PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Tjokropranolo : Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,

Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat

Tjokropranolo 

 Perkenalan saya dengan Bapak Soeharto terjadi sekitar tahun 1945-1949. Meskipun sudah sangat lama, tapi masih mudah diingat; sebab, pertemuan yang pertama kali itu sangat unik sekali. Pada waktu itu Pak Harto menjabat sebagai Komandan Brigade X Wehrkreise III dari Divisi III yang berkedudukan di Yogyakarta. Saya sendiri bertugas sebagai pengawal Panglima Besar Sudirman, disamping diminta oleh Pak Sarbini untuk memperkuat staf beliau. Ketika itu Pak Sarbini menjabat sebagai Koordinator Pertahanan di seluruh Keresidenan Kedu, termasuk daerah penugasan Pak Harto di garis pertahanan Kedu yang berhadapan dengan musuh yang ada di Ambarawa. Sebagai pengawal Panglima Besar Sudirman, kami selalu membawa dua kompi pasukan, yang sebagaimana biasanya digunakan untuk melatih anak buah. Satu kompi bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Kapten Slamet Sumantri diperbantukan dibawah komando Pak Harto di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Sedangkan satu kompi lagi ditempatkan di lini II, yaitu di Kecamatan Candiroto, yang juga termasuk wilayah Kedu.

Suatu ketika Pak Harto mendapat tugas untuk menghadapi serangan Belanda dari daerah Sumowono, Ambarawa, Keresidenan Semarang yang menuju Keresidenan Kedu. Ketika itu diperoleh informasi bahwa Belanda diperkirakan akan melakukan serangan besar-besaran ke daerah Keresidenan Kedu dan sekitarnya. Ternyata informasi itu benar, karena Belanda memang mengadakan serangan besar-besaran. Sesuai dengan rencana yang telah digariskan, Pak Sarbini memerintahkan saya untuk membumi-hanguskan gudang di daerah Rowoseneng, dan mencari informasi tentang pasukan Kapten Sumantri. Dengan mengendarai sepeda motor, saya menuju Kandangan untuk membumi-hanguskan gudang-gudang di daerah Rowoseneng, daerah yang berdampingan dengan sektor pertahanan Pak Harto. Rowoseneng adalah daerah pegunungan yang terjal dimana banyak terdapat gudang penyimpanan bahan pokok, seperti beras, kedelai, garam dan minyak goreng. Gudang-gudang tersebut tidak saya bumi-hanguskan, tetapi saya suruh penduduk, yang tidak mengungsi agar mengambil seluruh isi gudang untuk dibawa pulang sehingga bisa dimanfaatkan.

Setelah itu saya melaksanakan tugas yang kedua, yaitu mencari informasi mengenai nasib pasukan kami yang diperbantukan kepada Pak Harto. Saya melewati daerah yang mendapat serangan luar biasa dari pasukan Belanda yang menyerang dari arah Bandungan/ Sumowono, yaitu sebuah basis Belanda yang cukup kuat. Setelah jauh berjalan, saya berpapasan dengan pasukan pengawal Pak Harto, yang hanya terdiri atas satu peleton saja. Mereka curiga melihat saya dan mengira bahwa saya adalah anggota pasukan KNIL, sebab saya datang dari arah kedudukan tentara Belanda. Agar mereka tidak ragu-ragu terhadap saya, maka saya sebutkan nama dan menyampaikan bahwa saya mendapat perintah dari Pak Sarbini untuk menemui Pak Harto. Salah seorang pengawal Pak Harto kemudian melaporkan kepada beliau sehingga saya dapat berjumpa dengan Pak Harto.

Jadi di sinilah uniknya pertemuan pertama saya dengan Pak Harto. Sebab, pengawal beliau merasa heran bahwa saya berhasil melewati daerah musuh, meskipun sesungguhnya saya sendiri tidak mengetahui bahwa daerah yang saya lewati itu adalah daerah musuh. Untung saja ketika saya melewati daerah itu, pasukan Belanda sudah meninggalkan tempat tersebut. Kalau saya tahu bahwa tempat itu adalah daerah musuh, barangkali saya akan lebih berhati-hati untuk memasukinya, atau mungkin tidak akan melewatinya.

