebasan Irian Barat adalah keberhasilan Belanda dalam mempengaruhi Amerika Serikat untuk mendukung agendanya. Dukungan Amerika Serikat itu diduga memiliki keterkaitan dengan tawaran limpahan sumber daya alam Irian Barat yang secara bersama-sama akan dikelola dengan Belanda. Hal itu terbukti melalui pemberitaan New York Time pada tanggal 16 Maret 1959 atas penemuan cadangan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Perkembangan selanjutnya (tahun 1960), Perserikatan Perusahaan Borneo Timur dan Freeport Sulphur menandatangani perjanjian mendirikan tambang tembaga di Timika. Sikap tertutup tampak dari perjanjian kontrak kerjasama yang tidak menyebut adanya kandungan emas ataupun tembaga sebagai bidang usaha yang akan dikelola.

2. Fase Operasi Militer Pra Mandala (Desember 1957-Maret 1962)

Sebagai bentuk strategi baru menekan Belanda dalam perjuangan pembebasan Irian Barat adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan warisan kolonial Belanda yang beroperasi di Indonesia. Nasionalisasi diawali dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan tersebut oleh KSAD, AH. Nasution dalam kapasitas Sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) pada tanggal 2 Desember 1957. Tindakan itu akhirnya disahkan melalui UU No. 86 Tahun 1958. Upaya tersebut berhasil menasionalisasi 700 buah perusahaan Belanda dengan total asset 1.500 juta dolar. Pemerintah RI juga melarang perusahaan penerbangan Belanda Koninlijke Luchtvaart Maschappij (KLM) melakukan aktifitasnya di Indonesia.

Langkah selanjutnya pada tanggal 17 Januari 1958 pemerintah Indonesia membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang diketuai oleh KSAD Mayor Jenderal Nasution. Dalam kapasitasnya sebagai ketua FNIB dan KSAD, Mayor Jenderal Nasution merumuskan tiga kebijakan operasi pembebasan Irian Barat, yaitu:


  • Operasi A dengan tugas melakukan kegiatan intelijen dengan mengirim infiltran-infiltran ke daratan Irian Barat.
  • Operasi B dengan tugas mempersiapkan satuan-satuan militer untuk perebutan Irian Barat secara fisik.
  • Operasi C dengan tugas kegiatan diplomasi luar negeri untuk memperlemah Belanda dan memperkuat RI dalam forum internasional.
  • Pada tanggal 12 April 1961 melalui Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H Nasution, Presiden/Panglima Tertinggi memerintahkan Gabungan Kepala Staf (GKS) untuk menyusun rencana Operasi Gabungan Pembebasan Irian Barat. Pada 30 Juni 1961 GKS telah berhasil merumuskan konsep operasi, meliputi:

Operasi B-1, merupakan operasi militer terbuka dengan sasaran penuh untuk memperoleh kekuasaan de facto seluruh wilayah Irian Barat.
Operasi B-2 merupakan operasi sasaran terbatas untuk menguasai suatu daerah tertentu di wilayah Irian Barat agar menimbulkan suasana politik yang menguntungkan sekaligus membuka garis depan.
Operasi B-3 merupakan ilfiltrasi militer untuk memperoleh pangkalan dalam serangan lanjutan.

Dalam rentang waktu yang tidak berjauhan, atas usulan Jenderal A.H Nasution dibentuk pula Depertan (Dewan Pertahanan Nasional) dan KOTI Permibar (Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat) serta Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Ketiga struktur tersebut memiliki peran dan fungsi sebagai berikut:


