PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Konsepsi Peradaban Pancasila, Pluralisme, Kemanusiaan, Keadilan dan Keadaban

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Konsepsi Peradaban Pancasila (Bagian 3)

Sebagaimana etos transendensi, pluralisme juga telah menjiwa dalam masyarakat Nusantara. Pluralisme merupakan sistem nilai yang memandang positif dan optimis terhadap keragaman dengan menerimanya sebagai kenyataan dan melakukan kreatifitas positif dengan kenyataan itu[2]. Bukti penjiwaan pluralisme dalam masyarakat Nusantara bukan saja tercermin dari dokumen pluralisme “Bhineka Tunggal Ika” yang dicetuskan seorang Mpu era Majapahit. Akan tetapi dapat diketemukan dalam realitas hidup sehari-hari dengan adanya budaya guyub, rukun dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Bukti penjiwaan pluralisme juga tercermin dari tumbuh suburnya beragam etnis, bahasa, warna kulit maupun tradisi dan budaya. Hal itu telah membedakan dengan perkembangan peradaban bangsa Amerika dan Australia yang telah menenggelamkan eksistensi suku Indian maupun Aborigin.

Sayangnya, —mengacu kesadaran kesejarahan sesepuh Nusantara sebagaimana diungkapkan pada tulisan awal—, pemahaman dan penjiwaan masyarakat Nusantara terhadap pluralisme telah dicederai oleh kehadiran penjajah dan pendatang. Skenario disintegrasi kekaisaran Cina terhadap imperium Majapahit —puncaknya memicu perang Paregreg— telah menanamkan rasa kebencian satu sama lain dan menimbulkan polarisasi destruktif dalam masyarakat Nusantara. Perang tersebut telah dijustifikasi dengan argumentasi “perebutan hak atas tahta” sehingga masing-masing pihak bertikai dapat menarik pendukung setia. Justifikasi yang dipinjam dari idiom-idiom Nusantara itu telah menenggelamkan esensi Paregreg yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif konflik antar kawasan. Pada era kolonialis Eropa, masyarakat Nusantara juga terbelah antara sejumlah tertentu yang memposisikan diri sebagai akomodatif terhadap kolonial dan sebagian lain melakukan perlawanan[3]. Begitu pula masuknya idiologi komunis di Nusantara —yang membenarkan perjuangan klas— telah membenturkan masyarakat yang satu dengan lainnya dengan melibatkan kebencian luar biasa. Pada era reformasi, motif makro kesejarahan komunis di Indonesia hendak dilupakan dengan menggamit isu-isu perlanggaran HAM dan menempatkan para penentangnya sebagai pihak tersudut dalam persepsi masyarakat.

Mencermati ketiga peristiwa tersebut —Paregreg, politik kolonial dan idiologi komunis—, bentuk-bentuk destruktif dalam masyarakat kita memiliki latar belakang politik. Sementara itu isu etnis, ras, agama dan golongan seringkali difungsikan sebagai instrumen untuk menarik dukungan grassroot. Situasi itu masih berlanjut pada era reformasi dimana terjadinya anarkhisme seringkali dipicu motif politik. Atas dasar fakta itu permasalahan pluralisme di Indonesia merupakan problem moral elit politik dan bukan pada level grassroot. Sebagaimana pandangan kesejarahan para leluhur Nusantara, virus anarkhisme itu ditransformasikan melalui budaya politik pragmatis yang datang dari luar (politik disintegrasi kekaisaran Cina, politik kolonial Eropa dan politik pragmatisme kelompok/golongan Komunis)

Akar pluralisme pada dasarnya nilai-nilai transendensi itu sendiri. Melalui kitab suci-Nya Tuhan telah memerintahkan ummat manusia agar tidak memusuhi penganut kepercayaan yang berbeda[4] dan tidak mempersoalkan perbedaan suku, bangsa, bahasa maupun warna kulit[5]. Implikasi transendensi juga menempatkan Tuhan pada posisi serba mutlak dan serba tinggi, sehingga tidak dibenarkan menuhankan manusia yang satu oleh manusia yang lain. Setiap orang harus menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan serta menjauhkannya dari bentuk-bentuk diskriminasi maupun eksploitasi antara yang satu dengan yang lain.

Berdasarkan telaahnya terhadap ayat-ayat tentang larangan syirik, Dr. Nurcholis Madjid mengidentikkan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai bentuk Syirik[6]. Ia mendasarkan pada keterangan kitab suci yang menyatakan manusia merupakan sebaik-baik ciptaan Tuhan dan akan terjatuh dalam poisisi hina dina kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal saleh (perbuatan baik yang berdampak pada kebaikan orang lain dan lingkungan sekitar). Diskriminasi dan eksploitasi terhadap manusia pada dasarnya menuhankan manusia atas manusia yang lain.

