PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Netralisasi Satuan-Satuan Pendukung FDR Madiun

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Letkol Soeharto merupakan salah satu bagian skenario Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam menetralisir pemberontakan FDR/PKI Madiun tahun 1948. Penugasan Letkol Soeharto merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana Panglima Jenderal Sudirman menjadikan Divisi III/Diponegoro sebagai instrumen penengah konflik antar kesatuan ketentaraan yang terjadi pada saat itu.

Infiltrasi PKI telah menyebabkan konflik antara Divisi Siliwangi (yang baru long march dari Jawa Barat menuju Ibukota Yogyakarta sebagai konsekwensi perjanjian renvile) dan kesatuan Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) nyaris mengalami jalan buntu. Kedua belah pihak (brigade-brigade siliwangi dan KPPS) bertempur secara fanatik. Tidak jarang perkelahian perorangan dengan sangkur terjadi. Konflik ini benar-benar tajam. Panglima Besar Jenderal Sudirman bahkan hampir memenuhi tuntutan KPPS untuk mengeluarkan kesatuan Siliwangi dari Surakarta, namun atas masukan dari para stafnya (termasuk AH. Nasution), rencana tersebut dibatalkan.

Penyelesaian konflik tentu tidak cukup di atas meja, namun juga harus dilakukan gelar pasukan yang disegani kedua belah pihak untuk menjadi penengah. Sebagai solusi, selain menempatkan sosok tegas Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta, Jenderal Sudirman melibatkan Divisi III Diponegoro (sebagai satuan ketentaraan yang tidak terlibat konflik) untuk turut menengahi konflik, yaitu:

Pada tanggal 17 September 1948 Jenderal Sudirman memerintahkan Batalyon Suryo Sumpeno Divisi III/Diponegoro berangkat ke Solo untuk melapisi kekuatan Kolonel Gatot Subroto melerai tembak menembak antara Divisi Siliwangi dengan KPPS.

Pada tanggal 21 September 1948 Panglima Besar Jenderal Sudirman mengajak Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/Diponegoro melakukan konsolidasi pasukan di Solo. Salah satu misinya adalah melakukan konsolidasi untuk menyatukan kembali kekuatan-kekuatan TNI yang selama ini bertikai akibat infiltrasi PKI.

Pada tanggal 21 September 1948 tidak semua komandan pasukan  menghadap Kolonel Gatot Soebroto sebagaimana tenggat ultimatum yang sudah ditetapkan. Diantara Komandan yang membangkang dan tidak memenuhi ultimatum itu adalah Letkol Suadi Suromihardjo (Komandan KPPS), Mayor Slamet Riyadi dan Mayor Soediarto. Masalah tersebut apabila tidak segera diselesaikan akan memperlemah kekuatan TNI dimana pada tanggal 19 sebelumnya, FDR telah mengumumkan perlawanannya terhadap Republik Indonesia. Untuk menetralisasi pembangkangan, Jenderal Sudirman memerintahkan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X Divisi III Diponegoro Yogyakarta  untuk menetralisasi keterlibatan lebih jauh Letkol Suadi Suromihardjo dalam Gerakan FDR/PKI Madiun dan mengembalikannya kedalam barisan republik.

Upaya meyakinkan Letkol Suadi Suromihardjo tidak berjalan mulus. Selain sudah terkena doktrin FDR/PKI, Letkol Suadi Suromihardjo sudah barang tentu menghitung dampak pembangkangannya terhadap ultimatum Kolonel Gatot Subroto. Ia justru memanfaatkan kedatangan Letkol Soeharto ke Wonoigiri menemui dirinya, untuk melaksanakan misi Djoko Suyono (komandan militer pasukan-pasukan PKI) yang hendak menunjukkan bahwa keadaan Madiun aman dan tertib serta pemerintahan Front Nasional yang baru dibentuknya berjalan dengan baik. Pada tanggal 22 September 1948, Djoko Suyono mengumumkan undangan kepada Panglima Pertahanan Jawa Timur, Komandan Brigade Mobil Polisi dan Komandan-Komandan lain di seluruh daerah RI untuk menghadiri konferensi di Balai Kota Madiun. Letkol Sadikin (Brigade II Siliwangi berkedudukan di Surakarta) juga diundang akan tetapi tidak hadir walaupun pemerintah Front Nasional Madiun memberikan jaminan keamanan.