Setelah diterima Pak Harto, saya sampaikan bahwa maksud saya menemui beliau adalah melaksanakan tugas dari Pak Sarbini untuk mengetahui keadaan Kompi Slamet Sumantri yang diperbantukan kepada beliau. Dengan tenang, dikatakan oleh beliau bahwa Kompi Kapten Slamet Sumantri dan Kompi Letnan Komaruddin, yang juga adalah kompi organik kebanggaan Pak Harto, merupakan dua kompi yang berjasa dalam menahan serangan darat pasukan Belanda. Kedua pasukan tersebut secara berdamping-dampingan berjuang mempertahankan diri dari serangan Belanda dan tidak mundur setapak pun. Secara kebetulan kedua pasukan tersebut ditempatkan di daerah penetrasi utama pasukan Belanda, sehingga serangan tersebut dapat digagalkan. Dengan demikian, sebagian besar pasukan organik Pak Harto yang ditempatkan di Lini I dapat bertahan dari serangan darat pasukan Belanda. Setelah memperoleh informasi tersebut, saya mohon diri untuk menemui Kompi Kapten Slamet Sumantri, yang sedang beristirahat (di antara Lini I dan Lini II).

Kesan pertama yang saya peroleh ketika itu adalah bahwa Pak Harto adalah seorang komandan yang sangat berani. Beliau berada pada posisi paling depan di daerah penetrasi utama pasukan Belanda ketika Belanda mengadakan serangan besar-besaran. Selain itu dengan hanya dikawal oleh satu peleton saja, beliau juga masih sibuk mengadakan konsolidasi pasukan di garis terdepan pertahanan kita, dan sekaligus mengumpulkan senjata-senjata yang ditinggalkan pasukan non-organik, yang mundur ketika terjadi serangan Belanda. Kepemimpinan yang seperti ini membawa pengaruh besar terhadap anggota-anggota pasukannya, terutama anggota pasukan organik. Oleh karena itu mereka tetap memiliki semangat juang untuk tetap mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Belanda.

Pertemuan pertama itu masih dilanjutkan dengan pertemuan­pertemuan selanjutnya. Pertemuan-pertemuan tersebut terjadi sewaktu saya ditugaskan oleh Panglima Besar Sudirman untuk menyampaikan surat kepada Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada masa Clash ke-2. Pada waktu itu Panglima Besar Sudirman berada di Pacitan, sedangkan Pak Harto berada di markas beliau di desa Kemusuk, Yogyakarta.

Anggota pasukan kami yang berada di utara Yogyakarta tidak mempunyai hubungan langsung dengan Sri Sultan. Akan tetapi dari mereka, saya mendapat informasi bahwa Pak Harto mempunyai saluran langsung dengan Sri Sultan. Oleh karena itu saya menghubungi Pak Harto untuk meminta bantuan beliau agar surat Pak Dirman dapat diteruskan kepada Sri Sultan, dan jawabannya agar dapat diteruskan kepada Pak Dirman di Pacitan. Karena begitu rapi dan cermatnya kontak-kontak beliau, maka surat menyurat antara Pak Dirman dan Sri Sultan dapat dijamin kecepatan pelaksanaan maupun kerahasiaannya.

Pertemuan antara Pak Harto dan saya dalam rangka menyampaikan surat-surat dari kedua tokoh Republik itu tidak mudah kami lupakan. Setiap bertemu dengan Pak Harto, dalam rangka menyampaikan surat dari Pak Dirman, saya selalu menginap semalam di markas Pak Harto. Di situ saya melihat pengawal beliau tidak lebih dari satu peleton saja, bahkan kadang-kadang kurang dari satu peleton. Hubungan beliau dengan anak buah juga tampak erat sekali. Tidak ada perbedaan makanan antara komandan dengan anak buah. Saya pun dijamu oleh beliau dengan makanan yang sederhana ini, namun bagi saya yang telah berjalan jauh meliwati daerah minus, makanan tersebut terasa sangat istimewa.

