PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak langkah Pak harto 14 November 1966 - 14 November 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Senin, 14 November  1966

Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto hari ini memimpin sidang presidium yang dihadiri oleh para menteri, sekretaris jenderal, direktur jenderal, dan ahli-ahli ekonomi. Dalam sidang itu antara lain telah ditetapkan besarnya anggaran belanja untuk tahun 1967 yaitu Rp. 81.300.000.000,- uang baru. Berdasarkan prinsip anggaran berimbang pengeluaran disusun atas dasar jumlah pemasukan negara yang diperoleh dari perpajakan dan hasil ekspor selama satu tahun. Termasuk dalam jumlah pengeluaran ini adalah biaya pemilihan umum yang menurut rencana akan diselenggarakan pada tahun 1968. Hal-hal lain yang dibahas dalam sidang hari ini ialah RUU penanaman modal asing yang di harapkan akan berfungsi membantu pembangunan nasional.

Sabtu, 14 November  1970

Di Istana Merdeka pagi ini, Presiden Soeharto bertemu dengan Duta Besar Uni Soviet untuk Indonesia, Mikhail Mikhailovich Volvov. Dalam pertemuan yang memakan waktu satu jam itu telah dibicarakan nasib proyek besi baja di Cilegon, Jawa Barat, dan proyek super-posphat di Cilacap, Jawa Tengah. Kedua proyek yang dibiayai dan dibangun oleh Uni Soviet itu telah terhenti kegiatannya selama ini.

Menteri Negara Mintaredja SH, yang juga merupakan seorang tokoh Muhammadiyah, diminta oleh Presiden Soeharto menjadi Ketua Parmusi. Ini merupakan jalan keluar atau penyelesaian yang ditempuh oleh Presiden untuk mengatasi perpecahan yang terjadi dalam partai tersebut, yaitu antara kelompok Djarnawi Hadikusumo dengan kelompok John Naro. Presiden turun tangan dalam masalah ini setelah kedua belah pihak yang bertikai dalam Parmusi menyerahkan masalah kepemimpinan partai itu sepenuhnya kepada Presiden. Kedua belah pihak menyetujui kebijaksanaan yang diambil oleh Jenderal Soeharto.

Selasa, 14 November  1972 
Pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto beserta rombongan berziarah ke makam pahlawan tak dikenal Prancis di L’Arc de Triomphe, dimana Presiden meletakkan karangan bunga. Kemudian rombongan mengunjungi pusat penyelidikan nuklir di Saclay, sebuah kota di pinggiran Paris.

Siang ini Presiden Soeharto menghadiri jamuan makan yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri Paris. Kepada para pengusaha Prancis, Presiden mengatakan bahwa bagi Indonesia, kerjasama internasional bukan sesuatu hal yang tabu asal didasarkan pada saling hormat-menghormati tanpa mencampuri urusan dalam negeri masing-masing dan saling menguntungkan. Lebih jauh dikatakannya bahwa kaidah penting dalam demokrasi ekonomi Indonesia adalah bahwa negara tidak menguasai atau melaksanakan sendiri seluruh kegiatan ekonomi.

Rabu, 14 November  1973

Masih berada di Bali, Presiden Soeharto pukul 10.30 pagi ini meresmikan penggunaan Bali Hyatt Hotel di Denpasar. Acara peresmian ini ditandai oleh pembukaan selubung plakat oleh Presiden, dan pengguntingan pita oleh Ibu Soeharto. 

Dalam sambuatannya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai kebudayaan dan kesenian yang khas dan menarik, sementara alam kita merupakan pemandangan yang sering mempesonakan disamping pembawaan kita yang ramah tamah. Menurut Kepala Negara, semua unsur itu merupakan daya tarik yang kuat terhadap wisatawan. Akan tetapi ia mengakui bahwa hal itu saja belumlah cukup; karena itu diperlukan fasilitas-fasilitas untuk para wisatawan.

