PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Konsepsi Peradaban Pancasila, Kesatupaduan Tekad Menegakkan Kedaulatan Bangsa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,

Konsepsi Peradaban Pancasila (Bagian 4)

Konsekuensi sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia” bukan saja mengamanatkan terjaganya teritori fisik wilayah Indonesia dari penguasaan pihak-pihak lain. Sebagai konsekuensi ditetapkannya orientasi transendensi (sila pertama) dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan-keadilan yang berkeadaban (sila kedua) dalam penyelenggaraan negara, sila ketiga mengamanatkan perlunya kebulatan tekad seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Amanat sila ketiga ini juga mencakup tanggung jawab dalam mewujudkan pelaksanaan prinsip “kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” dalam penyelenggaraan negara (sila keempat) dan keadilan sosial seluruh rakyat (sila kelima) dalam rangka pembangunan peradaban. Dengan demikian sila ketiga pancasila mengamanatkan tiga hal. Pertama, adanya kebulatan tekad (komitmen) seluruh komponen bangsa untuk menjaga teritori fisik Indonesia untuk tetap menjadi bagian NKRI. Kedua, kebulatan tekad seluruh komponen bangsa untuk secara bersama-sama mewujudkan peradaban yang diletakkan dalam kerangka transendensi, perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan yang berkeadaban, kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam penyelenggaraan Negara dan keadilan sosial yang merata di seluruh wilayah NKRI. Ketiga, kebulatan tekad untuk menjaga kedaulatan seluruh potensi strategis yang dimiliki bangsa Indonesia untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan dalam mewujudkan cita-cita pembangunan peradaban Indonesia —termasuk untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat— dan menjaganya dari kemungkinan penggunaan pihak-pihak tertentu —baik dari dalam negeri maupun luar negeri— untuk tujuan sebaliknya. Ketiga konsekuensi tersebut dibalut dalam sebuah komitmen “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” sebagaimana amanat paragrap keempat UUD 1945.

Pengingkaran terhadap sila ketiga merupakan bentuk separatisme/ pemisahan dari kebulatan tekad bersama —sebagaimana tiga konsekuensi diatas— walaupun seringkali hanya dipahami dalam aspek fisik (pemisahan dari komitmen keutuhan wilayah NKRI yang terbentang dari Sabang hingga Merauke). Separatisme fisik relatif mudah diidentifikasi dan diantisipasi, sedangkan separatisme non fisik —pemisahan dari kebulatan tekad untuk mewujudkan pembangunan peradaban yang diletakkan dalam kerangka transendensi, kemanusiaan-keadilan-keadaban, kedaulatan rakyat dalam hikmat kebijaksanaan dan keadilan sosial yang merata— merupakan hal lain yang sulit diidentifikasi.

Sebagai contoh separatisme non fisik adalah bentuk-bentuk transaksional pengendali kebijakan —atas motif-motif pragmatis pribadi maupun golongan— sehingga menyebabkan terserahkannya potensi-potensi atau kendali kebijakan strategis kepada pihak asing, yang dampaknya dapat berpengaruh terhadap kedaulatan bangsa. Separatisasi non fisik seringkali hanya disebut sebagai “tidak nasionalis” walaupun esensinya sama dengan separatisasi fisik, yaitu hilangnya kendali bangsa atas asset strategis yang dimilikinya sehingga menghambat pembangunan peradaban bangsa.

Presiden Soeharto selama pemerintahannya mempopulerkan “early warning system” —sistem peringatan dini— dari ancaman separatisasi fisik maupun non fisik berupa konsep kewaspadaan ketat terhadap Ancaman-Tantangan-Hambatan-Gangguan (ATHG)[2], baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Potensi ATHG dalam negeri berupa bentuk-bentuk sikap atau perilaku yang berusaha mencederai komitmen teritori fisik dan cita-cita pembangunan peradaban sebagaimana diamanatkan Pancasila. Sedangkan ATHG dari luar negeri berupa upaya-upaya kalangan-kalangan asing tertentu (bisa negara, bisa kelompok kepentingan tertentu) yang berusaha melakukan pengendalian kebijakan maupun potensi strategis yang dampaknya dapat mempengaruhi kedaulatan bangsa. Pada era kepemimpinannya, bentuk-bentuk akuisisi atau aneksasi wilayah tidak lagi populer dalam hubungan antar bangsa, sehingga potensi ancaman fisik terhadap keutuhan NKRI hanya berasal dari konflik perbatasan.

Early warning system terhadap potensi ATHG dari dalam negeri, pada pemerintahan Presiden Soeharto dilakukan dalam bentuk edukasi publik secara komperehensif (toleransi beragama, pembinaan keluarga sadar hukum/ kadarkum, P4 dan wawasan Nusantara). Edukasi publik dilakukan untuk meminimalisasi potensi disintegrasi yang disebabkan tidak lengkapnya pamahaman dan penjiwaan sebagian masyarakat terhadap: (1) orientasi transendensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (2) pemahaman terhadap tegaknya nilai-nilai keadilan dan keadaban sehingga membuka peluang munculnya “kebebasan yang tidak beradab”, (3) Kedaulatan penuh atas teritori fisik dan potensi strategis Indonesia, (4) konsepsi “kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”, (5) komitmen dan strategi mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat.

