PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Aktor Utama Serangan Umum 1 Maret 1949

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Letkol Soeharto merupakan aktor utama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Keberhasilan serangan ini menjadi modal utama dalam melicinkan pintu diplomasi Indonesia di forum internasional sehingga Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan. Rencana Belanda hendak menguasai kembali Indonesia yang pada awalnya didukung sekutu dapat dipatahkan.

Ada banyak pihak yang meragukan Letkol Soeharto sebagai aktor utama Serangan ini. Namun mencermati fakta dan situasi yang mengitarinya, keragu-raguan itu dengan sendirinya terpatahkan. Fakta-fakta tersebut antara lain:

1. Sistem Wehrkreise

Tusukan Belanda melalui Agresi I tanggal 21 Juli 1947, dan secara sepihak menetapkan garis “status quo” baru yang dinamai “Garis Van Mook” (23 Agustus 1947) telah mempersempit wilayah Indonesia. Kenyataan tersebut mendorong penyempurnaan strategi perjuangan TNI dalam bentuk Wehrkreise sebagai pangkal perlawanan terpadu antara Pemerintahan RI tingkat kecamatan, desa, rayat dan tentara. Wehrkreise merupakan skema perjuangan militer yang pada dasarnya membagi-bagi suatu daerah pertempuran kedalam lingkaran-lingkaran (bahasa Jerman “kreise”) yang dapat mengadakan pertahanan (bahasa Jerman “wehr”) secara sendiri-sendiri. Semua tenaga manusia dan materiil serta bahan-bahan yang berada dalam lingkaran-lingkaran itu diintegrasikan. Konsep ini pada segi taktis militer dilengkapi dengan strategi gerilya. Sebagai komandan Brigade X/ Wehrkreise III Yogyakarta, Letkol Soeharto merupakan penanggung jawab perjuangan di wilayah Yogyakarta. Maka menjadi sangat logis apabila dirinya mengambil inisiatif, merencanakan, memobilisasi kekuatan dan sekaligus memimpin serangan Umum 1 Maret 1949. Bahwa dalam perkembanganya —setelah konsep dan persiapan serangan mulai terkonsolidasi— terdapat berbagai pihak memberikan masukan ataupun dukungan dan mengklaim memiliki (atau diduga memiliki) peran besar dalam merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949, sebenarnya dapat dikonforontasikan dengan sifat serangan itu sendiri yang jelas-jelas merupakan domain strategi perang dalam skema Wehrkreise.

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 murni keberhasilan taktik militer. Taktik peperangan dalam kasus Serangan Umum 1 Maret 1949 meliputi mekanisme mobilisasi pasukan, penyusupan pasukan ke titik-titik serang, percikan-percikan pertempuran gerilya sebelum serangan besar, aspek pendadakan serangan pada hari H, orisinalitas sandi melalui simbolisasi janur kuning, dan mekanisme mundurnya pasukan tanpa membawa implikasi bumi hangus bagi masyarakat sipil. Serangan dilakukan dengan begitu terintegrasi dan serentak di dalam kota maupun titik-titik serang melingkari kota. Semua ruang gerak tentara Belanda telah ditutup dengan serangan gencar, sehingga selama enam jam keberadaan tentara Belanda —yang begitu perkasa ketika menerobos masuk Yogya— menjadi “mati suri” tanpa bisa menyajikan perlawanan berarti.

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya dimungkinkan oleh keberadaan komando tunggal —yang memiliki kendali penuh atas setiap lini kekuatan tempurnya— dalam mengaplikasikan strategi perang yang telah direncanakan. Kemampuan menyusun “taktik perang” dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya dimiliki seorang komandan terlatih yang memang menguasai strategi sekaligus memahami medan pertempuran yang dihadapi.

