Kamis, 31 Agustus 1967
Menutam bidang
Hamkam Jenderal Soeharta dalam pesannya pada pembukaan pendidikan Pawamil ABRI
mengatakan bahwa ABRI sebagai alat kekuasaan negara mempunyai tugas pokok untuk
mengawal, mengamalkan dan menyelamatkan revolusi beserta tujuan-tujuannya.
Tugas pokok itu, menurut Jenderal Soeharto dicapai dengan menyusun suatu sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) yang berintikan kekuatan ABRI
dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam membela negara.
Sabtu, 31
Agustus 1968
Hari ini adalah
hari kedua dan terakhir dari kunjungan kerja Presiden Soeharto di Provinsi
Aceh. Pada kesempatan ini, Presiden Soeharto telah meninjau Pelabuhan Olele,
Banda Aceh. Pelabuhan alam ini tampaknya sudah berada dalam situasi yang
memprihatinkan dan memerlukan perhatian yang besar. Dalam kunjungan itu,
Presiden menaruh perhatian yang dalam pada usaha-usah rehabilitasi yang sedang
dilakukan dalam pelabuhan tersebut. Selain pelabuhan, Presiden meninjau proyek
pertenakan di Sibreh, dimana ia telah memberikan hadiah sebesar Rp. 22.500,-
untuk pemilik tiga ekor sapi terbaik di antara 25 ekor yang dipamerkan. Pada
kesempatan itu Presiden Soeharto menyerukan agar kaum tani bergerak di dalam
bermacam-macam bidang usaha, seperti peternakan, pertanian, perkebunan; barulah
dengan demikian para petani akan meningkatkan kehidupan ekonomi mereka,
demikian Presiden Soeharto.
Dalam kunjungan
di Daerah istimewah Aceh ini, Presiden Soeharto telah pula bertemu muka dengan
pejabat-pejabat pemerintah di daerah, tokoh-tokoh partai politik dan organisasi
massa. Pada kesempatan itu Presiden menegaskan bahwa penghancuran sisa-sisa
G-30-S/PKI adalahkeharusan yang mutlak demi mengamakan Pancasila dan negara.
Dalam hubungan ini Presiden mengingatkan bahwa kendatipun masih ada bahaya PKI
namun kita tidak perlu gelisah, dan sebaiknya jangan pula lalai mentang-mentang
ada ABRI yang dengan giat menumpas sisa-sisa PKI itu.
Senin, 31
Agustus 1970
Presiden
Soeharto menangguhkan rencana kunjungan kenegaraanya ke Negeri Belanda dan
Jerman Barat selama 1 x 24 jam, Penangguhan ini dilakukan sehubungan dengan
kerusuhan yang terjadi di negeri kincir angin itu menjelang keberangkatan
Presiden dan Ibu Soeharto. Menurut rencana semula Presiden beserta rombongan
hari ini akan bertolak ke Negeri Belanda.
Selasa, 31
Agustus 1971
Presiden
Soeharto jam 09.00 malam ini meresmikan Festival Seni Ramayana Internasional
yang pertama di Pandaan, Malang, Jawa Timur, dengan tiga kali pukulan gong di
pentas Chandara Wilwatika. setelah itu, peserta-peserta dari Birma, India,
Khmer, Malaysia, Muangthai, serta Indonesia mempertunjukkan petikan dari
ceritera-ceritera Ramayana dengan versi masing-masing.
Kamis, 31
Agustus 1972
Presiden
Soeharto mengharapkan agar penanaman modal asing di Indonesia dapat mendorong
berkembangnya kemampuan usahawan dalam negeri. Usahawan dalam negeri pada
saatnya nanti harus menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi nasional. Demikian
dikatakan Presiden dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh ketua
Bappenas Widjojo Nitisastro didepan 75 pengusaha asingyang tergabung dalam Business Internasional Indonesia di
Istana Negara.
