Tema artikel ini berdasarkan asas Dasar Negara Pancasila (Ideologi Negara, Ideologi Nasional) yang menjiwai dan melandasi Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi ’45.
SEJAK Indonesia merdeka, PKI mulai 18 September 1948 telah mencoba melakukan kudeta di Madiun dengan tujuan mendirikan negara berdasarkan ideologi marxisme-komunisme-atheisme.
Atas nama bangsa Indonesia, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Bung
Hatta langsung memerintahkan TNI untuk menumpas pemberontakan makar PKI,
yang walaupun dalam waktu singkat “menguasai” daerah Madiun, namun
korbannya sebagai tragedi nasional terekam dalam sejarah Indonesia!
Mulai di Madiun, daerah Takeran sampai Jombang cukup banyak ulama dan
santri, serta umat Islam termasuk prajurit yang dibunuh mereka secara
biadab!
Sejarah mencatat PKI
berdalih, bahwa sama sekali tidak memberontak (makar!); melainkan itu
hanyalah provokasi Hatta. Bangsa Indonesia cukup mengenal doktrin dan
dogma marxisme-komunisme-atheisme yang menjadi visi-misi PKI
dengan asas; tujuan menghalalkan cara! Artinya, cara apapun adalah sah
(legal dan benar) demi tujuan PKI. Karena itulah “budaya” fitnah dan
rekayasa yang merupakan moral PKI.
Sejak 1954 PKI dapat aktif kembali dalam gelanggang politik nasional Indonesia; sehingga PKI dapat mengikuti Pemilu 1955. Dengan modal pengalaman politik demikian, PKI terus berkembang sampai peristiwa G30S/PKI 1 Oktober 1965. Sejarah mencatat, tekad dan perjuangan PKI untuk mendirikan negara berdasarkan ideologi marxisme-komunisme-atheisme adalah misi suci doktrin dan dogma ideologi mereka!
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pemberontakan G30S/PKI
ternyata juga tidak mampu mencapai tujuan yang mereka cita-citakan.
Oleh Pemerintah Orde Baru dijadikan monumen nasional Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965. Dalam kegagalan G30S/PKI
mereka tetap berupaya untuk “cuci tangan” dengan berbagai dalih yang
mereka ciptakan untuk menipu rakyat Indonesia. Mulai dengan tuduhan G30S
adalah “gerakan prajurit progresif internal TNl-AD”; sampai fitnah keji
bahwa G30S/PKI adalah korban fitnah Orde Baru!
Kader-kader mereka terus berjuang dengan berbagai cara yang dihalalkan
mereka; termasuk fitnah dan pemutar balikkan fakta sejarah.
Dalam dinamika reformasi, sesungguhnya
kita juga maklum bahwa mereka cukup berperan untuk mencapai tujuan
antara—meruntuhkan kepemimpinan Orde Baru—tanpa melepaskan tujuan akhir
demi terbentuknya Negara Indonesia berdasarkan ideologi marxismekomunisme-atheisme!
Mulai dalih “pelurusan sejarah”, mereka terus melakukan “gerilya
politik” dengan menyelinap di berbagai komponen bangsa. Sampai tahun
2012 PKI sesungguhnya melakukan atau tidak melakukan tindakan kudeta (makar), secara ideologis mereka memang adalah sudah makar, karena ideologi marxisme-komunisme-atheisme, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila (yang bermartabat theisme-religious, sebagaimana terumus dalam sila I Pancasila, dan terjabar dalam UUD 45 Pasal 29).
Dinamika reformasi yang “tenggelam” dalam euforia kebebasan (liberalisme), PKI
secara lebih leluasa mengembangkan kekuatannya demi agenda politiknya!
Fenomena demikian membenarkan suatu adagium: bahwa ideologi tidak pernah
mati! —sekalipun di kubu adidaya negara komunis dunia: Unie Soviet
telah runtuh dalam reformasi glasnost dan perestroika
yang dipelopori Michael Gorbachev. Mereka juga bangkit untuk menjadi
penyelamat potensi ideologi komunisme diluar Eropa dan China.
Lintasan sejarah di atas, tidaklah akan menggoda bangsa Indonesia untuk tidak waspada atas ancaman PKI,
yang sudah berjubah baru sebagai komunis gaya baru (KGB) dan lain-lain
model pakaiannya. Dinamika reformasi yang memuja kebebasan (liberalisme, neolib), demokrasi (= demokrasi liberal, ekonomi liberal) demi hak asasi manusia (HAM) yang dijiwai ideologi liberalisme-individualisme.
