PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Hilangnya Momentum Kebangkitan Bangsa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara

Hilangnya Momentum Kebangkitan Bangsa

Oleh : Bakarudin[1]

Pengantar

Setelah Pak Harto berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, sebuah bangunan baru negara dan bangsa didesain para “perupa reformasi”.  Dimulai dengan kepemimpinan BJ Habibie, yang menggantikan Pak Harto sebagai Presiden, keran demokrasi dibuka lebar-lebar. Kebebasan berdemokrasi diartikan dengan mendirikan banyak partai, kebebasan pers, berunjuk rasa, dan mengembangkan ideologi-ideologi di luar Pancasila. Puncaknya, ketika para anggota MPR RI dibawah pimpinan Amien Rais melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Padahal, UUD 1945 merupakan pondasi berdirinya negara dan bangsa yang merdeka, berdaulat di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa, yang secara tulus mempersembahkannya kepada Ibu Pertiwi, agar cita-cita Proklamasi untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.

Amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan sebanyak empat kali tersebut merupakan pondasi baru bangunan bangsa dan negara. Beberapa pihak menyebutkan UUD 1945 telah berubah menjadi UUD 2002 atau UUD Amandemen, telah memporak-porandakan pondasi dan rumah bangsa bernama Republik Indonesia. Para praktisi politik melalui saluran-saluran baru yang dibentuknya, menggelontor kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengubah seluruh sistem kenegaraan dan kebangsaan yang sudah ada, dengan sistem yang diimpor dari sistem liberistik dan kapitalistik. Alasan yang dikemukakan, bahwa Republik Indonesia tidak bisa menghindar dari arus globalisasi, maka harus ikut arus merenangi globalisasi dengan mencabut akar budaya dan jatidiri bangsa di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi. Alih-alih reformasi membawa perubahan, justru membawa kemunduran, yang disebut sebagai kemunduran bangsa selama 40 tahun.

Reformasi Jalan yang Menyimpang

Pada saat ini banyak pihak sudah mengatakan, bahwa reformasi telah salah bahkan gagal total dalam membawa arah perubahan negara dan bangsa. Namun, banyak diskusi, seminar, simposium, dan lain sebagainya, hanya menghasilkan kajian-kajian dan kesimpulan-kesimpulan, tanpa mampu menggerakkan individu, kelompok, lembaga dan sejenisnya untuk mengambil langkah nyata. Menarik apa yang disampaikan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas, jika reformasi gagal membawa perubahan yang positif, sangat memungkinkan akan ada reformasi jilid II. Tapi, lagi-lagi kesadaran itu ditelan sendiri, karena secara sadar menantu Presiden Soekarno dan suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu masih memuja, bahwa reformasi adalah jalan yang tepat untuk kemajuan negara dan bangsa. Padahal, sudah nyata di depan mata, pangkal soal kesalahan Orde Reformasi/Rejim Reformasi adalah melakukan Amandemen UUD 1945. Tidak heran, apabila pernyataan Ketua MPR RI itu adalah basa-basi politik, sebab sesungguhnya yang menikmati “kemewahan reformasi” adalah para politisi dan kroni-kroninya, yang pada masa sekarang tengah menikmati kekuasaan.

Ironis memang. Dan, tentu sangat menyedihkan. Kemerdekaan yang dicapai sebuah negara dan bangsa, sesungguhnya merupakan perwujudan untuk menjadi negara berdaulat. Artinya, negara dan bangsa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, lepas dari tangan-tangan besi negara dan bangsa penjajah. Kini, seluruh pemangku kekuasaan boleh jadi sangat bangga, karena angka Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menembus angka di atas Rp 1.300 triliun. Pertanyaannya, dengan APBN tersebut apa yang sudah terealisasikan dalam wujud pembangunan? Jembatan Suramadu, yakni, jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura di Jawa Timur? Bagaimana dengan insfrastruktur yang lainnya?  Pesawat baru kepresidenan? Mobil baru para menteri dan banyak pejabat-pejabat pemerintah di pusat maupun daerah? Bantuan Langsung Tunai kepada rakyat miskin? Bagaimana dengan kewajiban pemerintah yang harus membangun bangsa dan negaranya menjadi sebuah bangsa yang sejahtera, adil dan makmur?

Celakanya, tidak hanya angka APBN yang menggelembung dengan sedemikian rupa namun tidak tampak menetes untuk kepentingan kemakmuran rakyat, kini negara dan bangsa ini telah kehilangan jatidiri bangsanya. Para perupa reformasi telah secara sadar dan sistematis mengeliminasi kedigdayaan negara dan bangsa Indonesia, menjadi negara dan bangsa yang bangga dengan “perhiasan imitatif”, yang disematkan oleh negara-negara penganut neoliberalistik dan neokapitalistik. Serunya lagi, ideologi usang seperti komunisme tengah menjadi idola baru di tengah-tengah masyarakat yang semakin miskin. Masyarakat yang gagal dalam “pertarungan” memperebutkan kue kapitalisme, akan sangat mudah dipengaruhi kecerdasannya dengan iming-iming kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial. Pada sisi lain, ada pula masyarakat yang memilih fanatisme sempit keagamaan dalam memperjuangkan keadilan. Padahal, semua itu adalah kamuflase, yang pada akhirnya hanya untuk merebut kekuasaan.

Memasuki ruang politik-kekuasaan yang lebih dalam pada masa reformasi ini, aroma politik transaksional malah sudah mewarnai setiap ajang politik. Politik transaksional itu menggurita dari pusat sampai daerah. Tidak mengherankan, apabila banyak pejabat akhirnya masuk penjara karena kasus korupsi. Hal ini tidak lain disebabkan, banyak pejabat harus mengembalikan “uang belanja politiknya” dengan cara menilap dana-dana pembangunan. Kasus cek pelawat sampai dengan Nazarudin dan kawan-kawan harus diakui adalah sebagai akibat mahalnya “ongkos politik” para politisi itu sendiri. Disamping tentunya mentalitas hedonis yang didorong oleh tingginya konsumerisme membuat siapa pun yang tidak memiliki integritas moral, dipastikan akan terjerumus kepada penyalahgunaan wewenang, yakni, dengan melakukan tindak pidana korupsi dan menerima uang pelicin.

Kebangkitan Bangsa yang Hilang

Apabila kita menarik garis waktu ke belakang, Pak Harto setelah menggantikan Presiden Soekarno telah menata ulang kehidupan bernegara dan berbangsa. Yakni dengan menegakkan kembali sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi dengan konsistensi yang sangat tinggi. Seluruh sistem berbangsa dan bernegara dibangun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan azas Pancasila. Sehingga azas-azas lain di luar Pancasila tidak diberi ruang dan waktu untuk berkembang. Namun demikian, negara melindungi hak-hak individu untuk melaksanakan spiritualitas, pendidikan, ekonomi, budaya, dan mengekspresikan kecerdasan dengan kreativitas-kreativitas yang dimiliki. Masyarakat diberikan rasa nyaman untuk menjalankan roda kehidupannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmurannya. Sementara itu, pemerintah dengan sungguh-sungguh menggunakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk mengarahkan pembangunan nasional.

Adanya Trilogi Pembangunan menunjukkan adanya panduan untuk pelaksanaan pemerintahan. Trilogi Pembangunan yang terdiri dari Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan Pembangunan di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi, menjadi pondasi yang kokoh. Hal itu tidak hanya berhenti pada konsepsi, tapi juga implementasi. Seluruh energi kekuasaan dimanfaatkan untuk menjadi kreator, dinamisator, sekaligus fasilitator yang menggandeng seluruh potensi negara—kekayaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam—untuk mencapai cita-cita Proklamasi. Pilihan-pilihan program pembangunan tertuang dalam tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pada tahapan 25 tahun, Presiden Soeharto menyatakan Indonesia akan siap tinggal landas. Artinya, Indonesia siap menjadi negara maju karena telah memiliki pondasi yang kokoh untuk mencapai kemajuan sebuah negara dan bangsa. Itulah kemudian Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia baru bersama-sama Korea Selatan.

Sang Macan Asia baru ini membanggakan bagi negara dan bangsa Indonesia, namun membuat iri dan mengerikan bagi negara-negara tetangga serta negara-negara adidaya, khusus Amerika Serikat dan sekutunya, baik di Eropa, Asia, dan tentu Australia. Bersama para petualang politik dalam negeri, barisan sakit hati, penganut ideologi diluar Pancasila, dan tentu kaki tangan asing di Indonesia mengepung Pak Harto dengan tujuan menjatuhkannya. Apabila PKI ingin merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno dengan G 30 S/PKI-nya dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis, target utama “perupa Reformasi” adalah mengganti Pak Harto terlebih dahulu.

Setelah itu seperti kita ketahui, “perupa Reformasi” meruntuhkan bangunan kebangsaan dan kenegaraan yang sudah susah payah dipertahankan dan dibangun Pak Harto. Seolah-olah dilakukan secara konstitusional, seluruh pondasi negara dan bangsa yang diperjuangkan para pendiri bangsa dan diisi dengan pembangunan selama pemerintahan Presiden Soehato, dieliminasi. Republik Indonesia pun memiliki baju baru. Baju baru yang menanggalkan corak jatidiri bangsa, karena “perupa Reformasi”  telah melukiskan corak baru yang bernama neoliberalisme dan neokapitalisme. Negara pun digadaikan dan dijual kepada kepentingan asing, bukan dibangun untuk kepentingan rakyat seperti dicita-citakan melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka, hilanglah kesempatan bagi negara dan bangsa Indonesia untuk bangkit dan menjadi negara adidaya baru di kawasan Asia, bahkan dunia. Nah, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya kebangkitan bangsa Indonesia itu?



[1] Penulis anggota Diskusi Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB)

PKI DI BALIK G 30 S/1965

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara

PKI DI BALIK G 30 S/1965:

DITINJAU DARI TAKTIK DAN STRATEGI GERAKAN KOMUNISME DI INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF SEJARAH)

Oleh : Dr. G. Ambar Wulan

Pusjarah TNI


1. Pengantar

Munculnya berbagai versi tentang interpretasi terhadap G. 30 S 1965 yang mengatasnamakan ‘pelurusan sejarah’ telah melahirkan pelbagai teori ‘siapa dalang di balik peristiwa tersebut. Persoalan kontroversi ini muncul karena design dalam konstruksi sejarah ditujukan untuk ‘menciptakan’ dan bukannya ‘menemukan’; kebenaran yang didasarkan pada motivasi pengungkapan sejarah itu sendiri. Dalam penulisan sejarah dikenal konsep representasi yang menggunakan suatu peristiwa masa lampau hanya sebagai media untuk menciptakan perspektif baru dalam menginterpretasikan sejarah yang dirancangnya.

Metode sejarah yang digunakan sebagai cara untuk mengkonstruksi historiografi, yakni dari pengumpulan sumber-sumber primer dan sekunder dari berbagai pihak yang kemudian dikritisi, baik secara internal maupun eksternal untuk menyeleksi serta menetapkan fakta-fakta secara kredibel merupakan prosedur ilmiah sebagai upaya mempertanggungjawabkan kebenaran sebuah penulisan sejarah. Di samping itu, casuality factors, yakni pengusutan hubungan sebab akibat dalam kaitan peristiwa Gerakan 30 Sepetember atau G. 30 S/1965 dengan rentetan peristiwa sebelumnya merupakan neccesarry conditions yang dibutuhkan dalam proses penulisan sejarah yang bersifat diakronis dengan menelusuri metode gerakan PKI dari akarnya.

Dalam mengungkap dalang di balik G. 30 S tahun 1965, tentu saja hal ini tidak terlepas dari usaha memahami secara mendasar bagaimana bentuk-bentuk infiltrasi sebagai taktik dan strategi yang digunakan PKI pada awal kemunculannya hingga tahun 1965 beserta kondisi-kondisi yang mendukungnya sampai meletusnya pemberontakan yang menggunakan nama Gerakan 30 September tersebut. Sejak masa persiapan dengan misi yang dikembangkan partai dalam rupa kebijakan dan strategi yang kemudian diimplementasikan ke dalam berbagai aksi politik, sosial, ekonomi, dan budaya merupakan upaya pematangan situasi revolusioner yang diperlukan guna mewujudkan tujuan akhir perjuangan PKI, yaitu pengambilalihan kekuasaan serta mengubah Pancasila menjadi ideologi Komunis.

