PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Peralihan : Menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Saya mengerti, masyarakat menunggu, bagaimana rupa kabinet baru sesudah Sidang Umum MPRS 1966 itu. Rundingan dilakukan dengan pelbagai pihak, dengan pelbagai kekuatan yang nyata pada waktu itu. Juga dengan Presiden Soekarno tentunya. Maka, sementara pangkat saya saya sudah naik jadi Jenderal penuh, terbentuklah “Kabinet Ampera” yang mau tidak mau masih menunjukkan kompromi antara pikiran lama dan pendapat baru. Beberapa tokoh yang dianggap dekat dengan Presiden Soekarno masih masuk dalam kebinet ini, dan saya ditetapkan sebagai Ketua Presidium Kabinet/ Menteri Utama Hankam.

Tetapi sekarang, secara praktis, sayalah yang menjabat Kepala Pemerintahan. Saya tidak menyimpang dari pikiran semula. Saya bersungguh-sungguh untuk bertindak tepat dan secara konstitusional.

Dalam pada itu saya tidak bisa bekerja sendirian. Saya memerlukan bantuan dari beberapa orang yang saya percayai. Sebab itu, saya di dampingi oleh beberapa asisten pribadi.

Lalu saya dihadapkan lagi kepada para mahasiswa yang tentunya tidak sendirian. Saya menyatakan dengan nada tenang di depan mereka, bahwa Bung Karno masih Presiden kita yang sah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kita mesti menghormatinya.

Di tengah tahun kedua, saya hapus lembaga-lembaga yang didirikan oleh extra-konstitusional, seperti Front Nasional, dan KOTI (Komandan Operasi Tertinggi). Begitupun Kogam, Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi, Kolognas (Komando Logistik Nasional) dan beberapa lagi.

Sementara itu persoalan hubungan dengan Malaysia menjadi salah satu pemikiran pokok untuk cepat direalisasikan.

Menilai kembali situasi semasa “Dwikora” itu, saya berfikir, bahwa hal-hal yang telah terjadi jelas hanya merupakan “proyek mercu suar”. Waktu itu, terang Indonesia tidak konsekuen. Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Mengapa Indonesia harus tidak senang dengannya, semata-mata karena kemerdekaan Malaysia itu diberikan oleh Inggris?.  Waktu itu fokusnya dikaburkan, Malaysia digambarkan sebagai alat imperialis, dan karena itu harus ditentang.

Setelah kita pelajari, ternyata policy itu cuma taktik PKI untuk melibatkan kita ke dalam sebanyak mungkin konfrontasi, supaya PKI bisa menghimpun kekuatan yang akhirnya bisa memberontak dan memegang kekuasaan.

Memang benar, waktu itu ambisi Bung Karno adalah ingin menjadi tokoh dunia. Sedangkan, perekonomian kita sedang rusak-rusaknya.

Waktu itu Bung Kano memikirkan politik saja. Dan begitulah manifestasinya.

Adam Malik, yang sudah jadi Menlu berusaha mencari penyelesaian. Ia berangkat ke Bangkok dan berunding dengan Tun Abdul Razak. Team Ali Murtopo dengan anggota-anggotanya yang terdiri dari Ramly, Benny Murdani dan Sumendap cs yang dalam konfrontasi ditugasi membentuk kantong-kantong infiltrasi dari utara (Bangkok), saya alihkan tugasnya untuk mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat resmi Malaysia.

Dengan bantuan Des Alwi dapat dilakukan kontak dengan Tun Abdul Razak dan Gazali. Akhirnya kedua belah pihak setuju, konfrontasi harus berhenti, rujuk kembali harus segera terwujud.

Inilah yang membuka jalan perundingan secara resmi antara Adam Malik dan Tun Abdul Razak di Bangkok dan akhirnya pada bulan Agustus 1966 normalisasi hubungan kita dengan Malaysia itu ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak melalui hambatan-hambatan yang cukup besar. Rundingan sebelumnya di Bangkok mendapat kritik tajam dari sementara tokoh penting. Presiden Soekarno dalam pidatonya masih juga menyebut “Malaysia adalah suatu proyek neokolonialisme” dan menyatakan bahwa “konfrontasi dengan Malaysia akan dilanjutkan.” Saya mengusulkan, menunda pengakuan resmi sampai pemilihan umum dilakukan di Sabah dan Serawak. Usul saya itu diterima Pihak Malaysia, disetujui oleh Presiden Soekarno serta meredakan kritik dari pihak kita sendiri. Persetujuan pun akhirnya ditandatangani 11 Agustus 1966.