Perbendaharaan spiritual Jawa mempercayai adanya energi pembalikan atas bentuk-bentuk pencederaan —tanpa alasan yang dibenarkan— terhadap eksistensi kemanusiaan dan bahkan terhadap makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Sebagaimana nasehat yang isinya “Aja tansah gawe gelaning liyan, iku prasasat gawe gelaning awake dhewe” (jangan selalu membuat kecewa orang lain, sebab membuat kecewa orang lain itu akan membuat kecewa diri sendiri)[7]. Selain adanya energi pembalikan, pencederaan terhadap hakekat kemanusiaan dipercayai berdampak terhalangnya pencapaian seseorang dalam menemukan kesempurnaan hidup atau kebahagiaan tersejati.

Konsekuensi transendensi dan pengakuan hakekat kemanusiaan adalah menempatkan setiap manusia dan bahkan makhluk lainnya —termasuk alam sekitar— secara adil dalam proses interaksi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu perbendaharaaan spiritual Jawa juga menekankan untuk menghindari kebencian, karena menjadi sumber ketidakadilan dan konflik yang tidak ada akhir. “Aja sira gething marang liyan, jalaran iku bakal nandur cecongkrahan kang ora ana uwis-uwis” (janganlah mengajarkan kebencian terhadap sesama, sebab hal itu menanam percekcokan/ konflik yang tidak ada habis-habisnya)[8].

Secara sosial, sikap transendensi-penjiwaan pluralisme-penghargaan hakekat kemanusiaan akan melahirkan keadaban. Merupakan proses relasi sosial —baik dalam skala sempit hubungan antar manusia maupun dalam skala besar kemasyarakatan dan kebangsaan— yang harmonis, karena dibangun di atas ketulusan penghargaan kemerdekaan asasi masing-masing pribadi. Bukan saja antar hubungan manusia, harmoni akan tercipta manakala keadilan juga ditegakkan dalam proses relasi dengan alam sekitarnya. Dengan demikian kemerdekaan asasi masing-masing individu bukan berarti kebebasan tanpa batas, akan tetapi harus diletakkan dalam kerangka transendensi, keadilan dan keadaban.

Intolerasi atau pemaksaan, penghinaan, penistaan dan pencideraan terhadap sebuah keyakinan yang berbeda, merupakan tindakan yang tidak beradab. Begitu pula dengan pencideraan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, pencideraan terhadap nilai-nilai keadilan serta tindakan-tindakan destruktif merupakan bentuk sikap atau tindakan yang tidak beradab. Sebaliknya, tindakan tegas terhadap berbagai bentuk sikap, tindakan dan perilaku yang mencederai harkat dan martabat kemanusiaan, nilai-nilai keadilan dan keadaban tidak bisa dikatakan sebagai anti pluralisme, anti kemanusiaan dan keadilan.

Oleh karena itu rumusan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” mengamanatkan dua konsekuensi kepada Indonesia merdeka.

Pertama, bertanggung jawab mewujudkan pranata sosial kemasyarakat-kebangsaan-kenegaraan dalam konstruksi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Kedua, menindak tegas — secara preventif-edukatif maupun coersif— terhadap berbagai perilaku yang mencederai harkat martabat kemanusiaan, nilai-nilai keadilan dan keadaban.

Konsepsi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” harus dipahami dalam konteks kesetimbangan pengertian. Pada satu sisi menjunjung tinggi bentuk-bentuk kebebasan yang berkeadaban, namun pada saat yang bersamaan tidak mentolerir kebebasan yang tidak beradab (tindakan destruktif, pemaksaan kehendak, memicu disharmoni dan tindakan-tindakan sejenisnya).

Sikap tegas Presiden Soeharto terhadap idiologi komunis maupun apa yang disebutnya sebagai penghalang pembangunan harus dilihat secara komprehensif dalam perspektif amanat sila kedua Pancasila sebagaimana pengertian diatas. Melalui sikap tegasnya itu —salah satunya tercermin dalam kebijakan Petrus— ia hendak mewujudkan amanat Pancasila, bahwa negara mampu melindungi warganya dari bentuk-bentuk kebebasan yang yang tidak beradab. Sayangnya sejumlah kalangan menuding —secara membabi buta— sikap tegas Presiden Soeharto sebagai tindakan otoriter dan tidak memverivikasi lebih jauh bahwa perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan juga memerlukan keberanian melawan bentuk-bentuk kebebasan yang tidak beradab.