  • Depertan, diketuai Presiden dan dibantu Menteri Pertama Juanda dan Menhankam Jenderal A.H Nasution, berperan dalam menetapkan grand strategy pembebasan Irian Barat.
  • KOTI Permibar (Presiden Soekarno sebagai Panglima, Jenderal A.H Nasution sebagai Wakil Panglima dan Jenderal A. Yani sebagai Kepala Staf Tertinggi), merupakan tingkat Komando Tertinggi (KOTI) yang berperan dalam menetapkan pokok-pokok strategi militer.
  • KOLA (Komando Mandala Pembebasan Irian Barat), dipimpin Mayor Jenderal Soeharto, dengan tugas melaksanakan pokok-pokok strategi militer yang telah ditetapkan KOTI.
  • Konsolidasi struktur organisasi perjuangan pembebasan Irian Barat —yang pada akhirnya menempatkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima komando garis depan perjuangan militer— sebenarnya dilatarbelakangi serangkaian kegagalan operasi militer dalam fase ini. Sebagai pelaksanaan operasi A, pemerintah telah melaksanakan operasi Pasukan Gerilya 100 (PG-100) hingga PG-600. Operasi tersebut menemui sejumlah kegagalan. Operasi lain yang juga mengalami kegagalan adalah tenggelamnya MTB Macan Tutul dan gugurnya Deputi I KSAL Komodor Laut Yos Sudarso. Kegagalan tersebut diantaranya disebabkan faktor-faktor berikut:

Belum terintegrasinya kekuatan-kekuatan militer pendukung operasi sehingga masing-masing kesatuan bergerak secara mandiri. Sebagai contoh adalah saling tuding kegagalan MTB Macan Tutul dimana Angkatan Udara yang dipimpin Laksamana Udara Suryadarma dianggap tidak memberikan dukungan udara terhadap pelaksanaan operasi.
Belum adanya kesiapan pangkalan-pangkalan depan pendukung operasi (Makasar, Ambon, Pulau Seram dan sekitarnya) dan tidak jarang operasi diberangkatkan dari Jakarta dengan jarak tempuh yang panjang.
Belum tersedianya daya dukung peralatan perang dan angkutan pasukan termasuk pengamanan pasukan dalam perjalanan menuju zona pendaratan di Irian Barat.
Merupakan ulah atau desakan politisi-politisi sayap keras yang mendorong percepatan operasi tanpa perhitungan taktik militer secara rinci.
Fakta tersebut mendorong Presiden menoleh Mayor Jenderal Soeharto, perwira militernya yang dianggap paling mumpuni dalam menangani kemelut untuk segera memulai operasi. Presiden juga menyetujui usulan Mayor Jenderal Soeharto untuk diberi kewenangan menyusun staf operasi gabungan dan menjadikan Irian Barat-Indonesia Bagian Timur sebagai kesatuan satuan “Mandala”. Dengan kewenangan tersebut semua angkatan yang tergabung dalam Operasi Mandala berada di bawah satu komando dirinya sebagai Panglima KOLA.

3. Fase Mandala Terintegrasi (Maret 1962-September 1962)

Penunjukan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dilatarbelakangi oleh pertimbangan militer. Ia merupakan sosok perwira militer pendiam dan tidak ambisius sehingga dipercaya mampu mengendalikan operasi militer skala besar. Karakter Mayor Jenderal Soeharto dinilai tepat untuk melaksanakan kampanye militer prestisius bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana diakui Jenderal Nasution, Presiden Soekarno menghargai Mayor Jenderal Soeharto sebagai komandan menonjol dalam TNI dan oleh karenanya Presiden tidak ragu-ragu menerima usulan Jenderal Nasution mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.

Setelah ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto segera melakukan konsolidasi internal, pemetaan internal-eksternal dan merumuskan strategi militer pembebasan Irian Barat. Konsolidasi militer dilakukan dengan mengintegrasikan semua komponen Mandala yang terdiri dari Angkatan Darat Mandala, Angkatan Laut Mandala, Angkatan Udara Mandala, Kepolisian Negara, Pertahanan Udara Gabungan dan Pengerahan Cadangan Nasional (Perhubungan Laut dan Perhubungan Udara/GIA).