Barangkali karena pertemuan-pertemuan ini pulalah, Pak Harto sering menarik saya untuk membantu beliau. Misalnya ketika Pak Harto telah menjadi Panglima Divisi Diponegoro, di Jawa Tengah, saya diangkat menjadi staf intel beliau, di samping tetap menjadi Wakil Komandan CPM di Kodam Diponegoro. Selain itu saya juga ditugaskan oleh beliau untuk mengurus Yayasan Kodam Jawa Tengah, dan Yayasan Gabungan (Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya). Demikian pula pada masa-masa selanjutnya, saya sering bertugas langsung dibawah komando Pak Harto. Antara lain saya diangkat menjadi Staf Intel Kostrad, Perwira Staf Intel Komando Mandala, Aspri bidang Keamanan/Sekretaris Militer, dan Gubernur DKI Jakarta.

Sebagai panglima militer, saya kira kita tidak perlu meragukan kepemimpinan beliau. Sebagaimana telah saya uraikan di muka, beliau memberikan dorongan semangat juang dengan cara memimpin pasukan di barisan terdepan. Demikian pula ketika beliau menjadi Panglima Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Dalam hal ini saya mempunyai sekelumit pengalaman, yaitu ketika saya menjabat sebagai Perwira Intel di Komando Mandala. Dalam rangka tugas membebaskan Irian Barat ini, Pak Harto mengambil langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengadakan infiltrasi ke seluruh Irian Barat agar pasukan kita mempunyai basis-basis yang memungkinkan kita bergerak di dalam wilayah tersebut. Kedua, sebagian besar pasukan yang telah terlatih harus berada di basis-­basis utama, agar sewaktu-waktu dapat mendarat di Irian Barat.

Meskipun ada sedikit kesulitan dalam operasi, namun berdasarkan langkah-langkah tersebut, operasi infiltrasi melalui udara dan laut dilaksanakan dengan sukses. Saya sebagai perwira intel bertugas mengadakan pemantauan dan perkiraan keadaan atas hasil infiltrasi dati Staf Gabungan AB, Lintas Udara dan Lautan. Sementara infiltrasi terus dilakukan, Pak Harto juga mengadakan persiapan penyerbuan besar-besaran di beberapa basis utama Komando Mandala, yaitu Sulawesi dan Maluku. Strategi yang demikian terbukti mempunyai dampak yang besar bagi Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri sehingga memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan  dengan pihak Indonesia.

Dari segi lainnya, saya melihat bahwa Pak Harto sebagai seorang yang sangat memperhatikan kesejahteraan anak buah. Sudah semenjak menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Pak Harto merasakan bagaimana pentingnya kesejahteraan anak buah. Oleh sebab itu beliau mendorong agar didirikan yayasan yayasan, seperti Yayasan Diponegoro dan Yayasan Gabungan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Demikian pula pada waktu menjabat sebagai Panglima Kostrad, beliau mendorong didirikannya Yayasan Kostrad. Pada waktu itu Saya adalah perwira staf intel Kostrad yang sekaligus ditugaskan sebagai Ketua Yayasan Kostrad. Yang menjadi Wakil Ketua Yayasan Kostrad adalah Pak Prapto; beliau sekaligus diserahi kewenangan untuk menjadi ketua koperasi sehingga yayasan dan koperasi menjadi satu. Yayasan dan koperasi Kostrad ini sangat membantu usaha untuk menyejahterakan prajurit. Hal ini terutama tampak pada waktu meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI di tahun  1965.

Pada waktu itu kami ditugaskan oleh Pak Harto untuk mengumpulkan beras dan bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya, sehingga kita mempunyai persediaan beras yang cukup. Sebagaimana diketahui, setelah meletusnya peristiwa G-30-S/PKI, beras sangat sulit didapat di pasaran. Oleh sebab itu seluruh pasukan Kostrad dan pasukan yang diperbantukan di Kostrad mendapatkan jatah beras yang mencukupi, termasuk untuk keluarganya. Oleh sebab itulah, ketika diangkat menjadi Presiden, Pak Harto sangat menaruh perhatian terhadap kesejahteraan rakyat kecil, terutama yang tinggal di pedesaan.

Salah satu sifat lainnya yang menonjol dari Pak Harto ialah bahwa rasa kesetiakawanan beliau sangat tinggi. Tampak jelas pada waktu clash ke-2, dimana beliau berada di barisan depan. Sebagai komandan, beliau tidak mau hanya berpangku tangan setelah memberikan perintah-perintah, melainkan berada di depan bersama-sama dengan pasukan beliau. lni jelas menunjukkan kesetiakawanan yang tinggi, disamping sebagai usaha untuk meningkatkan moril bagi pasukan beliau yang  berusaha menahan serbuan pasukan Belanda.