Tudingan salah konteks ini menyebabkan era reformasi —walaupun sistem besarnya mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan ketaatan hukum— seringkali menempatkan rakyat harus bertempur sendiri melawan berbagai bentuk tindak kekerasan, ketiadakadilan terselubung dan hegemoni pemegang kendali kekuasaan ekonomi maupun politik[9]. Kunci permasalahanya terletak pada rapuhnya penjiwaan idiologis “untuk apa kekuatan politik, ekonomi dan hukum diterapkan” dalam kerangka pembangunan peradaban Indonesia. Rapuhnya penjiwaan idiologis ini menyebabkan elemen-elemen penyelenggara negara, atau kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan dan mampu menguasai instrumen politik, ekonomi maupun hukum, menggunakannya —disadari atau tidak—- untuk tujuan-tujuan pragmatis, bukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bersama. Sebuah sistem yang penyelenggarannya mengalami krisis idiologis dan dikendalikan sikap pragmatis menyebabkannya tidak memiliki kekuatan dalam mewujudkan tegaknya harkat-martabat kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Sila kedua Pancasila tidak hanya mengamanatkan tanggung jawab internal skala kebangsaan dalam melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, tegaknya keadilan dan keadaban. Sebagaimana tercermin dalam rumusan paragraf keempat Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar, Indonesia merdeka juga diberi amanat untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Mengacu rumusan tersebut, keterlibatan Indonesia dalam kancah pergaulan internasional bukan semata-mata didorong oleh motif pragmatis[10] akan tetapi oleh motif tegaknya pranata dunia yang dibangun dalam kerangka penghargaan dan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban. Amanat tersebut memberikan tanggung jawab terhadap politik luar negeri Indonesia untuk menjalankan misi:

Perjuangan Pembebasan Kolonialisme

Diplomasi internasional Indonesia harus berada dalam koridor perjuangan untuk terwujudnya hak kemerdekaan atau kedaulatan setiap bangsa dan mendorong terhapuskannya penjajahan diatas dunia (amanat paragrap pertama UUD 1945). Amanat ini tidak hanya relevan manakala penjajahan fisik masih berlangsung. Dominasi dan campur tangan suatu negara terhadap negara lainnya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan merupakan soft colonialism yang juga harus dihapuskan[11]. Hak hidup berdaulat sebuah bangsa bersumber pada kenyataan bahwa eksistensi suku-bangsa di dunia merupakan keniscayaan penciptaan Tuhan[12]. Keberadaannya untuk saling melakukan perinteraksian positif-konstruktif demi kebaikan bersama dan tidak untuk saling menegasikan satu sama lain. Kontekstualisasinya pada hari ini dalam pergaulan internasional adalah sikap proaktif Indonesia dalam turut serta menciptakan pranata internasional yang terbebas dari hard colonialism dan soft colonialism dalam bentuk apapun.

Perjuangan Untuk Terwujudnya Perdamaian Dunia.

Misi politik luar negeri Indonesia harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya perdamaian dunia. Peran ini tidak hanya diukur dari partisipasinya dalam pengiriman pasukan perdamaian PBB, akan tetapi juga oleh inisiatif-kreatifnya dalam menyajikan konsep (road map) dan mediasi penyelesaian konflik yang terjadi di belahan-belahan dunia. Selain keterlibatan case per case penyelesaian konflik, politik luar negeri Indonesia juga harus secara proaktif dalam mewujudkan pranata internasional (konsensus-konsensus internasional melalui forum-forum internasional) yang bisa mengantarkan tercapainya perdamaian abadi (secara berkelanjutan) dalam masyarakat Internasional.

Pengalaman Indonesia sebagai negara multikultural akan mempermudahnya dalam memahami dan mengarifi keragaman masyarakat internasional. Salah satu syarat terwujudnya perdamaian abadi adalah terbebasnya pola relasi internasional dari bentuk-bentuk dominasi atau pemaksaan sistem dan cara pandang sebuah negara kepada negara lainnya[13]. Dominasi dan pemaksaan akan mengundang ketersinggungan hubungan antar negara yang dapat memicu lahirnya perasaan “kedaulatannya sedang dicederai“ sehingga memunculkan reaksi yang dapat menimbulkan konflik-konflik baru. Mengambil pelajaran manajemen pluralisme yang ada di Indonesia, harmoni masyarakat internasional tercipta manakala pola relasinya dibangun atas dasar pemahaman, penghargaan dan perlindungan terhadap kearifan masing-masing negara dan bangsa. Adanya komitmen penghargaan dan perlindungan dalam masalah itu akan meminimalisasi munculnya rasa curiga untuk sewaktu-waktu eksistensinya terancam oleh negara atau bangsa lainnya.