Pembebasan Irian Barat dilakukan dalam tiga tahapan strategi. Pertama, strategi infiltrasi untuk membentuk kantong-kantong atau daerah bebas de facto di Irian Barat, sehingga bisa menjadi bargaining yang baik dalam diplomasi. Strategi tersebut dimaksudkan untuk: (1) membentuk pancangan kaki (beach head) bagi serangan terbuka pasukan besar yang akan didaratkan, (2) memecah belah pasukan Belanda kedalam arena pertempuran-pertempuran kecil dalam titik yang banyak, dan (3) menyiapkan instrumen bargaining diplomasi yang kuat, bahwa Belanda tidak benar-benar menguasai semua wilayah Irian Barat. Berdasarkan pemetaan kekuatan dan fasilitas militer yang ada, strategi ini akan berhasil dilaksanakan sampai akhir tahun 1962 dengan memasukkan 10 kompi pasukan. Kedua, tahap exploitasi. Merupakan tahap serangan terbuka ke Induk pasukan Belanda di Biak dan menduduki semua pos pertahanan di Irian Barat. Tahap ini diperkirakan bisa dilakukan pada tahun 1963. Ketiga, tahap konsolidasi untuk mengkonsolidasikan kekuasaan RI di Irian Barat. Tahap ini dilakukan pada tahun 1964.

Mengingat Mayor Jenderal Soeharto hanya diberi waktu 7 bulan untuk menyiapkan operasi militer pembebasan Irian Barat —agar bendera Merah Putih sudah bisa berkibar di Irian Barat pada tanggal 17 Agustus 1962 —, maka penetapan jadwal melampaui tenggat disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, tenggat tersebut menggambarkan peluang sebenarnya dari sudut strategi militer. Kedua, merupakan   strategi untuk mengaburkan rencana RI bagi Belanda, karena faktanya hari H serangan besar ditetapkan pada tanggal 12 Agustus 1962 atau jauh dari asumsi kesiapan pasukan. Ketiga, merupakan gambaran riil kondisi eksiting dan oleh karena itu dilakukan percepatan persiapan sehingga hari H dapat dilaksanakan sebelum tenggat tanggal 17 Agustus 1962.

Terlepas dari teka-teki estimasi kesiapan pasukan, faktanya Komando Mandala telah melakukan operasi infiltrasi militer sejak 1 Maret 1962 atau kurang dua bulan setelah Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai panglima KOLA. Hingga hari H, tanggal 12 Agustus 1962 tidak kurang 17 kali operasi infiltrasi —baik dari unsur Angkatan Darat Mandala, Angkatan Laut Mandala dan Angkatan Udara Mandala— telah dilaksanakan. Fasilitas-fasilitas militer yang memungkinkan terbukanya pangkalan depan juga telah direhabilitasi dengan cepat.

Untuk mempercepat dan menjamin efektifitas infiltrasi, Mayor Jenderal Soeharto mengirimkan pasukan para yang antara lain RPKAD dan PGT. Hal ini mengundang kritik banyak pihak, namun dengan menggunakan terlatih pasukan inilah, mitos bahwa hutan lebat Irian Barat tidak bisa dipergunakan penerjunan bagi pasukan para, menjadi terpatahkan. Keberhasilan infiltrasi pasukan para, selain dengan mengirimkan pasukan terlatih juga dilakukan dengan terbang rendah sehingga tidak terpantau radar Belanda. Penggunaan pasukan khusus RPKAD dan PGT juga dimaksudkan sebagai strategi untuk secara efektif mengikat musuh supaya kekuatannya terpecah-pecah dan memaksa menggunakan pasukan cadangan Belanda menghadapi infiltran sehingga induk pasukan menjadi lemah.