Kehidupan ekonomi yang mencekik waktu itu mesti dapat diperbaiki. Maklumlah, inflasi pada tahun 1965 mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja tahun itu mencapai 300% dari pemasukan. Jika pembayaran hutang kepada luar negeri harus dilakukan menurut rencana pada tahun 1966, hampir seluruh pendapatan dari ekspor negara akan dibutuhkan untuk itu.

Sementara itu di bulan Agustus (1966) dilangsungkan Seminar II Angkatan Darat di Bandung yang merumuskan “Orde Baru”, didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Seminar itu menetapkan, “Orde Baru menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistis dan pragmatis, walaupun tidak meninggalkan idealism perjuangan. Orde Baru menghendaki diutamakannya kepentingan nasional, walaupun tidak meninggalkan idiologi perjuangan anti kolonialisme dan anti imperialism. Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat, malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan. Orde Baru menghendaki pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari cita-cita demokrasi ekonomi. Orde Baru pada hakekatnya adalah suatu tatanan, sedangkan tujuannya ialah menciptakan kehidupan sosial, politik, ekonomi, kultural yang dijiwai oleh moral Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Seminar ini juga menghendaki pemilihan umum diselenggarakan secara distrik. Oleh karena itu rencana yang disampaikan Pemerintah dalam RUU tentang pemilu itu didukung sepenuhnya oleh ABRI.

Pemerintah baru menghadapi masalah yang luar biasa besarnya. Jalan yang dianggap bijaksana waktu itu ialah harus cepat mendapatkan bantuan luar negeri. Pertama-tama untuk menunda pembayaran kembali hutang-hutang yang ada, kemudian menambah pinjaman baru. Dan jendela yang bisa kita buka waktu itu ialah yang pertama-tama yang menghadap ke Barat. Tetapi kemudian Negara-negara Timur pun menyetujui penangguhan pembayaran kembali hutang Indonesia itu.

Saya percayakan bidang ekonomi kepada ahli-ahli dari dunia universitas. Saya minta bantuan Widjoyo Nitisastro, Sumitro Djoyohadikusumo, Muhammad Sadli, dan beberapa ahli lainnya yang di kemudian hari terus menjadi pendukung saya dalam mengelola perekonomian kita.

Setelah normalisasi hubungan dengan Malaysia ditandatangani, Bung Karno yang waktu itu masih Presiden, mendapat kesempatan untuk berpidato pada perayaan “17 Agustus” di Istana Jakarta. Beliau bacakan “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah yang terkenal dengan singkatan “Jas Merah” dengan nada seperti biasa beliau lakukan. Tapi terasa sekali, bahwa beliau mengkritik keputusan-keputusan yang diambil MPRS yang baru lalu. Maka timbullah reaksi keras, bahkan terjadi bentrokan di beberapa tempat antara para pemuda yang tidak suka kepada Bung Karno di satu pihak dengan pendukung setia beliau di pihak lain.

Konflik politik semasa itu terasa menekan, bukan saja bagi kami, tetapi juga  bagi masyarakat luas. Benturan pendapat yang membahayakan terjadi. Sementara di satu pihak berusaha mendapatkan bantuan dari luar dan mengesampingkan soal “Nefos” dan “Oldefos”, Presiden Soekarno terus berpidato dalam pelbagai kesempatan dengan idealism yang sama.

Saya berusaha keras mengekang kembali agar jangan sampai terjadi benturan antara pasukan yang satu dengan pasukan lainnya. Konflik senjata akan membawa kita binasa.

Lalu kami beranggapan, hubungan dengan dunia luar harus cepat diperbaiki. Maka dengan tidak susah, masuklah kembali Indonesia kedalam PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya di akhir September 1966.

Tetapi suasana yang panas, terutama setelah pidato “Jas Merah” itu, berkelanjutan. Pemuda-pemuda dan para mahasiswa masih terus berkumpul-kumpul. Dan kemudian mereka berdesakan menyaksikan pengadilan beberapa bekas menteri yang dimulai dengan bekas Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam.

Penjaga keamanan repot dengan tugasnya. Pengadilan itu harus berjalan dengan tidak terganggu.

Dalam sidang pengadilan itu Jusuf Muda Dalam dijatuhi hukuman mati. Tetapi sebelum pelaksanaan hukumannya itu dijalankan, ia sudah meninggal.

