IMPLIKASI SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 DI FORUM INTERNASIONAL:
RESPONSIBILITY GENERASI TNI DALAM MENJAGA KEDAULATAN RI
“SUATU REFLEKSI HISTORIS”
PENGANTAR
Serangan militer Belanda kedua terhadap ibukota RI di Yogyakarta sebagai surprise attack
ditujukan untuk melumpuhkan RI beserta atribut-atributnya, yaitu para
pimpinan negara dan TNI. Maksud serangan memang tercapai dengan
direbutnya ibukota RI dan ditangkapnya presiden, wakil presiden beserta
tokoh-tokoh lainnya. Dalam ajaran perang klasik disebutkan bahwa
tujuan perang adalah mematahkan semangat perlawanan musuh, sedang dasar
pokok dari semangat perlawanan itu terwujud dalam diri kepala negara
sebagai panglima tertinggi. Menurut A.H. Nasution, ajaran ini tidak
sesuai dengan yang terjadi di wilayah RI, karena dalam kenyataannya
perlawanan rakyat di bawah organisasi teritorial TNI dapat berfungsi
dengan lancar dan, bahkan disertai semangat berkobar (1971: 26).
Efektivitas organisasi teritorial ini adalah hasil pembelajaran dari pengalaman TNI dalam menggunakan Strategi Linier Konvensional yang mudah dikalahkan Belanda saat melancarkan serangan militernya pertama. Pengalaman kegagalan ini dijadikan lesson
yang mendorong lahirnya strategi pertahanan baru TNI dalam menghadapi
kemungkinan munculnya serangan lanjutan dari pihak Belanda. Konsep
strategi dengan menggunakan pola perlawanan rakyat secara total tersebut
tertuang dalam Perintah Siasat No. 1/1948 Panglima Besar Jenderal
Soedirman sebagai dasar pedoman dalam menjabarkan semua rencana operasi
TNI yang dipandu melalui instruksi-instruksi Panglima Tentara dan
Teritorium Djawa (PTID) kepada para komandan Divisi hingga komandan
Brigade dan Subteritorium dibawahnya.
Instruksi-instruksi tersebut harus
sesuai dengan Perintah Siasat No. 1/1948. Instruksi No. 1 sebagai
instruksi pertama pasca serangan militer Belanda kedua, memuat
pernyataan tentang pembentukan pemerintahan militer di seluruh Jawa.
Tujuan pembentukan pemerintah militer ini: Pertama, Republik harus tetap berjuang sebagai negara. Kedua, pemerintahan berjalan terus. Ketiga,
pemerintahan militer satu-satunya alat perjuangan. Di samping itu, PTID
memerintahkan untuk melakukan peninjauan terhadap situasi daerah
Yogyakarta melalui kontak yang dilakukan dengan para komandan brigade di
bawah Divisi III, diantaranya Komandan Brigade 10 Wehrkreise III Letkol Soeharto yang menyatakan telah menguasai keadaan (Nugroho Notosusanto, 1973: 32).
Serangan Oemoem 1 Maret 1949 ke kota Yogyakarta di bawah pimpinan Letkol Soeharto merupakan bagian dari penjabaran rantai instruksi-instruksi tsb. Dan, Serangan Oemoem
ini adalah salah satu contoh kemampuan TNI bersama rakyat dalam
melakukan gerakan guna mematahkan semangat Belanda yang berkeinginan
melenyapkan RI. Para anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika,
Australia, dan Belgia yang berada di Indonesia, menyaksikan pukulan yang
dirasakan Belanda. Para anggota KTN kemudian melapor ke masing-masing
negaranya serta PBB yang mengangkatnya sebagai mediator bagi
pesengketaan RI dan Belanda. Awalnya, Belanda hendak menunjukkan pada
para anggota KTN betapa mudah Belanda menyelesaikan aksi militernya dan
sekaligus menunjukkan bahwa TNI tidak memiliki kemampuan untuk
melawannya. Selain itu, Belanda juga berkehendak untuk membuktikan kalau
RI tidak mempunyai hak sebagai negara berdaulat. Namun, obsesi Belanda
ini tidak berhasil diwujudkannya.