2. Strategi Mewujudkan Masyarakat Komunis: Dari Taktik Block Within Hingga MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan)

Secara historis, metode dalam pola-pola gerakan Komunisme di Indonesia mengalami kontinuitas yang menunjukkan konsistensi, terutama taktik infiltrasi (penyusupan) dan strategi ‘penyesuaian’ terhadap lingkungan yang dihadapi sebagai jembatan dalam mencapai tujuan akhirnya, yaitu menciptakan masyarakat Komunis sesuai ajaran Marxisme Leninisme. Sejarah Komunisme di Indonesia menunjukkan adanya konsistensi pola-pola infiltrasi dengan mengambil peran-peran di setiap momen dalam berbagai bentuk. Strategi ini tidak terlepas dari pernyataan Lenin bahwa “Revolusi tidak harus dilakukan oleh Partai Komunis, tetapi kemenangan akhir harus berada di tangan Partai Komunis” dengan melaksanakan pola pemanfaatan organisasi, kelompok, individu sebagai obyek infiltrasi. Konsep ini berkembang menjadi doktrin yang dijadikan secara konsisten sejak awal terbentuknya PKI pada tahun 1920 hingga terjadinya pemberontakan G. 30 S/PKI 1965.

Seperti pada tahun 1920, kelahiran PKI merupakan proses yang tidak terlepas dari penggunaan cara-cara infiltrasi yang dikenalkan oleh Lenin sebagai metode dalam upaya menyebarkan Komunisme Internasional ke seluruh dunia dengan mengimplementasikan taktik Block Within/Blok Dalam. Metode ini digunakan tokoh-tokoh Komunisme Belanda, yakni H.J.F.M Sneevliet, dkk. melalui ISDV (Indische Sociaal Demochratische Vereniging) guna melebarkan sayapnya dengan cara penyusupan sebagai usaha mengembangkan pengaruh idiologinya ke berbagai organisasi pergerakan nasional.

Pasca kongresnya pada 1923, PKI yang telah berkembang dengan cepat memutuskan untuk terus menggerakkan penyusupan ke tubuh SI (Serikat Islam) yang memiliki anggota besar. Selanjutnya, PKI mendirikan Barisan Pemuda dengan memperhatikan partisipasi wanita untuk memudahkan pengendalian SI Merah yang telah terkontaminasi ideologi kiri dengan mengganti nama SR (Sarekat Rakyat) yang kemudian dilebur ke dalam organisasi PK (Partai Komunis) pada tahun 1924. Kebesaran kekuatan PKI tidak berlangsung lama karena Pemerintah Hindia Belanda melarang setelah partai ini melakukan pemberontakan pada 1926 (Ruth T. Mc. Vey, 2010). Tindakan ini berdampak pada organisasi-organisasi pergerakan Boemi Poetra yang harus mengalami tindakan represif dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Banyak para pimpinan pergerakan, seperti Moh. Hatta, Soetan Syahrir ditangkap oleh pemerintah kolonial (G. Ambar Wulan, 2009). Sedangkan beberapa pimpinan PKI, antara lain Muso dan Alimin melarikan diri ke Moscow.

Kepulangan Muso dari Moscow bulan Agustus 1948 yang membawa misi Komintern baru, yakni garis keras Zhadanov meradikalkan dan menempatkannya sebagai pimpinan anggota-anggota khusus PKI. Dalam waktu cepat Muso berhasil menjadikan PKI sebagai partai besar dengan kekuatan terletak pada kaum buruh dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) sebagai kekuatan bersenjata FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang telah dibina Amir Syarifuddin sejak ia menjabat sebagai menteri pertahanan dan kemudian perdana menteri. Penggalangan PKI melalui Front Nasional menjadi alternatif strategis PKI karena peluang untuk memperoleh kekuatan melalui jalur parlemen tidak memungkinkan lagi. Dengan dalih menghadapi ancaman serangan militer Belanda, PKI menyerukan untuk melakukan pertahanan rakyat, seperti penggelaran Brigade ke-29 TNI yang berhasil disusupi PKI dan sebagian besar anggotanya berasal Pesindo untuk melakukan perebutan daerah-daerah pedesaan tanpa bertempur. Pada 18 September 1948, PKI memukul perjuangan RI dari belakang dengan melakukan pemberontakan dan memproklamirkan berdirinya Republik Sovyet di Madiun. Presiden Soekarno menyebutnya sebagai tindakan awal PKI di bawah Muso untuk merebut kekuasaan seluruh pemerintah RI. Sikap tegas pemerintah, yakni menumpas PKI beserta organisasi-organisasi pendukungnya (Pusjarah TNI, 2009).

Kegagalan pemberontakan PKI ini mendorong dilakukan pembaharuan kebijakan PKI selanjutnya di bawah pimpinan D.N. Aidit yang baru tiba di Indonesia dari pelariannya ke luar negeri. Dalam hal ini D.N. Aidit melakukan revisi kebijakannya dengan menghindari ‘perang terbuka’ (open rebellion) seperti yang dilakukan Muso di Madiun. Hal tersebut didasarkan pada posisi PKI belum menjadi king marker, oleh karena itu Aidit kemudian membangun sebuah front nasional melalui kerjasama antar berbagai partai politik dan unsur-unsur masyarakat lainnya dengan tetap mempertahankan independen PKI, baik secara politis, idiologis maupun organisatoris. Di samping itu, buruh dan tani menjadi basis kekuatan yang hendak digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan PKI secara lebih efektif.

Bagi PKI, kompromi dengan menyesuaikan ideologi Marxisme-Leninisme dengan situasi di Indonesia merupakan taktik jangka pendek yang dilakukan hingga saatnya PKI mampu mengumpulkan kekuatan dan pengaruh yang memadai. Hal ini menjadi pijakan PKI dalam menentukan bentuk kebijakan, taktik perjuangan, dan bentuk organisasi partai. Dalam Kongres Nasional ke-V PKI pada 1954, Aidit menyatakan tekadnya untuk “meng-indonesiakan Marxisme-Leninisme” dan menempuh taktik komunis klasik, yaitu Front Persatuan Nasional. Artinya, PKI bekerjasama dengan golongan-golongan Non-Komunis dan bersedia mendukung pemerintah sekalipun dianggap borjuasi nasional. Taktik ini sejalan dengan pendekatan yang dilakukan Uni Soviet dan RRC terhadap negara-negara baru merdeka di Asia (termasuk Indonesia) dalam rangka global strategy gerakan Komunis Internasional (Pusjarah TNI, 2009).

Dalam melaksanakan program perjuangan partai yang dihasilkan kongres tersebut, pada tahun 1955 dirumuskan strategi PKI yang disebut MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan), yakni: Pertama, perjuangan gerilya oleh massa petani di pedesaan. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di perkotaan, terutama oleh kaum buruh transport. Ketiga, bekerja intensif dikalangan kekuatan bersenjata musuh. Dengan MKTBP, PKI melakukan persiapan bagi pelancaran revolusi sosial. Dalam mengimplementasikan MKTBP, PKI melaksanakan infiltrasi secara intensif di kalangan militer-polisi. Pelaksanaan bekerja di kalangan bersenjata ini dilakukan sangat rahasia sehingga kader-kader di tingkat CC (Comite Central) PKI pun tidak semua mengetahuinya. Sesuai derajat kerahasiaannya, Sidang Politbiro PKI mendelegasikan wewenang secara absolut kepada ketua CC PKI terpilih, yaitu D.N. Aidit.

Selain itu, kongres juga berhasil menyusun konsepsi strategis partai dalam menjawab permasalahan dan tantangan jaman, berjudul “Jalan Baru yang Harus Di Tempuh Dalam Memenangkan Revolusi”. Konsepsi ini ditegaskan dalam AD/ART PKI yang menyebutkan, “Jika revolusi Indonesia yang bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya, kewajiban PKI selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan sistem Sosialisme dan sistem Komunisme di Indonesia…” (AD/ART PKI, 1962: hlm. 11).

Situasi politik dekade 50-an dalam demokrasi parlementer yang ditandai jatuh bangunnya kabinet saat itu, telah memberi peluang PKI menanamkan dan memperbesar pengaruhnya ke dalam lingkungan militer-polisi. Proses penetrasi ke dalam lingkungan angkatan bersenjata ini tidak dapat dipisahkan dari proses pertumbuhan militer-polisi. Meskipun PKI memahami bahwa militer-polisi dilarang masuk dalam partai politik. Di ladang ini, Aidit menugasi Syam Kamaruzaman untuk membantunya mencari bentuk organisasi yang tepat dan efisien dalam meningkatkan pengaruh idiologi Komunis ke dalam tubuh militer-polisi. Kebutuhan itu mencetuskan dibentuknya Biro Chusus (BC) dengan Syam Kamaruzaman ditunjuk sebagai ketuanya.

Adapun tugas pokok BC, diantaranya mengorganisir anggota militer-polisi agar sewaktu-waktu dapat digerakkan bagi kepentingan program PKI. Selain itu, BC bertugas mengumpulkan data serta bahan-bahan informasi yang menyangkut strategi militer dan imbangan kekuatan dalam tubuh ABRI. Tugas penting lainnya, yakni memperuncing pertentangan dan memecah belah kekuatan dalam tubuh militer-polisi. Di tingkat CC, BC pusat bertanggung jawab mengkoordinasikan semua BC di daerah-daerah. Di samping taktik dan teknik mendekati sasaran, pengawasan merupakan tugas vita BC terhadap aktifitas kader PKI di lingkungan ABRI. Cara kerja intensif di ABRI sebagai salah satu implementasi MKTBP melalui Biro Chusus PKI, idiologi Komunis dapat dikembangkan dalam tubuh militer-polisi secara pesat, baik di AD, AL, AU maupun Kepolisian RI (Sekneg RI, 1994: 42-45).

Dengan demikian, pemberontakan G. 30 S/PKI 1965 adalah gerakan yang melibatkan seluruh unsur PKI dengan menggunakan sejumlah unsur tentara yang telah dibina melalui jalur rahasia Biro Chusus tersebut. Hal ini tercermin dari aktivitas pengiriman sejumlah anggota Politbiro serta CC PKI ke berbagai daerah untuk membantu CDB (Central Daerah Besar) setempat. Ketua CC PKI D.N. Aidit dalam strategi tahap awal gerakan memang tidak melibatkan secara langsung unsur-unsur resmi PKI sesuai pernyataan Lenin bahwa revolusi tidak harus dilakukan oleh Komunis tetapi kemenangan terakhir harus berada di tangan Komunis.

3. Bagaimana Malam G. 30 S 1965 Dirancang Sebagai “Sasaran Antara” Menuju Kudeta

Selama bulan September 1965 diselenggarakan rapat-rapat khusus Politbiro yang dipimpin D.N. Aidit guna menentukan tindakan pendahuluan. Gerakan itu secara garis besar merumuskan action plan atau langkah-langkah yang diserahkan pada Syam Kamaruzaman untuk ditindaklanjuti. Rancangan itu mendasarkan pada analisa kondisi, diantaranya PKI menyadari posisinya belum sebagai king maker, karena kedudukan secara kuat saat itu masih berada di tangan Presiden Soekarno. Dalam kondisi itu, PKI tidak mau terlibat dalam pemberontakan secara langsung (open rebellion) seperti yang dilakukan Muso ketika memimpin pemberontakan PKI Madiun pada 1948.

D.N. Aidit selaku ketua CC PKI sejak Agustus 1965 telah menginstruksikan Syam Kamaruzaman untuk menyusun rencana organisasi G. 30 S/PKI sebagai Top Secret, sehingga rencana ini tidak banyak diketahui anggotanya. Diantaranya, tercermin dalam pernyataan Ketua CGMI waktu itu yang mengatakan bahwa CGMI sebagai ormasnya tidak mengetahui rencana rahasia tersebut. Selain itu, sangat normatif apabila semua anggota partai tidak mengetahuinya karena sentralisme kepemimpinan PKI menyerahkan keputusan-keputusan pada pucuk pimpinan partai. Bahkan dalam memutuskan hal terpenting dapat diserahkan pada ketua partai dengan Biro Chusus nya (J.B. Soedarmanto, 2004: 99 dan 106).