Ada suatu peristiwa yang saya alami pada masa Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang menunjukkan betapa tingginya rasa kesetiakawanan beliau. Suatu ketika, entah apa sebabnya, pimpinan KOTI, dalam hal ini Pak Yani, menginginkan perubahan dalam staf Komando Mandala Angkatan Darat. Pak Harto sangat keberatan akan perubahan personil ini, sehingga mengutus saya untuk menyerahkan surat kepada Pak Yani. Dalam surat tersebut Pak Harto menyatakan bahwa beliau bersedia diganti, bila ada pergantian perwira dalam jajaran Komando Mandala Angkatan Darat. Beliau berani menyampaikan hal tersebut disebabkan beliau telah begitu percaya terhadap kerjasama dari para perwira yang menjadi bawahan beliau. Kejadian ini jelas menunjukkan betapa tingginya kesetiakawanan beliau terhadap anak buah. Di Jakarta, Pak Yani dapat menerima pandangan-pandangan saya; dan pergantian personil urung dilakukan sehingga Pak Harto tetap dapat melakukan tugas dengan tenang dan berhasil.

Contoh lain dari sifat yang demikian adalah pacta waktu terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sebagai perwira Aspri Panglima Kostrad, saya melaporkan hal ikhwal penculikan Pak Yani dan beberapa perwira lainnya kepada Pak Harto di rumah beliau. Ternyata beliau sudah memperoleh informasi terlebih dahulu, walaupun baru jelas benar duduk persoalannya setelah saya melapor. Oleh karena itu kami berdua menuju ke Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur dengan membawa kendaraan jeep masing-masing. Sesampainya di Markas Kostrad, di hadapan para perwira Kostrad yang hadir, beliau mengatakan:

“Tidak dapat menerima perlakuan terhadap Pak Yani dan beberapa perwira lainnya, apapun alasannya”.

Di sini beliau sekali lagi menunjukkan rasa kesetiakawanan yang tinggi. Oleh karena itu disamping meminta agar para perwira Kostrad selalu siap siaga, beliau juga memerintahkan kami untuk menghubungi dan meminta kedatangan Pak Umar Wirahadikusurnah (Panglima Kodam V/Jaya) dan Pak Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD) di Markas Kostrad guna membahas situasi serta menentukan  langkah-langkah yang akan diambil. Saya didampingi Pak Herman Sarens menuju Garnizun ibukota, yang kebetulan markasnya berada di sebelah· Kostrad, untuk mencari Pak Umar dan menyampaikan pesan Pak Harto. Ternyata Pak Umar sudah tiba di situ, maka kami menyampaikan pesan Pak Harto. Selanjutnya saya minta Pak Herman Sarens segera, dengan kendaraan panser dari Mabad, menuju Cijantung untuk menemui Pak Sarwo Edhie dengan maksud yang sama. Akhirnya dengan ketabahan hati dan dengan mengkonsolidasi pasukan yang taat serta RPKAD, beliau dapat mengadakan operasi penumpasan G-30-S/ PKI dan dilaksanakan dengan  sukses.

Dalam hubungan dengan keberhasilan Pak Harto menumpas pemberontakan G-30-S/PKI, muncul pertanyaan:

”Apakah  Pak Harto merencanakan diri untuk  menjadi Presiden?”  Jawabannya adalah jelas, yaitu “tidak”. Sebab saya mengetahui sekali bahwa beliau tidak pernah merencanakan diri untuk menjadi Presiden. Beliau muncul menjadi seorang pemimpin tertinggi disebabkan oleh kegawatan situasi politik di tahun 1965, dan itu terjadi tanpa diduga oleh beliau sendiri atau oleh siapapun juga. Tetapi yang paling penting untuk diketahui adalah bahwa beliau tepat memperhitungkan situasi dan kondisi pada waktu itu; beliau berani mengambil ke putusan serta bertanggungjawabatas keputusan yang telah diambil. Dengan kemampuan yang ada pada diri beliau itulah, maka beliau mampu mengembangkan diri untuk menjadi pemimpin tertinggi atau presiden di Indonesia.