Serangan Oemoem 1 Maret
1949 sebagai salah satu serangan besar yang berhasil menunjukkan pada
dunia internasional tentang eksistensi RI sebagai negara merdeka dan
berdaulat, memiliki pengaruh terhadap jalannya proses pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda pada Desember 1949. Oleh karena itu, tulisan
dalam paper ini memfokuskan, “Bagaimana efektivitas tindakan
serangan Oemoem ini sebagai salah satu bentuk responsibility TNI yang
berfungsi menjadi guardian of state bagi RI saat itu?” Dari pendekatan Manajemen Strategi yang diaplikasikan Letkol Soeharto dalam memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949, peristiwa ini representatif untuk dijadikan historical reflection bagi generasi muda kini.
KEBERHASILAN SERANGAN OEMOEM 1 MARET 1949 DARI PERSPEKTIF MANAJEMEN STRATEGI
Agresi militer kedua Belanda yang
diharapkan untuk menunjukkan pada dunia luar bahwa RI telah dilenyapkan,
ternyata justru menuai simpati internasional terhadap perjuangan bangsa
Indonesia. Diantaranya, Konferensi Asia di New Delhi pada 20 Januari
1949 dan DK PBB yang ditunjukkan melalui resolusinya pada 28 Januari
1949 memuat, salah satunya agar Belanda dan RI menghentikan pertempuran
dan permusuhan, para pemimpin negara RI dibebaskan tanpa syarat, dan
pemerintah RI dikembalikan ke Yogya.
Bahkan, dampak Serangan Oemoem
yang dilancarkan pada 1 Maret 1949 terhadap Yogyakarta yang diduduki
Belanda dengan kekuatan satu batalyon tempur, pasukan para, satuan lapis
baja, unsur satuan bantuan tempur dan satuan bantuan administrasi serta
1 batalyon yang berada di sekitar daerah tsb, semakin menguatkan
tekanan masyarakat internasional terhadap Belanda. Walaupun hanya 6 jam
TNI berhasil menduduki Yogyakarta, Serangan Oemoem ini
diakui Kolonel Van Langen, komandan batalyon yang memimpin penguasaan
atas ibu kota RI di Yogyakarta sebagai suatu peristiwa yang
mengejutkannya (Julius Pour, 2009: 285).
Keberhasilan Serangan Oemoem
yang berimplikasi, baik secara eksternal, yakni membangun dukungan
dunia internasional terhadap kedudukan Republik Indonesia maupun secara
internal, yakni membangun semangat, tidak hanya pasukan dan rakyat di
wilayah ibukota RI saja, tetapi juga satuan-satuan TNI lainnya serta
masyarakat Indonesia umumnya, menarik untuk dikaji bagaimana Letkol Soeharto
memimpin 2000 orang guna melancarkan operasi militer secara
besar-besaran di siang hari. Goal dari operasi ini tidak akan tercapai
tanpa kekuatan seorang leader di lapangan dalam mengaplikasikan fungsi
manajemen strategi sejak awal perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), hingga penggerakan (commanding) pasukan.
Dalam melakukan perencanaan (planning) terhadap Serangan Oemoem
1 Maret 1949 sebagai serangan kelima, sedang keempat serangan
pendahuluan dilakukannya pada malam hari, Komandan Brigade 10 Wehrkreise
III (Divisi III), diantaranya mengadakan pertemuanpertemuan rahasia di
akhir Februari 1949 yang dihadiri wakil pemerintah kotapraja, wakil
gabungan rukun kampung, dan Komandan Sub-Wehrkreise (SWK) 101 serta
komandan-komandan sektor dalam kota. Pertemuan tsb dilaksanakan di
Sekretariat Dewan Pertahanan daerah di Kepatihan Danurejan.
Dalam proses perencanaan ini, Letkol Soeharto
bertemu dengan Sri Sultan HB IX di awal Februari 1949 yang membicarakan
kondisi menurunnya semangat rakyat di dalam kota sebagai dampak
pendudukan Belanda di daerah tsb. Selain itu, Sri Sultan menyampaikan
pula berita radio yang menyebutkan persengketaan RI dan Belanda akan
diagendakan dalam sidang DK PBB pada akhir Februari 1949. Sebelumnya, Letkol Soeharto
pun telah memperoleh laporan berita tentang permasalahan RI dan Belanda
yang akan disidangkan di DK PBB pada Maret 1949 dari Mayor Poerhadi.
