Dari pengalaman sebagai seorang pemimpin gerakan mahasiswa di Eropa, saya sadar bahwa suatu halangan tidak dapat didobrak dan suatu idea tidak mungkin diwujudkan, hanya oleh satu orang saja. Pengalaman itu mengajarkan bahwa yang penting meyakini dua hal dulu. Pertama, cita-cita dan program yang kita miliki waktu itu benar-benar identik dengan cita-cita bangsa. Kedua, bahwa cita-cita yang kita miliki itu benar-benar menguntungkan cita-cita perjuangan bangsa. Jika cita-cita tersebut benar-benar demikian, maka kita harus juga mampu untuk mewujudkan cita-cita itu. Tidak hanya itu saja” kita harus mampu meyakinkan orang-orang di lingkungan kita bahwa yang dikehendaki itu bukan kepentingan pribadi, tetapi tidak lain daripada suatu sumbangan kecil kepada suatu perjuangan yang besar dari keseluruhan bangsa. Dengan demikian, maka orang yang diyakinkan akan bergabung dengan kita yang meyakinkan itu dan akan terbentuk suatu kelompok yang jumlahnya semakin besar dan kekuatannya makin tinggi untuk mendobrak dan melakukan terobosan yang diperlukan dan diharapkan oleh bangsa.
Maka lahirlah prakarsa untuk mendatangkan pemuda-pemuda Indonesia untuk bersama dengan saya mempersiapkan diri di rantau kalangan orang-orang rasional dan pintar, untuk mendapatkan pengalaman di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan rekayasa. Merekalah yang kelak akan membentuk suatu inti yang terus menerus diperbesar dan disempurnakan sehingga dapat menjadi bekal masyarakat untuk dimanfaatkan dalam suatu sistem yang terpadu, yang “redundant“. Dalam hal ini adalah suatu kekuatan yang tidak hanya tergantung dari satu elemen saja, dan ia merupakan suatu sistem gerakan yang tidak dapat dihalang-halangi karena tidak saja dijiwai semangat perjuangan bangsa, melainkan juga oleh keyakinan kebenaran intepretasi perjuangan bangsanya sesuai dengan identitas kepentingan masyarakat.
Dengan instruksi Pak Harto tersebut saya memberanikan diri mengumpulkan putera-puteri Indonesia lainnya yang seumur atau yang lebih muda, untuk berhimpun dan mempersiapkan diri menjadi teknolog dan teknokrat yang cinta bangsanya, cita pada idea dan yakin pada kebenaran strategi yang ditempuh pemimpin nasional, dalam hal ini Pak Harto sebagai Mandataris MPR. Dengan melakukan berbagai pertemuan, maka terkumpullah sekelompok orang dengan semangat dan kemauan yang sama. Mereka sekarang telah kembali ke Indonesia mengisi kemerdekaan bangsa. Nama mereka tidak perlu saya sebut satu persatu. Mereka tetap berada di sekitar saya, dan jumlahnya semakin besar. Semuanya adalah orang-orang yang dapat saya yakinkan atau yakin dengan sendirinya. Dengan kemampuan menghayati dan mengintepretasi jiwa perjuangan angkatan sebelumnya, mereka adalah kawan seperjuangan, bukan sekedar anak buah.
Berdasarkan pesan Pak Harto, saya menimba pengalaman di bidang ilmu, teknologi, dan bisnis internasional. Saya menjadi semakin dewasa serta mandiri sebagai salah orang anggota generasi penerus yang diilhami oleh generasi perjuangan sebelumnya, diilhami oleh lingkungannya. Saya juga diilhami oleh cara berfikir generasi sendiri yang rasional dan sistematis, modern dan canggih, tanpa meninggalkan kebudayaan bangsanya sehingga sesuai dengan perkembangan sejarah masyarakatnya.
Demikianlah waktu berlalu sampai saat Pak Harto pada tahun 1970 berkunjung lagi ke Eropa. Pada waktu itu beliau telah menjadi Presiden dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Kerajaan Belanda dan Republik Federal Jerman. Entah bagaimana diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Pak Harto teringat pada orang dengan siapa beliau telah melakukan hubungan batin, yang tanpa orang itu menyadarinya telah beliau bina sejak tahun 1950. Saya diberikan kehormatan bertemu dengan beliau yang saya kenal sebagai seorang yang memiliki perasaan manusiawi yang besar, sebagai pemuda yang memiliki jiwa juang, yang mencintai perjuangan bangsanya, yang mampu menghayati aspirasi rakyatnya dan memimpin generasinya. Orang itu kini telah menjadi Presiden/Mandataris MPR.