Kemampuan yang ada dalam diri beliau itu juga tampak setelah beliau diangkat menjadi Presiden. Kita dapat melihat bagaimana cara beliau memecahkan segala macam krisis di Indonesia baik krisis ekonomi, krisis moneter maupun krisis sosial-politik lainnya. Semua krisis tersebut pada akhirnya dapat dilalui dengan sukses.

Banyak sekali pengalaman yang terjadi selama saya membantu Pak Harto. Salah satu yang paling berkesan adalah sewaktu saya menjadi Aspri Presiden bidang keamanan, dan kemudian Sekretaris Militer. Itu terjadi sekitar tahun 1967-1968. Ketika itu beliau mendapat kecaman yang bertubi-tubi dari berbagai surat kabar mengenai program intensifikasi penanaman padi. Mereka menganggap bahwa program tersebut sangat merugikan rakyat, sebab padi yang berasal dari program intensifikasi mendapat serangan hama tikus. Selain itu dikatakan pula bahwa sawah sudah tidak dapat ditebari ikan sebagai akibat obat-obatan semprot.

Menanggapi hal yang demikian, beliau tenang dan yakin sekali bahwa yang benar adalah langkah beliau. Melihat keadaan keuangan negara sekitar tahun 1965-1975 yang sedikit, beliau berkeyakinan bahwa intensifikasi, dan bukan ekstensifikasi, adalah cara yang paling tepat untuk meningkatkan produksi beras. Program ekstensifikasi memang baik, namun mahal biayanya. Selain itu hasilnya belum tentu cepat dan sebesar yang telah dicapai pada waktu itu, bila dihitung dari modal yang ditanam. Oleh karena itulah, beliau tidak memilih program ekstensifikasi penanaman padi.

Meskipun demikian, beliau ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya dari pelaksanaan program intensifikasi tersebut. Oleh beliau,  saya dan Pak Bardosono diperintahkan untuk membuat rencana penelitian dengan cara beliau mengadakan perjalanan incognito ke seluruh Pulau Jawa, Bali dan Kalimantan Selatan. Tujuannya ialah untuk mendapatkan informasi langsung dari rakyat mengenai langkah yang beliau ambil dalam rangka peningkatan produksi beras, disamping juga untuk melihat seberapa besar dampak intensifikasi terhadap kesejahteraan rakyat. Dari rangkaian perjalanan incognito tersebut ternyata benar bahwa beliau semakin kaya akan informasi mengenai pelaksanaan intensifikasi. Dalam kaitan ini beliau ketahui bahwa program intensifikasi ternyata memang tepat untuk meningkatkan produksi beras, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Diantara kekurangan itu ialah bahwa para pejabat di instansi terkait dari tingkat atas sampai ke bawah, dan rakyat sendiri masih perlu dituntun secara teknis-ilmiah untuk melaksanakan program tersebut.

Oleh karena itu Pak Harto menginstruksikan agar diadakan bimbingan teknis untuk semua pejabat yang terkait dan rakyat dalam kerangka peningkatan produksi beras. Berkat bimbingan teknis yang terus menerus, maka jerih payah Pak Harto yang saya saksikan sejak 1965-1975 ternyata berhasil baik. Hal ini terungkap dalam pemberian penghargaan dari  PBB  kepada  Pak  Harto  yang  telah  berhasil membawa bangsa Indonesia kedalam era swasembada beras .

Bagi Pak Harto, perjalanan incognito rupanya sangat efektif sebagai alat untuk menyerap informasi secara langsung dari rakyat, terutama mengenai pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasil yang telah dicapai. Oleh karena itu sewaktu saya menjadi Gubernur DKI

Jakarta, beliau beberapa kali mengadakan kunjungan incognito di pasar-pasar, pedagang kaki lima, dan industri kecil yang berlokasi di daerah kumuh. Dalam kunjungan incognito pada tahun 1979, beliau menaruh perhatian pada para pengrajin industri kecil yang bekerja begitu keras; oleh sebab itu beliau memberi mereka perumahan di daerah Tebet Barat dengan cara sewa-beli. Pemberian tersebut masih ditambah dengan harapan agar pemerintah DKI dapat meneruskan rencana pengembangan Perkampungan Industri Kecil di Pulo Gadung. Ketika berdialog dengan para pedagang kaki lima, beliau mendapat informasi bahwa pendapatan mereka sehari cukup besar, sehingga mereka mampu mengirim sebagian pendapatan mereka kepada orang tua mereka di desa. Selanjutnya beliau menganjurkan agar mereka menyimpan sebagian dari penghasilan mereka di Tabanas, agar bila sewaktu-waktu mereka memerlukan modal tambahan, mereka sudah mempunyai uang simpanan.