Pada tanggal 20 Juli 1962, hari H operasi Jayawijaya, sebuah serangan besar ke sasaran utama Biak dan Holandia (Jayapura) telah ditetapkan. Pada tanggal 23 Juli 1962, kapal selam pembawa pasukan RPKAD sudah berada diantara Holandia dan Biak. Tanggal 2 Agustus 1962 konvoi Angkatan Tugas Amphibi 17 (ATA-17) telah berada di Titik Kumpul I (TK-I) Teluk Peleng dan pada tanggal 7 Agustus 1962 menuju Titik Kumpul II (TK-II) utara Morotai. Pada tanggal 8 Agustus 1962 ATA-17 telah bergerak menuju Biak untuk memulai serangan besar pada hari-H. Iring-iringan tersebut dipantau oleh kapal selam dan pesawat pengintai (U2) AS yang akhirnya meyakini Indonesia dalam kondisi siap tempur. Pada saat pasukan Indonesia berada dalam kondisi siap tempur itulah, tanggal 15 Agustus 1962 (2 hari sebelum tenggat 17 Agustus 1962) telah dicapai kesepakatan New York yang pada intinya Belanda menyerahkan wilayah Irian Barat melalui Penguasa Sementara PBB. Latar belakang dicapainya kesepakatan New York dapat dilihat dari aspek politis maupun militer:

Secara militer, Panglima Komando Mandala berhasil melakukan infiltrasi dan mobilisasi kekuatannya untuk siap menjepit Belanda dari semua sudut, baik dari udara, laut dan satuan-satuan kecil darat, sebelum nantinya terjadi serangan besar dilaksanakan. Selain strategi dan taktik militer telah diperhitungkan dengan cermat, tambahan peralatan militer, khususnya kedatangan kapal-kapal selam yang di beli dari Uni Soviet merupakan ancaman serius bagi kekuatan Angkatan Laut Belanda. Terlepas apakah nantinya mampu memenangkan pertempuran selama lima hari —sebagaimana diproyeksikan Mayor Jenderal Soeharto— hal yang pasti adalah jatuhnya korban skala besar pada kedua belah pihak. Mayor Jenderal Soeharto merupakan perancang strategi sekaligus eksekutor lapangan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang telah memaksa Belanda kehilangan muka dan angkat kaki dari Indonesia. Merupakan pilihan rasional bagi Belanda untuk menyerah kalah di meja perundingan sebelum nantinya kehilangan banyak pasukan dan citra internasionalnya untuk kedua kali. Kesiapan operasi militer telah menjadi alat bargaining diplomasi yang sangat kuat bagi Indonesia dalam menghadapi Belanda di meja perundingan.

Penguasaan Belanda atas Irian Barat tidak memiliki pijakan moral kuat setelah kolonialisasi bukan lagi pilihan populer dalam percaturan internasional. Pihak Indonesia berangkat ke medan perang dengan spirit menggelora untuk mengambil kembali haknya yang dirampas. Perbedaan spirit pasukan itu akan menggiring Belanda —cepat atau lambat— menelan kekalahan militer dari Indonesia dan kehilangan pijakannya di tanah Irian Barat. Belantara Irian Barat merupakan kawasan gerilya dimana pasukan Indonesia memiliki ketangguhan lebih baik jika dibandingkan dengan pasukan Belanda.

Secara politis, Belanda tidak lagi memperoleh dukungan AS untuk terus memaksakan agenda kolonalisasinya, apalagi dengan menggunakan kekuatan militer. Bagi AS, mendukung Belanda tidak lagi memiliki pijakan moral dan bukan pilihan strategis karena justru akan menambah lawan dalam konfrontasi perang dingin. AS belajar dari kasus pengabaiannya terhadap permintaan kerjasama persenjataan dari Indonesia yang pada akhirnya justru membuka ruang masuknya peralatan militer dari blok Komunis Uni Soviet.

Terlepas dari aspek-aspek politis, kesiapan operasi militer Komando Mandala merupakan faktor utama penyerahan Irian Barat oleh Belanda. Kesiapan operasi militer itu sendiri tidak lepas dari faktor-faktor berikut:

Ketegasan Mayor Jenderal Soeharto menetralisasi operasi Mandala dari tarik ulur politik yang tidak sejalan dengan segi-segi taktis kemiliteran. Hal itu ditunjukkan ketika Muhammad Yamin memintanya agar segera menenggelamkan kapal-kapal Belanda untuk tujuan bargaining diplomasi. Permintaan itu secara tegas ditolak karena menurutnya sikap tergesa-gesa justru akan memporak-porandakan persiapan militer yang waktu itu hampir matang.