2. Para Pimpinan TNI Bergerilya

Bersamaan dengan Agresi Belanda II, para pimpinan TNI bergerilya ke daerah-daerah pedalaman yang jauh dari Ibukota. Menjelang maupun pada saat terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, selain dipisahkan jarak, juga dihadapkan oleh kendala komunikasi. Maka perintah serangan pada esensinya tidak berasal dari struktur militer yang lebih tinggi, namun oleh sistem wehrkreise yang mengamanatkan komandannya untuk mengambil inisatif pertahanan atas wilayahnya masing-masing.

Sebagai komandan wilayah Ibukota, Letkol Soeharto dituntut mengambil tindakan cepat untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap eksistensi TNI. Oleh karena itu setelah menyaksikan pertahanan Ibukota begitu mudahnya ditembus pasukan Belanda, ia segera memobilisir pasukan yang ditempatkan diluar kota untuk segera menyusun setor-sektor pertahanan mengililingi Ibukota maupun di dalam kota sendiri. Setelah persiapan dirasa cukup, ia memerintahkan pasukannya melakukan serangan kecil-kecilan untuk mengelabuhi kesigapan tentara Belanda. Sehingga ketika pada hari H serangan umum dilakukan, pasukan Belanda menjadi sangat terkejut karena tidak menduga akan memperoleh serangan sebesar itu.

Dalam kondisi terpisah dan terputus komunikasi dengan struktur kemiliteran yang lebih tinggi, maka kendali penuh atas wilayah Yogyakarta berada di tangan Letkol Soeharto. Begitu pula dalam konteks Serangan Umum 1 Maret 1949, perencanaan, mobilisasi pasukan dan penyiapan strategi perang merupakan inisiatif sepenuhnya komandan Brigade X/ Wehrkreise III Yogyakarta.

3. Penolakan Serah Terima

Keberadaannya sebagai komando tunggal wilayah perang Yogyakarta tercermin dari kepercayaan diri Letkol Soeharto ketika menolak melakukan serah terima Kota Yogyakarta dari Belanda kepada TNI. Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 segera membuat redup pamor Belanda di dunia internasional dan meja perundingan. Melalui perjanjian Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 diputuskan pasukan Belanda harus segera meninggalkan Yogyakarta. Sementara itu pasukan RI dengan segenap aparat pemerintahanya kembali memasuki Yogyakarta.

Letkol Soeharto menolak serah terima karena menurut pendapatnya Belanda tidak pernah berkuasa di Yogya. Bahkan ketika dirinya memperoleh tekanan dari Sultan untuk melakukan serah terima, sikap itu tetap dipertahankan dengan memberikan penjelasan kenapa ia bersikukuh dengan sikapnya. Walaupun para pejabat politis melakukan kompromi-kompromi dengan menunjukkan sikap akomodatif kepada Belanda, Letkol Soeharto —sebagai representasi rakyat dan TNI yang hatinya terluka— tetap mempertahankan sikapnya dengan membiarkan pasukannya siaga tempur. Ia tidak menganggap eksistensi pasukan Belanda di Yogyakarta dan akan melakukan perjuangan hingga detik terakhir manakala pasukan itu tidak segera ditarik pergi dari wilayah Yogya. Hal itu menandakan ia telah mempersiapkan segala implikasi penolakan serah terima. Sikapnya itu membuat gusar Sultan HB IX sebagaimana tercermin dari sepucuk suratnya kepada Letkol Soeharto yang isinya “Overste Soeharto, kalau Overste tidak mendukung saya, mandate akan saya kembalikan”. Namun Letkol Soeharto tetap tidak bergeming. Bahkan Panglima Besar Sudirman menjuluki Letkol Soeharto sebagai “bunga pertempuran” dalam peristiwa Serangan Umum 1 maret 1949. Bahkan Letkol Soeharto lah yang berhasil meyakinkan Panglima Besar Jenderal Sudirman kembali ke Ibukota. Pada saat Panglima Besar itu dilanda ketidakpercayaan kepada para pimpinan politik.