Rapat teknis yang diselenggarakan selama bulan September 1965 di Jakarta yang dihadiri beberapa tokoh CC PKI, seperti D.N. Aidit, Syam kamaruzaman, Supono, Nyono, Waluyo serta para perwira progresif yang berhasil dibina Brigjen Supardjo (hadir pada rapat terakhir), Kolonel A. Latief, Letkol Untung , Mayor Udara Sujono, sebagai berikut:

Rapat 6 September 1965 Syam menyampaikan pembahasan materi tentang issue “Dewan Jenderal” yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution dan Letjen A. Yani yang disebutnya hendak melakukan “coupterhadap pemerintah. Selain itu, rapat membahas sakitnya Presiden Soekarno serta menyampaikan instruksi Ketua CC PKI untuk mengadakan gerakan mendahului “coupDewan jenderal.

Rapat 9 September 1965 dengan materi tentang persetujuan melakukan gerakan dan perwujudan pengorganisasian dan pengaturan kesatuan-kesatuan yang ada di Jakarta serta kekuatan-kekuatan yang bisa digunakan untuk mendukung gerakan.

Rapat 13 September 1965 menghasilkan beberapa keputusan, antara lain peninjauan kesatuan yang ada dan tambahan Pasukan Pengamanan Pangkalan (P-3) AURI dari Mayor Udara Sujono.

Rapat 15 September 1965 membahas kesatuan-kesatuan yang dapat diikutsertakan dalam gerakan, yaitu Batalion Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung, Batalyon Brigif I Kodam V/Jaya pimpinan Mayor A. Sigit dan Pasukan P3AU pimpinan Mayor udara Sujono. Di samping itu Syam menyampaikan rencana kehadiran Batalyon 454 Para/Diponegoro dari Jawa tengah pimpinan Mayor Sukirno dan batalyon 530 Para/Brawijaya dari Jawa Timur pimpinan Mayor Bambang Supeno yang akan membantu gerakan.

Rapat 19 September 1965 membahas masalah organisasi gerakan dengan susunannya, yakni bidang politik dipimpin Syam Kamaruzaman, bidang militer dipimpin Letkol Untung dan Kolonel Latief, bidang observasi dipimpin Waluyo (anggota CC PKI). Khusus bidang militer dibagi dalam pasukan penggempur dengan nama Pasopati dipimimpin Lettu Dul Arief (Tjakrabirawa), pasukan teritorial dinamai Bima Sakti di bawah Kapten Suradi (Brigif I Kodam V/jaya), dan pasukan cadangan dinamai Gatotkaca dibawah Mayor Udara Gatot Sukrisno . Syam menyebutkan bahwa pimpinan seluruh gerakan adalah Letkol Untung. Penunjukkan ini didasarkan kedudukannya sebagai pengawal presiden yang cocok dengan tema gerakan yang dirancang yaitu “menyelamatkan Presiden Soekarno”. Pangkat letkol dinyatakan pangkat tertinggi dalam gerakan.

Rapat 22 September 1965 membahas penetuan sasaran masing-masing pasukan. Seperti, sasaran pasukan Pasopati yakni para jenderal (Dewan Jenderal), sasaran Bima Sakti yakni RRI, telekomunikasi, dan teritorial, sedang pasukan Gatotkaca bertugas mengkoordinir kegiatan di Lubang Buaya dan menghimpun tenaga cadangan. Selain itu, Syam menugaskan Letkol Untung menghubungi Yon 530 dan Yon 454 setelah batalyon-batalyon itu berada di Jakarta.

Rapat 24 September 1965 membahas, diantaranya persoalan tempat komando bagi pimpinan gerakan dan penentuan daerah pemundurannya (Kompleks Halim dan daerah Pondok Gede). Tempat komando ditentukan di Gedung P.N. Areal Survey, Penas, Jakarta Timur yang di sebut Central Komando (Cenko). Nyono (anggota CC PKI) mendapat tuga membentuk sektor, seperti Sektor Kebayoran Baru, kebayoran lama, mampang Prapatan, Pasar Manggis, Senayan, dll.

Rapat 26 September 1965 membahas laporan Mayor Udara Sujono tentang persiapan Cenko di Gedung Penas dengan persiapan daerah pemunduran di Halim dan Pondok Gede. Pada pertemuan ini dilaksanakan pembentukan sektor-sektor dan juga diputuskan untuk mengadakan pemeriksaan menyeluruh rencana pelaksanaan gerakan.

Rapat 29 September 1965 menghasilkan keputusan-keputusan final pelaksanaan gerakan dan dilakukan pengecekan organisasi gerakan militer, tenaga cadangan, serta pasukan Yon 454 dan Yon 530 yang telah berada di Jakarta sejak 25 September 1965. Selain itu ditentukan sasaran gerakan, tempat pengamanan setelah diambil tindakan, penetuan hari H dan jam D bagi pelaksanaan gerakan, yakni tanggal 30 September 1965 sesudah tengah malam. Nama gerakan ditentukan oleh Ketua CC PKI D.N. Aidit yaitu Gerakan Tiga Puluh September (G. 30 S) dengan menyesuaikan waktu pelaksanaan. Pada saat itu, Syam menyatakan akan membentuk Dewan Revolusi sebagai rencana jangka pendek dan dalam jangka panjang menuju pembentukan pemerintahan yang dikuasai kaum Komunis seutuhnya. Sesuai penjelasan Syam, gerakan ini akan melahirkan “Dewam Revolusi” dengan mendemisionerkan Kabinet Dwikora dan Letkol Untung ditunjuk sebagai ketuanya. Selanjutnya semua komando gerakan sudah harus berada di Cenko I pada pukul 23.00 pada 30 September 1965 (Aminudin Kasdi dan G. Ambar Wulan, 2005: 49-53).

Selama bulan September itu Syam melakukan pertemuan-pertemuan pula dengan tokoh-tokoh Biro Chusus Daerah. Seperti, pertemuannya dengan pimpinan Biro Chusus Jakarta, yakni Endro Sulistyo, Syam mengingatkan untuk memantabkan group-group di kalangan militer-polisi. Dengan pimpinan Biro Chusus Jawa Barat Harjana, alias Lie Tung Tjong, Syam memerintahkan untuk memantau terus menerus pengumuman-pengumuman melalui RRI. Sedangkan Biro Chusus Jawa Timur pimpinan Roestomo dan Biro Chusus Jawa Tengah melaporkan pada Syam bahwa mereka telah membina para anggota ABRI yang ikut defile pada HUT ABRI 5 Oktober 1965 di Jakarta. Bagi para pimpinan Biro Chusus di Sumatera Barat dan Utara, yakni Amir diingatkan oleh Syam untuk mendengarkan siaran RRI sebagai patokan bertindak.

Rancangan Biro Chusus ini dilakukan secara under cover, dalam hal ini hanya Aidit dan Syam yang merencanakan penyelenggaraan rapat-rapat di bulan September 1965, baik di pusat maupun di daerah yang kemudian dikomunikasikan secara amat terbatas dan, selanjutnya para perwira yang diperankan untuk bertindak melaksanakan operasinya di lapangan. Adapun, gerakan ini memiliki dua target, yaitu target militer dan dilanjutkan dengan target politik. Target militer bertujuan mengeliminasi pimpinan-pimpinan dalam angkatan bersenjata dan target politiknya, setelah operasi berhasil akan dibentuk Dewan Revolusi.

Dua pengumuman yang disiarkan melalui RRI merupakan hard fact yang mendukung pemahaman G. 30 S/1965 adalah sasaran antara menuju kudeta. Pengumuman pertama berlangsung pada 1 Oktober 1965 pukul 07.30 (pagi), RRI Pusat diduduki dan dipakasa menyiarkan berita Gerakan 30 September yang menyebutkan “.. adanya gerakan militer dalam tubuh AD yang dibantu pasukan-pasukan bersenjata lainnya di bawah pimpinan Letkol Untung….”. Pada tahap gerakan militer tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu alibi bahwa gerakan ini seolah-olah murni gerakan dalam tubuh Angkatan Darat (AD).

Pengumuman kedua yang disiarkan melalui RRI ini berlangsung pada pukul 14.00 (siang) dari bagian penerangan Gerakan 30 September, yakni lahirnya Dekrit No. 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia sebagai sumber dari segala kekuasaan negara dan menyatakan Kabinet Dwikora dalam status demisioner hingga terbentuknya kabinet baru yang dilaksanakan oleh Dewan revolusi Indonesia yang akan dibentuk dari pusat hingga daerah-daerah. Dengan demikian Dekrit ini telah menunjukkan bahwa G. 30 S 1965 adalah gerakan politik yang ditujukan bagi main goal PKI dalam merebut kekuasaan guna membangun pemerintahan yang belandaskan pada idiologi Komunis.

4. Penutup: Tidak Ada Tempat Komunisme di Bumi Pancasila

Mengapa kita menentang Komunisme? Pertanyaan ini mengandung suatu posisi bahwa dalam ajaran Komunis terdapat pokok-pokok pemikiran yang bertentangan dengan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia dan Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa, PKI menjadi organisasi terlarang, bukan saja dalam sejarahnya telah melakukan dua kali pemberontakan dan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia seperti yang terjadi pada 1948 dan 1965, tetapi juga karena ajaran Komunisme yang menjadi landasan pemikiran serta pembenaran kegiatan politik PKI.

Perbedaan mendasar antara Pancasila dan Komunisme tidak hanya terletak pada Sila pertama saja, tetapi juga dengan sila-sila lainnya sebagai suatu keseluruhan wawasan. Perbedaan ini dapat dijelaskan bahwa komunisme adalah idiologi totaliter yang tidak mengakui demokrasi. Dalam realitanya, partai-partai Komunis selalu melakukan perebutan kekuasaan dan tidak pernah mengijinkan diadakan pemilihan umum secara bebas. Sebagai idiologi totaliter, Komunisme berorientasikan pada materialisme. Pancasila adalah idiologi terbuka yang terbuka pada demokratisasi dan kemanusiaan.

Selain itu, gambaran umum masyarakat yang dicita-citakan menurut idiologi Komunis tidak bercorak nasional dan tidak bertanah air. Oleh karena itu, satu-satunya faktor yang dapat memberikan jalan untuk membangkitkan semangat yakni dengan menggalang persatuan diantara mereka yang mempunyai nasib sama. Dengan demikian, revolusi Komunis adalah revolusi dunia, artinya tidak dibatasi oleh kesadaran apapun. Demikian pula masyarakat yang merupakan hasil revolusi dunia itu adalah masyarakat Komunis dunia pula. Pokok-pokok Komunis yang menunjukkan gambaran utopis inilah yang pada hakekatnya ditentang oleh pancasila. Dengan mengakui azas kemanusiaan yang adil dan beradab, secara tegas Pancasila menyatakan bahwa nasionalisme adalah azas yang fundamental.


Pada akhirnya, perbedaan-perbedaan mendasar tersebut mempertegas bahwa Komunisme tidak memiliki tempat di bumi pertiwi ini. Menegakkan dan mengamalkan pancasila adalah kebutuhan mendesak di tengah upaya-upaya dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mereduksi dan menjauhkan idiologi tersebut dari kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini dan di masa depan. Oleh karena itu, tetap “Katakan Tidak Pada Komunisme” di bumi Indonesia tercinta ini.

Pak Harto Membangun Dunia Pendidikan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara

Pak Harto Membangun Dunia Pendidikan

 Oleh : Bakarudin

I. Pengantar

Presiden Soeharto memiliki konsep universal tentang dunia pendidikan, karena mampu memaparkan secara rinci kendala yang dihadapi bangsanya, sekaligus memiliki konsep penanggulangannya.”

Kalimat di atas diucapkan Direktur Jenderal UNESCO Prof. Federico Mayor ketika pertama kali berkunjung ke Jakarta dan bertemu Presiden Soeharto. Kemudian pada tanggal 19 Juni 1993 UNESCO memberikan penghargaan Avicenna Medals (Medali Ibn Sena) kepada Pak Harto sebagai Tokoh Pendidikan Internasional. Avicenna Medals memiliki peringkat tertinggi bagi UNESCO. Dan Pak Harto adalah Presiden pertama penerima Avicenna Medals.