Sekitar tahun 1980 Presiden Soeharto mengadakan kunjungan incognito lagi di DKI. Kondisi perekonomian Indonesia ketika itu sudah membaik, pasar pasar sudah ramai dikunjungi, dan daya beli masyarakat juga sudah membaik. Dari kunjungan ini beliau memperoleh informasi bahwa para pedagang kaki lima yang sudah dipindahkan ke pasar-pasar inpres, seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen, ternyata sudah semakin mantap pendapatannya. Demikian pula penghasilan  para pengrajin industri kecil. Hasil kunjungan incognito ini rupanya beliau sampaikan dalam suatu sidang kabinet. Dalam hal ini beliau memberi petunjuk bahwa para pengusaha industri-kecil dan pedagang kecil, yang bekerja dengan modal sendiri yang kecil dan tanpa bantuan bank, tetapi mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, hendaknya dapat dikembangkan. Berdasarkan petunjuk tersebut, maka para pedagang kecil dan pengusaha industri kecil dapat memperoleh pinjaman modal dari bank yang disalurkan melalui KIK ataupun KCK.

Demikian pula ketika diadakan kunjungan ke beberapa pabrik di DKI Jakarta. Kepada beliau saya ceriterakan tentang keadaan para karyawan, dan beliau sangat prihatin akan gaji para karyawan di pabrik-pabrik tersebut. Sesudah kunjungan incognito tersebut, dengan sepengetahuan beliau, saya beserta staf pemerintah DKI Jakarta membuat perhitungan yang cermat sehingga dapat menaikkan gaji para karyawan pabrik. Bahkan selama saya menjadi Gubernur, kenaikan gaji bagi karyawan pabrik bisa berlangsung sampai dua kali. Alangkah gembiranya Bapak Presiden ketika hal ini saya laporkan kepada beliau.

Berbagai pengalaman saya dapati selama mengikuti perjalanan incognito Pak Harto. Dalam beberapa segi, perjalanan incognito memang sangat merepotkan. Karena peninjauan ini perlu dijaga kerahasiaannya, maka terkadang instansi keamanan di daerah yang akan dikunjungi tidak pernah diberitahu. Disamping itu akomodasi untuk tempat beliau bermalam tidak pernah dipersiapkan terlebih dahulu. Saya sering mendapat teguran dari beberapa instansi pengamanan ketika mengatur perjalanan incognito beliau sekitar tahun 1967-1968. Akan tetapi itulah Pak Harto, yang tidak memerlukan perlakuan istimewa didalam perjalanan seperti itu. Saya, yang mendapat perintah dari Bapak Presiden untuk mempersiapkan perjalanan ini, berpendapat bahwa ini adalah jalan satu-satunya agar Bapak Presiden bisa langsung berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya rakyat dapat mengemukakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan maupun “uneg-unegnya” kepada bapaknya, yaitu Kepala Negara. Bagi beliau sendiri tampaknya perjalanan seperti ini justru merupakail “obat” guna mengenali keadaan rakyat secara nyata. Dengan demikian, perintah beliau yang merupakan kebaikan bagi beliau dan bagi rakyat, terutama rakyat kecil, saya laksanakan dengan penuh tanggungjawab.

Pada akhir penugasan saya sebagai Gubernur DKI Jakarta, beliau mengucapkan terima kasih atas usaha saya dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil. Ini menjadi kebanggaan· saya, karena diucapkan oleh beliau sebagai Presiden Republik Indonesia. Apa yang telah saya lakukan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat kecil telah mendapat pujian dari Bapak Presiden, meskipun sebenarnya beliaulah yang selalu memperhatikan kesulitan-kesulitan rakyat kecil, sedangkan saya hanya pelaksana saja. Saya bangga telah menjadi pembantu beliau.

***


[1]     Tjokropranolo, “Rasa Kesetiakawanan Yang Kuat”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 961-971.

[2]     Letjen. TNI (Purn.); Gubernur DKI Jakarta periode  1977-1982