Menghadapi kondisi-kondisi tsb. keduanya mendiskusikan pentingnya
kembali melakukan serangan umum besar-besaran sebelum DK PBB bersidang (Pusjarah TNI, 2000: 209).
Dalam hal ini, Sri Sultan pun mengakui bagaimana dalam waktu pendek Pak
Harto berhasil mempersiapkan sebuah serangan dengan pasukan yang lebih
besar dari sebelumnya (Julius Poer, 2009: 293).
Pengorganisasian terhadap personil,
pembagian wewenang dan tanggung jawab merupakan faktor-faktor yang harus
dipenuhi guna mencapai tujuan dan target serangan yang berimplikasi
terhadap aspek politis, militer, dan psikologis. Kekuatan TNI di
Jogjakarta terdiri dari dua batalyon infanteri yang menjadi inti dari
pertahanan Brigade 10, di samping pelbagai pasukan yang berkekuatan 1
peleton hingga 1 kompi, CPM, dll.
Dalam konsolidasi pengorganisasian, Letkol Soeharto
menyusun kekuatan ke dalam sektor-sektor yang kemudian diganti dengan
istilah Sub Wehrkreise (SWK) sesuai dengan struktur Wehrkreise (WK) dan
memberi tugas serta wewenang pada setiap komandannya. Tugas-tugasnya,
yakni mengumpulkan dan memimpin semua kesatuan yang terpencar di daerah
sektornya, melancarkan perlawanan atau serangan gerilya terhadap pos-pos
Belanda di dalam kota, dan mempersiapkan diri untuk mengadakan serangan
balas (A.H. Nasution, 1979: 73).
Dalam melancarkan serangan, pasukan Wehrkreise III dibagi atas tujuh Sub Wehrkreise, sebagai berikut:
- SWK 102 (Sub Wehrkreise) dipimpin oleh Mayor Sarjono sebagai komandan SWK dengan batas-batas daerahnya meliputi jalur jalan raya Yogyakarta-Wates dan jalur jalan raya Yogyakarta-Wonosari.
- SWK 103 dipimpin Letkol Suhud dengan wilayah terletak antara jalur jalan Yogyakarta, Bantul dan jalur jalan dari Yogyakarta-Palbapang-Klangon.
- SWK 103 A dipimpin Mayor H.N. Sumual dengan daerahnya meliputi antara jalur jalan Yogyakarta-SlemanTempel.
- SWK 104 dipimpin Kapten Sukasno dengan daerahnya dibatasi jalur jalan kereta api dari stasiun Tugu-stasiun Lempuyangan-bengkel kereta api Pengok ke Utara.
- SWK 105 dipimpin Mayor Sujono dengan daerahnya terletak antara jalur jalan Yogyakarta-Tanjungtirto-Wonosari dan jalur jalan Jogjakarta-Imogiri.
- SWK 101 merupakan sektor dalam kota Yogyakarta dipimpin Lettu Marsudi.
- SWK 106 dipimpin Letkol Sudarto dengan daerahnya di Kulon Progo (Pusjarah TNI, 2000: 210).
Dalam target politis, yakni menunjukkan
pada dunia luar tentang eksisitensi RI dan target psikologis, yakni
memulihkan kepercayaan rakyat terhadap kemampuan TNI, Letkol Soeharto
berpandangan bahwa satu-satunya jalan adalah melancarkan serangan balas
terhadap Belanda. Jumlah kekuatan bersenjata di wilayah Yogyakarta yang
dapat dihimpun cukup besar untuk melakukan perang gerilya total
memperoleh simpati dan dukungan rakyat. Tindakan ini dilakukan sekaligus
untuk meyakinkan rakyat bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan.
Oleh karena tujuan serangan sangat strategis, maka pelaksanaannya harus
dilakukan secara rahasia, mendadak, dan serentak dari posisi sedekat
mungkin dengan kedudukan Belanda, baik di kota maupun di pos-pos luar
kota. Selain itu, posisi Jogjakarta sebagai ibukota RI dapat memberikan
pengaruh terhadap perlawanan di daerah-daerah di wilayah RI.