Pertemuan saya dengan Pak Harto di Bonn itu merupakan pertemuan pertama saya dengan Pak Harto sebagai pemimpin bangsa dan negara saya. DIdalam pertemuan itu beliau memberi petunjuk-petunjuk dan berpesan agar saya siap-siap kembali ke tanah air membantu melaksanakan pembangunan didalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya dengarkan petunjuk-petunjuk beliau dengan penuh perhatian dan penuh semangat. Sebagai orang yang pernah diberi kesempatan belajar di luar negeri oleh pemerintah, saya sungguh-sungguh yakin akan kewajiban untuk melanjutkan perjuangan bangsa sebagai generasi penerus dan pada suatu hari akan kembali ke Indonesia. Karena itu petunjuk-petunjuk Pak Harto menimbulkan getaran response yang beramplitude besar. Pesan Pak Harto itu telah lama ditunggu-tunggu. Saya sudah lama siap untuk memberikan sumbangan, walaupun sedikit, kepada pembangunan bangsa.
Dari tahun 1970 hingga 1974, saya melanjutkan pekerjaan saya di Messerschmitt-Bolkow-Blohm sambil menunggu panggilan pulang. Pada bulan agustus 1973, saya mendapat telpon dari ipar saya Subono manthovani agar siap-siap pulang dan karean itu jangan membuat kontrak baru. Di bulan Desember 1973, Pak Ibnu Sutowo (pada waktu Direktur Utama Pertamina) memanggil saya dari Hamburg untuk bertemu dengan beliau di Hotel Hilton Dusseldorf. Beliau menyampaikan panggilan pulang dari Pak Harto.
Segera saya kumpulkan kawan-kawan yang telah saya himpun sejak tahun 1966. Teman-teman yang pada waktu itu berada di Jerman Utara, berkumpul dalam suatu rapat di ruangan Konsul Jenderal kita di Hamburg. Kepada mereka saya beritahukan pertemuan saya dengan Pak Ibnu Sutowo; saya sampaikan bahwa rupanya sudah tiba saatnya bagi kita untuk bersama-sama pulang. Saya tanyakan kepada mereka, siapa yang sudah siap pulang. Sebahagiaan besar tanpa reserve, dengan dedikasi dan cinta tanah air yang sama tingginya, menyatakan bersedia meletakkan jabatannya masing-masing di industri Jerman untuk kembali ke Indonesia, menghadapi masa depan yang serba tidak jelas. Ini merek alalukan atas dasar kesadaran bahwa tindakan mereka merupakan suatu perjuangan yang membutuhkan tekad dan keiklasan untuk berkorban. Maka pulanglah mereka bersama saya, secara berangsur-angsur dalam tahun 1974-1975. Di tanah air, kita digabungkan oleh rekan-rekan yang memiliki sikap, kepribadian, intelegensi, dedikasi dan jiwa perjuangan yang sama. Bersama-sama dengan mereka itu kami membentuk inti kekuatan perjuangan. Dari tahun ke tahun, inti tersebut semakin besar, semakin kuat, dan semakin berpengalaman.
Pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 1974 saya tiba kembali di tanah air. Ibu dan keluarga saya memberitahukan bahwa saya akan diterima Bapak Presiden. Hari Senin tanggal 28 Januari 1974 pagi hari, saya menghadap Dr. Ibnu Sutowo di kantor beliau di Jalan Perwira untuk melaporkan bahwa saya telah kembali. Pak Ibnu mengatakan bahwa jika demikian, beliau telah melaksanakan perintah Presiden untuk memanggil saya pulang, dan bahwa petunjuk selanjutnya akan disampaikan sendiri oleh Pak Harto pada malam harinya.