Konflik agama, ketimpangan keadilan, kebebasan yang tidak beradab, rendahnya rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap teritori fisik dan potensi strategis Indonesia, kedaulatan rakyat yang tidak dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan dan disparitas sosial dapat menjadi tombol pemicu terjadinya disintegrasi bangsa. Edukasi publik dalam masalah tersebut akan melahirkan pemahaman komprehensif dan bermuara dalam meningkatkan kualitas kontrak sosial (konsensus bersama) sebagai sebuah bangsa. Edukasi publik juga berdampak dalam menanamkan sense of belonging (rasa kepemilikan) bahwa cita-cita mewujudkan peradaban Nusantara merupakan tanggungjawab bersama dan bukan tanggung jawab sekelompok orang atau aparat negara saja.

Sedangkan early warning system dalam menghadapi potensi ATHG dari luar negeri dilakukan dengan secara proaktif membangun konsensus dengan negara atau bangsa-bangsa lain —khususnya negara-negara tetangga— dengan prinsip hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati. Pinsip ini dijalankan dengan penuh komitmen sehingga konflik antar negara, khususnya masalah perbatasan tidak menimbulkan ketegangan kolektif sebagaimana kasus konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia pada era reformasi.

Tindakan lain untuk mencegah terjadinya separatisasi non fisik, pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan protective list terhadap aset-aset strategis agar pengelolaanya tidak jatuh ke tangan asing. Sebagai contoh adalah pembatasan keterlibatan swasta asing terhadap industri strategis seperti bidang perminyakan dan pertambangan, industri telekomunikasi (Telkom dan Indosat/ Satelit Palapa) maupun bidang-bidang yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak seperti Bulog. Bidang-bidang strategis tidak diserahkan pengelolaanya kepada swasta/ asing (diliberalisasi) untuk tetap menjaga agar sektor ekonomi tidak dijadikan sebagai instrument kendali atas kedaulatan Indonesia.

Selain edukasi publik, pemerintahan Presiden Soeharto juga melakukan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang memaksakan diri melakukan gerakan separatis secara fisik, seperti halnya pemisahan Timor-Timur —ketika masih menjadi bagian dari Indonesia—, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan Papua Merdeka. Tindakan-tindakan tegas kepada daerah-daerah tersebut telah membuahkan tudingan pelanggaran HAM dari berbagai pihak. Namun apabila melacak tradisi peradaban Nusantara yang tidak mengenal genocide —seperti runtuhnya suku Aborigin di Australia dan suku Indian di Amerika—, operasi militer TNI era Presiden Soeharto ke daerah-daerah tersebut masih tergolong manusiawi dan bisa jadi blow up kekejamannya melebihi fakta. Penyimpulan itu diukur dari luasan wilayah operasi dan anggota kelompok separatis yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah kekuatan TNI[3]. Apabila operasi militer di daerah tersebut benar-benar ditujukan untuk penumpasan fisik, maka dalam waktu singkat tidak lagi dijumpai kelompok separatis di Indonesia, karena semua personilnya telah ditembak mati.

Tetap eksisnya sejumlah kecil kelompok separatis di daerah-daerah tersebut dalam waktu yang lama, menunjukkan anggota TNI lebih banyak mengedepankan operasi teritorial daripada  operasi tempur. Selebihnya, operasi penumpasan kelompok separatis dilakukan dengan penyadaran atau dengan membatasi ruang gerak mereka dan bukan membabat habis. Hal yang perlu dicatat adalah masih eksisnya masyarakat etnis (suku) di daerah-daerah basis separatis. Hal ini menunjukkan selektifitas TNI untuk hanya menindak pelaku separatis dan tidak melakukan tindakan bumi hangus sehingga mengorbankan anggota masyarakat lainnya. Walaupun —sebagaimana umumnya operasi-operasi militer di negara-negara yang mengklaim paling demokratis sekalipun— sangat sulit menghindari jatuhnya korban dari pihak sipil, namun operasi-operasi militer TNI masih tetap menjaga eksistensi suku-suku bangsa yang ada di Indonesia.

***


[1]       Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan

[2]       Urutan singkatan ini didasarkan pada eskalasi tingkat bahaya kepada negara mulai dari “gangguan” yang skala eskalasinya paling ringan sampai dengan “ancaman” yang skala eskalasinya paling berat terhadap keselamatan bangsa dan negara.

[3]       Total penduduk satu provinsi di daerah konflik, lebih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk satu Kabupaten kecil di Jawa.

Penulis : Abdul Rohman

Konsepsi Peradaban Pancasila :