Letkol Soeharto mengakui menuruti ajakan Letkol Suadi Suromihardjo, sebab kalau tidak menuruti nanti disangkanya tidak berani. Apalagi dirinya sedang menjalankan misi sebagai utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan tugas membujuk Letkol Suadi Suromihardjo agar yang bersangkutan melepaskan dukungannya terhadap FDR/PKI. Sikap baik terhadap Letkol Suadi Suromihardjo perlu ditunjukkan agar upayanya mengajak kembali kedalam barisan republik juga ditanggapi dengan baik. Akhirnya Letkol Soeharto datang ke Madiun dan oleh Letkol Suadi Suromihardjo dipertemukan dengan Muso di Karesidenan. Kepergian Letkol Soeharto ke Madiun memicu anggapan sementara kalangan bahwa ia menghadiri konferensi di Balai Kota sebelum akhirnya pulang kembali ke Wonogiri bersama Letkol Suadi Suromihardjo.

Kesediaan Letkol Soeharto memenuhi ajakan Letkol Suadi Suromihardjo pergi ke Madiun, sebenarnya merupakan bentuk kesungguhan seorang perwira muda menjalankan misi yang dibebankan Panglimanya. Ia tidak mungkin bergegas pulang dengan tangan kosong sebelum misinya berhasil meluluhkan sikap Letkol Suadi Suromihardjo dari dukungannya terhadap FDR/PKI. Maka dia penuhi “tantangan” Letkol Suadi Suromihardjo walaupun harus melewati resiko yang dapat saja membahayakan keselamatan jiwanya. Tentunya, selama melakukan perjalanan bersama itu, Letkol Soeharto dan Letkol Suadi Suromihardjo mendiskusikan banyak hal tentang pesan Panglima Jenderal Sudirman seperti implikasi destruktif apabila gerakan FDR/PKI tidak dihentikan dan masa depan karir militernya setelah melakukan pembangkangan terhadap ultimatum Kolonel Gatot Subroto.

Kapten Tjokropranolo didampingi Kapten Soetanto Wiryoprasanto dan Kapten CPM Ali Aliamangku (CPM Siliwangi) —atas penugasan Jenderal Sudirman— akhirnya berhasil menghadapkan Mayor Slamet Riadi dan Letkol Suadi Suromihardjo. Mayor Slamet Riadi diketemukan di lereng selatan Gunung Merapi dan Letkol Suadi Suromihardjo diketemukan di Wonogori. Keberhasilan Kapten Tjokropranolo itu tentunya setelah Letkol Suadi Suromihardjo berhasil diyakinkan untuk kembali bergabung dengan pihak Republik oleh Letkol Soeharto. Begitu pula dengan posisi Letkol Suadi Suromihardjo berada, tidak lain merupakan informasi yang diberikan Letkol Soeharto kepada Jenderal Sudirman. Suatu hal yang mustahil bagi tiga orang kapten “membawa” Panglima KPPS —yang pada saat itu berada dalam wilayah/ perlindungan TLRI pimpinan Yadau dan Batalyon Soedigdo Honggotirtono yang mundur ke Wonogiri, dimana kedua satuan tentara tersebut berpihak kepada FDR/PKI—. Keberhasilan Kapten Tjokropranolo hanya dimungkinkan atas kehendak Letkol Suadi Suromihardjo sendiri setelah berhasil dinetralisasi Letkol Soeharto dari pengaruh PKI. Keberhasilan membawa kembali Letkol Suadi Suromihardjo menyebabkan dukungan KPPS terhadap FDR/PKI mengalami disorganisasi dan KPPS mampu dikonsolidasi kembali untuk berada dalam barisan Republik.