Avicenna Medals diberikan kepada seseorang yang mampu mengembangkan seluruh misi UNESCO, yaitu mengembangkan kemajuan pendidikan dan kebudayaan masyarakat dalam arti luas. Istilah Avicenna sendiri mengacu dari nama cendekiawan muslim yang berprofesi sebagai dokter, pendidik maupun juru dakwah. Semasa hidupnya (980-1037 M) Avicenna yang nama aslinya Abu Ali al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina banyak menyumbangkan pikiran sebagai peneliti ilmu kedokteran maupun keagamaan yang dituangkan dalam bentuk buku.

Prestasi Presiden Soeharto dalam pembangunan pengembangan pendidikan terlihat dari kondisi partisipasi anak usia 6 sampai dengan 12 tahun yang menikmati pendidikan mencapai 97 persen. Bentuk lembaga pendidikan dasar tersebut bukan hanya SD Negeri atau swasta saja, melainkan melalui lembaga atau organisasi keagamaan dan kebudayaan, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Taman Siswa dan pesantren anak-anak. Yang mendapat banyak perhatian dari UNESCO adalah komitmen Presiden Soeharto dengan program Pemberantasan Tiga Buta. Yakni : buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia, serta buta pendidikan dasar.

Porsi anggaran pendidikan dalam APBN sendiri semakin meningkat. Presiden Soeharto mengatakan pendidikan menduduki posisi yang sangat penting untuk membangkitkan potensi manusia Indonesia, sehingga menjadi kekuatan pembangunan. Secara bertahap setelah program pendidikan dasar diimplementasikan, Presiden Soeharto terlihat berupaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan ciri kehidupan Indonesia. Pada saat menerima Avicenna Medals, Presiden Soeharto mengatakan, penghargaan tersebut diberikan untuk seluruh rakyat Indonesia. Kendati demikian dalam pandangan Presiden Soeharto pembangunan pendidikan harus terus digalakkan dan ditingkatkan.

Tentu sangat tidak mudah mendorong masyarakat untuk mau mengikuti pendidikan, mengingat masyarakat desa dan juga kota-kota tentu disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah. Tetapi, pemerintah berhasil membangkitkan kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Bisa membaca dan berhitung itu menjadi modal dalam mengarungi kehidupan. Dengan demikian, melek huruf, melek angka, dan melek bahasa Indonesia berhasil menembus hutan rimba seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (kini Papua). Sungguh prestasi luar biasa bagi pemerintahan Presiden Soeharto pada masa tersebut.

II. Implementasi Nilai Jati Diri Bangsa dalam Era Orde Baru

Penerapan nilai jati diri bangsa pada era Orde Baru dalam membangun karakter untuk memperkuat bangsa adalah berpedoman kepada nilai jati diri bangsa yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Grand konsepnya yang terkenal adalah kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Artinya semua pandangan, pemahaman, sikap dan perilaku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap warga negara dan penyelenggara negara harus berlandaskan kepada nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi. Pandangan dalam perspektif bangsa merdeka, bangsa pejuang, bangsa religius dan bangsa pancasilais didasarkan pada parameter Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi.

Untuk memperkuat pandangan dan pemahaman serta penerapan nilai jatidiri bangsa yang pancasilais, Presiden Soeharto membentuk sebuah badan negara non departemen yang memiliki tugas khusus untuk membangun karakter bangsa yang merdeka, pejuang, religius dan Pancasilais yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 Proklamasi. Badan tersebut diberi nama BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)yang memiliki cabang tersebar hingga ke seluruh daerah tingkat Kabupaten/Kota. Sasaran masyarakat yang dilakukan pembinaan P-4 nya menggapai seluruh lapisan tanpa kecuali. Lapisan masyarakat (strata sosial) meliputi institusi pemerintah, organisasi sosial kemasyarakatan, orsospol, pelajar dari semua tingkatan (SD, SMP, SLTA, PT). Masyarakat yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri (Kedubes RI). Internalisasi nilai jati diri bangsa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Nilai kemerdekaan, kejuangan, keagamaan dan pancasilais terpatri dalam dada dan hati nurani rakyat seluruh bangsa Indonesia. Implikasinya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang gandrung akan gotong royong, setia kawan, saling tolong menolong, toleransi dalam kerukunan hidup beragama. Hormat, taat dan tertib dalam semua aspek kehidupan.

Nilai jatidiri asing (western) yang masuk di Indonesia pada era ini mengalami kesulitan “akut“ untuk dapat masuk mempengaruhi pengetahun, pemahaman dan tindakan bangsa menurut nilai barat atau nilai yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, seperti nilai komunisme dari Eropa Timur dan nilai free fight liberalism dari Eropa barat . Demikian juga dengan penggunaan bahasa asing diganti dengan bahasa Indonesia dalam reklame, media massa dibatasi jumlah dan dilakukan kontrol yang ketat terhadap isinya (content) nya.

Penerapan nilai jati diri bangsa merdeka semua diarahkan sesuai nilai Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi. Kebebasan boleh terjadi pada setiap warga negara namun tetap dalam koridor kebebasan yang bertanggungjawab. Demonstrasi boleh asal tidak mengganggu stabilitas pembangunan. Kebebasan boleh tapi tidak boleh menganggu ketenteraman umum, dan seterusnya. Kehidupan beragama berjalan rukun tampa ada konflik yang dapat mengorbankan jiwa dan raga seperti sekarang. Nilai jati diri bangsa pejuang berlangsung sangat hidmat. Terlihat dari penghormatan terhadap para pahlawan, simbol –simbol kenegaraan, upacara –upacara berlangsung sangat tertib di semua aspek kehidupan. Penghormatan terhadap jasa-jasa orangtua, pemimpin, guru serta dosen dalam mendidik generasi sangat mengharukan serta membanggakan. Tentu tak ada gading yang tak retak.

 III. Mendorong Pencerdasan Bangsa

Lebih dari itu, Presiden Soeharto menyadari bahwa biaya pendidikan cukup mahal bagi banyak masyarakat Indonesia. Sebab itu, kemudian Pak Harto membentuk Yayasan Supersemar dengan tugas memberikan beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa yang tidak mampu dan berprestasi. Pada tanggal 16 Mei 1974, Pak Harto mendirikan Yayasan Supersemar. Anak-anak Indonesia yang tidak mampu namun berprestasi tersebut merupakan potensi dan menjadi aset negara, yang kelak akan memberikan sumbangan besar kepada kemakmuran Indonesia.

Pada tahun 1985, misalnya, Yayasan Supersemar sudah mampu memberikan beasiswa kepada sebanyak 6.000 mahasiswa. Sementara lulusan perguruan tinggi yang pernah mendapat beasiswa sudah sebesar 5.000 orang. Keberhasilan Yayasan Supersemar memberikan beasiswa tidak terlepas dari kepiawaian pengelolaan dana yang dimiliki. Kini, setelah Pak Harto wafat, Yayasan Supersemar tetap berdiri tegak dan masih meneruskan memberikan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa. Bahkan, terdapat ribuan mahasiswa S1, S2, dan S3 yang menerima beasiswa.

Selain Yayasan Supersemar, Pak Harto juga mendirikan Yayasan Trikora dan Yayasan Damandiri. Yayasan Trikora dimaksudkan untuk menyantuni pendidikan bagi anak dan janda para pejuang yang gugur dalam operasi Pembebasan Irian Barat (sekarang disebut Papua). Yayasan Trikora berdiri sebelum Pak Harto menjadi Presiden, yakni, berdiri pada tahun 1963. Dalam buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto ditulis—“Korban-korban itu, prajurit-prajurit yang gugur, meninggal di medan tugas. Walaupun gugurnya di medan tugas tapi perintahnya dari saya, saya merasa bertanggung jawab. Saya menempatkan diri sebagai pengganti ayah bagi anak-anak prajurit yang gugur itu. Sebab siapa yang akan mengurusi anak-anak itu. Ayahnya sudah gugur, lantas pensiun pada waktu itu pensiunnya hanya berapa?”

Begitulah kebajikan Pak Harto yang merasa harus bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak para prajurit yang gugur karena membela kedaulatan NKRI. Pak Harto merasa memiliki tanggung jawab moral atas kelangsungan hidup dan pendidikan bagi anak-anak pahlawan. Padahal, Pak Harto pada saat itu bukanlah seorang menteri pendidikan apalagi seorang Presiden. Perhatian Pak Harto juga diberikan kepada keluarga dari para pejuang yang gugur dalam Operasi Seroja di Timor Timur. Pak Harto membentuk Yayasan Seroja. Dilandasi dengan pemikiran yang welas-asih, Yayasan Seroja menyantuni anak-anak, janda, dan mereka yang cacat akibat ikut bertempur di Timor Timur.

Sayangnya, di masa reformasi pengorbanan para pejuang tersebut sia-sia, karena Presiden BJ Habibie yang memberikan kebijakan jajak-pendapat untuk memilih Indonesia atau merdeka. Pada tahun 1999 ditengarai dicampuri oleh sejumlah negara asing—terutama Australia dan Amerika Serikat—jajak pendapat dimenangkan kelompok yang antiintegrasi. Kini, Timor Timur telah menjadi sebuah negara sendiri dengan nama Republik Timor Leste. Sungguh bangsa Indonesia tentu sangat kehilangan, lantaran Timor Timur sudah menjadi bagian integral bagi NKRI di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Peningkatan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, adalah sisi penting yang harus dilakukan manusia untuk mengoptimalkan makna kehadiran manusia baik secara individual maupun kolektif. Sebuah bangsa yang dibangun melalui dasar-dasar kokoh di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan akan membuat bangsa itu menjadi bangsa yang kuat dan maju dalam jangka panjang. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah merealisasikannya dengan membangun sekolah-sekolah sampai pelosok desa.
Kawasan-kawasan yang masih terisolir pun tidak luput dari jangkauan pendidikan. Kita tentu masih mengingat SD Inpres, guru masuk desa, pemberantasan buta huruf, buta angka dan buta bahasa Indonesia yang secara konsisten dan simultan dilakukan. Pemberantasan buta huruf tidak hanya ditujukan kepada anak-anak usia sekolah, melainkan menjangkau pula orang dewasa dan orangtua. Sehingga menjadi pemandangan unik pada kisaran tahun 1980-an dan 1990-an, kerap muncul di layar televisi maupun di media cetak, orangtua-orangtua tengah belajar membaca.

Indonesia memang harus terus membangun dunia pendidikannya. Kemajuan sebuah negara antara lain dapat dilihat dari kemajuan tingkat pendidikan masyarakatnya. Untuk itu, Pak Harto selalu mengingatkan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia jika ingin mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan, menjadi amanat Konstitusi, bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara.

Penulis adalah anggota diskusi di Yayasan Kajian Citra Bangsa

Soal Konstitusi Kita

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara

SOAL KONSTITUSI KITA

Renungan Awal Tahun 2013

Oleh: RM. AB. Kusuma[1]

Pada awal tahun 2013 ini, penulis merenungkan mengenai kepemimpinan presiden Yudhoyono, seorang jenderal yang berusaha menjadi negarawan besar. Sayangnya, meskipun telah lebih dari delapan tahun menjadi presiden, beliau masih kurang fokus melaksanakan tugasnya sebagai presiden. Beliau masih sibuk menggubah lagu sehingga kehabisan waktu untuk menggariskan pendapatnya sendiri (bukan pendapat “Staf”) mengenai sistem pemerintahan yang cocok untuk Indonesia.

