Satu masalah pelik yang timbul saat itu adalah belum kembalinya Panglima Besar Soedirman ke Yogya. Beliau masih bertahan di markasnya. Terbetik kabar bahwa beliau akan terus berjuang sampai kedaulatan penuh di tangan Republik.
Sri Sultan telah berusaha membujuk Panglima Besar untuk kembali ke Yogya. Demikian pula Kolonel Gatot Soebroto. Gubernur Militer III, perwira yang disegani oleh Pak Dirman, telah mengirim surat kepada Panglima Besar kita itu. Tetapi tak ada reaksi yang tegas dari Pak Dirman.
Akhirnya saya diserahi tugas oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator untuk menjemput Pak Dirman. Sebenarnya saya ini bukan seorang perwira yang terhitung dekat kepada Jenderal Soedirman. Saya bertemu dengan beliau pada saatsaat penting saja. Tetapi toh keganjilan terjadi.
Pada waktu itu Pak Soedirman berada di Karangmojo, bukan di Pathuk. Saya pergi ke sana naik kuda, karena jalan ke sana sudah kita hancurkan. Saya melewati Piyungan, terus Pathuk, terus menuju ke Kecamatan Karangmojo. Ikut serta dengan saya waktu itu dr. Irsan, dokter Brigade X dan Bung Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan. Waktu saya menemukannya, tentunya saya terharu. Mana pula tidak akan begitu. Suasana itu begitu memikat dan terjadi setelah kita mampu menghalau Belanda, musuh kita.
Dan beliau bertanya, “Bagaimana kamu, Harto ?” Sambutan pendek dari seorang Bapak yang kita hormati, di tengah suasana demikian, meresap mengharukan. Maka saya dengan tegas menjawab, “Tentara tetap di belakang Panglima Besar”. Lalu kami mengadakan pembicaraan, malahan mirip seperti sebuah diskusi, yaitu memikirkan apa dan mana yang lebih penting.
Pak Dirman tidaklah menolak sama sekali untuk turun ke Yogya waktu itu. Tetapi beliau mempunyai pertimbangan, mana yang baik pengaruhnya kepada perjuangan. Beliau ingat bahwa sebagian besar rakyat masih berjuang di luar kota. Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kepada saya dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan, kalau beliau turun ke Yogya sementara anak buah masih banyak yang di luar. “Masakan saya meninggalkan mereka dengan masuk ke Yogya,” katanya. “Apa pikiranmu, Harto ?” tanyanya.
Saya mempunyai pikiran lain. Menjawab pertanyaan Pak Dirman itu saya memberikan argumentasi. Pertama, bahwa Yogya itu sekarang sudah menjadi wilayah kita lagi. Yogya sudah menjadi pusat pemerintahan RI lagi. Dengan itu berarti, kita kembali ke tempat di mana kita bisa memimpin perjuangan kita. Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidasi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia.
Di samping itu, saya katakan kepada Pak Dirman, “Bapak masih mempunyai kewajiban untuk memimpin perjuangan kita ini.” Sementara itu nampak sekali fisik Pak Dirman dalam keadaan Iemah dan sakit. Oleh karena itu, saya pikir, kembalinya kita ke Yogya harus kita pergunakan untuk memulihkan kesehatan Panglima Besar kita.
Mendengar saya bicara begitu, akhirnya Pak Dirman bersedia berangkat. Artinya, pikiran saya bisa diterimanya. Maka berangkatlah Pak Dirman dalam keadaan ditandu. Sementara itu di Yogya penyambutan sudah saya siapkan. Belum juga satu jam dalam perjalanan, Pak Dirman minta berhenti. Pak Dirman turun dari tandunya. Saya masih berjalan di belakang pasukan pengawal Panglima Besar kita.
Maka saya dengar saya dipanggil oleh,Pak Dirman. Saya mendekat kepadanya. Dengan airmata berlinang Pak Dirman memegang bahu saya dan berkata, “Saya percayakan keselamatan negara dan keselamatanku kepadamu, Harto.”
Sesaat saya diam, meresapkan kata-kata itu. Keterharuan saya waktu itu tidak mungkin saya lupakan. Lalu saya berkata dengan suara rendah, tetapi dengan kepercayaan penuh, “insya Allah, Pak.” Pak Dirman diam sesaat, lalu beliau naik lagi ke atas tandu. Kemudian kami berjalan lagi.