Perjuangan Terwujudnya Keadilan Sosial Masyarakat Internasional

Selain misi pembebasan kolonialisme dan terciptanya perdamaian dunia, misi politik luar negeri Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional. Manifestasi keadilan sosial itu adalah terwujudnya keadilan pola relasi (dalam berbagai bidang) antar negara dan antar kawasan, terbebaskannya penduduk dunia dari bentuk-bentuk diskriminasi, pencederaan harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan.

Ketidakadilan relasi antar negara dan antar kawasan (misalnya dalam bidang ekonomi) dapat memicu munculnya distabilitas antar negara dan antar kawasan. Begitu pula pembiaran berlangsungnya diskriminasi (pencederaan terhadap pluralisme), pencederaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan dalam sebuah negara ataupun kawasan tertentu juga akan memicu munculnya distabilitas kawasan. Selain tujuan harmoni, terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional merupakan tanggung jawab Ke-Tuhanan (sebagaimana tercermin dalam setiap misi kenabian) untuk terwujudnya tatanan dunia yang bebas dari diskriminasi (pencederaan terhadap pluralisme), pencederaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai keadilan.

Kontektualisasi misi tersebut bagi politik luar negeri Indonesia adalah peran aktifnya dalam forum-forum internasional untuk terciptanya konsensus dan tersedianya road map yang dapat membimbing terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat internasional. Termasuk proaktif Indonesia untuk secara kritis melakukan evaluasi apakah konsensus-konsensus internasional selama ini (dalam bidang ekonomi, resolusi-resolusi penyelesaian konflik maupun kebijakan lembaga-lembaga internasional) telah mencerminkan rasa keadilan sosial bagi seluruh komponen masyarakat internasional. Selain itu Indonesia juga harus secara proaktif dalam memperjuangkan implementasi konsensus dan road map itu dalam penyelesaian mikro-mikro persoalan ketidakadilan yang terjadi dalam dunia internasional.

Adanya ketiga amanat tersebut —perjuangan pembebasan kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional— maka politik luar negeri Indonesia dirumuskan dalam strategi “bebas aktif”. Bebas yang dapat diartikan tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral.

Pada era Presiden Soekarno, politik luar negeri itu diaplikasikan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari jepitan dua kekuatan imperalisme internasional, yaitu imperialisme Blok Barat dan Blok Timur yang berujung pada peristiwa berdarah G.30.S/PKI. Sedangkan pada era Presiden Soeharto, misi politik luar negeri itu diaplikasikan dan ditransformasikan melalui peran aktif-kreatifnya dalam lembaga regional (ASEAN), lembaga Internasional (PBB), Gerakan Non Blok maupun OKI (Organisasi Konferensi Islam). Peran aktif politik luar negeri yang dibalut dalam semangat perjuangan pembebasan kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional itu telah menjadikan kepemimpinan Presiden Soeharto diterima dan diakui secara meluas dalam dunia internasional. Bahkan Perdana Menteri Singapura Lew Kuan Yew secara terang-terangan mengakui terciptanya stabilitas bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lepas dari kepemimpinan Indonesia dalam forum regional itu.

Presiden Soeharto tampil dengan penuh percaya diri untuk secara konsisten menolak berbagai bentuk kolonialisme dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan melalui sikapnya terhadap Palestina dan Bosnia. Ia mengesampingkan superioritas Yahudi —yang bisa jadi menguntungkan ekonomi Indonesia— apabila menarik kebijakannya terhadap Palestina. Presiden Soeharto juga mengembangkan Asean way dengan mengedepankan dialog dalam penyelesaian konflik di negara-negara Asean. Ia juga mendorong negara-negara berkembang —dalam balutan gerakan Non Blok— untuk bahu membahu mengejar ketertinggalannya dari negara-negara barat dan menjaganya dari kemungkinan dijadikannya ajang konflik dua kekuatan blok besar dunia (barat dan komunis).

Penerimaan terhadap kepemimpinan Indonesia —khususnya oleh negara-negara Asean dan Gerakan Non Blok— dimungkinkan oleh adanya kepercayaan atas komitmen dan visi Indonesia dalam pergaulan internasional. Bahwa kehadirannya untuk secara bersama-sama melakukan perjuangan pembebasan berbagai bentuk kolonialisme, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional dengan tetap menghargai keragaman, prinsip dan kedaulatan masing-masing negara. Walaupun tidak memiliki instrumen penekan yang kuat —kekuatan militer, ekonomi dan lobi pada lembaga-lembaga internasional—, kekuatan visi yang disodorkan Indonesia menjadi magnitude solidaritas negara-negara Asean maupun Non Blok dan pada akhirnya memberikan kekuatan tersendiri bagi keberadaan Indonesia dalam panggung internasional.