Dikatakan oleh Presiden bahwa pembangunan hotel adalah bertujuan ekonomi, yaitu untuk memperoleh devisa bagi pembangunan, dan salah satu sumber devisa adalah wisatawan. Akan tetapi diingatkannya bahwa pembangunan kepariwisataan bukan hanya sekedar untuk mencapai tujuan ekonomi saja. Melalui kepariwisataan kita juga mengharapkan dapat tumbung saling pengertian dan hormat menghormati antara bangsa-bangsa. Ditegaskannya pula bahwa kita perlu menjaga agar membanjirnya arus wisatawan kemarin tidak akan menggoyahkan nilai-nilai yang kita anggap luhur dan terpeliharanya kebudayaan daerah. Demikian antara lain dikatakan Presiden.

Selesai acara peresmian Bali Hyatt Hotel, Presiden dan Ibu Soeharto meninjau pembangunan fasilitas kepariwisataan lainya. Yang ditinjau oleh Kepala Negara dan Ibu Tien adalah Bali Seaside Cottage, Extension Bali Beach Hotel, dan Pertamina Cottage.

Senin, 14 November 1977

Menteri Negara Riset, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, hari ini menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka, untuk melaporkan rencana pelaksanaan penelitian hubungan antara pemilik dan penggarap tanah, yang ditugaskan Presiden kepadanya dan Menteri Ekuin pada saat sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional minggu lalu. Setelah menghadap, Sumitro mengatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan Undang-undang Landreform yang ada, jika menuntut hasil penelitian Undang-undang yang dibuat 10 atau 15 tahun yang lalu itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat sekarang ini.

Presiden Soeharto memberikan bantuan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) berupa sebuah generator listrik seharga Rp10,5 juta dengan kapasitas 130 KVA. Disamping itu Presiden juga menyumbang uang sebesar Rp7 juta lebih, untuk pembangunan sebuah gardu bagi generator listrik di Lembang Pusat Transfusi Darah, di Jakarta.

Selasa, 14 November  1978

Presiden Soeharto, selaku Ketua Yayasan Dharmais, hari ini menyerahkan 145 buah rumah kepada penderita cacat “Seroja”. Rumah-rumah yang terletak di Kompleks Wisma Seroja, Bekasi, Jawa Barat, itu merupakan bantuan untuk anggota-anggota ABRI yang menderita cacat tubuh dalam melaksanakan tugas, khususnya dalam Operasi Seroja di Timor Timur.

Sementara itu, bertempat di Bina Graha, pukul 08.30 pagi ini, Presiden Soeharto membuka Lokakarya Perluasan dan Pemerataan Kesempatan Kerja Serta Pemerataan Pembagian Pendapatan. Dalam amanatnya pada lokakarya yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu, Presiden mengatakan bahwa masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengaitkan dan menyerasikan kenaikan laju pertumbuhan ekonomi dengan perluasan dan pemerataan kesempatan kerja. Dikatakannya bahwa usaha ini sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan kita dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Kepala Negara mengharapkan agar lokakarya ini dapat memberikan bahan-bahan yang lebih lengkap untuk pembuatan suatu kebijaksanaan yang lebih mendasar dan menyeluruh mengenai masalah perluasan dan pemerataan kesempatan kerja dalam rangka pemerataan pembagian pendapatan.

Rabu, 14 November  1979
Di London pagi ini Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Inggris, Margareth Thatcher, di Downing Street 10. Dalam pertemuan itu Presiden didampingi oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja dan Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Widjojo Nitisastro. Selain masalah bilateral, dalam pertemuan tersebut telah pulah dibahas sejumlah masalah-masalah internasional, termasuk Asia Tenggara dan soal Kamboja. Menyangkut masalah bilateral, Presiden Soeharto dan PM Thatcher sepakat bahwa perdagangan dan kerjasama antara kedua negara perlu ditingkatkan.