Sampai sekarang, meskipun agak galau, presiden Yudhoyono menggunakan sistem pemerintahan yang didasarkan pada “UUD 1945 versi 2002” yang disusun oleh sejumlah besar anggota MPR yang menamakan dirinya “the second founding fathers” (sic)[2]. Nampaknya beliau masih percaya pada para pakar yang berhasil mengamandemen UUD 1945 dengan “prinsip konstitusi” yang disarankan oleh National Democratic Institute yang antara lain berpendapat bahwa Sistem Presidensial Amerika Serikat yang menggunakan Trias Politika lebih bagus daripada Sistem Westminster Inggris yang tanpa Trias Politika. Padahal, menurut penelitian Fred W. Riggs dari Universitas Hawai, dari 33 Negara Berkembang yang menggunakan sistem presidensial, hampir semuanya tidak berjalan mulus, coup d’etat terjadi di 21 negara Amerika Latin, 7 di Afrika dan 2 di Asia. Tiga Negara Berkembang lainnya juga mengalami hambatan yang serius. Sebaliknya, di 43 Negara Berkembang yang menggunakan sistem parlementer model Inggris yang tanpa Trias Politika, 29 negara pemerintahannya berjalan relatif mulus, 13 mengalami coup d’etat dan 1 negara, yaitu Granada, mengalami revolusi.

Kesepakatan anggota MPR yang mengira bahwa sistem pemerintahan yang disusun oleh Pendiri Negara, yaitu “Sistem Sendiri”[3] sebagai “sistem presidensial” dapat dipastikan keliru, karena para Pendiri Negara dengan tegas menyatakan bahwa Sistem Sendiri berbeda dengan Sistem Parlementer (Cabinet Government) dan Sistem Presidensial Amerika Serikat.[4] Jadi, asumsi anggota MPR yang mengamendemen UUD 1945 bahwa Sistem Presidensial harus dipertahankan dapat dipastikan keliru.

Selain kesalahan itu, para anggota MPR tersebut melakukan kesalahan besar yaitu tidak menepati janji untuk melakukan Amendemen dengan cara Adendum, karena kenyataannya mereka merombak UUD 1945 dengan cara “sembrono” yaitu:
  1. Mengubah “basic structure” dengan cara menghapus Dewan Pertimbangan Agung (berlawanan dengan cara Adendum yang seharusnya hanya menambah, bukan mengurangi “lembaga negara” yang tersruktur),
  2. Menambah “ketentuan” secara besar-besaran, dari sekitar 75 ketentuan menjadi sekitar 190 ketentuan,
  3. Letak kedaulatan (locus of sovereignty) yang semula di satu tempat, yaitu di MPR (seperti Parlemen Inggris) diubah menjadi tidak jelas tempatnya, apakah terletak di tiga tempat seperti sistem presidensial Amerika Serikat, atau terletak di semua lembaga yang disebut dalam UUD 1945 versi 2002.
  4. Mengubah asas dan sistem pemilihan umum. Semula, di UUD 1945 Asli, hanya satu lembaga negara, yaitu lembaga perwakilan, yang dipilih langsung, tetapi di UUD 1945 versi 2002, lembaga kepresidenan juga dipilih langsung, sehingga terjadi “double legitimacy”, tetapi hubungan antara lembaga kepresidenan dan lembaga perwakilan kurang jelas pengaturannya.[5]
  5. Menghapus adanya “lembaga tertinggi”, yaitu yang memberi “kata putus” (“final say”) bila ada sengketa antar lembaga negara.
Sementara ini, penulis, yang menyiapkan tulisan mengenai “Historical rankings of Indonesian presidents”, menilai bahwa kepemimpinan presiden Yudhoyono lebih baik dari pada kepemimpinan presiden Habibie, Abdurrahman Wahid atau Megawati. “Ranking” itu dapat meningkat atau menurun, tergantung pada kebijakan presiden Yudhoyono pada masa akhir jabatannya. Ranking dapat meningkat  bila presiden Yudhoyono menghapus kebijakan pendahulunya yang sangat merugikan Rakyat, yaitu “private debt” yang dijadikan “public debt”. Hal itu terlihat dari utang Konglomerat Hitam sebesar 650 trilliun dan bunganya sebesar 60 trilliun setiap tahun yang dibebankan kepada Rakyat melalui APBN. 

Demikian pula sebaiknya pemilihan para pejabat negara didasarkan pada pemahaman mengenai UUD 1945 yang benar, bukan hanya karena mempunyai gelar Ph.D. berdasar “textbook” yang dipelajarinya.
Seyogyanya, sebelum menggariskan pendapatnya mengenai sistem pemerintahan, presiden Yudhoyono harus mendalami “prinsip-prinsip konstitusi” dengan sungguh-sungguh agar dapat menganalisa kekhasan pemerintahan Dwitunggal selama Perang Kemerdekaan, kekhasan pemerintahan jaman Republik Indonesia Serikat yang kabinetnya tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen, kekhasan pemerintahan tahun 1950-1956 yang punya presiden, wakil presiden dan perdana menteri, kekhasan pemerintahan tahun 1956-1959 yang mempunyai presiden dan “menteri pertama”, kekhasan pemerintahan jaman demokrasi terpimpin dan kekhasan sistem presidensial versi “UUD 2002”.
Tentang memilih “penyelenggara negara”

Pada tahun 1964, pada waktu menyusun “proposal” yang akan diajukan pada Jenderal Nasution untuk membentuk “Perwira Cadangan” dengan pola “Reserve Officer Training Corps” (ROTC), penulis banyak membaca “buku militer”, antara lain memoir Field Marshal Bernard Montgomery. Dia menyatakan bahwa seorang pemimpin itu harus mengetahui batas kemampuan (Montgomery memakai kata “ceiling”) bawahannya, jadi, seorang komandan brigade yang baik belum tentu dapat menjadi komandan divisi yang baik karena “ceiling”-nya terbatas hanya setinggi komandan brigade. Selain itu dia juga mengatakan bahwa menurut pakar Jerman ada 4 tipe manusia, tetapi di memoirnya dia tidak menyebut siapa pakar itu. Setelah ditelusuri, pendapat itu ternyata dikemukakan oleh Field Marshal Von Moltke “the Elder” (1800-1900) dan dikutip oleh Jenderal Von Manstein (1887-1973) dalam memoir-nya yang berjudul, “Aus Meinem Leben”. Intinya, ada 4 tipe perwira, yaitu:
  1. The brilliant and lazy man makes the best commanding officer. He tend to see the big picture accurately and avoids preoccupation with detail work which might distract him.
  2. The brilliant and energetic man, makes the best staff officer. He handles routine work with accuracy and completeness.
  3. The stupid and lazy man makes the best subordinate. He will do what he is told properly, no more no less.
  4. The stupid and energetic man, however, is to avoided in all cost. He is capable of ruining the best laid plans.
 Rumusan Moltke sebagai berikut,
  1. Smart and lazy, I make them my Commanders because they make the right thing happen but find the easiest way to accomplish the mission.
  2. Smart and enegetic, I make them my General Staff Officers because they make intelligent plans that make the right things happen.
  3. Dumb and lazy, There are menial tasks that require an officer to perform that they can accomplish and they follow orders without causing much harm.
  4. Dumb and energetic, These are dangerous and must be eliminated. They cause thing to happen but the wrong things to cause trouble (Montgomery memakai frasa “remove immidiately”).
Kalau pendapat Moltke itu diterapkan pada kepemimpinan presiden Yudhoyono, maka pembantu presiden seperti Heru Lelono, tokoh “Blue energy” dan “Super Toy” dan Andi Arif, staf bidang “penanggulangan bencana alam” yang gemar mencari “peninggalan purbakala di gunung Padang”, perlu segera disingkirkan. Mengenai Sudi Silalahi dan Dipo Alam tidak akan diberi catatan masuk ke golongan mana, tetapi pembantu yang suka memuji-muji berlebihan (false applause)[6] sehingga menyebabkan presiden “pusing”, perlu juga segera disingkirkan.

Military leadership” memang lebih sederhana dari “Statesmanship”. Moltke adalah seorang terpelajar, ahli strategi terbesar abad 19, penulis sejumlah buku yang mashur. Moltke menguasai 7 bahasa, yaitu Jerman, Denmark, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia dan Turki dan menerjemahkan buku Gibbon, The decline and fall of the Roman Empire yang pada waktu itu terdiri dari 12 jilid (yang ada di lemari buku orang tua penulis, 6 jilid). Tetapi dia tidak sempat menjadi kepala pemerintahan karena hidup sejaman dengan tokoh yang lebih besar, yaitu Otto von Bismarck.

Di Perancis, militer yang sempat menjadi negarawan besar adalah Napoleon Bonaparte yang membentuk “Code Napoleon” dan Charles de Gaulle (1890-1970) yang memperbaharui sistem pemerintahan di Republik ke-V Perancis pada tahun 1958 menjadi sistem “semi-presidensial” dengan bantuan Maurice Duverger.

De Gaulle punya pandangan sendiri untuk mengangkat keagungan (Grandeur) Perancis, sebab itu dia tidak suka pada ucapan Talleyrand bahwa “War is much too serious a thing to be left to military men” (dikutip oleh Aristides Briand dan dikatakan kepada Lloyd George[7]). Setelah berpengalaman memimpin pemerintahan di Perancis dan melihat gonjang ganjing pemerintahan Perancis selama 12 tahun (1946-1958), De Gaulle menolak anggapan bahwa tokoh militer kurang mampu memahami dunia politik, sebab itu dia membalik ungkapan itu menjadi “I have come to the conclusion that politics are too serious a matter to be left to the politicians”. Menurut de Gaulle orang yang berpengalaman di bidang militer harus ikut campur menentukan kebijakan pemerintah. De Gaulle, sama dengan Napoleon, tidak suka kebijakan pemerintah dicampuri oleh para Hakim. Dia menganggap bahwa “Gouvernement des juges” (Government of judges”) tidak cocok untuk Perancis. Seharusnya, bila para Hakim tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, yang memutuskan harus seluruh rakyat (dalam bentuk Referendum), bukan para hakim Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Di “semi-presidensial”, ada “double legitimacy”. Konsekuensinya, Presiden punya kekuasaan besar, tidak sepenuhnya tergantung pada Parlemen. Hal itu berarti bahwa kebijakan presiden tidak tergantung kepada Majelis Rendah (National Assembly), bahkan Presiden dapat membubarkannya. Tetapi Presiden tidak dapat membubarkan Majelis Tinggi (Senat).

Kembali kepada sistem pemerintahan. Para Pendiri Negara menyelenggarakan sistem “semi-presidensial” yang mempunyai Presiden yang kuat dan Perdana Menteri yang bertanggung jawab ke KNIP (DPR Sementara) lebih dahulu dari Perancis, yaitu dari bulan November 1945 sampai Desember 1949.[8] Fakta itu berarti bahwa pada masa itu sistem kita beralih dari sistem presidensial ke sistem semi-presidensial, bukan ke sistem parlementer.

Mengingat bahwa para Pendiri Negara telah memikirkan sistem pemerintahan dengan cermat, seyogyanya, presiden Yudhoyono mempelajari ajaran Pendiri Negara baik yang bernilai prinsip Konstitusi maupun yang “praktis”. Umpamanya, ajaran mengenai “Self Relience” dan “Self Confidence”. Ajaran Bung Karno bahwa “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya” yang diucapkan sebelum pidato Proklamasi Kemerdekaan. Juga ajaran yang tercantum di pidato Proklamasi bahwa “Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Accuracy and Speed).[9] Ajaran Bung Karno yang melepaskan diri dari partai yang didirikannya, yaitu PNI, karena berpendapat bahwa beliau akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat Indonesia. Ajaran “ My loyalty to my party end where my loyalty to my country begin” tidak diikuti oleh presiden Yudhoyono sehingga terjebak oleh kelakuan anak buahnya yang menjadikan organisasi yang didirikannya, Partai Demokrat dijadikan organisasi untuk mengeruk kekayaan rakyat Indonesia atau “organisasi untuk melakukan kejahatan” (organized crime”).