Dalam pertemuan saya pada Hari Senin tanggal 28 Januari 1974 jam 19.30 di kediaman beliau di Jalan Cendana itu, Bapak Presiden memberi petunjuk-petunjuk yang jelas dalam tugas saya membantu beliau dalam mengembangkan teknologi untuk pembangunan ekonomi khususnya dan pembangunan bangsa pada umumnya. Sampai saat ini, kehormatan bertemu Pak Harto kali itu memberi kesan yang sangat mendalam. Pertama kali dalam hidup saya, saya dengar istilah “tinggal landas” –suatu istilah yang tadinya saya intepretasikan hanya dari sudut konstruksi pesawat terbang, digunakan dalam konteks strategi pembangunan nasional. Bapak Presiden menyampaikan bahwa Pembangunan Nasional Jangka Panjang akan membangun danmemantapkan kerangka landasan agar dapat tinggal landas pada tahun 1994, dua puluh tahun dari saat pertemuan kita. Untuk itu akan dilaksanakan tahapan-tahapan pembangunan sebagai berikut:
Pertanian dan industri yang mendukungnya;
Pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku;
Pertanian dan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi;
Pertanian dan industri mesin;
Akhirnya tercapai pembangunan industri yang kuat dengan dukungan yang tangguh sebagai landasan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Malam itu Pak Harto memberitahukan bahwa untuk sementara saya akan diberi tugas sebagai Penasehat Teknologi Presiden dan memimpin Divisi Advanced Technology di lingkungan Pertamina yang dimaksudkan sebagai lembaga tingkat pusat untuk mendampingi Bappenas. Beliau menjelaskan bahwa saya diberi waktu 20 tahun untuk membantu menyelesaikan tahapan-tahapan pembangunan itu. Beliau menjelaskan falsafah hidup dan falsafah perjuangan bangsa, selain menjelaskan kekuatan-kekuatan dan aspirasi aspirasi rakyat. Kata beliau pada saya:
“Sebenarnya, rakyatmu itu tidak berbelit-belit dan njelimet. Sebenarnya, rakyat Indonesia sangat sederhana dalam keinginannya. Mereka akan sangat berterima kasih jika tercapai peningkatan dalam taraf hidup mereka secara bertahap. Tetapi rakyatmu itu pasti tidak akan sanggup lagi menanggung gejolak seperti yang disebabkan oleh pemberontakan PKI. Karena itu, laksanakanlah semua yang Rudy kira perlu untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi jangan Rudy menimbulkan suatu revolusi sosial”
Umur saya waktu itu baru 37 tahun. Saya tidak sepenuhnya menyadari betapa pentingnya pengarahan yang diberikan Pak Harto itu untuk saya pribadi dan untuk pembangunan pada umumnya. Sejak tanggal itu, semua pengarahan Bapak Presiden pada saya, saya catat di dalam buku catatan dan di otak saya. Hingga hari ini dan hari penghabisan saya di dunia ini, pertemuan malam itu akan saya kenang sebagai salah satu malam yang paling mengesankan di dalam hidup saya. Pertemnuan itu merupakan awal dari tahap baru dalam kehidupan saya, yaitu suatu keterlibatan langsung dalam pembangunan bangsa, suatu gerakan besar yang penuh dengan aneka ragam hambatan dan tantanganya, sekaligus dengan kenikmatannya sendiri dapat melihat hasil-hasilnya secara kongkrit dari tahun ke tahun.
Mulai hari itu setiap malam saya berdo’a pada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga Bapak Soeharto, yang sudah ditentukan oleh nasib harus saya dampingi, selalu diberi perlindungan, kekuatan dan kesehatan dalam melaksanakan tugas-tugas beliau. Saya juga berdo’a semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kepada saya bimbingan agar kesempatan yang diberikan untuk ikut mewujudkan cita-cita bangsa, dapat saya manfaatkan sebaik-baiknya. (AFR). (Bersambung).
***
Catatan:
BJ Habibie terpilih sebagai wakil Presiden pada tahun 1997 mendampingi Presiden Soeharto dan secara konstitusional menggantikannya sebagai presiden, ketika Presiden Soeharto menyatakan berheti tahun 1998. Tersebar kabar bahwa sejak pengunduran dirinya sebagai presiden hingga wafatnya, Pak Harto tidak berkenan menerima BJ Habibie atau BJ Habibie belum berhasil menemuinya. Hal itu memunculkan dua spekulasi:
1. Kemungkinan pertama, Pak Harto ingin memberi ruang kepada BJ Habibie untuk menuliskan sejarahnya sendiri, agar sebagai presiden baru, tidak berada dalam bayang-bayang sejarah presiden sebelumnya, sekaligus melindungi BJ Habibie dari segala persepsi buruk atau propaganda hitam sejumlah kalangan, yang kesemuanya pada saat itu diarahkan kepada Pak Harto. Pak Harto tidak ingin membebankan propaganda hitam itu kepada orang lain, agar BJ. Habibie bisa fokus menangani dampak krisis moneter, yang mempertaruhkan jutaan masa depan rakyat Indonesia pada saat itu.
2. Kemungkinan kedua, Pak Harto kurang berkenan soal lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya sudah hampir berhasil meyakinkan pihak-pihak terkait di dunia internasional untuk menyelesaikan soal ini melalui jalan diplomasi. Namun atas masukan dari para penasehatnya, yang jam terbangnya belum banyak, BJ Habibie memutuskan menggelar referendum yang menyebabkan lepasnya Timor Timur. Pak Harto tentu melihat suasana kebatinan para pejuang yang dengan susah payah mengintegrasikan wilayah ini dengan Indonesia dan suasana kebatinan penduduk Timor-Timur yang merasa terlindung dalam alam integrasi.
[1] BJ. Habibie, “Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 376-381.
[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.