Pak Harto Membangun Dunia Pendidikan
Oleh : Bakarudin
I. Pengantar
“Presiden
Soeharto memiliki konsep universal tentang dunia pendidikan, karena
mampu memaparkan secara rinci kendala yang dihadapi bangsanya, sekaligus
memiliki konsep penanggulangannya.”
Kalimat
di atas diucapkan Direktur Jenderal UNESCO Prof. Federico Mayor ketika
pertama kali berkunjung ke Jakarta dan bertemu Presiden Soeharto.
Kemudian pada tanggal 19 Juni 1993 UNESCO memberikan penghargaan Avicenna Medals (Medali Ibn Sena) kepada Pak Harto sebagai Tokoh Pendidikan Internasional. Avicenna Medals memiliki peringkat tertinggi bagi UNESCO. Dan Pak Harto adalah Presiden pertama penerima Avicenna Medals.
Avicenna Medals
diberikan kepada seseorang yang mampu mengembangkan seluruh misi
UNESCO, yaitu mengembangkan kemajuan pendidikan dan kebudayaan
masyarakat dalam arti luas. Istilah Avicenna sendiri mengacu dari
nama cendekiawan muslim yang berprofesi sebagai dokter, pendidik maupun
juru dakwah. Semasa hidupnya (980-1037 M) Avicenna yang nama aslinya Abu Ali al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina banyak menyumbangkan pikiran sebagai peneliti ilmu kedokteran maupun keagamaan yang dituangkan dalam bentuk buku.
Prestasi
Presiden Soeharto dalam pembangunan pengembangan pendidikan terlihat
dari kondisi partisipasi anak usia 6 sampai dengan 12 tahun yang
menikmati pendidikan mencapai 97 persen. Bentuk lembaga pendidikan dasar
tersebut bukan hanya SD Negeri atau swasta saja, melainkan melalui
lembaga atau organisasi keagamaan dan kebudayaan, seperti Madrasah
Ibtidaiyah, Taman Siswa dan pesantren anak-anak. Yang mendapat banyak
perhatian dari UNESCO adalah komitmen Presiden Soeharto dengan program
Pemberantasan Tiga Buta. Yakni : buta aksara latin dan angka, buta
bahasa Indonesia, serta buta pendidikan dasar.
Porsi
anggaran pendidikan dalam APBN sendiri semakin meningkat. Presiden
Soeharto mengatakan pendidikan menduduki posisi yang sangat penting
untuk membangkitkan potensi manusia Indonesia, sehingga menjadi kekuatan
pembangunan. Secara bertahap setelah program pendidikan dasar
diimplementasikan, Presiden Soeharto terlihat berupaya mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sistem pendidikan nasional yang
sesuai dengan ciri kehidupan Indonesia. Pada saat menerima Avicenna Medals,
Presiden Soeharto mengatakan, penghargaan tersebut diberikan untuk
seluruh rakyat Indonesia. Kendati demikian dalam pandangan Presiden
Soeharto pembangunan pendidikan harus terus digalakkan dan ditingkatkan.
Tentu
sangat tidak mudah mendorong masyarakat untuk mau mengikuti pendidikan,
mengingat masyarakat desa dan juga kota-kota tentu disibukkan dengan
kegiatan mencari nafkah. Tetapi, pemerintah berhasil membangkitkan
kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Bisa membaca dan berhitung itu
menjadi modal dalam mengarungi kehidupan. Dengan demikian, melek huruf, melek angka, dan melek
bahasa Indonesia berhasil menembus hutan rimba seperti di Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Jaya (kini Papua). Sungguh prestasi luar biasa bagi
pemerintahan Presiden Soeharto pada masa tersebut.
II. Implementasi Nilai Jati Diri Bangsa dalam Era Orde Baru
Penerapan
nilai jati diri bangsa pada era Orde Baru dalam membangun karakter
untuk memperkuat bangsa adalah berpedoman kepada nilai jati diri bangsa
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Grand konsepnya yang terkenal
adalah kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Artinya semua pandangan, pemahaman, sikap dan perilaku
bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap
warga negara dan penyelenggara negara harus berlandaskan kepada
nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi.