Pada era reformasi, wacana politik luar negeri Indonesia lebih mengedepankan kepada isu-isu pragmatis, misalnya bidang ekonomi (khususnya statistik dagang) yang sejak awal memang tidak memiliki kekuatan untuk diperhitungkan. Indonesia juga terlarut pada agenda isu negara-negara barat seputar penegakan HAM, terorisme dan penyelamatan lingkungan tanpa secara kritis menempatkanya dalam kerangka relasi keadilan sosial dalam percaturan internasional. Isu-isu tersebut diterapkan secara membabi buta kepada negara-negara yang dianggapnya “tidak beradab” (pelanggar HAM, teroris dan kontributor kerusakan lingkungan) dengan standar dan perspektif yang ditetapkan secara sepihak oleh barat.

Terhadap isu-isu itu, Indonesia seakan tidak memiliki daya untuk menyodorkan evaluasi kritis dan perspektif berbeda. Misalnya konsep implementasi agenda-agenda itu tanpa harus mengusik kedaulatan, prinsip-prinsip dasar dan keragaman kearifan masing-masing bangsa. Adanya sodoran dan perjuangan Indonesia terhadap konsep itu memungkinkan implementasi agenda-agenda tersebut tidak mengarah atau dapat mencegah munculnya soft colonialism negara-negara barat (seperti halnya AS) terhadap negara-negara dan bangsa-bangsa diluarnya (kasus Afganistan, Iraq, dll).

***


[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan

[2]     Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm xxv

[3]     Tidak sedikit orang-orang nusantara yang menjadi pasukan kolonial Belanda dan bersedia diadu dengan kalangan pejuang.

[4]     Lihat keterangan Nomor 12, Tuhan memerintahkan menghargai terhadap keyakinan yang berbeda, hanya diperkenankan memusuhi yang zalim (berbuat aniaya, kerusakan). Sedangkan berdasarkan Q.S, 3:64, Tuhan memerintahkan untuk mengajak Ahli Kitab —dengan berdialektika secara baik—, untuk bersatu dalam titik kesamaan antara  semuanya, yaitu iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan hanya beribadat kepada-Nya. Apabila berpaling terhadap peringatan itu  maka diperintahkan untuk menegaskan dirinya sebagai orang yang tunduk, pasrah kepada-Nya (Muslim), dan tidak diperintahkan untuk memusuhi.

[5]     Q.S, 30:22; “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” .

[6]     Syirik —menyekutukan Tuhan dengan yang lain— merupakan dosa besar dan paling dibenci Tuhan dimana dosanya tidak terampuni.

[7]     Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik, (Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 168

[8]     Ibid

[9]     Hukum masih bisa dijadikan sebagai komoditas bagi orang-orang yang mampu membelinya, sehingga “masyarakat tidak mampu secara ekonomi” belum memiliki kesetaraan dalam penegakan hukum. Sebagai contoh adalah: (1)  orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomi ketika berhadapan dengan manajemen rumah sakit (kasus Prita), (2) TKI berhadapan dengan Tekong/Majikan, (3) lumpuhnya Pemerintahan Daerah karena lambannya penanganan korupsi para pejabat puncaknya. Akibatnya stabilitas pemerintahan terganggu  —tidak mampu merumuskan program pembangunan yang baik dan berkelanjutan—, sehingga anggaran yang diserap dari pajak rakyat tidak bisa dimaksimalkan untuk sebesarnya-besarnya kesejahteraan. Bukti lain masyarakat harus bertempur sendiri adalah berlangsungnya berbagai bentuk kekerasan di masyarakat seperti pembunuhan, mutilasi, perampokan, dll, merupakan cerminan ketidakberdayaan aparat.

[10]    Misalnya hanya untuk kepentingan keuntungan dalam kerangka kerjasama ekonomis maupun dominasi peran dalam kancah internasional.

[11]    Sebagai contoh adalah perlunya verifikasi, apakah misi pasukan AS dan sekutunya di Iraq dan Afganistan berdasar pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan dalam etika pergaulan internasional atau merupakan bentuk-bentuk kolonialisme yang harus dilawan.

[12]    Sebagaimana keterangan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia!. Sungguh, Kami telah menciptakan Kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan Kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulai diantara Kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

[13]    Baik pemaksaan secara langsung maupung melalui lembaga-lembaga internasional

Penulis : Abdul Rohman

Konsepsi Peradaban Pancasila 
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6