Saya berpikir mengenai kejadian ini. Tentu itu diucapkan Pak Dirman setelah tadi malam kami bercakap-cakap. Waktu itu beliau masih kelihatan ragu. Mungkin pikirannya, apakah Belanda itu bersikap sungguh-sungguh atau membohongi kita seperti di waktuwaktu yang sudah. Juga Pak Dirman mungkin masih terganggu oleh rasa keraguannya terhadap para pemimpin politik yang akhirnya menyerah pada tanggal 19 Desember itu. Dalam percakapan malam itu, sebelum berangkat, beliau menunjukkan penghargaannya pada apa yang saya lakukan dengan serangan umum 1 Maret. Beliau pun setuju mengenai sikap saya sewaktu berunding dengan Sri Sultan tentang keberangkatan Belanda dari Yogya.
Sewaktu kami berjalan menuju ke Yogyakarta, rupanya sudah ada yang mempunyai pikiran, bahwa Jenderal kita itu harus datang dalam pakaian kebesaran. Bukan saya yang menyiapkan pakaian kebesaran itu, melainkan Pak Simatupang yang waktu itu adalah Kepala Stafnya.
Pak Simatupang dan Jenderal Hardjo mencegat kami di Piyungan. Di sana mereka sudah siap dengan kendaraan dan pakaian kebesaran itu. Maksud mereka, begitu Jenderal kita itu tiba, begitu mereka akan minta Pak Dirman naik ke dalam kendaraan dengan lebih dulu menukar pakaiannya.
Waktu tercetus pembicaraan mengenai pakaian jenderal yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman itu, Panglima Besar kita bertanya kepada saya, “Bagaimana ?”
Sejenak saya berpikir, tetapi cepat pula saya menjawab. “Kalau saya, lebih baik begini saja.” Maksud saya, biar Pak Dirman mengenakan pakaian yang asal saja, tak perlu diganti. “Begini juga sudah baik, Pak,” kata saya, dengan pikiran, “tak ada cacat sedikit pun memimpin gerilya dengan pakaian serupa itu. “Kalau nanti sudah berada di kota, barulah boleh berganti pakaian,” pikir saya.
Maka Pak Dirman pun rupanya sepaham dengan saya. Beliau tidak mengganti pakaiannya. Beliau tetap mengenakan yang asal, dengan mantel Australia paling luar. Badan beliau kurus. Tetapi dengan mengenakan mantel yang tebal itu beliau kelihatan gemuk. Mantelnya itu berat sekali.
Di Piyungan itu kami hanya mampir sebentar. Rencana yang tadinya di sana Panglima Besar kita akan berganti pakaian, tidak jadi dilakukan. Jenderal kita memutuskan lain. Dan tandu diganti dengan jeep yang sudah disediakan.
Sewaktu sampai di kota, dengan dielu-elu oleh rakyat sepanjang jalan, Pak Dirman bertanya kepada saya, “Bagaimana, terus langsung ke pasukan?”. Memang saya menyiapkan pasukan. Tetapi saya jawab, “Wah, tidak baik kalau begitu, Pak. Bisa disangka ada pertentangan. Lebih baik kita ke Istana saja dulu, melapor kepada Presiden”. Maka kemudian saya bawa Pak Dirman ke Istana, saya yang mengemudikan jeep ke tempat berkumpulnya Presiden dengan yang lainnya.
Waktu turun dari jeep, Pak Dirman dan Bung Karno berpelukan. Mulanya Panglima Besar kita tidak mau berbuat begitu. Tetapi barangkali dipandangnya tidak baik bila menolak, dipandangnya perlu dilakukan sekali pun untuk sandiwara, untuk tampak keluar. Sementara itu, pasukan pengawal sudah berangkat ke rumah yang sudah disiapkan untuk Pak Dirman, bersama tandu yang bersejarah itu.
Lalu di Istana, Pak Dirman pamit untuk pergi ke alun-alun. Di sana Panglima Besar kita diterima Pasukan Kehormatan yang sudah kami. siapkan. Saya tidak mengira bahwa upacara di alun-alun itu adalah yang terakhir buat Panglima Besar kita itu semasa hidupnya. Beliau seperti tidak diizinkan lagi oleh yang Mahakuasa melakukan tugasnya. Padahal kami masih mengharapkan bimbingannya.
Kesehatannya yang menurun menyebabkan beliau harus dipindahkan ke Magelang, dengan harapan, mudah-mudahan udara di kota itu yang lebih segar menjadikannya pulih kembali. Beliau ditempatkan di peristirahatan tentara Taman Badakan Magelang. Tetapi ternyata tempat yang disenanginya itu tidak juga menolongnya.
Tanggal 29 Januari 1950 justru setelah berlangsungnya pengakuan atas kedaulatan RI, setelah bendera Merah Putih Biru diturunkan di Istana, dan diganti dengan Sang Merah Putih, Panglima Besar Soedirman meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Di siang hari yang cerah Pak Dirman yang bekas guru itu masih sempat memeriksa rapor putra-putrinya. Tetapi belum sempat beliau menandatanganinya, sakit hebat tibatiba menyerangnya. Dan Pak Dirman tak berdaya. Pertolongan diberikan dengan sedapat mungkin. Tetapi malang, beliau tak bisa diselamatkan.
Pada sore hari kira-kira pukul 18.30, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dengan ini, bukan saja keluarganya, istrinya dan tujuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil yang terpukul, tetapi seluruh jajaran angkatan bersenjata kita kehilangan seorang pemimpin teladan yang amat besar. Rasa duka yang mendalam menusuk hati sanubari saya, sekalipun saya sadar bahwa begitulah Tuhan sudah menetapkannya.
Saya, yang telah membereskan kembali Brigade saya dengan berkedudukan di Yogya setelah pengakuan kedaulatan, ditunjuk untuk memimpin pengangkutan jenazah Panglima Besar Soedirman dari Magelang ke Yogya pada tanggal 30 Januari.
Seluruh Angkatan Perang RIS diperintahkan berkabung selama tujuh hari, dengan mengibarkan bendera setengah tiang. Pemerintah menjadikannya Hari Berkabung Nasional dengan wafatnya Panglima Besar kita itu.
Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dalam pidatonya mengumumkan keputusan pemerintah, menaikkan pangkat Letnan Jenderal Soedirman secara anumerta menjadi Jenderal.
Saya pimpin iringan jenazah almarhum itu meninggalkan Magelang menuju Yogya. Setelah disembahyangkan di Mesjid Agung, jenazah dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogya, di tempat peristirahatan terakhir Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, pendampingnya.
Presiden Soekarno yang sudah diangkat menjadi Presiden RIS dan berkedudukan di Jakarta, sedang berada di India untuk melaksanakan kunjungan persahabatan. Tetapi di akhir Desember sebelumnya beliau sempat menulis sepucuk surat kepada almarhum, meminta maaf atas kekhilafan-kekhilafan dan kesalahannya. Beliau seperti sudah merasa, bahwa perpisahan untuk selama-lamanya dengan Panglima Besar itu sudah berada di ambang pintu. “Mohonkanlah supaya Kanda di dalam jabatan baru selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa sesuatu apa, hanya Dialah yang menentukan segala-galanya ……,” tulis Presiden Soekarno kepada Panglima Besar Soedirman.
Acting Presiden RI Mr. Assaat, selaku wakil Pemerintah RI mengucapkan kata-kata selamat jalan. Dr. J. Leimena, mewakili Pemerintah RIS, Jenderal Mayor Suhardjo, mewakili Angkatan Perang RIS menyatakan penghormatan.
Suasana haru meliputi Taman Makam Pahlawan itu, sebelum dan sesudah salvo ditembakkan. Penghormatan diberikan dan peti jenazah diturunkan perlahan-lahan ke dalam liang kubur di bawah naungan bendera Merah Putih.
Ibu Dirman yang pertama menimbunkan tanah ke atas peti jenazah diikuti oleh Acting Presiden RI Mr. Assaat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Mayor Suhardjo, Kolonel Gatot Soebroto, Dr. Leimena, dan lain-lainnya.
Saya memimpin para perwira lainnya melakukan penimbunan yang terakhir, dengan mengucapkan doa yang setulus-tulusnya di dalam hati. Semoga almarhum diterima di sisi Tuhan.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 68-73.