Presiden dan Ibu Soeharto malam ini menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Walikota Peter Gatsden dan warga kota London bertempat di Guildhall. Menyambut pidato Walikota antara lain Kepala Negara menguraikan secara ringkas tentang perkembangan politik dan pembangunan di Indonesia sejak kemerdekaan, serta kerjasama ASEAN. Berbicara mengenai pembangunan Indonesia, Presiden telah menjelaskan tentang pandangan bangsa Indonesia mengenai pembangunan. Pada kesempatan ini Presiden menawarkan kesempatan kepada masyarakat Inggris untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan secara besar-besaran oleh bangsa Indonesia. Dikatakan oleh Presiden bahwa bagi mereka yang ingin mengadakan usaha bersama-sama bangsa Indonesia, maka lebih dari sekedar keuntungan ekonomi yang menunggu di Indonesia, mereka juga akan menikmati kepuasan rohani. Hal ini karena, demikian Presiden, mereka akan menyertai suatu bangsa yang sedang berjuang untuk mencapai kehidupan hari esok yang lebih baik.

Jum’at 14 November  1980
 
Presiden Soeharto di Bina Graha hari ini menerima pimpinan DPA. Sesuai pertemuan tersebut Wakil Ketua DPA Prof. Sunawar Sukowati mengatakan bahwa DPA menilai keadaan politik di Indonesia secara makro adalah stabil. Kepada Presiden, dalam pertemuan tersebut DPA menyampaikan pertimbangan-pertimbangan dalam usaha mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam pidato kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus 1980 sebagai arah pemantapan stabilitas nasional, bangsa dan negara, terutama dinilai dari kemelut internasional yang terjadi dewasa ini.

Senin, 14 November  1983

Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini berangkat menuju Manado, dalam rangka pembukaan Kongres ke-17 PWI, serta peresmian bendungan irigasi Toraut, dan empat buah jembatan. Dalam amanatnya ketika membuka Kongres ke-17 PWI, Kepala Negara mengatakan bahwa pers kita telah makin memantapkan diri dengan mengembangkan kebebasan yang bertanggungjawab. Lebih jauh dikatakannya bahwa kebebasan yang bertanggungjawab ini perlu kita kembangkan dari kepribadian dan budaya masyarakat kita sendiri. Keseimbangan anatara kebebasan dan tanggungjawab itu perlu disadari sedalam-dalamnya oleh pers nasional kita dalam pengabdiannya kepada bangsa yang sedang membangun ini.

Menurut Kepala Negara, jika kebebasan dan tanggungjawab itu tidak berkembang secara seimbang, maka yang akan menjadi korban adalah masyarakat, sebab masyarakat akan mengalami kekusutan pikiran. Dalam hubungan ini Kepala Negara mengingatkan bahwa jika hal itu terjadi, maka pers telah gagal dalam melaksanakan fungsinya yang utama, yaitu menggelorakan semangat perjuangan bangsa, memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, mempertebal tanggungjawab dan disiplin sosial, ikut meningkatkan kecerdasan bangsa, dan menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan.

Rabu, 14 November  1984
 
Mulai pukul 10.00 pagi sampai pukul 12.30 siang ini, Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan empat mata dengan Presiden Hongaria Pal Losonczi di Ruang Jepara Istana Merdeka. Dalam pembicaraan yang berlangsung dalam suasana persahabatan dan pengertian, kedua presiden bertukar pikiran yang mencakup liputan yang sangat luas, baik bilateral, regional maupun internasional. Hal-hal yang dibicarakan mencakup masalah politik, ekonomi, dan keamanan dunia.

Pukul 20.00 malam ini, bertempat di Istana Merdeka, Presiden dan Ibu Soeharto menyelenggarakan jamuan santap malam kenegaraan untuk menghormati kunjungan Ketua Dewan Kepresidenan Hongaria dan Nyonya Pal Losonczi di Indonesia. Selesai santap malam, acara dilanjutkan dengan malam kesenian yang baru berakhir pada tengah malam. Diantara para pejabat Indonesia yang hadir dalam acara tersebut tampak Wakil Presiden dan Ibu Umar Wirahadikusumah.

Dalam pidatonya, Presiden Soeharto antara lain mengatakan bahwa kedua bangsa mempunyai latar belakang politik dan sistem sosial yang berbeda, namun persahabatan dan saling pengertian terus berkembang bertambah baik. Menurut Presiden, hubungan yang bersahabat ini disebabkan karena kedua negara mempunyai prinsip-prinsip yang sama dalam mengembangkan hubungan antar negara, yaitu: saling menghormati kedaulatan masing-masing, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing dan kerjasama yang memberi manfaat serta keuntungan timbal balik. Diharapkan oleh Presiden bahwa hubungan seperti itu dapat terus diperkukuh untuk menjawab situasi dunia dewasa ini yang masih penuh dengan berbagai ketegangan.

Sementara itu dalam pidato balasannya, Presiden Hongaria menyampaikan penghargaan terhadap politik bebas-aktif dan non-blok dan menghargai setinggi-tingginya usaha pembangunan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dikatakannya bahwa sekalipun terdapat perbedaan-perbedaan antara Indonesia dan Hongaria dalam sistem dan ideologi, namun hal ini tidak menjadi halangan bagi kedua negara untuk mengembangkan hubungan bilateral serta mencari titik-titik pertemuan dalam menilai masalah-masalah internasional.

Kamis, 14 November  1985

Di Roma hari ini Presiden Soeharto menghadiri upacara peringatan 40 tahun FAO. Presiden menghadiri acara ini atas undangan Direktur Jenderal FAO, Dr Eduard Saoma, untuk mewakili negara-negara yang sedang berkembang. Yang diundang sebagai wakil negara maju adalah Presiden Prancis, Francis Mitterrand. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto menyerahkan 100.000 ton padi sumbangan para petani Indonesia untuk disampaikan oleh Direktur Jenderal FAO kepada korban kelaparan di Afrika.

Dalam pidatonya, Presiden Soeharto mengatakan bahwa jika pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan kerja raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan: mulai dari keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga-lembaga politik dalam negara yang demokratis, alokasi anggaran yang konsekuen, pembangunan bendungan-bendungan besar sampai jaringan irigasi tersier, pembangunan pabrik-pabrik pupuk dan industri lain yang menunjang pembangunan pertanian, kerja tekun dari pekerja ilmiah di lembaga-lembaga penelitian yang menghasilkan bibit unggul, bekerjanya aparatur pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah yang menangani pembangunan pertanian. Dan yang paling penting dan menentukan ialah: kerja keras, cucuran keringat, semangat dan kegairahan berjuta-juta petani Indonesia sendiri. Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa peranan wanita sangat besar, baik dalam usahan intensifikasi pertanian maupun dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga pada umumnya dengan adanya PKK di setiap desa.

Selanjutnya dikemukakan oleh Presiden bahwa kenaikan produksi pangan tidak akan banyak artinya jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkiendali. Karena itu Indonesia melancarkan program keluarga berencana secara nasional, yang juga dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Masalah lain yang perlu ditangani adalah pengamanan sumber daya alam, termasuk hutan-hutan tropis. Kerusakan sumber daya alam terutama hutan dan daerah-daerah aliran sungai, bukan saja dicegah agar tidak lebih parah, melainkan juga diusahakan untuk dikembalikan fungsinya dan dilestarikan.

Pada bagian lain pidatonya, Kepala Negara menyarankan agar bantuan pangan dari negara-negara maju, hendaknya tidak membuat negara-negara yang sedang membangun selamanya tergantung pada uluran tangan negara-negara maju. Bantuan pangan harus merupakan sarana agar negara penerima bantuan, secara bertahap, mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan mereka. Pada dasarnya bantuan itu perlu diletakkan dalam kerangka pemikiran yang lebih mendasar, ialah membantu negara-negara yang sedang membangun agar dapat meningkatkan kemampuannya dan akhirnya mampu berdiri dengan kemampuan sendiri.

Dalam pada itu disamping bantuan pangan, maka dalam rangka memberikan kesempatan untuk bertumbuh bagi negara-negara berkembang, Presiden menekankan secara khusus mengenai pentingnya kelancaran ekspor komoditi pertanian dari negara-negara yang sedang membangun ke negara-negara industri maju. Dikatakannya, bagi negara-negara yang sedang membangun, ekspor pertanian bukanlah semata-mata masalah peningkatan devisa yang diperlukan untuk menggerakkan pembangunan selanjutnya. Lebih luas dari itu, disana terletak kekuatan untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan petani.

Pada akhirnya, Presiden menyerukan kepada negara-negara maju agar mengembangkan kebijaksanaan perdagangan internasional yang mendorong perkembangan negara-negara yang sedang membangun. Dikatakannya bahwa yang diperlukan tidak lain adalah kewajaran. Dalam rangka ini pelaksanaan dari persetujuan yang telah dicapai mengenai dana bersama dan program komoditi terpadu perlu segera digalakkan. Disamping itu langkah-langkah yang proteksionistis yang diambil oleh negara-negara maju sangat tidak membantu dan bahkan sangat merugikan negara-negara yang sedang membangun. Demikian antara lain yang dikemukakan oleh Presiden Soeharto.

Direktur Jenderal FAO, Dr Edward Saoma, memberikan penghormatan khusus kepada Presiden Soeharto atas prestasi yang dicapai Indonesia. Menurutnya, Presiden Soeharto secara pribadi berjasa dalam menyusun kebijaksanaan, sehingga Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Penghargaan ini dikemukakan Direktur Jenderal FAO setelah ia mempelajari pidato yang disampaikan oleh Presiden pada konferensi FAO ke-23 di Roma pagi ini.

Sore ini Presiden Soeharto melakukan pembicaraan dengan Presiden Prancis, Mitterrand. Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Direktur Jenderal FAO di Roma itu, kedua presiden telah membicarakan masalah-masalah bilateral, regional, dan internasional. Dalam bidang ekonomi internasional, umpamanya, telah disinggung masalah pelaksanaan persetujuan global dalam rangka dialog Utara-Selatan. Masalah regional yang dibahas adalah persoalan Afghanistan dan Kamboja.

Menyangkut hubungan bilateral, Presiden Soeharto telah mengemukakan harapannya agar Prancis meningkatkan bantuan lunaknya dalam pembiayaan proyek-proyek besar yang ditangani Prancis di Indonesia pada masa yang akan datang. Hal ini diajukan Presiden Soeharto mengingat bahwa selama ini bantuan Prancis kepada Indonesia berupa campuran dari kredit ekspor dan bantuan lunak. Menanggapi harapan tersebut, Presiden Mitterrand menyatakan akan mempelajarinya.

Dalam pertemuan itu Presiden juga mengulangi undangannya kepada Presiden Mitterrand untuk mengunjungi Indonesia. Sebagaimana diketahui, Presiden Soeharto telah melakukan kunjungan kenegaraan ke Prancis pada tahun 1972.

Rabu, 14 November  1990

Hari ini Presiden dan Ibu Soeharto memulai kunjungan kenegaraan di RRC. Setiba di Beijing, Kepala Negara disambut secara resmi oleh Presiden Yang Shangkun dalam suatu upacara kenegaraan yang berlangsung di Balai Rakyat. Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan kedua negara, yang diiringi dengan dentuman meriam 12 kali, Presiden Soeharto memeriksa barisan kehormatan. Kemudian Presiden Yang Shangkun mengantarkan Presiden Soeharto ke Wisma Negara. Untuk menghormat kunjungan Presiden dan Ibu Soeharto, malam ini Presiden Yang Shangkun menyelenggarakan jamuan makan kenegaraan di Gedung Kongres Rakyat.

Sabtu, 14 November  1992

Bertempat di Istana Negara, pada pukul 10.00 pagi ini Presiden Soeharto melantik empat Duta Besar Keliling serta seorang Penasihat Senior Menteri Luar Negeri. Mereka semua diberi tugas membantu Presiden selaku Ketua Gerakan Non-Blok (GNB). Keempat Dubes keliling itu adalah Alamsyah Ratu Perwiranegara yang bertugas untuk kawasan Asia dan Timur Tengah, Sayidiman Suryohadiprodjo untuk kawasan Afrika, Achmad Tahir untuk kawasan Eropah, dan Hasnan Habib untuk wilayah Amerika. Sementara itu, Nana Sutrisna dilantik sebagai Penasihat Senior Menteri Luar Negeri dengan tugas mengkoordinasi pelaksanaan segala kebijaksanaan Presiden selaku Ketua Gerakan Non-Blok selama tiga tahun mendatang.
               

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Oval Andrianto