Pandangan dalam perspektif bangsa merdeka, bangsa pejuang, bangsa
religius dan bangsa pancasilais didasarkan pada parameter Pancasila dan
UUD 1945 Proklamasi.
Untuk
memperkuat pandangan dan pemahaman serta penerapan nilai jatidiri
bangsa yang pancasilais, Presiden Soeharto membentuk sebuah badan negara
non departemen yang memiliki tugas khusus untuk membangun karakter
bangsa yang merdeka, pejuang, religius dan Pancasilais yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 Proklamasi. Badan tersebut diberi nama BP-7
(Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila)yang memiliki cabang tersebar hingga ke seluruh
daerah tingkat Kabupaten/Kota. Sasaran masyarakat yang dilakukan
pembinaan P-4 nya menggapai seluruh lapisan tanpa kecuali. Lapisan
masyarakat (strata sosial) meliputi institusi pemerintah, organisasi
sosial kemasyarakatan, orsospol, pelajar dari semua tingkatan (SD, SMP,
SLTA, PT). Masyarakat yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar
negeri (Kedubes RI). Internalisasi nilai jati diri bangsa menyentuh
seluruh lapisan masyarakat. Nilai kemerdekaan, kejuangan, keagamaan dan
pancasilais terpatri dalam dada dan hati nurani rakyat seluruh bangsa
Indonesia. Implikasinya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang gandrung
akan gotong royong, setia kawan, saling tolong menolong, toleransi dalam
kerukunan hidup beragama. Hormat, taat dan tertib dalam semua aspek
kehidupan.
Nilai jatidiri asing (western)
yang masuk di Indonesia pada era ini mengalami kesulitan “akut“ untuk
dapat masuk mempengaruhi pengetahun, pemahaman dan tindakan bangsa
menurut nilai barat atau nilai yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila,
seperti nilai komunisme dari Eropa Timur dan nilai free fight
liberalism dari Eropa barat . Demikian juga dengan penggunaan bahasa
asing diganti dengan bahasa Indonesia dalam reklame, media massa
dibatasi jumlah dan dilakukan kontrol yang ketat terhadap isinya (content) nya.
Penerapan
nilai jati diri bangsa merdeka semua diarahkan sesuai nilai Pancasila
dan UUD 1945 Proklamasi. Kebebasan boleh terjadi pada setiap warga
negara namun tetap dalam koridor kebebasan yang bertanggungjawab.
Demonstrasi boleh asal tidak mengganggu stabilitas pembangunan.
Kebebasan boleh tapi tidak boleh menganggu ketenteraman umum, dan
seterusnya. Kehidupan beragama berjalan rukun tampa ada konflik yang
dapat mengorbankan jiwa dan raga seperti sekarang. Nilai jati diri
bangsa pejuang berlangsung sangat hidmat. Terlihat dari penghormatan
terhadap para pahlawan, simbol –simbol kenegaraan, upacara –upacara
berlangsung sangat tertib di semua aspek kehidupan. Penghormatan
terhadap jasa-jasa orangtua, pemimpin, guru serta dosen dalam mendidik
generasi sangat mengharukan serta membanggakan. Tentu tak ada gading
yang tak retak.
III. Mendorong Pencerdasan Bangsa
Lebih
dari itu, Presiden Soeharto menyadari bahwa biaya pendidikan cukup
mahal bagi banyak masyarakat Indonesia. Sebab itu, kemudian Pak Harto
membentuk Yayasan Supersemar dengan tugas memberikan beasiswa kepada
para pelajar dan mahasiswa yang tidak mampu dan berprestasi. Pada
tanggal 16 Mei 1974, Pak Harto mendirikan Yayasan Supersemar. Anak-anak
Indonesia yang tidak mampu namun berprestasi tersebut merupakan potensi
dan menjadi aset negara, yang kelak akan memberikan sumbangan besar
kepada kemakmuran Indonesia.
Pada
tahun 1985, misalnya, Yayasan Supersemar sudah mampu memberikan
beasiswa kepada sebanyak 6.000 mahasiswa. Sementara lulusan perguruan
tinggi yang pernah mendapat beasiswa sudah sebesar 5.000 orang.