Kejelian Mayor Jenderal Soeharto melakukan pemetaan kekuatan-kelemahan militer Indonesia maupun Belanda serta potensi-potensi pendukung di Irian Barat yang bisa dimobilisasi mendukung operasi militer Indonesia. Ia mempersiapkan operasi militer dengan penuh perhitungan dan menghindari optimisme berlebihan. Ia juga tidak menutup-nutupi aspek-aspek kelemahan kekuatan dan strategi militer Indonesia hanya untuk membuat Presiden Soekarno senang. Hal itu ditunjukkan ketika ia meminta kewenangan mengintegrasikan seluruh kekuatan militer dalam satu Komando Mandala untuk mempermudah koordinasi sekaligus penyiapan sarana-prasarana pendukung operasi militer yang berada di garis depan. Ia juga berterus terang dalam hal kekurangan pasokan persenjataan dan peralatan perang. Atas kejujuran yang didasarkan pada pertimbangan segi taktis kemiliteran itu, Presiden Soekarno tidak ragu memberikan dukungan pada tindakannya.

Kemampuan Mayor Jenderal Soeharto mengeksplorasi titik lemah lawan seperti halnya strategi mengelabui radar Belanda dengan terbang rendah menggunakan pesawat C-47 Dakota pada saat penyusupan pasukan para. Begitu pula penggunaan pasukan khusus RPKAD yang disusupkan dengan menerjunkannya melalui belantara Irian Barat. Strategi itu telah memungkinkan infiltrasi pasukan pendahulu melalui udara dapat dilakukan secara efektif. Begitu pula dengan kemampuan pasukan yang diturunkan, sebagai pasukan khusus, RPKAD lebih menjamin keberhasilan dalam mengikat dan menarik keluar cadangan induk pasukan Belanda kedalam titik-titik kecil pertempuran. Strategi ini mirip dengan penggunaan airborne (pasukan para) yang diterjunkan sebagai pasukan pendahulu dengan misi mematikan meriam pertahanan udara dan bunker-bunker pertahanan Jerman sebelum akhirnya dilakukan serangan besar melalui pantai Normandia Prancis.

Kemampuan Mayor Jenderal Soeharto yang dalam waktu cepat dapat mempersiapkan serangan militer terintegrasi dari darat, laut dan udara, baik dari garis depan (serangan serentak) maupun belakang (satuan-satuan infiltran). Kesiapan serangan itu menyebabkan Belanda terkepung dari berbagai sudut. Cepat atau lambat kekalahan Belanda sudah diambang pintu dengan korban yang diprediksikan akan sangat banyak. Sementara itu mendatangkan pasukan bantuan sangat kecil kemungkinannya karena berada dalam jarak yang jauh dari negaranya.
4. Fase Konsolidasi (Pasca September 1962)

Merupakan fase konsolidasi kekuasaan pemerintah RI di Irian Barat dalam bentuk konsolidasi pasukan untuk memantapkan kendali teritorial di wilayah Irian Barat. Selain itu juga disiapkan operasi Brajamusti sebagai antisipasi pengingkaran Pemerintah Belanda terhadap perjanjian yang telah disepakati. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, pemerintah Belanda selalu mengingkari hasil perjanjian yang telah disepakati dengan pihak Indonesia.
Pada fase ini juga menjalankan misi mengawal pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dimana rakyat Irian Barat dari Sabang hingga Mereauke memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil Pepera menjadi dasar lahirnya resolusi PBB yang menyatakan bahwa secara de facto maupun de jure, Irian Barat menjadi bagian wilayah Indonesia.