Dalam fungsi commanding, kemampuan mengkomunikasikan perintah pelaksanaan Serangan Oemoem ke lima ini, menunjukkan kekuatan Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto
sebagai leader dalam memahami anggota pasukannya untuk menciptakan
kesatuan, energi, inisiatif serta loyalitas yang dibutuhkan bagi
optimalisasi pencapaian target tujuan. Pada “hari H” yang ditentukannya,
yaitu 1 Maret 1949 dan bersamaan dengan bunyi sirine tanda jam malam
usai pukul 06.00, satuan gerilya secara serentak menyerbu sasaran yang
telah direncanakan. Hampir setiap sudut kota dikuasai TNI, Belanda
terdesak dan hanya mampu bertahan di markas-markasnya. Bantuan dari luar
kota, yakni dari Magelang baru tiba pada pukul 11.00 dengan menghadapi
perlawanan pasukan gerilya yang menerobos penjagaan tank-tank Belanda
untuk menghindari tembakan-tembakan dari udara.
Sesuai ketentuan pimpinan komando,
menjelang pukul 13.00 seluruh pasukan mulai meninggalkan daerah-daerah
yang mereka duduki. Oleh karena itu, saat pasukan Belanda melakukan
serangan balas, pasukan TNI sudah tidak banyak lagi yang berada di dalam
kota. Sebagian besar sudah berada dipinggir kota untuk kembali ke
pangkalan, sehingga pasukan Belanda yang dikerahkan dari Magelang hanya
menghadapi pertempuran-pertempuran kecil (Pusjarah, 2000: 212).
Serangan Enam jam di Yogja pada siang hari dengan capaian target
militer, politis dan psikologis bagi RI merupakan pengelolaan sebuah
strategi yang menunjukkan paduan seni dan ilmu yang harus dimiliki bagi
seorang komandan perang. Dan, kriteria tersebut telah ada pada Komandan
Wehrkreise III, Letkol Soeharto saat itu.
VALUES OF STRUGGLE
- Historia Magistra Vitae.
- Pak Harto telah membuktikan kepiawiannya sebagai ahli strategis yang ditunjukkan sejak memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang berdampak terhadap kedudukan TNI dan RI di mata dunia internasional. Tindakan ini telah membangkitkan semangat moral dan spirit rakyat bahwa TNI masih mampu melakukan perlawanan terhadap Belanda.
- Keberhasilan Serangan Oemoem Maret 1949 tidak terlepas dari kemampuan mengaplikasikan fungsi-fungsi manajemen Pak Harto dalam mencapai Management By Objective terhadap aspek politis, militer dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal.
- Peristiwa Serangan Oemoem sebagai historical reflection ini seharusnya menjadi lesson learned, khususnya bagi TNI dan bangsa Indonesia, umumnya di saat kita semua dihadapkan pada kompleksitas persoalan yang mempertaruhkan eksistensi bangsa dan negara RI kini dan ke depan. Kekuatan leader terletak diantaranya, pada integritas dan kemampuan ilmu yang dimilikinya dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi pengelolaan manajemen secara proper dan terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
- Dwipayana, G dan Ramadhan K.H. 1996. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta, PT Citra Lamtoro Gung Persada.
- Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro. Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: Semdam VII/Diponegoro.
- Gardner, Paul F. 1999. 50 Tahun Amerika Serikat-lndonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Kahin, G.Mc.T. 1955. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1955.
- Nasution, A.H. 1971. Tentara Nasional Indonesia, jld. 3. Jakarta: Seruling Masa.
- Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang kemerdekaan Indonesia, jld 10. Bandung: Angkasa.
- Nasution, A.H. 1980. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia Di Masa Yang Lalu dan Yang Akan Datang (cet ke-4). Bandung: Angkasa.
- Notosusanto, Nugroho. 1973. Markas Besar Komando Djawa. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
- Notosusanto, Nugroho. 1983. The National Struggle And The Armed Forces in Indonesia. jakarta: Department of Defence & Security Centre For Armed Forces History.
- Pusat Sejarah TNI. 2000. Sejarah TNI, jld. I. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.
- SESKOAD. 1989. Serangan Umun I Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: Citra lamtoro Gung Persada.
- Sekretariat Negara RI. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
- Suparyanto.”KonsepManajemen“. http://www.scribd.com/doc/57731671/Konsep Manajemen.
Oleh: Dr. G. Ambar Wulan – Pemerhati Sejarah