Di pihak laing Bung Karno terus berpidato lagi. Beliau mengejek tentang dilarangnya Marxisme, Komunisme. Beliau teguh dengan pendiriannya tentang “Nasionalis-Agama-Komunis” atau “Nasionalis-Agama-Sosialis” atau “Nasionalis-Agama dan apa saja” itu. Lagi-lagi pidato Bung Karno mengundang reaksi dan demonstrasi.

Subandrio dapat giliran, diajukan ke pengadilan. Para pemuda dan mahasiswa turun ke jalan lagi dan berdemonstrasi ke daerah Istana Merdeka dan ke tempat dilangsungkannya sidang pengadilan itu, kini gedung Bappenas.

Bentrok pun tak terelakkan. Sejumlah peluru lepas dari senapan yang dipegang oleh penjaga keamanan yang tidak kuat menahan emosinya. Seorang wartawan dari surat kabar mahasiswa tertembak. Dan kejadian ini menambah gaduh yang menghebat lagi di tengah para pemuda dan mahasiswa itu. Kabar pun kemudian didapat, bahwa setelah dirawat di Belanda, wartawan mahasiswa itu, Zainal Zakse, meninggal.

Dalam pada itu sidang pengadilan Subandrio harus terus berjalan dan tidak  boleh terganggu. Keadilan mesti ditegakkan. Akhirnya keputusan pun dijatuhkan: Subandrio dikenakan hukuman mati. Tetapi pelaksanaan hukuman itu tidak dijalankan. Sekian waktu kemudian saya memberikan grasi kepadanya dan hukuman diubah menjadi seumur hidup.

Sekali lagi Bung Karno mendapat kesempatan berpidato di depan orang banyak. Kali ini di tengah sekian banyak hadirin waktu dilangsungkannya peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad, S.A.W. Pidatonya itu amat berbahaya. Beliau mengemukakan, bahwa beliau akan mengikuti contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad S.A.W dalam kata-katanya, perbuatannya dan bahkan sikap diamnya.

“Ya,” Kata Bung Karno, “Ya, aku akan bersabar, akan tetapi sabar seperti Nabi Muhammad S.A.W. Ketika Nabi direndahkan, dicaci maki, difitnah dan bahkan dilempari kotoran di Thaif, ia bersabar. Akan tetapi setelah itu Nabi mulai mengambil tindakan, bahkan pergi berperang di samping melakukan tindakan-tindakan lain. Aku juga akan mengikuti contoh Nabi Muhammad.” Begitu Bung Karno berpidato.

Mungkin pidatonya itu disebabkan oleh cegahan saya terhadapnya. Rencananya beliau esok harinya akan ke Surabaya untuk merayakan  Hari Pahlawan di ibukota propinsi Jawa Timur itu. Tetapi saya mencegahnya. Saya melihat bahaya kalau sampai beliau terbang kesana. Keselamatan kesatuan bangsa yang harus saya jaga.

Suhu politik tambah meningkat lagi sewaktu dilangsungkan sidang pengadilan Omar Dhani. Proses pengadilan ini di publikasikan secara luas. Reaksinya menambah sengit mereka yang ingin melihat jatuhnya Bung Karno.

Saya berusaha menekan suasana yang panas itu karena berpegangan pada ajaran yang saya junjung tinggi. Bagaimana pun Bung Karno adalah pejuang yang patut di hormati.

Omar Dhani dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi pelaksanaan hukumannya itu tidak dilakukan dan sekian waktu kemudian saya beri dia grasi dengan mengubah hukumannya itu menjadi seumur hidup.

Kehidupan kita waktu itu amat berat. Semua diombang-ambingkan oleh konflik politik, sementara kita dihadapkan pada kesulitan beras yang memuncak.

Di tengah suasana ini mulai terdengar seruan-seruan keras yang meminta saya untuk menjabat Presiden, menggantikan Bung Karno. Saya tidak pedulikan suara-suara tadi.

Tetapi kemudian ternyata beberapa orang yang dekat dengan saya mengemukakan pendapat serupa itu. Beberapa tokoh masyarakat mendorong saya untuk menduduki jabatan itu, menjadi pemimpin tertinggi Negara.

Saya jawab mereka, “Saya tidak mempunyai cita-cita untuk itu.” Waktu itu saya memeriksa diri saya sendiri. Saya tidak pernah menyiapkan diri untuk itu. Tidak pernah sekolah untuk itu. Malahan mimpi pun tidak mengenai hal itu. Waktu itu saya mengaku saya tidak mempunyai kemampuan untuk memangku jabatan tertinggi itu.

***


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), Hal. 179-184)