Ucapan presiden Yudhoyono bahwa beliau wajib membela Andi Mallarangeng yang dituduh korupsi dalam proyek Hambalang menunjukkan bahwa beliau kurang memahami prinsip-prinsip Hukum dan Konstitusi. Presiden Yudhoyono tidak memahami asas “ignorantia juris non excusat” (“ignorance of the law does not excuse”), atau “ignorantia legis neminem excusat” (“ignorance of the law excuses no one”). Artinya, semua penduduk, apalagi pejabat, harus mengetahui perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ada dalil “Sang pejabat tidak mengetahui perundang-undangan tersebut”.[10] Demikian pula pembelaannya terhadap Sri Mulyani dan Boediono dalam peristiwa “Skandal Bank Century” dapat dianggap keliru. Catatan penulis sebagai berikut:
  1. Presiden membela mereka dengan menerbitkan Perpu No.4 Tahun 2008 yang substansinya, yaitu yang tercantum di pasal 29 berbunyi: “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang itu tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimna dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang itu”. Ketentuan seperti itu melanggar asas “checks and balances”, “supremacy of the law” dan asas “equality before the law”. Disamping itu, sebagai orang yang menganggap Amerika Serikat sebagai negerinya yang kedua, tentunya beliau mengetahui bahwa ketentuan yang dirancang oleh Secretary of Treasury Henry Paulson dalam rangka “bailout” yang berbunyi: “Decissions by the Secretary pursuant to discretion, and may not reviewed by any court of law or any administrative agency” ditolak oleh Congress dan tidak dijadikan ketentuan di “Emergency Economic Stabilisation Act of 2008” karena bertentangan dengan asas tersebut diatas.
  2. Presiden Yudhoyono juga harus bertanggung jawab atas tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengubah pasal 11 undang-undang No. 24/2008 yang semula terdiri dari 3 ayat ditambah dengan ayat yang berbunyi: “bila terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan”. Sri Mulyani keliru karena baik di sistem Parlementer maupun sistem Presidensial, kekuasaan mengubah undang-undang ada di DPR, bukan di Pemerintah. Menteri Keuangan tidak diperbolehkan mengubah undang-undang meskipun mendapat kuasa dari Presiden.
  3. Selain itu kesalahan Sri Mulyani yang harus ditanggung presiden adalah ketika dia menaikkan “nilai simpanan yang dijamin” dari seratus juta rupiah menjadi dua milyar tanpa berkonsultasi dengan DPR.
Para Pendiri Negara adalah tokoh yang cemerlang, baik menurut ukuran Belanda maupun ukuran jaman sekarang, jadi ucapan presiden Abdurrachman bahwa para Pendiri Negara munafik karena tidak menjalankan Trias Politika menunjukkan bahwa beliau tidak memahami teori Konstitusi dan tulisan Denny Indrayana yang mengemukakan bahwa UUD 1945 adalah “Konstitusi tanpa Konstitusionalisme” adalah ucapan yang sangat “sembrono”, tidak pantas, karena menganggap dirinya lebih pintar dari Pendiri Negara.[11]

 Singkatnya, presiden harus mencari penasehat yang benar-benar ahli.





[1]     A.B.Kusuma, Peneliti Pusat Studi HTN, FH UI

[2]     Penulis berpendapat bahwa “UUD 1945 versi 2002” yang disusun oleh “the second founding fathers” (seharusnya disebut “the second framers of the Constitution”), adalah UUD yang sah meskipun disusun dengan cara “sembrono” karena disusun oleh anggota MPR yang dipilih langsung oleh Rakyat.

[3]     Pada tahun 1945 hanya dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial. Para penyusun UUD 1945 belum menemukan nama yang tepat, sebab itu, untauk sementara, digunakan nama Sistem Sendiri (Prof. Ismail Suny menyebut sebagai sistem “quasi-presidensial”). Istilah sistem semi-presidensial diperkenalkan oleh Maurice Duverger pada waktu menyusun Konstitusi Republik ke V Perancis yang dipimpin Brigadir Jenderal De Gaulle. Versinya banyak, versi besarnya ada dua, yaitu semi-presidensial yang condong ke sistem presidensial seperti Perancis dan semi-presidensial yang condong ke sistem parlementar seperti Portugal. Sistem semi-presidensial sekarang dilaksanakan oleh 58 negara, jadi sudah merupakan sistem yang khas sendiri.

[4]     Dikemukakan oleh Prof. Supomo dan Dr.Sukiman (lihat Yamin, 1959:339-340 dan 1959:323-324; Risalah Sekretariat Negara, 1995:303-306 dan 285-286; Kusuma, 2004:388-389; Kusuma, 2009: 388-389 dan 374-375.

[5]     Perlu kejelasan mengenai pengertian “memperkuat sistem presidensial”. Apakah hal itu berarti akan menjadikan Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (“Senat”)? Di Amerika Serikat seorang Secretary dilarang hadir di Congress, kecuali bila ada “Investigasi”. Jadi, ucapan Azis Syamsudin bahwa dia dapat mengeluarkan Denny Indrayana karena “contempt of parliament” (sic) dan ucapan Effendi Simbolon bahwa DPR dapat “memanggil paksa” Dahlan Iskan menunjukkan bahwa hubungan antara kedua lembaga negara itu belum dirumuskan dengan baik.

[6]     Pada waktu dipilih menjadi Khalifah, Abu Bakarberkata: “I have been given authority over you but I am not the best of you. If I do well, help me, and if I do ill then put me right. True criticism is considered a loyalty and false appause is treachery”.

[7]     Lihat Dean Acheson, “Power and Diplomacy, 1958:29. Letjen Hasnan Habib pernah menulis di Kompas, sekitar tahun tujuhpuluhan bahwa kalimat itu berasal dari Lloyd George, tulisan itu perlu diluruskan. Demikian pula tulisan Hadisusastro, dalam “Pikiran dan Gagasan” (hasil seminar kelompok Dr. Daud Yusuf) yang mengira bahwa kalimat itu berasal dari Clemenceu juga perlu diluruskan.

[8]     Kabinet pertama adalah kabinet presidensial. Sedangkan kabinet Syahrir I, II, III, kabinet Amir Syarifudin dan kabinet Hatta yang bertanggung jawab kepada KNIP harus digolongkan kedalam Semi-Presidensial karena punya Perdana Menteri yang bertanggung jawab pada KNIP dan Presiden yang mempunyai kekuasaan besar dan hanya bertanggung jawab kepada MPR

[9]     Rapidity is the essence of war.

[10]    Di Indonesia dikenal sebagai “fiksi hukum” yang berasal dari yang berasal dari Aristoteles dan menjadi hukum Roma yang berbunyi “nemo cencetur ignorare legem” (no body is thought to be ignorant of the law) atau “ignorantia iuris nocet” (not knowing the law is harmful).

[11]    Contohnya, Arsitek utama Penjelasan UUD 1945, Prof.Supomo, yang mengemukakan bahwa kunci pokok “Sistem Pemerintahan” berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) dan ‘Sistim Konstitusionil” sudah pasti faham teori Konstitusi dan Konstitusionalisme. Beliau mendapat gelar Mr. dan Doktor ilmu hukum dari Universitas Leiden hanya dalam waktu tiga tahun setelah lulus sekolah menengah kejuruan dengan mendapat penghargaan “Gajah Mada” yang tidak pernah diraih oleh sarjana yang lain. Beliau menguasai bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman dan memahami bahasa Latin dan Griek (Yunani). Disertasi dan pidato pengukuhan Denny Indrayana selaku Guru Besar mengandung blunder.

IMPLIKASI SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 DI FORUM INTERNASIONAL

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara

IMPLIKASI SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 DI FORUM INTERNASIONAL:

RESPONSIBILITY GENERASI TNI DALAM MENJAGA KEDAULATAN RI

“SUATU REFLEKSI HISTORIS”

PENGANTAR

Serangan militer Belanda kedua terhadap ibukota RI di Yogyakarta sebagai surprise attack ditujukan untuk melumpuhkan RI beserta atribut-atributnya, yaitu para pimpinan negara dan TNI. Maksud serangan memang tercapai dengan direbutnya ibukota RI dan ditangkapnya presi­den, wakil presiden beserta tokoh-tokoh lainnya. Dalam ajaran perang klasik dis­ebutkan bahwa tujuan perang adalah mematahkan semangat perlawanan musuh, sedang dasar pokok dari semangat perlawanan itu terwujud dalam diri kepala negara sebagai panglima tertinggi. Menurut A.H. Nasution, ajaran ini tidak sesuai dengan yang terjadi di wilayah RI, karena dalam kenyataannya perlawanan rakyat di bawah organisasi teritorial TNI dapat berfungsi dengan lancar dan, bahkan disertai semangat berkobar (1971: 26).

Efektivitas organisasi teritorial ini adalah hasil pembelajaran dari pengalaman TNI dalam menggunakan Strategi Linier Konvensional yang mudah dikalahkan Belanda saat melancarkan serangan militernya pertama. Pengalaman kegagalan ini dijadikan lesson yang mendorong lahirnya strategi pertahanan baru TNI dalam menghadapi kemungkinan munculnya serangan lanjutan dari pihak Belanda. Konsep strategi dengan menggunakan pola perlawanan rakyat secara total tersebut tertuang dalam Perintah Siasat No. 1/1948 Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai dasar pedoman dalam menjabarkan semua rencana operasi TNI yang dipandu melalui instruksi-instruksi Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTID) kepada para komandan Divisi hingga komandan Brigade dan Subteritorium dibawahnya.

Instruksi-instruksi tersebut harus sesuai dengan Perintah Siasat No. 1/1948. Instruksi No. 1 sebagai instruksi pertama pasca serangan militer Belanda kedua, memuat pernyataan tentang pembentukan pemerintahan militer di seluruh Jawa. Tujuan pembentukan pemerintah militer ini: Pertama, Republik harus tetap berjuang sebagai negara. Kedua, pemerintahan berjalan terus. Ketiga, pemerintahan militer satu-satunya alat perjuangan. Di samping itu, PTID memerintahkan untuk melakukan peninjauan terhadap situasi daerah Yogyakarta melalui kontak yang dilakukan dengan para komandan brigade di bawah Divisi III, diantaranya Komandan Brigade 10 Wehrkreise III Letkol Soeharto yang menyatakan telah menguasai keadaan (Nugroho Notosusanto, 1973: 32).

Serangan Oemoem 1 Maret 1949 ke kota Yogyakarta di bawah pimpinan Letkol Soeharto merupakan bagian dari penjabaran rantai instruksi-instruksi tsb. Dan, Serangan Oemoem ini adalah salah satu contoh kemampuan TNI bersama rakyat dalam melakukan gerakan guna mematahkan semangat Belanda yang berkeinginan melenyapkan RI. Para anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika, Australia, dan Belgia yang berada di Indonesia, menyaksikan pukulan yang dirasakan Belanda. Para anggota KTN kemudian melapor ke masing-masing negaranya serta PBB yang mengangkatnya sebagai mediator bagi pesengketaan RI dan Belanda. Awalnya, Belanda hendak menunjukkan pada para anggota KTN betapa mudah Belanda menyelesaikan aksi militernya dan sekaligus menunjukkan bahwa TNI tidak memiliki kemampuan untuk melawannya. Selain itu, Belanda juga berkehendak untuk membuktikan kalau RI tidak mempunyai hak sebagai negara berdaulat. Namun, obsesi Belanda ini tidak berhasil diwujudkannya.

Serangan Oemoem 1 Maret 1949 sebagai salah satu serangan besar yang berhasil menunjukkan pada dunia internasional tentang eksistensi RI sebagai negara merdeka dan berdaulat, memiliki pengaruh terhadap jalannya proses pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada Desember 1949. Oleh karena itu, tulisan dalam paper ini memfokuskan, “Bagaimana efektivitas tindakan serangan Oemoem ini sebagai salah satu bentuk responsibility TNI yang berfungsi menjadi guardian of state bagi RI saat itu?” Dari pendekatan Manajemen Strategi yang diaplikasikan Letkol Soeharto dalam memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949, peristiwa ini representatif untuk di­jadikan historical reflection bagi generasi muda kini.

KEBERHASILAN SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 DARI PERSPEKTIF MANAJEMEN STRATEGI

Agresi militer kedua Belanda yang diharapkan untuk menunjukkan pada dunia luar bahwa RI telah dilenyapkan, ternyata justru menuai simpati internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Diantaranya, Konferensi Asia di New Delhi pada 20 Januari 1949 dan DK PBB yang ditunjukkan melalui resolusinya pada 28 Januari 1949 memuat, salah satunya agar Belanda dan RI menghentikan pertempuran dan permusuhan, para pemimpin negara RI dibebaskan tanpa syarat, dan pemerintah RI dikembalikan ke Yogya.

Bahkan, dampak Serangan Oemoem yang dilancarkan pada 1 Maret 1949 terhadap Yogyakarta yang diduduki Belanda dengan kekuatan satu batalyon tempur, pasukan para, satuan lapis baja, unsur satuan bantuan tempur dan satuan bantuan administrasi serta 1 batalyon yang berada di sekitar daerah tsb, semakin menguatkan tekanan masyarakat internasional terhadap Belanda. Walaupun hanya 6 jam TNI berhasil menduduki Yogyakarta, Serangan Oemoem ini diakui Kolonel Van Langen, komandan batalyon yang memimpin penguasaan atas ibu kota RI di Yogyakarta sebagai suatu peris­tiwa yang mengejutkannya (Julius Pour, 2009: 285).

Keberhasilan Serangan Oemoem yang berimplikasi, baik secara eksternal, yakni membangun dukungan dunia internasional terhadap kedudukan Republik Indonesia maupun secara internal, yakni membangun semangat, tidak hanya pasukan dan rakyat di wilayah ibukota RI saja, tetapi juga satuan-satuan TNI lainnya serta masyarakat Indonesia umumnya, menarik untuk dikaji bagaimana Letkol Soeharto memimpin 2000 orang guna melancarkan operasi militer secara besar-besaran di siang hari. Goal dari operasi ini tidak akan tercapai tanpa kekuatan seorang leader di lapangan dalam mengaplikasikan fungsi manajemen strategi sejak awal perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), hingga penggerakan (commanding) pasukan.

Dalam melakukan perencanaan (planning) terhadap Serangan Oemoem 1 Maret 1949 sebagai serangan kelima, sedang keempat serangan pendahuluan dilakukannya pada malam hari, Komandan Brigade 10 Wehrkreise III (Divisi III), diantaranya mengadakan pertemuan­pertemuan rahasia di akhir Februari 1949 yang dihadiri wakil pemerintah kotapraja, wakil gabungan rukun kampung, dan Komandan Sub-Wehrkreise (SWK) 101 serta komandan-komandan sektor dalam kota. Pertemuan tsb dilaksanakan di Sekretariat Dewan Pertahanan daerah di Kepatihan Danurejan.

Dalam proses perencanaan ini, Letkol Soeharto bertemu dengan Sri Sultan HB IX di awal Februari 1949 yang membicarakan kondisi menurunnya semangat rakyat di dalam kota sebagai dampak pendudukan Belanda di daerah tsb. Selain itu, Sri Sultan menyampaikan pula berita radio yang menyebutkan persengketaan RI dan Belanda akan diagendakan dalam sidang DK PBB pada akhir Februari 1949. Sebelumnya, Letkol Soeharto pun telah memperoleh laporan berita tentang permasalahan RI dan Belanda yang akan disidangkan di DK PBB pada Maret 1949 dari Mayor Poerhadi. Menghadapi kondisi-kondisi tsb. keduanya mendiskusikan pentingnya kembali melakukan serangan umum besar-besaran sebelum DK PBB bersidang (Pusjarah TNI, 2000: 209). Dalam hal ini, Sri Sultan pun mengakui bagaimana dalam waktu pendek Pak Harto berhasil mempersiapkan sebuah serangan dengan pasukan yang lebih besar dari sebelumnya (Julius Poer, 2009: 293).

Pengorganisasian terhadap personil, pembagian wewenang dan tanggung jawab merupakan faktor-faktor yang harus dipenuhi guna mencapai tujuan dan target serangan yang berimplikasi terhadap aspek politis, militer, dan psikologis. Kekuatan TNI di Jogjakarta terdiri dari dua batalyon infanteri yang menjadi inti dari pertahanan Brigade 10, di samping pelbagai pasukan yang berkekuatan 1 peleton hingga 1 kompi, CPM, dll.

Dalam konsolidasi pengorganisasian, Letkol Soeharto menyusun kekuatan ke dalam sektor-sektor yang kemudian diganti dengan istilah Sub Wehrkreise (SWK) sesuai dengan struktur Wehrkreise (WK) dan memberi tugas serta wewenang pada setiap komandannya. Tugas­-tugasnya, yakni mengumpulkan dan memimpin semua kesatuan yang terpencar di daerah sektornya, melancarkan perlawanan atau serangan gerilya terhadap pos-pos Belanda di dalam kota, dan mempersiapkan diri untuk mengadakan serangan balas (A.H. Nasution, 1979: 73).

Dalam melancarkan serangan, pasu­kan Wehrkreise III dibagi atas tujuh Sub Wehrkreise, sebagai berikut:
  • SWK 102 (Sub Wehrkreise) dipimpin oleh Mayor Sarjono sebagai komandan SWK dengan batas-batas daerahnya meliputi jalur jalan raya Yogyakarta-Wates dan jalur jalan raya Yogyakarta-Wonosari.
  • SWK 103 dipimpin Letkol Suhud dengan wilayah terletak antara jalur jalan Yogyakarta, Bantul dan jalur jalan dari Yogyakarta-Palbapang-Klangon.
  • SWK 103 A dipimpin Mayor H.N. Sumual dengan daerahnya meliputi antara jalur jalan Yogyakarta-Sleman­Tempel.
  • SWK 104 dipimpin Kapten Sukasno dengan daerahnya dibatasi jalur jalan kereta api dari stasiun Tugu-stasiun Lempuyangan-bengkel kereta api Pengok ke Utara.
  • SWK 105 dipimpin Mayor Sujono dengan daerahnya terletak antara jalur jalan Yogyakarta-Tanjungtirto-Wonosari dan jalur jalan Jogjakarta-Imogiri.
  • SWK 101 merupakan sektor dalam kota Yogyakarta dipimpin Lettu Marsudi.
  • SWK 106 dipimpin Letkol Sudarto dengan daerahnya di Kulon Progo (Pusjarah TNI, 2000: 210).
Dalam target politis, yakni menunjukkan pada dunia luar tentang eksisitensi RI dan target psikologis, yakni memulihkan kepercayaan rakyat terhadap kemampuan TNI, Letkol Soeharto berpandangan bahwa satu-satunya jalan adalah melancarkan serangan balas terhadap Belanda. Jumlah kekuatan bersenjata di wilayah Yogyakarta yang dapat dihimpun cukup besar untuk melakukan perang gerilya total memperoleh simpati dan dukungan rakyat. Tindakan ini dilakukan sekaligus untuk meyakinkan rakyat bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan. Oleh karena tujuan serangan sangat strategis, maka pelaksanaannya harus dilakukan secara rahasia, mendadak, dan serentak dari posisi sedekat mungkin dengan kedudukan Belanda, baik di kota maupun di pos-pos luar kota. Selain itu, posisi Jogjakarta sebagai ibukota RI dapat memberikan pengaruh terhadap perlawanan di daerah-daerah di wilayah RI.

Dalam fungsi commanding, kemampuan mengkomunikasikan perintah pelaksanaan Serangan Oemoem ke lima ini, menunjukkan kekuatan Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto sebagai leader dalam memahami anggota pasukannya untuk menciptakan kesatuan, energi, inisiatif serta loyalitas yang dibutuhkan bagi optimalisasi pencapaian target tujuan. Pada “hari H” yang ditentukannya, yaitu 1 Maret 1949 dan bersamaan dengan bunyi sirine tanda jam malam usai pukul 06.00, satuan gerilya secara serentak menyerbu sasaran yang telah direncanakan. Hampir setiap sudut kota dikuasai TNI, Belanda terdesak dan hanya mampu bertahan di markas-markasnya. Bantuan dari luar kota, yakni dari Magelang baru tiba pada pukul 11.00 dengan menghadapi perlawanan pasukan gerilya yang menerobos penjagaan tank-tank Belanda untuk menghindari tembakan-­tembakan dari udara.

Sesuai ketentuan pimpinan komando, menjelang pukul 13.00 seluruh pasukan mulai meninggalkan daerah-daerah yang mereka duduki. Oleh karena itu, saat pasukan Belanda melakukan serangan balas, pasukan TNI sudah tidak banyak lagi yang berada di dalam kota. Sebagian be­sar sudah berada dipinggir kota untuk kembali ke pangkalan, sehingga pasukan Belanda yang dikerahkan dari Magelang hanya menghadapi pertempuran­-pertempuran kecil (Pusjarah, 2000: 212). Serangan Enam jam di Yogja pada siang hari dengan capaian target militer, politis dan psikologis bagi RI merupakan pengelolaan sebuah strategi yang menunjukkan paduan seni dan ilmu yang harus dimiliki bagi seorang komandan perang. Dan, kriteria tersebut telah ada pada Komandan Wehrkreise III, Letkol Soeharto saat itu.

VALUES OF STRUGGLE

  • Historia Magistra Vitae.
  • Pak Harto telah membuktikan kepiawiannya sebagai ahli strategis yang ditunjukkan sejak memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang berdampak terhadap kedudukan TNI dan RI di mata dunia internasional. Tindakan ini telah membangkitkan semangat moral dan spirit rakyat bahwa TNI masih mampu melakukan perlawanan terhadap Belanda.
  • Keberhasilan Serangan Oemoem Maret 1949 tidak terlepas dari kemampuan mengaplikasikan fungsi­-fungsi manajemen Pak Harto dalam mencapai Management By Objective terhadap aspek politis, militer dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal.
  • Peristiwa Serangan Oemoem sebagai historical reflection ini seharusnya menjadi lesson learned, khususnya bagi TNI dan bangsa Indonesia, umumnya di saat kita semua dihadapkan pada kompleksitas persoalan yang mempertaruhkan eksistensi bangsa dan negara RI kini dan ke depan. Kekuatan leader terletak diantaranya, pada integritas dan kemampuan ilmu yang dimilikinya dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi pengelolaan manajemen secara proper dan terus menerus.

DAFTAR PUSTAKA

  • Dwipayana, G dan Ramadhan K.H. 1996. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta, PT Citra Lamtoro Gung Persada.
  • Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro. Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: Semdam VII/Diponegoro.
  • Gardner, Paul F. 1999. 50 Tahun Amerika Serikat-lndonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Kahin, G.Mc.T. 1955. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1955.
  • Nasution, A.H. 1971. Tentara Nasional Indonesia, jld. 3. Jakarta: Seruling Masa.
  • Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang kemerdekaan Indonesia, jld 10. Bandung: Angkasa.
  • Nasution, A.H. 1980. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia Di Masa Yang Lalu dan Yang Akan Datang (cet ke-4). Bandung: Angkasa.
  • Notosusanto, Nugroho. 1973. Markas Besar Komando Djawa. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
  • Notosusanto, Nugroho. 1983. The National Struggle And The Armed Forces in Indonesia. jakarta: Department of Defence & Security Centre For Armed Forces History.
  • Pusat Sejarah TNI. 2000. Sejarah TNI, jld. I. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.
  • SESKOAD. 1989. Serangan Umun I Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: Citra lamtoro Gung Persada.
  • Sekretariat Negara RI. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
  • Suparyanto.”KonsepManajemen“. http://www.scribd.com/doc/57731671/Konsep Manajemen.

Oleh: Dr. G. Ambar Wulan –  Pemerhati Sejarah

G30S/PKI AKSI MAKAR KEPADA NEGARA PROKLAMASI 1945

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara
Tema artikel ini berdasarkan asas Dasar Negara Pancasila (Ideologi Negara, Ideologi Nasional) yang menjiwai dan melandasi Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi ’45.
SEJAK Indonesia merdeka, PKI mulai 18 September 1948 telah mencoba melakukan kudeta di Madiun dengan tujuan mendirikan negara berdasarkan ideologi marxisme-komunisme-atheisme. Atas nama bangsa Indonesia, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Bung Hatta langsung memerintahkan TNI untuk menumpas pemberontakan makar PKI, yang walaupun dalam waktu singkat “menguasai” daerah Madiun, namun korbannya sebagai tragedi nasional terekam dalam sejarah Indonesia! Mulai di Madiun, daerah Takeran sampai Jombang cukup banyak ulama dan santri, serta umat Islam termasuk prajurit yang dibunuh mereka secara biadab!

Sejarah mencatat PKI berdalih, bahwa sama sekali tidak memberontak (makar!); melainkan itu hanyalah provokasi Hatta. Bangsa Indonesia cukup mengenal doktrin dan dogma marxisme-komunisme­-atheisme yang menjadi visi-misi PKI dengan asas; tujuan menghalalkan cara! Artinya, cara apapun adalah sah (legal dan benar) demi tujuan PKI. Karena itulah “budaya” fitnah dan rekayasa yang merupakan moral PKI.

Sejak 1954 PKI dapat aktif kembali dalam gelanggang politik nasional Indonesia; sehingga PKI dapat mengikuti Pemilu 1955. Dengan modal pengalaman politik demikian, PKI terus berkembang sampai peristiwa G30S/PKI 1 Oktober 1965. Sejarah mencatat, tekad dan perjuangan PKI untuk mendirikan negara berdasarkan ideologi marxisme-komunisme-atheisme adalah misi suci doktrin dan dogma ideologi mereka!

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pemberontakan G30S/PKI ternyata juga tidak mampu mencapai tujuan yang mereka cita-citakan. Oleh Pemerintah Orde Baru dijadikan monumen nasional Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965. Dalam kegagalan G30S/PKI mereka tetap berupaya untuk “cuci tangan” dengan berbagai dalih yang mereka ciptakan untuk menipu rakyat Indonesia. Mulai dengan tuduhan G30S adalah “gerakan prajurit progresif internal TNl-AD”; sampai fitnah keji bahwa G30S/PKI adalah korban fitnah Orde Baru! Kader-kader mereka terus berjuang dengan berbagai cara yang dihalalkan mereka; termasuk fitnah dan pemutar balikkan fakta sejarah.

Dalam dinamika reformasi, sesungguhnya kita juga maklum bahwa mereka cukup berperan untuk mencapai tujuan antara—meruntuhkan kepemimpinan Orde Baru—tanpa melepaskan tujuan akhir demi terbentuknya Negara Indonesia berdasarkan ideologi marxisme­komunisme-atheisme! Mulai dalih “pelurusan sejarah”, mereka terus melakukan “gerilya politik” dengan menyelinap di berbagai komponen bangsa. Sampai tahun 2012 PKI sesungguhnya melakukan atau tidak melakukan tindakan kudeta (makar), secara ideologis mereka memang adalah sudah makar, karena ideologi marxisme-komunisme-atheisme, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila (yang bermartabat theisme­-religious, sebagaimana terumus dalam sila I Pancasila, dan terjabar dalam UUD 45 Pasal 29).

Dinamika reformasi yang “tenggelam” dalam euforia kebebasan (liberalisme), PKI secara lebih leluasa mengembangkan kekuatannya demi agenda politiknya! Fenomena demikian membenarkan suatu adagium: bahwa ideologi tidak pernah mati! —sekalipun di kubu adidaya negara komunis dunia: Unie Soviet telah runtuh dalam reformasi glasnost dan perestroika yang dipelopori Michael Gorbachev. Mereka juga bangkit untuk menjadi penyelamat potensi ideologi komunisme diluar Eropa dan China.
Lintasan sejarah di atas, tidaklah akan menggoda bangsa Indonesia untuk tidak waspada atas ancaman PKI, yang sudah berjubah baru sebagai komunis gaya baru (KGB) dan lain-lain model pakaiannya. Dinamika reformasi yang memuja kebebasan (liberalisme, neolib), demokrasi (= demokrasi liberal, ekonomi liberal) demi hak asasi manusia (HAM) yang dijiwai ideologi liberalisme-individualisme. Dalam era reformasi demikianlah mereka mendapat kebebasan berkembang; bahkan menuntut dan menghujat negara RI bahwa mereka menjadi korban HAM rezim yang menumpas PKI. Berbagai komponen instrumen gerakan mereka—dengan dalih demokrasi, kemanusiaan dan HAM—terus menuntut supaya negara minta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM 1965, dan lain-lain.

Sesungguhnya pengakuan bahwa mereka sebagai korban adalah juga fitnah yang naif; karena sejarah mencatat PKI-­lah dengan berbagai organisasinya yang melakukan penindasan dan pembunuhan diberbagai daerah termasuk pembunuhan atas sejumlah jenderal dan perwira menengah TNI. Tragedi nasional itu “hanya berlangsung” 1 Oktober 1965 dan korban dibeberapa kota cukup menggetarkan semangat rakyat Indonesia bangkit mengganyang PKI. Kemudian sejak pemakaman para Pahlawan Revolusi rakyat bangkit di seluruh nusantara. Negara juga bertindak untuk mengamankan mereka dan mengadili tokoh-tokoh mereka yang bertanggung jawab. Mereka dihadapkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub)—karena sebagian pelakunya adalah oknum TNl— dalam negara hukum Indonesia.
Kita menghargai berbagai data sejarah G30S/PKI hasil penelitian para pakar dalam dan luar negeri yang cukup valid sebagai bukti kejahatan pemberontakan (makar) PKI. Juga kami sendiri adalah bagian dari saksi sejarah yang mengalami bagaimana kondisi “zaman revolusioner” yang dihadapkan dengan “kontra-revolusioner” sebagai aktualisasi doktrin dan dogma dialegtika marxisme-komunisme-atheisme. Karenanya, kami angkatan yang tahun 1950 memasuki SMP, cukup mengerti pemberontakan Madiun 1948; meningkat G30S/PKI 1965, sebagai sarjana bersama KAPPI dan KAMI beserta KASI tampil kedepan menghadapi PKI yang makar terhadap ideologi Pancasila dan Negara Proklamasi 45.

Mulai pra G30S/PKI kami telah dihujat dan difitnah sebagai kaum kontra-revolusi, antek imperialism, dan bagian dari setan desa dan setan kota … yang menjadi target untuk ditumpas oleh ideologi mereka. Tragedi berdarah yang a-nasional, dan a-moral itu tidak akan pernah terlupakan, justru karena mereka sebagai pejuang marxisme-komunisme-­atheisme yang secara ideologis dan konstitusional merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila dan UUD Proklamasi 45. Pertentangan ini secara intrinsic dan fundamental tidak akan pernah berakhir; karena ldeologi Pancasila yang berjiwa moral theisme-religious secara a-priori bertentangan dengan marxisme-komunis­me-atheisme.

PKI dan semua kadernya, bahkan anggota partainya menyadari (bahkan fanatik-dogmatis) bahwa ideologi mereka adalah yang benar dan terbaik bagi bangsa-bangsa masa depan; karenanya mereka terus berjuang mempropagandakannya dan melakukan revolusi.

Bagi kita bangsa Indonesia, Ideologi Pancasila dijiwai moral sila I (Ketuhanan YME) sejiwa dengan keyakinan religius umat beragama; karenanya asas moral ini menjiwai semangat hidup dan perjuangan kita sebagai bangsa dan sebagai bagian peradaban umat manusia yang bermartabat! Siapapun dan ideologi manapun yang mengancam integritas ideologi Pancasila, kita tidak akan pernah melakukan kompromi; lebih-lebih kita sadar tujuan akhir mereka untuk menaklukkan (baca meruntuhkan, mengikis) semua ideologi: selain marxisme-komunisme-­atheisme. Fenomena demikian tampak dalam sistem kenegaraan mereka, hanya ada satu ideologi komunis, dengan partai tunggal dan sistem etatisme, untuk suatu bangsa dan Negara, bila perlu untuk seluruh dunia.

Sejarah dunia sejak 1917 (Rusia); Jerman Timur (1945), RRC (1949); 1955 di Eropa Timur; Yugoslavia, Hongaria, Polandia sampai Korea Utara … Vietnam dan Kamboja. Semua fakta global, dilengkapi fakta sejarah dalam NKRI, bangsa Indonesia yang berfikir rasional dan bermoral Pancasila tidak mungkin mengakui PKI sebagai korban HAM. Bagaimanapun fakta sejarah dan fakta hukum, PKI dan semua mantel organisasinya adalah instrumen efektif melaksanakan makar G30S/PKI baik prolog maupun epilog, meskipun gagal. Justru karena kegagalan itulah mereka tidak mengakui sebagai subyek; lalu mengaku sebagai korban (“obyek”). Lebih fundamental dan dijiwai moral theisme-religious, semua warganegara Indonesia berjiwa Pancasila (moral theisme-religious) tidak pernah mau ditipu dan difitnah sebagai penindas HAM; dan dituntut untuk minta maaf kepada PKI dengan akibat yang sungguh tidak terbayangkan.

Bagi kami fitnah “pelurusan sejarah” dan “masalah internal TNl-AD+Dewan Jenderal” hanyalah masalah enteng bagi PKI. Bagaimana tidak! Allah Yang Maha Ada, secara doktriner-dogmatis yang menjadi keyakinan ideologi mereka, difitnah: Tuhan tidak ada, Atheisme! Dan … bagaimana komunisme memperlakukan manusia yang berketuhanan/beragama … ! Lebih dari 200 juta jiwa diberbagai negara modern, sejak 1917, 1949; 1955 bahkan sampai 1970-an terus terjadi penindasan dan pembunuhan yang diluar batas budaya, peradaban, dan moral kemanusiaan.

Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah pihak dan tokoh mendorong Presiden Susilo Yudhoyono untuk meminta maaf kepada pelaku dan yang terlibat G. 30 S/PKI 1965. Sadarkah Presiden, setelah minta maaf tuntutan apa yang mereka akan tagih? Logika dan moral politik yang bijaksana dan visioner, seorang negarawan wajib mengantisipasi dengan penuh wawasan yang waskitha.

Tapi bagi kami bangsa Indonesia; dan lebih-lebih bagi Presiden RI—siapa­pun namanya—karena telah disumpah dalam Pelantikannya—tidak mungkin minta maaf kepada PKI dan mengakui pelanggaran HAM berat itu sebagai kesalahan rakyat dan atau bangsa Indonesia! Apabila Presiden melakukan hal itu, Presiden telah melanggar sumpahnya, melanggar kesetiaan dan kebanggan nasionalnya kepada Ideologi Negara Pancasila-UUD Proklamasi 45. Amanat ideologis dan konstitusional sebagai terkandung dalam UUD Proklamasi 45 seutuhnya, kepada jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara Indonesia Raya mutlak menegakkan integritas Sistem Kenegaraan Pancasila­ UUD Proklamasi 45 yang bermartabat. Hakikat bermartabat terkandung dalam sumpah jabatan Presiden: … Demi Allah … sebagai jabaran nilai fundamental yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45, istimewa alinea 3-4 yang luhur dan bermartabat, jauh serta berlawanan dengan ideologi marxisme­-komunisme-atheisme.

Ideologi PKI tidak akan pernah berhenti, apalagi mati untuk terus memperjuangkan doktrin dan dogma atheisme sebagai “nilai moral” perjuangan … dengan jalan apapun! Karenanya, kita bangsa Indonesia secara rasional dan moral jangan sampai tertipu dengan segala fitnah-termasuk memfitnah agama sebagai candu dan Allah Yang Maha Ada, difitnah TIDAK ADA (Atheisme)!

Presiden wajib menegakkan Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD-Proklamasi 45 sebagai sistem yang diamanatkan oleh Bangsa Indonesia (baca: Naskah Proklamasi) dan hayati nilai fundamental dalam Pembukaan UUD 1945 (khususnya alinea 3-4) sebagai pengakuan untuk menjunjung tinggi Amanat Allah Yang Maha Kuasa … bukan minta maaf kepada PKI yang memuja ideologi “marxisme-komunisme-atheisme“.

Bila ada pemimpin, apalagi Presiden ­sebagai Kepala Negara-mau minta maaf atas tuduhan pelanggaran HAM sebagai dihujat PKI, lebih-lebih tidak berdasarkan hukum dan keadilan, termasuk hukum moral Pancasila akan datang bencana nasional “rakyat Indonesia akan bangkit untuk mengoreksi permintaan maaf itu; bahkan mungkin kembali menumpas biang kerok sumber fitnah bahwa mereka mengaku sebagai korban penindasan HAM.

Semoga rahmat Allah Yang Maha Kuasa tetap terlimpah bagi semua para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indo­nesia dalam integritas Negara Pancasila yang bermartabat theisme-religious.

Oleh: Prof. Dr. Mohammad Noor Syam
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Malang