Dalam era reformasi demikianlah mereka mendapat kebebasan berkembang;
bahkan menuntut dan menghujat negara RI bahwa mereka menjadi korban HAM
rezim yang menumpas PKI. Berbagai komponen instrumen gerakan
mereka—dengan dalih demokrasi, kemanusiaan dan HAM—terus menuntut supaya
negara minta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM 1965, dan lain-lain.
Sesungguhnya pengakuan bahwa mereka sebagai korban adalah juga fitnah yang naif; karena sejarah mencatat PKI-lah
dengan berbagai organisasinya yang melakukan penindasan dan pembunuhan
diberbagai daerah termasuk pembunuhan atas sejumlah jenderal dan perwira
menengah TNI. Tragedi nasional itu “hanya berlangsung” 1 Oktober 1965
dan korban dibeberapa kota cukup menggetarkan semangat rakyat Indonesia
bangkit mengganyang PKI. Kemudian sejak pemakaman para
Pahlawan Revolusi rakyat bangkit di seluruh nusantara. Negara juga
bertindak untuk mengamankan mereka dan mengadili tokoh-tokoh mereka yang
bertanggung jawab. Mereka dihadapkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub)—karena sebagian pelakunya adalah oknum TNl— dalam negara
hukum Indonesia.
Kita menghargai berbagai data sejarah G30S/PKI hasil penelitian para pakar dalam dan luar negeri yang cukup valid sebagai bukti kejahatan pemberontakan (makar) PKI. Juga kami sendiri adalah bagian dari saksi sejarah yang mengalami bagaimana kondisi “zaman revolusioner” yang dihadapkan dengan “kontra-revolusioner” sebagai aktualisasi doktrin dan dogma dialegtika marxisme-komunisme-atheisme. Karenanya, kami angkatan yang tahun 1950 memasuki SMP, cukup mengerti pemberontakan Madiun 1948; meningkat G30S/PKI 1965, sebagai sarjana bersama KAPPI dan KAMI beserta KASI tampil kedepan menghadapi PKI yang makar terhadap ideologi Pancasila dan Negara Proklamasi 45.
Mulai pra G30S/PKI kami
telah dihujat dan difitnah sebagai kaum kontra-revolusi, antek
imperialism, dan bagian dari setan desa dan setan kota … yang menjadi
target untuk ditumpas oleh ideologi mereka. Tragedi berdarah yang a-nasional, dan a-moral itu tidak akan pernah terlupakan, justru karena mereka sebagai pejuang marxisme-komunisme-atheisme yang secara ideologis dan konstitusional merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila dan UUD Proklamasi 45. Pertentangan ini secara intrinsic dan fundamental tidak akan pernah berakhir; karena ldeologi Pancasila yang berjiwa moral theisme-religious secara a-priori bertentangan dengan marxisme-komunisme-atheisme.
PKI dan semua kadernya, bahkan anggota partainya menyadari (bahkan fanatik-dogmatis)
bahwa ideologi mereka adalah yang benar dan terbaik bagi bangsa-bangsa
masa depan; karenanya mereka terus berjuang mempropagandakannya dan
melakukan revolusi.
Bagi kita bangsa Indonesia, Ideologi Pancasila dijiwai moral sila I (Ketuhanan YME)
sejiwa dengan keyakinan religius umat beragama; karenanya asas moral
ini menjiwai semangat hidup dan perjuangan kita sebagai bangsa dan
sebagai bagian peradaban umat manusia yang bermartabat! Siapapun dan
ideologi manapun yang mengancam integritas ideologi Pancasila, kita
tidak akan pernah melakukan kompromi; lebih-lebih kita sadar tujuan
akhir mereka untuk menaklukkan (baca meruntuhkan, mengikis) semua
ideologi: selain marxisme-komunisme-atheisme. Fenomena
demikian tampak dalam sistem kenegaraan mereka, hanya ada satu ideologi
komunis, dengan partai tunggal dan sistem etatisme, untuk suatu bangsa
dan Negara, bila perlu untuk seluruh dunia.
Sejarah dunia sejak 1917 (Rusia); Jerman
Timur (1945), RRC (1949); 1955 di Eropa Timur; Yugoslavia, Hongaria,
Polandia sampai Korea Utara … Vietnam dan Kamboja. Semua fakta global,
dilengkapi fakta sejarah dalam NKRI, bangsa Indonesia yang berfikir
rasional dan bermoral Pancasila tidak mungkin mengakui PKI sebagai korban HAM. Bagaimanapun fakta sejarah dan fakta hukum, PKI dan semua mantel organisasinya adalah instrumen efektif melaksanakan makar G30S/PKI
baik prolog maupun epilog, meskipun gagal. Justru karena kegagalan
itulah mereka tidak mengakui sebagai subyek; lalu mengaku sebagai korban
(“obyek”). Lebih fundamental dan dijiwai moral theisme-religious, semua warganegara Indonesia berjiwa Pancasila (moral theisme-religious) tidak pernah mau ditipu dan difitnah sebagai penindas HAM; dan dituntut untuk minta maaf kepada PKI dengan akibat yang sungguh tidak terbayangkan.
Bagi kami fitnah “pelurusan sejarah” dan “masalah internal TNl-AD+Dewan Jenderal” hanyalah masalah enteng bagi PKI. Bagaimana tidak! Allah Yang Maha Ada, secara doktriner-dogmatis yang menjadi keyakinan ideologi mereka, difitnah: Tuhan tidak ada, Atheisme!
Dan … bagaimana komunisme memperlakukan manusia yang
berketuhanan/beragama … ! Lebih dari 200 juta jiwa diberbagai negara
modern, sejak 1917, 1949; 1955 bahkan sampai 1970-an terus terjadi
penindasan dan pembunuhan yang diluar batas budaya, peradaban, dan moral
kemanusiaan.
Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah
pihak dan tokoh mendorong Presiden Susilo Yudhoyono untuk meminta maaf
kepada pelaku dan yang terlibat G. 30 S/PKI 1965. Sadarkah Presiden,
setelah minta maaf tuntutan apa yang mereka akan tagih? Logika dan moral
politik yang bijaksana dan visioner, seorang negarawan wajib
mengantisipasi dengan penuh wawasan yang waskitha.
Tapi bagi kami bangsa Indonesia; dan
lebih-lebih bagi Presiden RI—siapapun namanya—karena telah disumpah
dalam Pelantikannya—tidak mungkin minta maaf kepada PKI
dan mengakui pelanggaran HAM berat itu sebagai kesalahan rakyat dan
atau bangsa Indonesia! Apabila Presiden melakukan hal itu, Presiden
telah melanggar sumpahnya, melanggar kesetiaan dan kebanggan nasionalnya
kepada Ideologi Negara Pancasila-UUD Proklamasi 45. Amanat ideologis dan konstitusional sebagai terkandung dalam UUD Proklamasi
45 seutuhnya, kepada jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan
Kepala Negara Indonesia Raya mutlak menegakkan integritas Sistem
Kenegaraan Pancasila UUD Proklamasi 45 yang bermartabat. Hakikat
bermartabat terkandung dalam sumpah jabatan Presiden: … Demi Allah …
sebagai jabaran nilai fundamental yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD
Proklamasi 45, istimewa alinea 3-4 yang luhur dan bermartabat, jauh
serta berlawanan dengan ideologi marxisme-komunisme-atheisme.
Ideologi PKI tidak akan
pernah berhenti, apalagi mati untuk terus memperjuangkan doktrin dan
dogma atheisme sebagai “nilai moral” perjuangan … dengan jalan apapun!
Karenanya, kita bangsa Indonesia secara rasional dan moral jangan sampai
tertipu dengan segala fitnah-termasuk memfitnah agama sebagai candu dan
Allah Yang Maha Ada, difitnah TIDAK ADA (Atheisme)!
Presiden wajib menegakkan Integritas
Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD-Proklamasi 45 sebagai sistem yang
diamanatkan oleh Bangsa Indonesia (baca: Naskah Proklamasi) dan hayati
nilai fundamental dalam Pembukaan UUD 1945 (khususnya alinea 3-4)
sebagai pengakuan untuk menjunjung tinggi Amanat Allah Yang Maha Kuasa …
bukan minta maaf kepada PKI yang memuja ideologi “marxisme-komunisme-atheisme“.
Bila ada pemimpin, apalagi Presiden
sebagai Kepala Negara-mau minta maaf atas tuduhan pelanggaran HAM
sebagai dihujat PKI, lebih-lebih tidak berdasarkan hukum dan keadilan,
termasuk hukum moral Pancasila akan datang bencana nasional “rakyat
Indonesia akan bangkit untuk mengoreksi permintaan maaf itu; bahkan
mungkin kembali menumpas biang kerok sumber fitnah bahwa mereka mengaku
sebagai korban penindasan HAM.
Semoga rahmat Allah Yang Maha Kuasa
tetap terlimpah bagi semua para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat
Indonesia dalam integritas Negara Pancasila yang bermartabat
theisme-religious.
Oleh: Prof. Dr. Mohammad Noor Syam
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Malang
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Malang