Keberhasilan Yayasan Supersemar memberikan beasiswa tidak terlepas dari
kepiawaian pengelolaan dana yang dimiliki. Kini, setelah Pak Harto
wafat, Yayasan Supersemar tetap berdiri tegak dan masih meneruskan
memberikan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa. Bahkan, terdapat
ribuan mahasiswa S1, S2, dan S3 yang menerima beasiswa.
Selain
Yayasan Supersemar, Pak Harto juga mendirikan Yayasan Trikora dan
Yayasan Damandiri. Yayasan Trikora dimaksudkan untuk menyantuni
pendidikan bagi anak dan janda para pejuang yang gugur dalam operasi
Pembebasan Irian Barat (sekarang disebut Papua). Yayasan Trikora berdiri
sebelum Pak Harto menjadi Presiden, yakni, berdiri pada tahun 1963.
Dalam buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto
ditulis—“Korban-korban itu, prajurit-prajurit yang gugur, meninggal di
medan tugas. Walaupun gugurnya di medan tugas tapi perintahnya dari
saya, saya merasa bertanggung jawab. Saya menempatkan diri sebagai
pengganti ayah bagi anak-anak prajurit yang gugur itu. Sebab siapa yang
akan mengurusi anak-anak itu. Ayahnya sudah gugur, lantas pensiun pada
waktu itu pensiunnya hanya berapa?”
Begitulah
kebajikan Pak Harto yang merasa harus bertanggung jawab atas pendidikan
anak-anak para prajurit yang gugur karena membela kedaulatan NKRI. Pak
Harto merasa memiliki tanggung jawab moral atas kelangsungan hidup dan
pendidikan bagi anak-anak pahlawan. Padahal, Pak Harto pada saat itu
bukanlah seorang menteri pendidikan apalagi seorang Presiden. Perhatian
Pak Harto juga diberikan kepada keluarga dari para pejuang yang gugur
dalam Operasi Seroja di Timor Timur. Pak Harto membentuk Yayasan Seroja.
Dilandasi dengan pemikiran yang welas-asih, Yayasan Seroja menyantuni anak-anak, janda, dan mereka yang cacat akibat ikut bertempur di Timor Timur.
Sayangnya,
di masa reformasi pengorbanan para pejuang tersebut sia-sia, karena
Presiden BJ Habibie yang memberikan kebijakan jajak-pendapat untuk
memilih Indonesia atau merdeka. Pada tahun 1999 ditengarai dicampuri
oleh sejumlah negara asing—terutama Australia dan Amerika Serikat—jajak
pendapat dimenangkan kelompok yang antiintegrasi. Kini, Timor Timur
telah menjadi sebuah negara sendiri dengan nama Republik Timor Leste.
Sungguh bangsa Indonesia tentu sangat kehilangan, lantaran Timor Timur
sudah menjadi bagian integral bagi NKRI di bawah kepemimpinan Presiden
Soeharto.
Peningkatan
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, adalah sisi penting yang
harus dilakukan manusia untuk mengoptimalkan makna kehadiran manusia
baik secara individual maupun kolektif. Sebuah bangsa yang dibangun
melalui dasar-dasar kokoh di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan akan membuat bangsa itu menjadi bangsa yang kuat dan maju
dalam jangka panjang. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah
merealisasikannya dengan membangun sekolah-sekolah sampai pelosok desa.
Kawasan-kawasan
yang masih terisolir pun tidak luput dari jangkauan pendidikan. Kita
tentu masih mengingat SD Inpres, guru masuk desa, pemberantasan buta
huruf, buta angka dan buta bahasa Indonesia yang secara konsisten dan
simultan dilakukan. Pemberantasan buta huruf tidak hanya ditujukan
kepada anak-anak usia sekolah, melainkan menjangkau pula orang dewasa
dan orangtua. Sehingga menjadi pemandangan unik pada kisaran tahun
1980-an dan 1990-an, kerap muncul di layar televisi maupun di media
cetak, orangtua-orangtua tengah belajar membaca.
Indonesia
memang harus terus membangun dunia pendidikannya. Kemajuan sebuah
negara antara lain dapat dilihat dari kemajuan tingkat pendidikan
masyarakatnya. Untuk itu, Pak Harto selalu mengingatkan pentingnya
pendidikan bagi bangsa Indonesia jika ingin mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Dan, menjadi amanat Konstitusi, bahwa
pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara.