PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

BJ. Habibie Pak Harto Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa (Bagian 4)

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,

Sejak pertemuan itu, saya memperoleh kesempatan untuk secara periodik berdialog dengan Pak Harto dan dengan demikian, mendengar sendiri dari dekat pemikiran-pemikiran beliau. Ternyata bahwa Pak Harto yang saya kenal sejak tahun 1950 sebagai pemimpin pemuda yang pendiam berumur 28 tahun, yang memiliki rasa kemanusiaan dan jiwa perjuangan yang tinggi, oleh sejarah serta perkembangan hidupnya telah dibentuk menjadi seorang pemikir falsafah, pemikir setrategis, dan pemikir politik, serta seorang negarawan.

Selama tujuhbelas tahun dari keempatpuluhsatu tahun saya mengenal Pak Harto, saya diberi kehormatan dapat mendampingi beliau sebagai salah seorang dari sekian banyak pembantu beliau. Dalam waktu 17 tahun sejak pertemuan hari itu, saya diberi kehormatan mengenal Pak Harto dari dekat, mengenal jalan pikiran beliau, memahami jalan pikiran beliau; mengenal falsafah beliau, memahami falsafah beliau, memahami sifat-sifat beliau. Salah satu sifat beliau sudah saya ketahui benar sejak tahun 1950, karena saya mengalaminya sendiri, yakni rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan beliau yang besar terhadap anak buah dan orang sekelilingnya. Saya belajar mengenal sifat-sifat beliau lainnya.

Sifat beliau yang sangat menonjol adalah kesederhanaan. Saya menjadi kagum atas kebesar beliau. Hati saya semakin mantap dalam membantu beliau karena Pak Harto selalu memancarkan ketenangan ke sekelilingnya. Pernah saya ditanya oleh orang-orang di luar negeri dan dalam negeri: “Apa yang merupakan kebesaran Pak Harto?”. Dan selalu saya jawab: “Selain dedikasi beliau, sifat yang membuat Pak Harto orang besar adalah bahwa beliau memiliki intelegensi yang tinggi, memiliki ingatan yang kuat, memiliki perasaan manusiawi yang sangat tinggi, dibarengi dengan kepemimpinan yang bijaksana, yang setia pada cita-cita bangsanya, dekat dengan rakyat dan mengerti aspirasi rakyat”.

Saya berterimakasih kepada Tuhan bahwa dalam masa 41 tahun saya memperoleh kesempatan mengenal seseorang manusia dalam dua tahap: dari tahun 1950 sampau tahun 1974 secara sporadis, dan dari tahun 1974 sampai sekarang secara sistematis. Hubungan selama 41 tahun itu membentuk hubungan sebagai anak dengan bapak, dan sebagai murid dengan guru, yang mempengaruhi tindakan dan sikap saya terhadpa beliau. Saya mencintai dan menyayangi beliau sebagaimana seorang anak mencintai dan menyayangi ayahnya dan menghormati dan tunduk pada beliau sebagaimana seorang murid bersikap hormat dan tunduk pada gurunya. Baik sebagai anak maupun sebagai murid, saya berusaha tidak mengecewakan beliau. Saya berusaha menunjukkan bahwa perhatian besar beliau pada saya sejak tahun 1950 itu tidak sia-sia. Saya berusaha agar menjadi seorang Habibie yang dapat dibanggakan oleh Pak Harto.

Dalam tujuh belas tahun terakhir ini, saya diajarkan falsafah hidup manusia berbudaya Indonesia umumnya dan Jawa khususnya, sikap kepemimpinan Indonesia yang diilhami aspirasi dan inspirasi rakyat Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan saya diberi pelajaran mengenai cara-cara mengatasi masalah-masalah dengan selalu mengingat falsafah hidup dan kepemimpinan tersebut. Ajaran-ajaran Pak Harto ini menjadikan saya lebih utuh karena menambah dan menyempurnakan pendidikan ilmiah dan pengalaman bisnis internasional yang saya peroleh sebelumnya di dunia Barat dalam rangka memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk perkembangan manusia.

Selama tujuh belas tahun itu saya berusaha sekuat-kuatnya untuk menghayati semua falsafah hidup beliau: falsafah hidup beliau sebagai negarawan, sebagai ahli politik, dan sebagai pemimpin nasional yang memiliki strategi nasional yang berpandangan jauh ke depan. Saya berusaha sekuat tenaga untuk menterjemahkan falsafah hidup Pak Harto itu ke dalam bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi demi memberi dharma bakti merealisasi falsafah itu menjadi fakta-fakta nyata; secara keseluruhan, tahap demi tahap, secara sistematis, secara tidak hanya tergantung dari satu elemen (“redundant“), dan dengan mengembangkan kesinambungannya dari generasi ke generasi, artinya, dengan mempersiapkan kader-kader yang dapat melestarikan perwujudan kongkrit falsafah Pak Harto itu sepanjang masa.

Bagi saya, Pak Harto merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa pada bangsa Indonesia; anugerah yang telah mengalami bentukan oleh rakyat dan oleh sejarah ,baik sejarah perjuangan nasional yakyat Indonesia sendiri maupun sejarah regional dan sejarah dunia, sampai hari ini. Tidak semua orang sanggup belajar dari rakyat dan dari sejarah. Pak Harto pandai menyerap masukan-masukan itu karena, menurut tafsiran saya disamping sifat-sifat pribadi lainnya, beliau adalah orang yang sangat manusiawi dan memiliki response terhadap getaran lingkungannya. Karena resonansi dengan getaran rakyat itulah maka Pak harto mampu menilai satu persatu dari sudut kepentingan rakyatnya dan mampu memutuskan semuanya pada waktunya.

Beliau memiliki ciri khas yaitu konsisten atau setia pada prinsip-prinsip perjuangan beliau yang identik dengan prinsip-prinsip perjuangan bangsanya. Saya telah melihat kembali petunjuk-petunjuk beliau yang saya catat selama tujuh belas tahun ini, dan ternyata selama tahun-tahun itu petunjuk dan anggapan beliau atas cetusan-cetusan saya sama saja. Artinya beliau konsisten dan menyatu dengan aspirasi bangsa.

Baru sekarang, setelah mengikuti pikiran, ucapan dan tindakan Pak Harto selama 17 tahun dan merenungkan hal-hal yang terjadi selama 41 tahun kami berdua saling mengenal. Saya mengerti bahwa perjalanan hidup kami yang saling berpapasan selama 24 tahun sejak 1950 dan saling berjalinan sejak tahun 1974, bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh Pak Harto, bukan sesuatu yang ditentukan oleh Habibie, tetapi adalah sesuatu  yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu, saya melaksanakan tugas-tugas dengan tenang dan mantap. Saya melakukan tugas-tugas saya bukan karena di suruh, bukan karena takut, bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena saya yakin. Saya yakin bahwa falsafah, strategi, dan kebijaksanaan Pak Harto, Putera Indonesia yang besar ini, adalah yang paling baik untuk bangsa ini. Itulah sebabnya mengapa tanpa mengenal lelah, tanpa mengenal takut, saya selalu berusaha menerjemahkan segala pemikiran beliau dalam bahasa seorang Insiyur yang bertugas membuat rumah yang indah untuk rakyatnya dengan karya-karya nyata dalam bentuk terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pembangunan bangsa. (AFR). (Habis).



***

[1] BJ. Habibie, “Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa”,  dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 381-384.

[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.

BJ. Habibie : Pak Harto Menyatu dengan Aspirasi Bangsa (Bagian 3)

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

Dari pengalaman sebagai seorang pemimpin gerakan mahasiswa di Eropa, saya sadar bahwa suatu halangan tidak dapat didobrak dan suatu idea tidak mungkin diwujudkan, hanya oleh satu orang saja. Pengalaman itu mengajarkan bahwa yang penting meyakini dua hal dulu. Pertama, cita-cita dan program yang kita miliki waktu itu benar-benar identik dengan cita-cita bangsa. Kedua, bahwa cita-cita yang kita miliki itu benar-benar menguntungkan cita-cita perjuangan bangsa. Jika cita-cita tersebut benar-benar demikian, maka kita harus juga mampu untuk mewujudkan cita-cita itu. Tidak hanya itu saja” kita harus mampu meyakinkan orang-orang di lingkungan kita bahwa yang dikehendaki itu bukan kepentingan pribadi, tetapi tidak lain daripada suatu sumbangan kecil kepada suatu perjuangan yang besar dari keseluruhan bangsa. Dengan demikian, maka orang yang diyakinkan akan bergabung dengan kita yang meyakinkan itu dan akan terbentuk suatu kelompok yang jumlahnya semakin besar dan kekuatannya makin tinggi untuk mendobrak dan melakukan terobosan yang diperlukan dan diharapkan oleh bangsa.

Maka lahirlah prakarsa untuk mendatangkan pemuda-pemuda Indonesia untuk bersama dengan saya mempersiapkan diri di rantau kalangan orang-orang rasional dan pintar, untuk mendapatkan pengalaman di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan rekayasa. Merekalah yang kelak akan membentuk suatu inti yang terus menerus diperbesar dan disempurnakan sehingga dapat menjadi bekal masyarakat untuk dimanfaatkan dalam suatu sistem yang terpadu, yang “redundant“. Dalam hal ini adalah suatu kekuatan yang tidak hanya tergantung  dari satu elemen saja, dan ia merupakan suatu sistem gerakan yang tidak dapat dihalang-halangi karena tidak saja dijiwai semangat perjuangan bangsa, melainkan juga oleh keyakinan kebenaran intepretasi perjuangan bangsanya sesuai dengan identitas kepentingan masyarakat.

Dengan instruksi Pak Harto tersebut saya memberanikan diri mengumpulkan putera-puteri Indonesia lainnya yang seumur atau yang lebih muda, untuk berhimpun dan mempersiapkan diri menjadi teknolog dan teknokrat yang cinta bangsanya, cita pada idea dan yakin pada kebenaran strategi yang ditempuh pemimpin nasional, dalam hal ini Pak Harto sebagai Mandataris MPR. Dengan melakukan berbagai pertemuan, maka terkumpullah sekelompok orang dengan semangat dan kemauan yang sama. Mereka sekarang telah kembali ke Indonesia mengisi kemerdekaan bangsa. Nama mereka tidak perlu saya sebut satu persatu. Mereka tetap berada di sekitar saya, dan jumlahnya semakin besar. Semuanya adalah orang-orang yang dapat saya yakinkan atau yakin dengan sendirinya. Dengan kemampuan menghayati dan mengintepretasi jiwa perjuangan angkatan sebelumnya, mereka adalah kawan seperjuangan, bukan sekedar anak buah.

Berdasarkan pesan Pak Harto, saya menimba pengalaman di bidang ilmu, teknologi, dan bisnis internasional. Saya menjadi semakin dewasa serta mandiri sebagai salah orang anggota generasi penerus yang diilhami oleh generasi perjuangan sebelumnya, diilhami oleh lingkungannya. Saya juga diilhami oleh cara berfikir generasi sendiri yang rasional dan sistematis, modern dan canggih, tanpa meninggalkan kebudayaan bangsanya sehingga sesuai dengan perkembangan sejarah masyarakatnya.

Demikianlah waktu berlalu sampai saat Pak Harto pada tahun 1970 berkunjung lagi ke Eropa. Pada waktu itu beliau telah menjadi Presiden dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Kerajaan Belanda dan Republik Federal Jerman. Entah bagaimana diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Harto teringat pada orang dengan siapa beliau telah melakukan hubungan batin, yang tanpa orang itu menyadarinya telah beliau bina sejak tahun 1950. Saya diberikan kehormatan bertemu dengan beliau yang saya kenal sebagai seorang yang memiliki perasaan manusiawi yang besar, sebagai pemuda yang memiliki jiwa juang, yang mencintai perjuangan bangsanya, yang mampu menghayati aspirasi rakyatnya dan memimpin generasinya. Orang itu kini telah menjadi Presiden/Mandataris MPR.

Pertemuan saya dengan Pak Harto di Bonn itu merupakan pertemuan pertama saya dengan Pak Harto sebagai pemimpin bangsa dan negara saya. DIdalam pertemuan itu beliau memberi petunjuk-petunjuk dan berpesan agar saya siap-siap kembali ke tanah air membantu melaksanakan pembangunan didalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya dengarkan petunjuk-petunjuk beliau dengan penuh perhatian dan penuh semangat. Sebagai orang yang pernah diberi kesempatan belajar di luar negeri oleh pemerintah, saya sungguh-sungguh yakin akan kewajiban untuk melanjutkan perjuangan bangsa sebagai generasi penerus dan pada suatu hari akan kembali ke Indonesia. Karena itu petunjuk-petunjuk Pak Harto menimbulkan getaran response yang beramplitude besar. Pesan Pak Harto itu telah lama ditunggu-tunggu. Saya sudah lama siap untuk memberikan sumbangan, walaupun sedikit, kepada pembangunan bangsa.

Dari tahun 1970 hingga 1974, saya melanjutkan pekerjaan saya di Messerschmitt-Bolkow-Blohm sambil menunggu panggilan pulang. Pada bulan agustus 1973, saya mendapat telpon dari ipar saya Subono manthovani agar siap-siap pulang dan karean itu jangan membuat kontrak baru. Di bulan Desember 1973, Pak Ibnu Sutowo (pada waktu Direktur Utama Pertamina) memanggil saya dari Hamburg untuk bertemu dengan beliau di Hotel Hilton Dusseldorf. Beliau menyampaikan panggilan pulang dari Pak Harto.

Segera saya kumpulkan kawan-kawan yang telah saya himpun sejak tahun 1966. Teman-teman yang pada waktu itu berada di Jerman Utara, berkumpul dalam suatu rapat di ruangan Konsul Jenderal kita di Hamburg. Kepada mereka saya beritahukan pertemuan saya dengan Pak Ibnu Sutowo; saya sampaikan bahwa rupanya sudah tiba saatnya bagi kita untuk bersama-sama pulang. Saya tanyakan kepada mereka, siapa yang sudah siap pulang. Sebahagiaan besar tanpa reserve, dengan dedikasi dan cinta tanah air yang sama tingginya, menyatakan bersedia meletakkan jabatannya masing-masing di industri Jerman untuk kembali ke Indonesia, menghadapi masa depan yang serba tidak jelas. Ini merek alalukan atas dasar kesadaran bahwa tindakan mereka merupakan suatu perjuangan yang membutuhkan tekad dan keiklasan untuk berkorban. Maka pulanglah mereka bersama saya, secara berangsur-angsur dalam tahun 1974-1975. Di tanah air, kita digabungkan oleh rekan-rekan yang memiliki sikap, kepribadian, intelegensi, dedikasi dan jiwa perjuangan yang sama. Bersama-sama dengan mereka itu kami membentuk inti kekuatan perjuangan. Dari tahun ke tahun, inti tersebut semakin besar, semakin kuat, dan semakin berpengalaman.

Pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 1974 saya tiba kembali di tanah air. Ibu dan keluarga saya memberitahukan bahwa saya akan diterima Bapak Presiden. Hari Senin tanggal 28 Januari 1974 pagi hari, saya menghadap Dr. Ibnu Sutowo di kantor beliau di Jalan Perwira untuk melaporkan bahwa saya telah kembali. Pak Ibnu mengatakan bahwa jika demikian, beliau telah melaksanakan perintah Presiden untuk memanggil saya pulang, dan bahwa petunjuk selanjutnya akan disampaikan sendiri oleh Pak Harto pada malam harinya.

Dalam pertemuan saya pada Hari Senin tanggal 28 Januari  1974 jam 19.30 di kediaman beliau di Jalan Cendana itu, Bapak Presiden memberi petunjuk-petunjuk yang jelas dalam tugas saya membantu beliau dalam mengembangkan teknologi untuk pembangunan ekonomi khususnya dan pembangunan bangsa pada umumnya. Sampai saat ini, kehormatan bertemu Pak Harto kali itu memberi kesan yang sangat mendalam. Pertama kali dalam hidup saya, saya dengar istilah “tinggal landas” –suatu istilah yang tadinya saya intepretasikan hanya dari sudut konstruksi pesawat terbang, digunakan dalam konteks strategi pembangunan nasional. Bapak Presiden menyampaikan bahwa Pembangunan Nasional Jangka Panjang akan membangun danmemantapkan kerangka landasan agar dapat tinggal landas pada tahun 1994, dua puluh tahun dari saat pertemuan kita. Untuk itu akan dilaksanakan tahapan-tahapan pembangunan sebagai berikut:

Pertanian dan industri yang mendukungnya;
Pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku;
Pertanian dan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi;
Pertanian dan industri mesin;
Akhirnya tercapai pembangunan industri yang kuat dengan dukungan yang tangguh sebagai landasan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Malam itu Pak Harto memberitahukan bahwa untuk sementara saya akan diberi tugas sebagai Penasehat Teknologi Presiden dan memimpin Divisi Advanced Technology di lingkungan Pertamina yang dimaksudkan sebagai lembaga tingkat pusat untuk mendampingi Bappenas. Beliau menjelaskan bahwa saya diberi waktu 20 tahun untuk membantu menyelesaikan tahapan-tahapan pembangunan itu. Beliau menjelaskan falsafah hidup dan falsafah perjuangan bangsa, selain menjelaskan kekuatan-kekuatan dan aspirasi aspirasi rakyat. Kata beliau pada saya:

“Sebenarnya, rakyatmu itu tidak berbelit-belit dan njelimet. Sebenarnya, rakyat Indonesia sangat sederhana dalam keinginannya. Mereka akan sangat berterima kasih jika tercapai peningkatan dalam taraf hidup mereka secara bertahap. Tetapi rakyatmu itu pasti tidak akan sanggup lagi menanggung gejolak seperti yang disebabkan oleh pemberontakan PKI. Karena itu, laksanakanlah semua yang Rudy kira perlu untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi jangan Rudy menimbulkan suatu revolusi sosial”

Umur saya waktu itu baru 37 tahun. Saya tidak sepenuhnya menyadari betapa pentingnya pengarahan yang diberikan Pak Harto itu untuk saya pribadi dan untuk pembangunan pada umumnya. Sejak tanggal itu, semua pengarahan Bapak Presiden pada saya, saya catat di dalam buku catatan dan di otak saya. Hingga hari ini dan hari penghabisan saya di dunia ini, pertemuan malam itu akan saya kenang sebagai salah satu malam yang paling mengesankan di dalam hidup saya. Pertemnuan itu merupakan awal dari tahap baru dalam kehidupan saya, yaitu suatu keterlibatan langsung dalam pembangunan bangsa, suatu gerakan besar yang penuh dengan aneka ragam hambatan dan tantanganya, sekaligus dengan kenikmatannya sendiri dapat melihat hasil-hasilnya secara kongkrit dari tahun ke tahun.

Mulai hari itu setiap malam saya berdo’a pada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga Bapak Soeharto, yang sudah ditentukan oleh nasib harus saya dampingi, selalu diberi perlindungan, kekuatan dan kesehatan dalam melaksanakan tugas-tugas beliau. Saya juga berdo’a semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kepada saya bimbingan agar kesempatan yang diberikan untuk ikut mewujudkan cita-cita bangsa, dapat saya manfaatkan sebaik-baiknya. (AFR). (Bersambung).

***

Catatan:

BJ Habibie terpilih sebagai wakil Presiden pada tahun 1997 mendampingi Presiden Soeharto dan secara konstitusional menggantikannya sebagai presiden, ketika Presiden Soeharto menyatakan berheti tahun 1998. Tersebar kabar bahwa sejak pengunduran dirinya sebagai presiden hingga wafatnya, Pak Harto tidak berkenan menerima BJ Habibie atau BJ Habibie belum berhasil menemuinya. Hal itu memunculkan dua spekulasi:

1. Kemungkinan pertama, Pak Harto ingin memberi ruang kepada BJ Habibie untuk menuliskan sejarahnya sendiri, agar sebagai presiden baru, tidak berada dalam bayang-bayang sejarah presiden sebelumnya, sekaligus melindungi BJ Habibie dari segala persepsi buruk atau propaganda hitam sejumlah kalangan, yang kesemuanya pada saat itu diarahkan kepada Pak Harto. Pak Harto tidak ingin membebankan propaganda hitam itu kepada orang lain, agar BJ. Habibie bisa fokus   menangani dampak krisis moneter, yang mempertaruhkan jutaan masa depan rakyat Indonesia  pada saat itu.

2.  Kemungkinan kedua, Pak Harto kurang berkenan soal lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya sudah hampir berhasil meyakinkan pihak-pihak terkait di dunia internasional untuk menyelesaikan soal ini  melalui jalan diplomasi.  Namun atas masukan dari para penasehatnya, yang jam terbangnya belum banyak, BJ Habibie memutuskan menggelar referendum yang menyebabkan lepasnya Timor Timur. Pak Harto tentu melihat suasana kebatinan para pejuang yang dengan susah payah mengintegrasikan wilayah ini dengan Indonesia dan suasana kebatinan penduduk Timor-Timur yang merasa terlindung dalam alam integrasi.

[1] BJ. Habibie, “Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa”,  dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 376-381.

[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.

BJ. Habibie : Pak Harto Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa (Bagian 2)

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

Sementara Pak Harto berkembang didalam kariernya di bumi Indonesia, saya di Jerman Barat pun bertambah pengalaman, sesuai dengan ritme perkembangan semangat pembangunan diantara pemuda pelajar di rantau, dan dengan mendapatkan inspirasi dari pemimpin-pemimpin perjuangan.

Perkembangan idiologi di tahun-tahun 1960-an, dengan “Penemuan Kembali Revolusi Indonesia”, Manipol-USDEK, dan pernyataan idiologis-revolusioner lainnya, mempunyai pengaruh pada gerakan pemuda Indonesia di luar negeri, termasuk Eropa. Kebetulan, saya waktu itu sedang diberi kesempatan untuk berperan serta dalam memimpin generasi saya didalam memberikan response yang rasional tetapi penuh dedikasi terhadap panggilan perjuangan bangsa. Saya mendapatkan kehormatan untuk bergerak di dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman Barat dan di Eropa. Melalui PPI, yang pada waktu itu oleh Pemimpin Besar Revolusi dinyatakan sebagai aparat revolusi, saya ikut di dalam perjuangan. Dan tanpa disadari, melalui bekal pengalaman dalam sistem itu, rupanya saya dipersiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu manusia Indonesia yang harus melanjutkan perjuangan bangsa.

Saya yakin bahwa saya beserta putera-puteri Indonesia yang memperoleh kesempatan meresap ilmu pengetahuan di luar negeri, khususnya Eropa, berkewajiban mengamalkan ilmu yang diperolehnya untuk pembangunan bangsanya. Kita pemuda pelajar wajib mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata pembangunan. Karena keyakinan itulah saya berhasil menggerakkan rekan-rekan di PPI di Jerman dan Eropa untuk menyelenggarakan seminar-seminar pembangunan. Dengan bantuan teman-teman se-PPI dan dengan sumbangan-sumbangan yang saya kumpulkan dari perusahaan-perusahaan Jerman, akhirnya terlaksana “Seminar Pembangunan Mahasiswa dan Pelajar se-Eropa di Hamburg-Barsbuttel selama 6 hari, dari tanggal 20 sampai 25 Juli 1959.

Dengan bekal semangat dan pengalaman itu, pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, yang pada waktu itu sudah berpangkat mayor jenderal, menanamkan suatu kesan yang sangat mendalam di dalam otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu. Pertemuan tersebut terjadi sewaktu beliau bersama-sama Pak Nasution mengunjungi Eropa tahun 1961 (red=kemungkinan besar dalam rangka negosiasi pengadaan persenjataan dalam rangka pembebasan Irian Barat, akan tetapi respon barat kurang positif dan akhirnya Rusia-lah yang berhasil membantu dalam penyediaan persenjataan tempur). Pada waktu itu, saya hanyalah sebagai seorang insiyur muda yang mendapatkan kesempatan berbicara dengan banyak pemimpin termasuk Pak Harto. Saya memandang Pak Harto sebagai orang yang pendiam tetapi mampu menangkap aspirasi-aspirasi di dalam lingkungannya serta mampu menganalisa dan mengintepretasikannya. Bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, beliau mampu merencanakan realisasinya sesuai dengan keyakinan beliau untuk kepentingan masyarakat.

Saya masih ingat, bagaimana dalam pertemuan di Jerman Barat itu, saya, entah terdorong oleh perasaan apa, menjelaskan mengenai peranan seorang insinyur di dalam proses pembangunan melalui karya-karya yang nyata untuk kesejahteraan bangsa. Saya tidak menyadari bahwa salah seorang diantara yang saya berikan penjelasan itu kelak ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menjadi pemimpin bangsanya. Ia ditakdirkan untuk dengan segala patriotismenya mengembalikan Revolusi Indonesia dan aspirasi bangsanya ke relnya yaitu Pancasila dan Undang-Unadng Dasar 1945 dan memulai Orde Baru. Itulah patriotisme yang hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang benar-benar mencintai bangsanya dan memahami inspirasi Revolusi Kemerdekaan 1945.

Dalam beberapa tahun kemudian, Pak Harto menjadi mandataris MPRS, Presiden Republik Indonesia, dan memimpin bangsanya untuk mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata putera-putri Indonesia, tanpa meninggalkan kebudayaan dan pola pemikiran yang diwariskan generasi-generasi sebelumnya. Beliau memikir jauh ke depan, sehingga dengan sekaligus beliau membudayakan Demokrasi Pancasila agar kita tidak kehilangan arah di dalam pembangunan masyarakat yang kita cita-citakan.

Ketika pemberontakan G.30.S/PKI meletus di Indonesia, saya kebetulan baru saja menyelesaikan semua persyaratan untuk memperoleh gelar Dr. -Ing. dan baru saja ikut mempersiapkan Kongres Pemuda tahun 1965, dengan PPI sebagai Alat Revolusi. Tiba-tiba kita dikagetkan oleh peristiwa G.30.S/PKI itu, dan kemudian saya pun mendengar bahwa yang berhasil mengatasinya adalah seorang Jenderal Soeharto. Karena nama Soeharto begitu umum di Indonesia, saya tidak menyadari bahwa yang dimaksudkan itu adalah Jenderal Soeharto yang saya kenal sejak tahun 1950-an di Makasar, dan yang garis hidupnya telah beberapa kali bersentuhan dengan hidup saya.

Waktu itu saya adalah seorang pemuda terpelajar yang telah mengalami pendidikan formal yang mendalam dan tinggi di Jerman Barat didalam suatu sistem pendidikan yang hampir sempurna di bidang teknologi canggih. Saya adalah pemuda Indonesia yang telah pula mengalami pendidikan kepemimpinan di dalam  PPI sebagai Alat Revolusi. Saya menyadari bahwa pendidikan tersebut tidak mungkin dapat saya nikmati tanpa perjuangan bangsa Indonesia, tanpa pengorbanan rakyat Indonesia. Pendidikan di bidang teknologi beserta pendidikan kepemimpinan itu dijiwai oleh semangat perjuangan dan cinta pada Ibu Pertiwi, diilhami oleh pimpinan dan para pahlawan. Dengan demikian, jelaslah bagi saya bahwa hasil pendidikan itu harus digunakan untuk mengabdi pada perjuangan bangsa.

Tiba-tiba perjuangan bangsa itu diganggu oleh pemberontakan G.30.S/PKI. Dan kebetulan, orang yang berhasil mengatasinya adalah Jenderal Soeharto yang ketika peristiwa itu terjadi telah lama saya kenal selama lima belas tahun. Melalui Subono Manthopani, ipar saya yang telah berpangkat kolonel, saya langsung melaporkan kesiapan saya untuk ikut membantu menghadapi dan menyelesaikan semua masalah di tanah air sebagai seorang Dr.-Ing. muda berumur 29 tahun yang bersemangat juang yang sama, mencintai tanah air dan para pemimpinnya, dan yang yakin pada konsep pemimpinnya.

Pak Harto memberi pesan agar saya tetap melanjutkan tugas saya di dalam industri Jerman, dan bahwa saya akan dipanggil jika sudah tiba waktunya. Saya diminta Pak Harto agar mempersiapkan serta memperkuat diri terlebih dahulu. Karena itu saya langsung terjun kembali dalam bidang saya. (AFR). (Bersambung).

***

Catatan:

BJ Habibie terpilih sebagai wakil Presiden pada tahun 1997 mendampingi Presiden Soeharto dan secara konstitusional menggantikannya sebagai presiden, ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti tahun 1998. Tersebar kabar bahwa sejak pengunduran dirinya sebagai presiden hingga wafatnya, Pak Harto tidak berkenan menerima BJ Habibie atau BJ Habibie belum berhasil menemuinya. Hal itu memunculkan dua spekulasi:

Kemungkinan pertama, Pak Harto ingin memberi ruang kepada BJ Habibie untuk menuliskan sejarahnya sendiri, agar sebagai presiden baru, tidak berada dalam bayang-bayang sejarah presiden sebelumnya, sekaligus melindungi BJ Habibie dari segala persepsi buruk atau propaganda hitam sejumlah kalangan, yang kesemuanya pada saat itu diarahkan kepada Pak Harto. Pak Harto tidak ingin membebankan propaganda hitam itu kepada orang lain, agar BJ. Habibie bisa fokus menangani dampak krisis moneter, yang mempertaruhkan jutaan masa depan rakyat Indonesia  pada saat itu.
 Kemungkinan kedua, Pak Harto kurang berkenan soal lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya sudah hampir berhasil meyakinkan pihak-pihak terkait di dunia internasional untuk menyelesaikan soal ini  melalui jalan diplomasi.  Namun atas masukan dari para penasehatnya, yang jam terbangnya belum banyak, BJ Habibie memutuskan menggelar referendum yang menyebabkan lepasnya Timor Timur. Pak Harto tentu melihat suasana kebatinan para pejuang yang dengan susah payah mengintegrasikan wilayah ini dengan Indonesia dan suasana kebatinan penduduk Timor-Timur yang merasa terlindung dalam alam integrasi.
[1] BJ. Habibie, “Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 373-376.

[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.

BJ Habibie : Pak Harto Menyatu dengan Aspirasi Bangsa (Bagian 1)

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,

Pada saat Pak Harto merayakan ulang tahun beliau yang ketujuhpuluh tahun ini, berarti telah 41 tahun saya mengenal beliau. Dari tahun 1950 hingga tahun 1974 pertemuan antara Pak Harto dengan saya pribadi dan keluarga tidak sesering sebagaimana telah berlangsung sejak saya, pada tahun 1974, memperoleh kehormatan membantu beliau sebagai Presiden/Mandataris MPR melaksanakan pembangunan bangsa dan negara. Namun hubungan kerja dan silaturahmi dengan pertemuan-pertemuan yang sedemikian sering, teratur dan sistematis sejak tahun 1974 itu didahului oleh ikatan batin dan kekeluargaan yang telah berlangsung selama hampir 24 tahun.

Saya melihat Pak Harto pertama kali pada tahun 1950 di Ujung Pandang (Makassar). Pada waktu itu umur saya baru 13 tahun. Ketika itu saya sering melihat Pak Harto dengan ditemani oleh pemuda-pemuda lainnya, diantaranya Letnan Satu Subono Manthovani, anak buah beliau, yang sering berkunjung ke rumah dan kelak menjadi ipar saya. Saya melihat seorang muda, seorang pemimpin, seorang pejuang.

Saya melihat bagaimana waktu itu Pak Harto dengan yakin dan tekun melaksanakan tugas beliau di Makassar untuk menyelesaikan masalah Andi Azis. Saya tahu bahwa beliau datang untuk mempersatukan bangsa dari Sabang  hingga Merauke. Saya kagum melihat kesadaran nasionalnya yang tinggi dan komitmennya yang tegas pada Sumpah Pemuda 1928. Saya memandang Pak Harto sebagai seorang pahlawan yang memimpin pahlawan-pahlawan lainnya untuk membebaskan bangsa kita dari sisa-sisa penjajahan melalui rencana yang sistematis yang dijiwai semangat perjuangan dan semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Saya mengetahui bahwa waktu itu Pak Harto selalu memperhatikan kepentingan sekelilingnya sampai ke detail-detailnya; tidak saja kepentingan bawahannya sendiri tetapi juga kepentingan semua orang didalam lingkungannya, baik orang yang ia sukai maupun yang tidak. Kepentingan keluarga sayapun diperhatikan.

Umur beliau waktu itu baru 28 atau 29 tahun. kalau saya bandingkan dengan sikap dan perilaku beliau waktu itu dengan orang-orang muda berumur 28-29 tahun sekarang, jelas terdapat perbedaan yang jauh. Pada umur 28 tahun, pemuda Soeharto jauh lebih dewasa, jauh lebih berani. Kemandirian serta jiwa pejuang beliau tampak sekali; demikian pula kepeloporan beliau membuat terobosan-terobosan guna membangun sistem untuk membebaskan bangsa kita dari dampak penjajahan selama 350 tahun.

Dari sudut penglihatan saya sebagai anak kecil berumur 13 tahun, beliau adalah seorang idola yang patut dicontoh setiap orang, setidak-tidaknya setiap anak kecil seumur saya yang mampu berfikir dan berperasaan hati nurani yang dekat dengan keluarga, lingkungan, dan bangsanya.

Kekaguman itu bercampur dengan rasa haru yang mendalam ketika pada tahun 1950 itu ayah saya mendapatkan serangan jantung sewaktu sembahyang Isya di rumah. Semua itu masih jelas di bayangan saya, bagaikan suatu skenario yang tertanam didalam otak dan hati sanubari saya. Waktu itu saya berdiri di belakang ayah yang bertindak selaku iman. Dengan mata kepala sendiri saya melihat ayah terjatuh dan, dengan ucapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”, mengakhiri hidup beliau.

Di saat itulah saya menyaksikan bagaimana Pak Harto bertindak tidak saja sebagai seorang pemimpin pemuda, tetapi juga sebagai seorang bapak, seorang pemimpin yang dekat dengan rakyatnya, seorang pemimpin dengan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana Pak Harto menutup mata ayah saya, mendoakannya, serta menghibur ibu dan seisi rumah. Beliau berusaha meyakinkan agar kami menerima musibah itu dengan tabah.

Saya rasa tidak sukar bagi siapapun untuk membayangkan perasaan saya sebagai seorang anak belasan tahun pada saat itu. Siapapun, saya rasa, akan dapat memahami bagaimana pandangan anak itu terhadap seorang pemuda pejuang yang gagah dan tegas, tetapi begitu simpatik dan mesra, dan berhasil mengobati kesedihan serta kebingungannya dengan rasa hangatnya bimbingan dan hiburan yang meringankan beban musibah yang dialaminya. Tentunya perasaan itu akan tertanam untuk selama-lamanya di hati sanubari setiap anak kecil yang sangat mencintai ayahnya dan secara tiba-tiba harus mengalami ayahnya diambil kembali oleh Tuhan Yang maha Kuasa.

Disitulah, saya rasa, hubungan antara pribadi Rudi Habibie dengan pribadi Soeharto terpateri menjadi hubungan batin yang sangat erat. Pada saat ayah saya meninggal di tikar sembahyang itulah terbentuknya hubungan batin itu, ditakdirkan Tuhan, tanpa Pribadi Habibie dan Soeharto menyadari maksud dan tujuannya, apalagi maknanya untuk masa depan. Perasaan inilah yang hingga hari ini merupakan salah satu bekal yang diberikan Tuhan kepada saya dalam hubungan saya dengan Pak Harto sebagai manusia, sebagai pemimpin keluarga, sebagai pemimpin bangsa, dan  sebagai salah seorang pemimpin umat manusia.

Jika saya renungkan makna peristiwa itu dalam umur saya yang limapuluhlima tahun sekarang ini, maka dengan memanfaatkan ratio, saya dapat mengerti dan mendalami kepribadian seorang manusia Indonesia yang besar, seorang manusia Indonesia yang ditakdirkan untuk memimpin bangsanya dengan perasaan nasionalisme dan dedikasi yang tinggi pada bangsanya dengan sekaligus memiliki rasa kemanusiaan yang besar terhadap keluarga, dan orang serta rakyat di sekelilingnya. Sifat-sifat inilah yang menurut tafsiran saya, selalu menjiwai dan mengalbui Soeharto, putera Bangsa Indonesia.

Melalui ceritera-ceritera kakak tertua serta ipar saya yang mengabdi pada bangsanya melalui tugasnya sebagai anak buah Pak Harto, figur Pak Harto sebagai manusia yang patut dicontoh kemudian menjadi elemen yang secara insidentil dan sporadis memasuki sistem pemikiran saya selama masa perkembangan dari anak kecil menjadi seorang pemuda. Melalui ceritera-ceritera keluarga Subhono Manthovani itu, maka secara sengaja atau tidak, tetapi jelas, disamping Bung Karno dan pemimpin-peminpin Indonesia lainnya waktu itu, Soeharto sebagai pemuda yang pendiam tetapi tindakannya didalam perjalanan hidup saya selalu menonjol dan memberikan kehangatan, mungkin mempengaruhi pribadi saya sendiri dan perkembangannya sampai hari ini. Jika kita percaya pada Tuhan yang terus-menerus berkarya, maka pengaruh ini jelas diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. (Bersambung)

***

Catatan:

BJ Habibie terpilih sebagai wakil Presiden pada tahun 1997 mendampingi Presiden Soeharto dan secara konstitusional menggantikannya sebagai presiden, ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti tahun 1998. Tersebar kabar bahwa sejak pengunduran dirinya sebagai presiden hingga wafatnya, Pak Harto tidak/belum berkenan menerima BJ Habibie atau BJ Habibie belum berhasil menemuinya. Hal itu memunculkan dua spekulasi:

Kemungkinan pertama, Pak Harto ingin memberi ruang kepada BJ Habibie untuk menuliskan sejarahnya sendiri, agar sebagai presiden baru, tidak berada dalam bayang-bayang sejarah presiden sebelumnya, sekaligus melindungi BJ Habibie dari segala persepsi buruk atau propaganda hitam sejumlah kalangan, yang kesemuanya pada saat itu diarahkan kepada Pak Harto. Pak Harto tidak ingin membebankan propaganda hitam itu kepada orang lain, agar BJ. Habibie bisa fokus menangani dampak krisis moneter, yang mempertaruhkan jutaan masa depan rakyat Indonesia  pada saat itu.
Kemungkinan kedua, Pak Harto kurang berkenan soal lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya sudah hampir berhasil meyakinkan pihak-pihak terkait di dunia internasional untuk menyelesaikan soal ini  melalui jalan diplomasi.  Namun atas masukan dari para penasehatnya, yang jam terbangnya belum banyak, BJ Habibie memutuskan menggelar referendum yang menyebabkan lepasnya Timor Timur. Pak Harto tentu melihat suasana kebatinan para pejuang yang dengan susah payah mengintegrasikan wilayah ini dengan Indonesia dan suasana kebatinan penduduk Timor-Timur yang merasa terlindung dalam alam integrasi.
[1] BJ. Habibie, “Menyatu dengan Aspirasi Bangsa”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 370-373.

[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.

Oetomo : Pak Harto Berani Dan Bertanggungjawab Dalam Mengambil Keputusan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Oetomo (Kepala Staf Angkatan Udara periode 1987-1990)

Hari itu, pada bulan Juni tahun 1962, Panglima Mandala Operasi Trikora mengadakan inspeksi di Pangkalan Udara Letfuan. Letfuan yang berada di depan daratan Irian Jaya, ketika itu dijadikan salah satu pangkalan TNI-AU. Pesawat-pesawat yang terlibat dalam operasi dan pasukan yang akan diterjunkan di Irian Jaya diberangkatkan dari sana. Seperti juga ditempat-tempat lain yang didatangi pejabat tinggi, Panglima Mandala segera menjadi pusat perhatian. Pada waktu itulah untuk pertama kali saya mengenal Bapak Soeharto yang ketika itu berpangkat mayor jenderal dan kemudian hari menjadi Presiden Republik Indonesia. Yang saya maksudkan dengan “mengenal” di sini adalah dalam arti melihat wajah dan mendengar suara beliau dari jarak dekat. Sebagai seorang perwira muda berpangkat kapten yang bertugas di pangkalan Letfuan, hanya sejauh itulah “perkenalan” dengan Pak Harto yang saya alami pada waktu itu.

Kebetulan, bersamaan dengan kunjungan inspeksi Panglima Mandala ini, TNI-AU sedang mengalami musibah. Salab satu pesawat MIG-17 yang disiagakan mendapat kecelakaan, dimana penerbangnya, Kapten Gunadi, tewas. Setelah dilapori tentang peristiwa itu, Panglima menyampaikan belasungkawa, kemudian menanyakan kejadiannya secara rinci. Yang menarik, setelah itu beliau memberi petunjuk penanganan jenazah almarhum selanjutnya. Dalam keadaan seperti itu mungkin atasan manapun akan berbuat demikian, tetapi pendekatan Mayjen. Soeharto ketika itu mengundang kelebihan. Almarhum tidak beliau kenal secara pribadi dan hubungan kedinasan baru terjalin hanya beberapa waktu sebelumnya. Tetapi pendekatan dan petunjuk-petunjuk yang beliau berikan sudah terasa dapat mengeratkan kebersamaan dan kekeluargaan, dimana beliau sendiri berada didalamnya. Setelah apa yang saya lihat di Letfuan itu saya hubungkan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan beliau sesudah beliau menjadi Presiden, saya makin yakin bahwa Bapak Soeharto adalah orang yang peka dalam menangkap dan dapat ikut merasakan kesulitan orang lain.

Pada bulan-bulan awal Operasi Trikora, untuk menerjunkan pasukan di daratan Irian Barat digunakan pesawat C-47 “Dakota”. Risiko disergap pesawat tempur Belanda cukup tinggi dan ternyata satu buah Dakota kita telah menjadi korban. Untungnya pesawat tersebut diserang setelah melakukan penerjunan dan semua awak pesawat dapat menyelamatkan diri walaupun kemudian ditawan. Beberapa Dakota lain juga pernah dikejar oleh pesawat Neptune Belanda. Melihat kejadian-kejadian itu, sebagai Panglima Mandala, Mayjen. Soeharto mengambil keputusan dan memerintahkan untuk menggunakan pesawat C-130 Hercules dalam penerjunan-penerjunan selanjutnya. Daya angkut pesawat Hercules lebih besar serta kecepatannya lebih tinggi. Risiko jumlah korbannya memang lebih besar, tetapi risiko dikejar musuh dapat dikurangi. Pada waktu perintah itu dilaksanakan, kedatangan Hercules pertama setelah penerjunan, beliau tunggu dan sambut sendiri di lapangan terbang.

Dari kejadian itu saya melihat Bapak Soeharto sebagai orang yang berani mengambil keputusan yang penuh risiko; beliau tidak ragu-ragu untuk mengambil tanggungjawab. Keputusan semacam itu jelas bukan keputusan yang diambil sesaat, tetapi merupakan keputusan yang sudah diperhitungkan dengan teliti dan didasarkan pada intuisi yang tajam.

Dari apa yang saya lihat dan dengar di Letfuan dahulu serta apa yang saya lihat dan rasakan dari hasil-hasil pembangunan dewasa ini, saya mendapat kesan, bahwa kekuatan kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai pemimpin pemerintahan dan kepala negara terutama terletak pada wawasan beliau yang jauh ke depan, kearifan dalam menentukan prioritas, bijaksana dalam memilih strategi serta ketepatan dalam memilih tenaga-tenaga pembantu untuk masalah yang dihadapi. Keempat faktor itu merupakan kelebihan beliau sebagai negarawan.

Pada awal berdirinya, Orde Baru menghadapi banyak masalah besar yang mendesak dan umumnya mendasar. Jika kita mencari bandingannya dalam sejarah, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa negara dan bangsa manapun akan mengakui bahwa masalah yang dihadapi Orde Baru ketika itu benar-benar berat dan kritis. Tetapi dengan ketenangan luar biasa, semua itu dihadapi oleh Presiden Soeharto. Pembangunan “Manusia Indonesia Seutuhnya” jelas memerlukan jangka waktu yang panjang, kesabaran dan tidak terpengaruh oleh gejolak-gejolak sesaat. Jalan itulah yang beliau tempuh dan konsisten dalam melaksanakannya. Tidak meledak-ledak, serta patuh pada ketentuan yang telah disepakati bersama, suatu hal yang tidak mudah dilaksanakan dalam keadaan penuh tantangan dan tuntutan. Dalam hal ini beliau menempatkan diri sebagai mandataris yang tidak sedikitpun menyia-nyiakan kepercayaan rakyat.

Prioritas pertama pembangunan diletakkan di bidang ekonomi dengan titik pusat pengembangan pada sektor pertanian. Suatu hal yang menarik, karena Presiden Soeharto sendiri lama berkecimpung dalam kehidupan militer. Di negara lain pada umumnya kaum militer lebih mengarahkan pandangan ke sektor lain. Setelah masalah pangan dapat diatasi, barulah tampak jelas tekankan perhatian beliau kepada industri yang tidak kalah mendalamnya dengan perhatian beliau kepada bidang pertanian sebelum itu. Sejarah menunjukkan bahwa banyak negara khilaf dalam memilih prioritas pembangunannya, keliru dalam menetapkan strategi dan tidak tepat dalam menyusun tahapan, sehingga tidak mencapai apa yang diinginkan. Dengan kemampuan memandang jauh kedepan, dengan kearifan dan kebijakan beliau, Bapak Soeharto berhasil mernbawa bangsa Indonesia menghindari kekeliruan-kekeliruan itu sehingga mampu mengangkat bangsa Indonesia ke tingkat mutu kehidupan yang lebih baik.

Bersamaan dengan peningkatan upaya pembangunan itu, stabilitas nasionalpun diperkuat. Dengan adanya stabilitas nasional yang mantap, dimungkinkan pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan dengan baik, menjangkau seluruh bidang kehidupan dan seluruh penjuru tanah air kita. Kepekaan beliau didalam menangkap, dan kesiapan batin beliau untuk ikut merasakan kesulitan orang lain, secara nasional beliau wujudkan dalam usaha dan ajakan memeratakan pembangunan dan pengenyaman hasilnya. Berbagai proyek Inpres merupakan sebahagian dari berbagai contoh yang dapat dikemukakan. Selain itu berbagai macam kredit untuk rakyat kecil yang diperkenalkan dalam masa jabatan Presiden Soeharto jelas memperlihatkan pengaruh pribadi beliau.

Apa yang telah dicapai TNI-AU dewasa ini juga tidak 1epas dari pandangan Presiden Soeharto yang jauh ke depan; ia juga tidak lepas dari kearifan serta kebijaksanaan beliau dalam menentukan strategi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam dua hal. Pertama, dalam proses penyelesaian masalah G-30-S/PKI. Setelah peristiwa G-30-S/PKI, TNI-AU khususnya menghadapi masalah berat, namun arahan Presiden Soeharto dalam hal ini sangat tepat. Tampaknya beliau mampu memilah-milahkan persoalan dengan cermat, sehingga AU sebagai suatu angkatan, tetap beliau pandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari satu kesatuan ABRL Sebagaimana juga halnya dengan angkatan-angkatan lain, TNI-AU diberi kesempatan untuk membersihkan batang tubuhnya sendiri.

Kedua, dalam mengatasi akibat penurunan kesiapan alat utama sistem senjata yang harus dihadapi TNI-AU pada akhir tahun enam puluhan. Sebagian besar pesawat dan peralatan yang digunakan oleh TNI-AU pada waktu itu khususnyayang berasal dari Blok Timur, mendapat kesulitan suku cadang. Karenanya, kesiapan material setelah operasi Trikora yang dilanjutkan dengan Dwikora, banyak berkurang. Sementara itu, di lain segi, kemampuan ekonomi Indonesia telah sangat merosot dan menghadapi masa sulit yang berkepanjangan. Hal tersebut mengakibatkan TNI-AUmengalami kesulitan dalam memelihara keterampilan para penerbang dan teknisinya.

Dengan arahan Presiden Soeharto, TNI-AU dapat menerima sejumlah pesawat ternpur jenis Sabre. Pesawatnya sendiri tidak baru, tetapi telah dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak dan mampu menghapus kesenjangan. Penerimaan Sabre ini memungkinkan TNI-AU memelihara kemampuan awak pesawat dan para pendukungnya, sehingga memudahkan pengembangan berikutnya dalam menerima pesawat-pesawat yang lebih maju.

Kemudian setelah itu TNI-AU menerima pesawat tempur F-5, A-4 Skyhawk dan HS Hawk. Kemudian TNI-AU menerima pula F-16 Fighting Falcon. Ini menunjukkan besarnya perhatian Presiden Soeharto dan upaya keras beliau untuk mencukupi keperluan alat utama sistem TNI-AU agar dapat mengikuti kemajuan teknologi di masa depan.

ABRI umumnya, dan TNI-AU khususnya, menyadari sepenuhnya bahwa dalam memenuhi kebutuhan nasional di bidang pertahanan, Presiden Soeharto menempuh langkah-langkah yang diselaraskan dengan kemampuan nasional yang ada. Bahwa dalam keadaan sumberdaya nasional masih sangat terbatas dan tuntutan pembangunan kesejahteraan rakyat tetap berkembang, beliau masih menyisihkan anggaran untuk pengadaan alat utama sistem senjata TNI-AU yang kita semua tabu harganya tidak murah; hal itu sudah merupakan kearifan dan kebijakan yang tersendiri.

Disamping itu, perhatian Presiden Soeharto tidak hanya ditujukan pada alat utama sistem senjata saja, tetapi juga pada masalah kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Sebagaimana upaya beliau untuk membantu rakyat luas melalui berbagai yayasan, di lingkungan ABRI, Presiden Soeharto juga telah mengambil langkah-langkah serupa untuk membantu meningkatkan kesejahteraan prajurit dan meringankan beban keluarga mereka.

Dari sudut teknis kemiliteran, menurut hemat saya, Presiden Soeharto juga merupakan tokoh militer yang berbobot. Hal ini dapat dilihat pada keberhasilan-keberhasilan beliau dalam operasi-operasi militer dan langkah-langkah yang beliau tempuh dalam operasi­operasi tertentu. Contohnya jelas terlihat pada Serangan Umum 1 Maret 1949, operasi-operasi di Sulawesi, operasi perebutan Irian Barat dan operasi pemulihan keamanan ketika terjadi G-30-S/PKI. Operasi-operasi itu selain menuntut penguasaan pengetahuan teknik kemiliteran yang tinggi, juga memerlukan kepekaan sosial politik yang tidak kurang tingginya.

Di sini pula letak kepribadian beliau yang menarik. Disamping menunjukkan kemampuan di bidang militer yang tinggi, setelah terpilih menjadi Presiden beliau juga menunjukkan kelebihan beliau didalam menguasai masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi secara luas dan berbobot. Kesemuanya itu jelas merupakan dasar bagi keberhasilan beliau sebagai negarawan didalam memimpin negara yang kita cintai ini .

Edi Sudradjat: Pak Harto Negarawan Puncak Bangsa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Edi Sudradjat (Kepala Staf TNI-Angkatan Darat)

Dewasa ini barangkali dengan mudah orang bisa mengatakan bahwa menyusun program dan melancarkan pembangunan adalah peristiwa biasa dan senantiasa dilakukan di negara-negara manapun di dunia. Namun jika direnungkan dalam-dalam, penilaian sedemikian tidak akan bisa dengan mudah dikemukakan begitu saja, oleh siapapun juga pada pertengahan atau akhir tahun 1960-an. Pada waktu itu bangsa kita sedang berada dalam suasana kemelut, kehidupan sosial yang sulit, kemiskinan dan keterbelakangan melilit kehidupan bangsa. Demikian pula pada waktu itu kultus dan pendewaan kepada pemimpin nasional Bung Karno serta tunduk dan taat mutlak tanpa reserve kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, merupakali sikap psikologis massa rakyat yang sangat dominan. Sedangkan suasana saling curiga, dendam, fitnah dan kebencian mewarnai kehidupan masyarakat luas.

Namun berkat ketegasan, keberanian yang luar biasa, kearifan dan keluasan wawasan serta cara pandang Pak Harto tentang kehidupan berbangsa dan bernegara serta dengan teguh dan mantap dalam mengamalkan falsafah dan landasan hidup berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945, maka hari ini kita telah berada pada suasana kehidupan yang sudah jauh berbeda. Hari ini kita telah berada pada suasana kehidupan bangsa yang telah jauh lebih baik. Hari ini kita telah merasa lebih pasti memandang ke inasa depan dalam melanjutkan perjuangan untuk meraih dan mencapai tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana diidam-idamkan senantiasa.

Dalam tulisan ini saya mencoba menuangkan kesan-kesan saya tentang Pak Harto atas dasar kepahaman yang saya tangkap dan hayati sendiri sebagai prajurit TNI-AD dan, sudah barang tentu, dalam batas-batas kemampuan yang ada pada diri saya. Saya mencoba melukiskannya menurut “apa adanya“, sebagaimana lazimnya seorang prajurit bertutur dan mengungkapkan isi hati dan pendapatnya. Saya merasa apa yang saya ketahui tentang beliau sangatlah terbatas. Beliau adalah sesepuh prajurit pejuang bangsa yang telah berjuang sejak awal mula berdirinya negara kita ini, sedangkan saya adalah prajurit yang baru berbakti pada tahun 1960. Demikian pula, beliau adalah negarawan puncak bangsa, yang telah memimpin dan mengemudikan bahtera bangsa dan negara kita ini selama 25 tahun dengan sangat berhasil, sungguh merupakan kurun waktu yang sangat panjang. Karenanya dalam membuat tulisan ini saya mencoba sebisa saya, dengan menelusuri alur perjalanan saya dalam mengabdi bangsa dan negara sebagai prajurit TNI-AD, sejak awal kurun waktu tahun 1960-an hingga akhir kurun waktu 1980-an.

Sebagai prajurit muda, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Akmil dan Kursus Kecabangan Infantri di Pusat Pendidikan lnfantri di Bandung, saya ditempatkan di Batalyon Infantri (Yonif) 515/Brawijaya. Pada tahun 1962 Yonif-515 tergabung dalam susunan Tugas Satuan untuk Operasi Trikora dalam rangka perebutan Irian Barat. Yonif-515 tergabung dalam Brigade 11/Caduad. Waktu itu kedudukan satuan kami digeser ke pangkalan Aju di Tanjung Patani Pulau Halmahera dan Pulau Gebe. Satuan kami diarahkan untuk merebut Sorong dari laut. Saat itu saya diberitahu oleh Komandan Batalyon (Dan Yon) bahwa Panglima Mandala adalah Mayjen. Soeharto. Saya berpikir waktu itu, beliau mestinya seorang prajurit terkemuka, karena memperoleh tugas penting untuk memimpin operasi besar dimana bangsa dan negara dipertaruhkan. Dari buku-buku sejarah perjuangan bangsa, saya juga mengetahui bahwa beliaulah yang memimpin Serangan Umum ke kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949. Selain itu beliau juga memimpin operasi penumpasan gerombolan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1950. Dengan demikian saya semakin memandang beliau sebagai seorang komandan pasukan dan sekaligus seorang panglima operasi andalan bangsa.

Ketika G-30-S/PKI meletus, saya berada di Manokwari dalam tugas operasi menumpas pemberontakan gerombolan OPM. Ketika itu saya menjabat sebagai Komandan Kompi A Yon-1/RPKAD yang tergabung dalam Detasemen Satuan PARAKO bersama-sama satu kompi dari Yon-3/RPKAD. Seminggu setelah meletusnya peristiwa G-30-S/PKI, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD waktu itu, menarik kembali Kompi A ke basisnya di Cijantung, Jakarta, dengan mengirimkan dua pesawat udara C-130/Hercules dari AURI.

Selanjutnya satuan kami terlibat dalam operasi-operasi pembersihan G-30-S/PKI di Jakarta dan Jawa Tengah. Kegiatan operasi terasakan sangat intensif, terutama sekali hingga tahun 1966. Dalam tahun 1966 kegiatan operasi lebih ditujukan pada mencari dan menangkap tokoh-tokoh PKI dan tokoh-tokoh pemerintah Orde Lama. Kadang-kadang kami beroperasi tanpa menggunakan identitas satuan RPKAD, agar lebih mudah bergerak di tengah-tengah masyarakat dan lebih leluasa dalam mencari dan mendekati sasaran. Komandan kami menjelaskan bahwa operasi-operasi yang kami lancarkan itu dipimpin oleh Mayjen. TNI Soeharto, Panglima Kostrad, yang waktu itu telah menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Salah satu peristiwa amat mengesankan, yang saya rasakan sebagai peristiwa yang sangat langka, yaitu show of force pasukan TNI-AD keliling kota Jakarta dalam rangka mendukung Surat Perintah 11 Maret pada tahun 1966. Show of force disambut sangat meriah oleh rakyat yang memadati jalan-jalan, terutama Jalan Sudirman dan Thamrin. Rakyat meluapkan rasa kegembiraan yang tak terlukiskan dengan kata-kata, namun dapat saya baca dari ekspresi wajah cerah dan ceria mereka di sepanjang jalan; banyak diantaranya yang mencucurkan air mata. Kami ditepuk, dipeluk, dirangkul bahkan dicubit sebagai luapan kegembiraan. Ada kesan jauh di lubuk hati saya: “Inilah salah satu bentuk manifestasi kemanunggalan ABRI-Rakyat yang benar-benar orisinal, yang keluar dari hati yang tulus dan murni”.

Sekarang, di penghujung tahun 1990 saya renungkan kembali peristiwa itu. Barangkali Pak Harto pada waktu itu tak sempat menyaksikan sendiri secara langsung luapan perasaan massa rakyat dalam kegembiraan dan syukur. Mungkin beliau juga tidak sempat menyaksikan sendiri menyatunya ABRI dengan rakyat dalam kemanunggalan, karena beliau sibuk di markas komando mengendalikan jalannya operasi dan memecahkan masalah-masalah yang pelik.

Pada tahun 1967, saya diangkat menjadi anggota MPRS. Saya terkejut memperoleh kepercayaan itu; tidak habis pikir rasanya pada waktu itu, mengapa saya diberi kepercayaan yang demikian tinggi. Baru kemudian saya mengerti bahwa diperlukan penyegaran anggota-anggota MPRS yang pada waktu sebelumnya diisi bahkan didominasi oleh anggota-anggota PKI. Pergantian anggota-anggota dilakukan dengan memunculkan wajah-wajah baru yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Misalnya untuk mewakili prajurit TNI-AD, masuk Mayor Suhanda, Dan Yonif-328 Kodam VI/Siliwangi, tokoh yang menangkap gerombolan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Mayor Sugirin, Instruktur Pusdik PARAKO Batujajar, penakluk puncak Gunung Jayawijaya di Irian Barat. Demikian pula masuk seorang letnan Kowad yang mewakili Korps Wanita ABRI. Saya pikir barangkali saya ditunjuk mewakili generasi TNI yang lebih muda. Saya masih ingat benar pada saat MPRS menyelenggarakan Sidang Umum Istimewa, Presiden Soekarno diminta untuk menyampaikan pertanggunganjawaban sebagai mandataris, tetapi beliau malah menyampaikan amanat, dengan judul pidato yang terkenal “Nawaksara”. Saya bisa menangkap dengan jelas sambutan emosional yang sangat ekspresif dari para pendukung beliau di dalam MPRS; sejak saat Bung Karno memasuki ruangan hingga akhir pidato, beliau disambut sangat meriah dengan tepuk tangan dan teriakan histeris. Baru kemudian saya renungkan betapa Pak Harto menunjukkan kearifan sebagai negarawan yang mengagumkan, yaitu menempatkan Presiden Soekarno pada posisi kehidupan berkonstitusi, dengan mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah dilakukan sebagai mandataris kepada pemberi mandatnya yaitu MPRS. Inilah suatu langkah maju ke arah pemurnian kehidupan berkonstitusi berdasarkan UUD 1945.

Jika direnungkan bahwa langkah sedemikian dilakukan pada waktu itu, maka terasa belum masuk akal, karena pada masa itu praktek kehidupan berkonstitusi memang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan pada waktu sebelumnya, MPRS telah menetapkan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Pemimpin Agung dan puluhan lagi gelargelar eksklusif lainnya. Sementara itu sebagian rakyat yang mulai mengetahui posisi dan peran Bung Karno dalam kemelut G-30-S/ PKI telah menyerukan agar beliau di-Mahmillub-kan. Namun keputusan dan penyelesaian masalah kepemimpinan nasional oleh Pak Harto diserahkan kepada pemberi mandat yang mengangkat Bung Karno sebagai Presiden, yaitu.MPRS.

Itulah cara penyelesaian yang tepat dan benar penyelesaian secara konstitusional yang pada waktu itu belum dikenal oleh masyarakat luas, karena proses dan mekanismenya belum melembaga dalam praktek kehidupan berkonstitusi. Keputusan yang bijak itu telah melahirkan preseden politik yang menjadi tonggak penting didalam upaya memfungsikan dan menormalisasikan kehidupan konstitusional sebagaimana mestinya. Keputusan itu memberikan pegangan dan pedoman bagi kehidupan konstitusional bangsajauh ke masa depan.

Kini sudah 25 tahun berlalu semenjak peristiwa tersebut terjadi, telah lima kali proses pemilihan kepemimpinan nasional berlangsung dengan mengikuti ketentuan-ketentuan konstitusional. Dewasa ini perikehidupan berkonstitusi telah menjadi kebiasaan hidup dan telah melembaga, telah menjadi perilaku hidup berbangsa dan bernegara. Perilaku hidup berkonstitusi semakin melembaga berkat sikap dan keputusan-keputusan arif yang diambil oleh seorang pemimpin bangsa 25 tahun yang lalu dalam suasana kemelut, suasana kritis yang parah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan didalam iklim dimana konstitusi diabaikari. Setelah MPRS menetapkan tidak bisa menerima pidato Nawaksara dan kemudian menyatakan Presiden Soekarno berhalangan menjalankan tugas, maka para anggota MPRS mulai sibuk memikirkan siapakah penggantinya. Dalam percakapan para senior, saya menyadap perbincangan mereka tentang pendekatan kepada Pak Harto agar bersedia diangkat sebagai Pejabat Presiden. Menurut mereka, jawaban Pak Harto pada waktu itu: “Apa saya pantas?”

Sekarang saya memandang jawaban Pak Harto itu mencerminkan sifat beliau yang sederhana, bersahaja, tahu menempatkan diri, berhati-hati dan cermat. Namun sebagai pejuang beliau bersikap tidak akan mengelak apabila tugas memanggil demi perjuangan bangsa. Sifat dan sikap inilah yang sering saya jumpai pada para pejuang bangsa yang telah banyak saya kenal selama kehidupan saya sebagai prajurit.

Orde Lama berlalu dan Orde Baru dibawab kepemimpinan Pak Harto mulai tampil dalam kebidupan bangsa. Keputusan­keputusan dan langkah-langkah baru ditetapkan. Keputusan­keputusan dalam mempersatukan kembali kehidupan bangsa yang telah terpecah-pecah dan terkotak-kotak ke arah kesatuan dan persatuan bangsa, ke arah kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan landasan falsafah dan konstitusi yang dianut dan diyakini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Demikian pula kebidupan ekonomi bangsa yang morat marit ditata ke arah kebidupan ekonomi yang semakin baik, berdasarkan program pembangunan yang diletakkan dan dipegang teguh dengan konsisten. Hasilnya telah dirasakan dan dinikmati hingga sekarang ini, meskipun belum sampai pada apa yang di cita-citakan, karena memang cita-cita dan tujuan bangsa barus terus diupayakan lewat perjuangan yang masib panjang ,dan cukup berat.

Renungan terbadap keputusan-keputusan dan langkah-langkah Pak Harto yang beliau tetapkan sejak awal memimpin Orde Baru hingga sekarang ini, yang telah jauh berkembang dan lebib maju dibanding dengan keadaan pada awal mula Orde Baru, sungguh tidak mudah diuraikan dengan kata-kata yang dituliskan begitu saja diatas kertas ini. Rasanya tidak cukup kata-kata dan tidak cukup kemampuan saya untuk menguraikan dan menelusurinya, karena mencakup segenap aspek kebidupan berbangsa yang sangat luas. Yang ingin saya kemukakan adalah bahwa keputusan dan langkah­langkah yang telah diambil beliau adalah tepat dan benar. Keputusan dan langkah-langkah tersebut menjangkau kurun waktu jauh ke depan; mengandung bobot dan cakupan kehidupan bangsa yang besar dan luas, dari perikehidupan suatu bangsa yang bersifat majemuk berjumlah 170 juta orang yang hidup di wilayah nusantara yang sangat luas ini. Selanjutnya beliau membawa kehidupan bangsa kedalam tatanan dan kancah kehidupan antar bangsa di dunia tanpa mengorbankan identitas dan integritas bangsa.

Selama ini saya mengamati bahwa beliau mampu membaca gelagat, pertanda-pertanda serta peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan bangsa. Hal ini termasuk perjalanan beliau ke Uni Soviet pada tahun 1989, dimana sedang terjadi perubahan­perubahan yang mendasar, yang juga bisa merupakan peluang bagi kepentingan kehidupan bangsa. Keputusan dan langkah-langkah yang tepat dan demikian berani, seringkali baru terasakan buahnya di kemudian hari setelah proses berjalan yang kadang-kadang memakan waktu panjang. Kepemimpinan beserta hasil-hasilnya yang telah dicapai dalam proses pembangunan bangsa, merupakan bukti betapa Pak Harto telah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pemimpin dan negarawan yang besar.

Siapapun yang telah dewasa pada tahun 1965 akan merasakan betapa sulit dan parahnya kehidupan masyarakat. Lebih-lebih rakyat banyak sangat menderita; untuk memperoleh kebutuhan pokok sehari-hari saja, yang merupakan kebutuhan hidup yang sangat mendasar, sangatlah sulit. Untuk mendapatkan beras, minyak tanah dan sebagainya diperoleh melalui jatah. Kemiskinan dan keterbelakangan mewarnai kehidupan bangsa. Kehidupan politik bangsa sangat diwarnai oleh satu kekuatan politik yang makin hari makin dominan dengan segala ulah tingkah laku politiknya yang ekspansif radikal, yaitu PKI dengan ormas-ormasnya dan mantel­mantel organisasinya. Keadaan dan kehidupan bangsa yang telah demikian parah, akhirnya bermuara pada peristiwa tragedi nasional G-30-S/PKI.

Pemerintah Orde Baru dibawah kepemimpinan Pak Harto tampil menangani kehidupan bangsa yang telah demikian parah. Program pembangunan bangsa dilancarkan dengan tahapan Pelita demi Pelita. Keadaan kehidupan bangsa di bidang ideologi dan politik diarahkan agar berjalan menurut landasan, ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang berlaku berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan di bidang ideologi dan politik terus dilancarkan berlandaskan pacta kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Demokrasi Pancasila. Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan berdasarkan tatanan perikehidupan yang didasarkan pada kepribadian bangsa sendiri adalah amanat dan pesan yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Karena itulah, stabilitas nasional terwujud dengan mantap sejak lebih dari 20 tahun. Suatu kurun waktu stabilitas nasional yang terpanjang selaina perjalanan sejarah kehidupan negara Republik Indonesia. Satu prestasi yang harus dicatat dan dipahami dalam-dalam karena memberi arti yang besar bagi kehidupan berbangsa yang relatif masih muda ini.

Stabilitas nasional yang mantap memberi peluang bagi lancar dan berkembangnya pembangunan di bidang ekonomi. Program dan sasaran-sasaran ekonomi ditetapkan. Sarana dan prasarana ekonomi dibangun seiring dengan kegiatan memutarkan kelancaran roda ekonomi bangsa. Kehidupan perekonomian bangsa semakin berjalan dan berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat semakin hari semakin baik, diwarnai dengan hadirnya kemajauan-kemajuan yang pesat pad berbagai segi kehidupan bangsa.

Selain memiliki wawasan dan pandangan yang luas dan menjangkau ke masa yang jauh ke depan, Pak Harto pandai pula memilih prioritas sasaran. Beliau memilih dan menetapkan mana yang harus lebih didahulukan dan mana yang baru kemudian dilakukan. Beliau memilih titik berat mana yang ditangani dengan bobot yang besar dan mana yang mendapat bobot seperlunya saja. Pembangunan ekonomi diarahkan untuk membuka peluang bagi berkembangnya kehidupan rakyat pedesaan yang terutama hidup dari sektor pertanian, karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup di pedesaan. Sekalipun demikian, beliau tidak mengabaikan pembangunan pada bidang industri dan sarana serta prasarana lainnya yang sangat diperlukan bagi kemajuan pembangunan. Beliau menyadari bahwa pembangunan memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemahiran manajerial dan keahlian profesional.

Meskipun beliau tidak berlatarbelakang pendidikan formal pada bidang pengetahuan ekonomi, saya menangkap kesan bahwa beliau sangat menguasai keadaan dan perkembangan perekonomian. Beliau sangat memahami dan mengikuti keadaan perekonomian yang sedang berlangsung, baik nasional, regional maupun internasional. Dengan dibantu oleh para pakar di bidang ekonomi, beliau senantiasa mampu membuat perkiraan-perkiraan ke depan secara antisipatif, menyongsong perkembangan keadaan dan trend perubahan yang sedang dan yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu beliau mampu mengambil keputusan-keputusan dan langkah­langkah yang tepat bagi keselamatan dan kelangsungan perekonomian bangsa, yang sudah barang tentu tidak lepas dari pengaruh percaturan ekonomi dunia internasional. Saya sering merasa kagum, karena ternyata beliau hafal akan data-data ekonomi meskipun data­data itu berupa angka-angka yang banyak jumlah dan ragamnya.

Pak Harto sangat memperhatikan kehidupan para petani dan rakyat kecil. Beliau sangat paham akan segi-segi teknis pertanian. Gambaran ini nampak sekali pada saat-saat beliau berdialog dengan para petani, dimana beliau langsung dapat memberi petunjuk­petunjuk tentang cara-cara bertani yang lebih baik. Di bidang peternakan saya kira beliau lebih paham•dibanding dengan peternak biasa, sebab beliau menggelutinya secara langsung di kandang­kandang percobaan yang beliau bangun sendiri di Tapos. Saya kira terlalu banyak untuk diuraikan satu demi satu tentang keadaan dan kemampuan beliau dalam menangani, mengendalikan dan mendorong proses pembangunan perekonomian bangsa.
Pada pembangunan aspek sosial budaya, beliau sangat memperhatikan pesan pembukaan UUD 1945, yaitu: “mencerdaskan bangsa”. Saya kira siapapun akan merasakan betapa jauhnya perbedaan perkembangan suasana pendidikan putera-puteri bangsa Indonesia pada tahun 1960-an dibandingkan dengan suasana tahun 1990-an ini. Kecerdasan pemuda-pemuda Indonesia sudah jauh berkembang, terlihat hingga ke pelosok-pelosok. Gerak perkembangan dan pertumbuhan kehidupan sosial masyarakat Indonesia terasakan sebagai keadaan umum yang berlangsung, dapat disaksikan dimanapun di wilayah Indonesia. Kini kita menyaksikan semakin tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang hidup dan berpenghasilan lebih baik, padahal tadinya mereka berasal dari masyarakat sederhana. Kita menyaksikan perkembangan mereka yang berasal dari daerah pedesaan menjadi masyarakat yang dapat disebut sebagai golongan menengah. Gambaran keadaan yang menggembirakan tersebut dapat terjadi berkat proses dan perkembangan pendidikan dan peluang-peluang yang diciptakan oleh perkembangan dan pertumbuhan perekonomian bangsa yang ditopang oleh stabilitas nasional. Demikianlah kita amati, proses gerak pertumbuhan kehidupan sosial secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat kita tengah berlangsung.

Pada pertengahan tahun 1987 saya mendapat pengalaman yang sangat mengesankan dan tak terlupakan, yaitu ketika saya dipanggil menghadap untuk diberi petunjuk tentang suatu tugas. Saat saya sampai di kediaman beliau, saya masih bertanya-tanya dalam hati tugas apa gerangan yang akan beliau berikan. Ternyata bukan hanya saya sendiri yang dipanggil beliau, ada delapan orang lagi yang datang waktu itu. Jadi kami sembilan orang diminta menghadap beliau di ruangan secara bersama-sama. Saya memingkap kesan bahwa beliau memanggil untuk bertemu dengan sembilan orang yang saya kira telah beliau tentukan sendiri. Dipandang dari segi usia kami yang hadir itu terdiri dari kelompok usia yang lebih muda dan berasal dari tiga jenis profesi yang berlainan. Tiga orang dari kami adalah mereka yang selama ini berkecimpung di legislatif sebagai politisi, tiga orang lagi selama ini bertugas di eksekutif (saya kira juga politisi), dan tiga orang lainnya adalah anggota ABRI aktif.

Kepada kami beliau menjelaskan bahwa sebagai kelanjritan dari pernilihan umum yang lalu tentunya pada tahun depan akan dilanjutkan dengan SU-MPR untuk menetapkan GBHN dan menentukan kepemimpinan nasional sebagai bagian dari mekanisme konstitusi. Selanjutnya beliau menugaskan kami semua untuk membantu memberikan pandangan siapa-siapakah di antara tokoh-tokoh nasional pemimpin bangsa yang kira-kira tepat untuk menduduki jabatan­jabatan puncak dalam sistem kenegaraan kita. Nama-nama tersebut nantinya disampaikan kepada lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai saran. Beliau menetapkan batas waktu satu bulan bagi kami semua untuk memikirkan dan merembukkannya bersama-sama. Di sinilah kami diberi kesempatan melatih diri dengan berpedoman pada konstitusi. Kami semua tercengang dan terkejut memperoleh tugas seluas itu, setidak-tidaknya bagi saya sendiri, karena saya merasa pemikiran saya sehari-hari belumlah sampai pada tingkat itu.

Lepas dari penilaian masalahnya yang berat itu, namun saya menangkap kesan bahwa beliau ingin memperoleh masukan-masukan dan pikiran-pikiran dari kami-kami yang lebih muda, mungkin sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan dan tentunya sekaligus menguji sampai dimana pengamatan dan pengetahuan kami tentang hal itu. Disamping itu saya menangkap kehendak atau mungkin juga kebiasaan beliau, yaitu mengajak untuk turut serta memikirkan masalah-masalah penting kenegaraan sekaligus untuk mendidik dan melatih kami yang masih muda, pada lingkup masalah yang lebih luas. Saya kira inilah cara-cara yang beliau tempuh dalam memecahkan masalah, yaitu dengan mendayagunakan staf atau pembantu-pembantu beliau, sehingga setiap masalah dapat ditinjau dan dikaji dari berbagai aspek dan sudut secara bulat dan menyeluruh, disamping cermat dan teliti.

Pada bagian akhir tulisan ini saya ingin menjelaskan kesan dan apa yang saya rasakan serta alami dalam mengemban tugas sebagai Kasad. Tugas sebagai Kasad menuntut kepedulian dan kepekaan tentang permasalahan kehidupan bangsa, termasuk masalah masa depan bangsa, terlebih lagi tentang masalah nasib bangsa yang sudah barang tentu harus selalu ikut dipikirkan oleh TNI-AD. Saya menghayati sepenuhnya bahwa TNI-AD tidak. pernah dan tidak akan pernah ragu-ragu dalam menentukan dan mengambil sikap serta langkah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. TNI-AD harus selalu waspada terhadap bahaya laten PKI dan ekstrim-ekstrim lainnya, yang senantiasa berusaha menyusup kedalam tubuhnya. TNI­AD harus tetap turut serta secara aktif dalam upaya-upaya mendorong gerak kehidupan bangsa dalam peranserta mewujudkan pengisian kemerdekaan bangsa. TNI-AD akan terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam pembangunan pedesaan melalui program AMD (ABRI Masuk Desa) beserta karya-karya bakti sosial lainnya.

Sebagai anggota ABRI dalam memohon audensi kepada Presiden, saya harus melalui tatanan tingkat sebagaimana ditetapkan, yaitu melalui Panglima ABRI karena Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI. Namun demikian sesekali saya sebagai Kasad dipanggil menghadap beliau di kediaman untuk membicarakan hal-hal yang pada umumnya menyangkut kehidupan dan kesejahteraan prajurit. Kedua segi itu adalah hal yang tidak pernah lepas dari perhatian beliau. Dalam kesempatan pertemuan semacam itu lazimnya dengan jelas dan gamblang beliau menyampaikan petunjuk-petunjuk dan pengarahannya. Sebaliknya saya selalu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menanyakan segala sesuatu yang belum saya pahami atau apa yang ingin saya ketahui lebih dalam. Saya mendapat keleluasaan dalam memimpin TNI-AD.

Petunjuk-petunjuk dan arahan-arahan beliau merupakan modal yang saya jabarkan dalam merumuskan kebijaksanaan dan langkah­langkah yang akan dilakukan. Beliau adalah panglima yang dekat dan akrab dengan bawahan. Beliau selalu berusaha memahami kesulitan bawahan dan selalu memperhatikan kesejahteraan prajurit. Beberapa yayasan sosial telah lama dibentuk oleh beliau dalam upaya meningkatkan kesejahteraan prajurit beserta keluarganya yang mendapat musibah dalam mengikuti operasi-operasi Trikora dan Seroja karena gugur atau mendapatkan cacat tubuh dalam menjalankan tugas operasi tersebut. Bagi ABRI, terutama TNI-ADj keberadaan yayasan itu secara langsung jelas terasakan manfaatnya. Dari hasil usaha yayasan-yayasan itu para anggota yang mendapat cacat tubuh serta janda dan anak yatim piatu para pahlawan yang gugur dalam Operasi Jayawijaya dan Operasi Seroja memperoleh santunan kesejahteraan.

Permasalahan kekurangan perumahan bagi prajurit sebagai akibat belum cukup tersedianya dana/anggaran, selalu menjadi perhatian beliau. TNI-AD sangat berterima kasih kepada beliau yang telah memperhatikan keadaan yang masih sangat sulit terpecahkan ini. Belum lama ini pemecahan bagi pembuatan asrama-asrama/ pangkalan satuan-satuan TNI-AD telah mendapat jalan keluarnya berkat perhatian dan uluran tangan beliau. Dengan demikian kesiapan pasukan di pangkalannya masing-masing semakin dapat ditingkatkan, karenanya kesiapan operasional pasukan semakin dapat dijamin, disamping itu sekaligus keluarga prajurit akan hidup tenteram di pangkalan-pangkalan satuannya masing-masing.

Demikianlah apa yang mampu saya ungkapkan tentang Pak Harto. Bagi saya, bangsa Indonesia patut memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena telah menurunkan seorang putera bangsa yang telah menyelamatkan keutuhan dan persatuan-kesatuan bangsa dari suasana krisis nasional sebagai akibat pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965. Putera bangsa itu pulalah yang kemudian mengarahkan dan menata kehidupan bangsa yang pada waktu itu berada pada tingkat kehidupan yang sangat memprihatinkan, kepada kehidupan yang jauh lebih baik, sesuai dengan arah, tatanan dan mekanisme serta dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Beliau mengarahkan bangsa ini menuju pencapaian cita-cita, berupa kehidupan yang sejahtera, adil, makmur dan maju melalui program pembangunan nasional.

***
____________________

Sumber: Edi Sudradjat, “Negarawan Puncak Bangsa”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 822-834.

Link Tambahan :

Tjokropranolo : Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,

Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat

Tjokropranolo 

 Perkenalan saya dengan Bapak Soeharto terjadi sekitar tahun 1945-1949. Meskipun sudah sangat lama, tapi masih mudah diingat; sebab, pertemuan yang pertama kali itu sangat unik sekali. Pada waktu itu Pak Harto menjabat sebagai Komandan Brigade X Wehrkreise III dari Divisi III yang berkedudukan di Yogyakarta. Saya sendiri bertugas sebagai pengawal Panglima Besar Sudirman, disamping diminta oleh Pak Sarbini untuk memperkuat staf beliau. Ketika itu Pak Sarbini menjabat sebagai Koordinator Pertahanan di seluruh Keresidenan Kedu, termasuk daerah penugasan Pak Harto di garis pertahanan Kedu yang berhadapan dengan musuh yang ada di Ambarawa. Sebagai pengawal Panglima Besar Sudirman, kami selalu membawa dua kompi pasukan, yang sebagaimana biasanya digunakan untuk melatih anak buah. Satu kompi bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Kapten Slamet Sumantri diperbantukan dibawah komando Pak Harto di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Sedangkan satu kompi lagi ditempatkan di lini II, yaitu di Kecamatan Candiroto, yang juga termasuk wilayah Kedu.

Suatu ketika Pak Harto mendapat tugas untuk menghadapi serangan Belanda dari daerah Sumowono, Ambarawa, Keresidenan Semarang yang menuju Keresidenan Kedu. Ketika itu diperoleh informasi bahwa Belanda diperkirakan akan melakukan serangan besar-besaran ke daerah Keresidenan Kedu dan sekitarnya. Ternyata informasi itu benar, karena Belanda memang mengadakan serangan besar-besaran. Sesuai dengan rencana yang telah digariskan, Pak Sarbini memerintahkan saya untuk membumi-hanguskan gudang di daerah Rowoseneng, dan mencari informasi tentang pasukan Kapten Sumantri. Dengan mengendarai sepeda motor, saya menuju Kandangan untuk membumi-hanguskan gudang-gudang di daerah Rowoseneng, daerah yang berdampingan dengan sektor pertahanan Pak Harto. Rowoseneng adalah daerah pegunungan yang terjal dimana banyak terdapat gudang penyimpanan bahan pokok, seperti beras, kedelai, garam dan minyak goreng. Gudang-gudang tersebut tidak saya bumi-hanguskan, tetapi saya suruh penduduk, yang tidak mengungsi agar mengambil seluruh isi gudang untuk dibawa pulang sehingga bisa dimanfaatkan.

Setelah itu saya melaksanakan tugas yang kedua, yaitu mencari informasi mengenai nasib pasukan kami yang diperbantukan kepada Pak Harto. Saya melewati daerah yang mendapat serangan luar biasa dari pasukan Belanda yang menyerang dari arah Bandungan/ Sumowono, yaitu sebuah basis Belanda yang cukup kuat. Setelah jauh berjalan, saya berpapasan dengan pasukan pengawal Pak Harto, yang hanya terdiri atas satu peleton saja. Mereka curiga melihat saya dan mengira bahwa saya adalah anggota pasukan KNIL, sebab saya datang dari arah kedudukan tentara Belanda. Agar mereka tidak ragu-ragu terhadap saya, maka saya sebutkan nama dan menyampaikan bahwa saya mendapat perintah dari Pak Sarbini untuk menemui Pak Harto. Salah seorang pengawal Pak Harto kemudian melaporkan kepada beliau sehingga saya dapat berjumpa dengan Pak Harto.

Jadi di sinilah uniknya pertemuan pertama saya dengan Pak Harto. Sebab, pengawal beliau merasa heran bahwa saya berhasil melewati daerah musuh, meskipun sesungguhnya saya sendiri tidak mengetahui bahwa daerah yang saya lewati itu adalah daerah musuh. Untung saja ketika saya melewati daerah itu, pasukan Belanda sudah meninggalkan tempat tersebut. Kalau saya tahu bahwa tempat itu adalah daerah musuh, barangkali saya akan lebih berhati-hati untuk memasukinya, atau mungkin tidak akan melewatinya.

Setelah diterima Pak Harto, saya sampaikan bahwa maksud saya menemui beliau adalah melaksanakan tugas dari Pak Sarbini untuk mengetahui keadaan Kompi Slamet Sumantri yang diperbantukan kepada beliau. Dengan tenang, dikatakan oleh beliau bahwa Kompi Kapten Slamet Sumantri dan Kompi Letnan Komaruddin, yang juga adalah kompi organik kebanggaan Pak Harto, merupakan dua kompi yang berjasa dalam menahan serangan darat pasukan Belanda. Kedua pasukan tersebut secara berdamping-dampingan berjuang mempertahankan diri dari serangan Belanda dan tidak mundur setapak pun. Secara kebetulan kedua pasukan tersebut ditempatkan di daerah penetrasi utama pasukan Belanda, sehingga serangan tersebut dapat digagalkan. Dengan demikian, sebagian besar pasukan organik Pak Harto yang ditempatkan di Lini I dapat bertahan dari serangan darat pasukan Belanda. Setelah memperoleh informasi tersebut, saya mohon diri untuk menemui Kompi Kapten Slamet Sumantri, yang sedang beristirahat (di antara Lini I dan Lini II).

Kesan pertama yang saya peroleh ketika itu adalah bahwa Pak Harto adalah seorang komandan yang sangat berani. Beliau berada pada posisi paling depan di daerah penetrasi utama pasukan Belanda ketika Belanda mengadakan serangan besar-besaran. Selain itu dengan hanya dikawal oleh satu peleton saja, beliau juga masih sibuk mengadakan konsolidasi pasukan di garis terdepan pertahanan kita, dan sekaligus mengumpulkan senjata-senjata yang ditinggalkan pasukan non-organik, yang mundur ketika terjadi serangan Belanda. Kepemimpinan yang seperti ini membawa pengaruh besar terhadap anggota-anggota pasukannya, terutama anggota pasukan organik. Oleh karena itu mereka tetap memiliki semangat juang untuk tetap mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Belanda.

Pertemuan pertama itu masih dilanjutkan dengan pertemuan­pertemuan selanjutnya. Pertemuan-pertemuan tersebut terjadi sewaktu saya ditugaskan oleh Panglima Besar Sudirman untuk menyampaikan surat kepada Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada masa Clash ke-2. Pada waktu itu Panglima Besar Sudirman berada di Pacitan, sedangkan Pak Harto berada di markas beliau di desa Kemusuk, Yogyakarta.

Anggota pasukan kami yang berada di utara Yogyakarta tidak mempunyai hubungan langsung dengan Sri Sultan. Akan tetapi dari mereka, saya mendapat informasi bahwa Pak Harto mempunyai saluran langsung dengan Sri Sultan. Oleh karena itu saya menghubungi Pak Harto untuk meminta bantuan beliau agar surat Pak Dirman dapat diteruskan kepada Sri Sultan, dan jawabannya agar dapat diteruskan kepada Pak Dirman di Pacitan. Karena begitu rapi dan cermatnya kontak-kontak beliau, maka surat menyurat antara Pak Dirman dan Sri Sultan dapat dijamin kecepatan pelaksanaan maupun kerahasiaannya.

Pertemuan antara Pak Harto dan saya dalam rangka menyampaikan surat-surat dari kedua tokoh Republik itu tidak mudah kami lupakan. Setiap bertemu dengan Pak Harto, dalam rangka menyampaikan surat dari Pak Dirman, saya selalu menginap semalam di markas Pak Harto. Di situ saya melihat pengawal beliau tidak lebih dari satu peleton saja, bahkan kadang-kadang kurang dari satu peleton. Hubungan beliau dengan anak buah juga tampak erat sekali. Tidak ada perbedaan makanan antara komandan dengan anak buah. Saya pun dijamu oleh beliau dengan makanan yang sederhana ini, namun bagi saya yang telah berjalan jauh meliwati daerah minus, makanan tersebut terasa sangat istimewa.

Barangkali karena pertemuan-pertemuan ini pulalah, Pak Harto sering menarik saya untuk membantu beliau. Misalnya ketika Pak Harto telah menjadi Panglima Divisi Diponegoro, di Jawa Tengah, saya diangkat menjadi staf intel beliau, di samping tetap menjadi Wakil Komandan CPM di Kodam Diponegoro. Selain itu saya juga ditugaskan oleh beliau untuk mengurus Yayasan Kodam Jawa Tengah, dan Yayasan Gabungan (Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya). Demikian pula pada masa-masa selanjutnya, saya sering bertugas langsung dibawah komando Pak Harto. Antara lain saya diangkat menjadi Staf Intel Kostrad, Perwira Staf Intel Komando Mandala, Aspri bidang Keamanan/Sekretaris Militer, dan Gubernur DKI Jakarta.

Sebagai panglima militer, saya kira kita tidak perlu meragukan kepemimpinan beliau. Sebagaimana telah saya uraikan di muka, beliau memberikan dorongan semangat juang dengan cara memimpin pasukan di barisan terdepan. Demikian pula ketika beliau menjadi Panglima Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Dalam hal ini saya mempunyai sekelumit pengalaman, yaitu ketika saya menjabat sebagai Perwira Intel di Komando Mandala. Dalam rangka tugas membebaskan Irian Barat ini, Pak Harto mengambil langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengadakan infiltrasi ke seluruh Irian Barat agar pasukan kita mempunyai basis-basis yang memungkinkan kita bergerak di dalam wilayah tersebut. Kedua, sebagian besar pasukan yang telah terlatih harus berada di basis-­basis utama, agar sewaktu-waktu dapat mendarat di Irian Barat.

Meskipun ada sedikit kesulitan dalam operasi, namun berdasarkan langkah-langkah tersebut, operasi infiltrasi melalui udara dan laut dilaksanakan dengan sukses. Saya sebagai perwira intel bertugas mengadakan pemantauan dan perkiraan keadaan atas hasil infiltrasi dati Staf Gabungan AB, Lintas Udara dan Lautan. Sementara infiltrasi terus dilakukan, Pak Harto juga mengadakan persiapan penyerbuan besar-besaran di beberapa basis utama Komando Mandala, yaitu Sulawesi dan Maluku. Strategi yang demikian terbukti mempunyai dampak yang besar bagi Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri sehingga memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan  dengan pihak Indonesia.

Dari segi lainnya, saya melihat bahwa Pak Harto sebagai seorang yang sangat memperhatikan kesejahteraan anak buah. Sudah semenjak menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Pak Harto merasakan bagaimana pentingnya kesejahteraan anak buah. Oleh sebab itu beliau mendorong agar didirikan yayasan yayasan, seperti Yayasan Diponegoro dan Yayasan Gabungan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Demikian pula pada waktu menjabat sebagai Panglima Kostrad, beliau mendorong didirikannya Yayasan Kostrad. Pada waktu itu Saya adalah perwira staf intel Kostrad yang sekaligus ditugaskan sebagai Ketua Yayasan Kostrad. Yang menjadi Wakil Ketua Yayasan Kostrad adalah Pak Prapto; beliau sekaligus diserahi kewenangan untuk menjadi ketua koperasi sehingga yayasan dan koperasi menjadi satu. Yayasan dan koperasi Kostrad ini sangat membantu usaha untuk menyejahterakan prajurit. Hal ini terutama tampak pada waktu meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI di tahun  1965.

Pada waktu itu kami ditugaskan oleh Pak Harto untuk mengumpulkan beras dan bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya, sehingga kita mempunyai persediaan beras yang cukup. Sebagaimana diketahui, setelah meletusnya peristiwa G-30-S/PKI, beras sangat sulit didapat di pasaran. Oleh sebab itu seluruh pasukan Kostrad dan pasukan yang diperbantukan di Kostrad mendapatkan jatah beras yang mencukupi, termasuk untuk keluarganya. Oleh sebab itulah, ketika diangkat menjadi Presiden, Pak Harto sangat menaruh perhatian terhadap kesejahteraan rakyat kecil, terutama yang tinggal di pedesaan.

Salah satu sifat lainnya yang menonjol dari Pak Harto ialah bahwa rasa kesetiakawanan beliau sangat tinggi. Tampak jelas pada waktu clash ke-2, dimana beliau berada di barisan depan. Sebagai komandan, beliau tidak mau hanya berpangku tangan setelah memberikan perintah-perintah, melainkan berada di depan bersama-sama dengan pasukan beliau. lni jelas menunjukkan kesetiakawanan yang tinggi, disamping sebagai usaha untuk meningkatkan moril bagi pasukan beliau yang  berusaha menahan serbuan pasukan Belanda.

Ada suatu peristiwa yang saya alami pada masa Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang menunjukkan betapa tingginya rasa kesetiakawanan beliau. Suatu ketika, entah apa sebabnya, pimpinan KOTI, dalam hal ini Pak Yani, menginginkan perubahan dalam staf Komando Mandala Angkatan Darat. Pak Harto sangat keberatan akan perubahan personil ini, sehingga mengutus saya untuk menyerahkan surat kepada Pak Yani. Dalam surat tersebut Pak Harto menyatakan bahwa beliau bersedia diganti, bila ada pergantian perwira dalam jajaran Komando Mandala Angkatan Darat. Beliau berani menyampaikan hal tersebut disebabkan beliau telah begitu percaya terhadap kerjasama dari para perwira yang menjadi bawahan beliau. Kejadian ini jelas menunjukkan betapa tingginya kesetiakawanan beliau terhadap anak buah. Di Jakarta, Pak Yani dapat menerima pandangan-pandangan saya; dan pergantian personil urung dilakukan sehingga Pak Harto tetap dapat melakukan tugas dengan tenang dan berhasil.

Contoh lain dari sifat yang demikian adalah pacta waktu terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sebagai perwira Aspri Panglima Kostrad, saya melaporkan hal ikhwal penculikan Pak Yani dan beberapa perwira lainnya kepada Pak Harto di rumah beliau. Ternyata beliau sudah memperoleh informasi terlebih dahulu, walaupun baru jelas benar duduk persoalannya setelah saya melapor. Oleh karena itu kami berdua menuju ke Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur dengan membawa kendaraan jeep masing-masing. Sesampainya di Markas Kostrad, di hadapan para perwira Kostrad yang hadir, beliau mengatakan:

“Tidak dapat menerima perlakuan terhadap Pak Yani dan beberapa perwira lainnya, apapun alasannya”.

Di sini beliau sekali lagi menunjukkan rasa kesetiakawanan yang tinggi. Oleh karena itu disamping meminta agar para perwira Kostrad selalu siap siaga, beliau juga memerintahkan kami untuk menghubungi dan meminta kedatangan Pak Umar Wirahadikusurnah (Panglima Kodam V/Jaya) dan Pak Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD) di Markas Kostrad guna membahas situasi serta menentukan  langkah-langkah yang akan diambil. Saya didampingi Pak Herman Sarens menuju Garnizun ibukota, yang kebetulan markasnya berada di sebelah· Kostrad, untuk mencari Pak Umar dan menyampaikan pesan Pak Harto. Ternyata Pak Umar sudah tiba di situ, maka kami menyampaikan pesan Pak Harto. Selanjutnya saya minta Pak Herman Sarens segera, dengan kendaraan panser dari Mabad, menuju Cijantung untuk menemui Pak Sarwo Edhie dengan maksud yang sama. Akhirnya dengan ketabahan hati dan dengan mengkonsolidasi pasukan yang taat serta RPKAD, beliau dapat mengadakan operasi penumpasan G-30-S/ PKI dan dilaksanakan dengan  sukses.

Dalam hubungan dengan keberhasilan Pak Harto menumpas pemberontakan G-30-S/PKI, muncul pertanyaan:

”Apakah  Pak Harto merencanakan diri untuk  menjadi Presiden?”  Jawabannya adalah jelas, yaitu “tidak”. Sebab saya mengetahui sekali bahwa beliau tidak pernah merencanakan diri untuk menjadi Presiden. Beliau muncul menjadi seorang pemimpin tertinggi disebabkan oleh kegawatan situasi politik di tahun 1965, dan itu terjadi tanpa diduga oleh beliau sendiri atau oleh siapapun juga. Tetapi yang paling penting untuk diketahui adalah bahwa beliau tepat memperhitungkan situasi dan kondisi pada waktu itu; beliau berani mengambil ke putusan serta bertanggungjawabatas keputusan yang telah diambil. Dengan kemampuan yang ada pada diri beliau itulah, maka beliau mampu mengembangkan diri untuk menjadi pemimpin tertinggi atau presiden di Indonesia.

Kemampuan yang ada dalam diri beliau itu juga tampak setelah beliau diangkat menjadi Presiden. Kita dapat melihat bagaimana cara beliau memecahkan segala macam krisis di Indonesia baik krisis ekonomi, krisis moneter maupun krisis sosial-politik lainnya. Semua krisis tersebut pada akhirnya dapat dilalui dengan sukses.

Banyak sekali pengalaman yang terjadi selama saya membantu Pak Harto. Salah satu yang paling berkesan adalah sewaktu saya menjadi Aspri Presiden bidang keamanan, dan kemudian Sekretaris Militer. Itu terjadi sekitar tahun 1967-1968. Ketika itu beliau mendapat kecaman yang bertubi-tubi dari berbagai surat kabar mengenai program intensifikasi penanaman padi. Mereka menganggap bahwa program tersebut sangat merugikan rakyat, sebab padi yang berasal dari program intensifikasi mendapat serangan hama tikus. Selain itu dikatakan pula bahwa sawah sudah tidak dapat ditebari ikan sebagai akibat obat-obatan semprot.

Menanggapi hal yang demikian, beliau tenang dan yakin sekali bahwa yang benar adalah langkah beliau. Melihat keadaan keuangan negara sekitar tahun 1965-1975 yang sedikit, beliau berkeyakinan bahwa intensifikasi, dan bukan ekstensifikasi, adalah cara yang paling tepat untuk meningkatkan produksi beras. Program ekstensifikasi memang baik, namun mahal biayanya. Selain itu hasilnya belum tentu cepat dan sebesar yang telah dicapai pada waktu itu, bila dihitung dari modal yang ditanam. Oleh karena itulah, beliau tidak memilih program ekstensifikasi penanaman padi.

Meskipun demikian, beliau ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya dari pelaksanaan program intensifikasi tersebut. Oleh beliau,  saya dan Pak Bardosono diperintahkan untuk membuat rencana penelitian dengan cara beliau mengadakan perjalanan incognito ke seluruh Pulau Jawa, Bali dan Kalimantan Selatan. Tujuannya ialah untuk mendapatkan informasi langsung dari rakyat mengenai langkah yang beliau ambil dalam rangka peningkatan produksi beras, disamping juga untuk melihat seberapa besar dampak intensifikasi terhadap kesejahteraan rakyat. Dari rangkaian perjalanan incognito tersebut ternyata benar bahwa beliau semakin kaya akan informasi mengenai pelaksanaan intensifikasi. Dalam kaitan ini beliau ketahui bahwa program intensifikasi ternyata memang tepat untuk meningkatkan produksi beras, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Diantara kekurangan itu ialah bahwa para pejabat di instansi terkait dari tingkat atas sampai ke bawah, dan rakyat sendiri masih perlu dituntun secara teknis-ilmiah untuk melaksanakan program tersebut.

Oleh karena itu Pak Harto menginstruksikan agar diadakan bimbingan teknis untuk semua pejabat yang terkait dan rakyat dalam kerangka peningkatan produksi beras. Berkat bimbingan teknis yang terus menerus, maka jerih payah Pak Harto yang saya saksikan sejak 1965-1975 ternyata berhasil baik. Hal ini terungkap dalam pemberian penghargaan dari  PBB  kepada  Pak  Harto  yang  telah  berhasil membawa bangsa Indonesia kedalam era swasembada beras .

Bagi Pak Harto, perjalanan incognito rupanya sangat efektif sebagai alat untuk menyerap informasi secara langsung dari rakyat, terutama mengenai pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasil yang telah dicapai. Oleh karena itu sewaktu saya menjadi Gubernur DKI

Jakarta, beliau beberapa kali mengadakan kunjungan incognito di pasar-pasar, pedagang kaki lima, dan industri kecil yang berlokasi di daerah kumuh. Dalam kunjungan incognito pada tahun 1979, beliau menaruh perhatian pada para pengrajin industri kecil yang bekerja begitu keras; oleh sebab itu beliau memberi mereka perumahan di daerah Tebet Barat dengan cara sewa-beli. Pemberian tersebut masih ditambah dengan harapan agar pemerintah DKI dapat meneruskan rencana pengembangan Perkampungan Industri Kecil di Pulo Gadung. Ketika berdialog dengan para pedagang kaki lima, beliau mendapat informasi bahwa pendapatan mereka sehari cukup besar, sehingga mereka mampu mengirim sebagian pendapatan mereka kepada orang tua mereka di desa. Selanjutnya beliau menganjurkan agar mereka menyimpan sebagian dari penghasilan mereka di Tabanas, agar bila sewaktu-waktu mereka memerlukan modal tambahan, mereka sudah mempunyai uang simpanan.

Sekitar tahun 1980 Presiden Soeharto mengadakan kunjungan incognito lagi di DKI. Kondisi perekonomian Indonesia ketika itu sudah membaik, pasar pasar sudah ramai dikunjungi, dan daya beli masyarakat juga sudah membaik. Dari kunjungan ini beliau memperoleh informasi bahwa para pedagang kaki lima yang sudah dipindahkan ke pasar-pasar inpres, seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen, ternyata sudah semakin mantap pendapatannya. Demikian pula penghasilan  para pengrajin industri kecil. Hasil kunjungan incognito ini rupanya beliau sampaikan dalam suatu sidang kabinet. Dalam hal ini beliau memberi petunjuk bahwa para pengusaha industri-kecil dan pedagang kecil, yang bekerja dengan modal sendiri yang kecil dan tanpa bantuan bank, tetapi mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, hendaknya dapat dikembangkan. Berdasarkan petunjuk tersebut, maka para pedagang kecil dan pengusaha industri kecil dapat memperoleh pinjaman modal dari bank yang disalurkan melalui KIK ataupun KCK.

Demikian pula ketika diadakan kunjungan ke beberapa pabrik di DKI Jakarta. Kepada beliau saya ceriterakan tentang keadaan para karyawan, dan beliau sangat prihatin akan gaji para karyawan di pabrik-pabrik tersebut. Sesudah kunjungan incognito tersebut, dengan sepengetahuan beliau, saya beserta staf pemerintah DKI Jakarta membuat perhitungan yang cermat sehingga dapat menaikkan gaji para karyawan pabrik. Bahkan selama saya menjadi Gubernur, kenaikan gaji bagi karyawan pabrik bisa berlangsung sampai dua kali. Alangkah gembiranya Bapak Presiden ketika hal ini saya laporkan kepada beliau.

Berbagai pengalaman saya dapati selama mengikuti perjalanan incognito Pak Harto. Dalam beberapa segi, perjalanan incognito memang sangat merepotkan. Karena peninjauan ini perlu dijaga kerahasiaannya, maka terkadang instansi keamanan di daerah yang akan dikunjungi tidak pernah diberitahu. Disamping itu akomodasi untuk tempat beliau bermalam tidak pernah dipersiapkan terlebih dahulu. Saya sering mendapat teguran dari beberapa instansi pengamanan ketika mengatur perjalanan incognito beliau sekitar tahun 1967-1968. Akan tetapi itulah Pak Harto, yang tidak memerlukan perlakuan istimewa didalam perjalanan seperti itu. Saya, yang mendapat perintah dari Bapak Presiden untuk mempersiapkan perjalanan ini, berpendapat bahwa ini adalah jalan satu-satunya agar Bapak Presiden bisa langsung berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya rakyat dapat mengemukakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan maupun “uneg-unegnya” kepada bapaknya, yaitu Kepala Negara. Bagi beliau sendiri tampaknya perjalanan seperti ini justru merupakail “obat” guna mengenali keadaan rakyat secara nyata. Dengan demikian, perintah beliau yang merupakan kebaikan bagi beliau dan bagi rakyat, terutama rakyat kecil, saya laksanakan dengan penuh tanggungjawab.

Pada akhir penugasan saya sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau mengucapkan terima kasih atas usaha saya dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil. Ini menjadi kebanggaan· saya, karena diucapkan oleh beliau sebagai Presiden Republik Indonesia. Apa yang telah saya lakukan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat kecil telah mendapat pujian dari Bapak Presiden, meskipun sebenarnya beliaulah yang selalu memperhatikan kesulitan-kesulitan rakyat kecil, sedangkan saya hanya pelaksana saja. Saya bangga telah menjadi pembantu beliau.

***


[1]     Tjokropranolo, “Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 961-971.

[2]     Letjen. TNI (Purn.); Gubernur DKI Jakarta periode  1977-1982