Sabtu, 31
Agustus 1974
Presiden
Soeharto telah menerima Bintang Kehormatan Tertinggi Republik Singapura dari
Presiden Singapura, Benjamin Seares. Kepala Negara Indonesia telah pula
menganuhgerahkan Bintang Kehormatan Tertinggi Republik Indonesia, Adipura,
kepada Presiden Seares, dan Bintang Kehormatan Adipradana Kepada Perdana
Menteri Singapura, Lee Kuan Yew.
Hari ini
Presiden dan Ibu Soeharto mengakhiri kunjungan kenegaraan di Singapura. Tetapi
pukul 11.30, pesawat keperesidenan mendarat di Halim Perdanakusuma.
Rabu, 31 Agustus
1977
Dalam
sambutannya pada peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Istiqlal malam ini,
Presiden Soeharto mengatakan bahwa ada dua peristiwa besar dan bersejarah dalam
bulan suci Ramadhan kali ini, yaitu hari Proklamasi Kemerdekaan dan Hari
Nuzulul Qur’an. Yang pertama merupakan modl pembersihan diri dari belenggu
penjajahan, sedangkan yang kedua, bagi umat islam, merupakan momen pembebasan
diri dari belenggu kejahilan. Presiden menganjurkan agar hidup kita sedar-hana
dan menjauhkan diri dari hidup bermewah-mewahan. Adalah sangat terpuji apabila
para hartawan dan orng-orang kaya memerangi nafsu bermwah-mewah dan mengalihkannya
ke perlombaan menghidupkan usaha-usaha di bidang sosial. Hal ini kita
laksanakan dalam rangka usaha besar dalam membangun massyarakat sosialistis
religius, yaitu masyarakat Pancasila.
Kamis,
31 Agustus 1978
Presiden
Soeharto hari ini menunjuk Menko Polkam, Jenderal Panggabean, untuk mewakilinya
dalam penobatan Paus yang baru di Vatikan, Roma, pada tanggal 3 November yang
akan datang. Demikian diputuskan oleh Presiden dalam pertemuannya dengan Menko
Polkam siang ini di Cendana.
Dikemukakan
oleh Jenderal Panggabean bahwa dalam pertemuan tersebut juga dibahas beberapa
masalah lainnya. Diantaranya adalah soal penantaran P4 bagi pegawai negeri,
sesuai dengan ketetapan MPR dalam siding umum yang lalu. Menurut Panggabean,
saat ini Pemerintah sedang melakukan persiapan-persiapan untuk pelaksanaan
penataran tersebut. Masalah lain yang dibicarakan adalah menyangkut usaha-usaha
konsolidasi Golkar.
Senin,
31 Agustus 1981
Pengurus
Besar Pepabri jam 09.00 pagi ini mengahadap Presiden Soeharto di Bina Graha.
Para pengurus Pepabri yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah HI
Widyapranata, R Sukardi, G Wargiman, R Moedjoko Koesoemodirdjo, RT Hamzah, GPH
Djatikusumo, Prof. dr. Satrio, H Mansyur, dan R Memet Tanumidjaja. Dalam
pertemuan itu mereka mengharapkan kesediaan Presiden Soeharto untuk docalonkan
sebagai Presiden RI pada tahun 1983 mendatang.
Selasa,
31 Agustus 1982
Presiden
Soeharto pagi in di Bina Graha menerima Team Penyempurnaan Puku Pendidikan
Moral Pancasila yang tersediri dari Sekretaris Kabinet, Moerdiono, selaku
Ketua, dengan anggota-anggota Dardji Darmodiharjo, Anto Timur Djaelani,
Djamaludin Tambun, dan Padmo Wahyono. Dalam pertemuan itu Presiden menyetujui
penyempurnaan buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dilakukan oleh team
antara departemen itu. Sehubungan dengan itu, Kepala Negara menginsteruksikan
Departemen P dan K untuk mencetak buku PMP yang sudah disempurnakan.
Selanjutnya Presiden menyatakan bahwa PMP sangat penting, karena itu perlu
diajarkan kepada setiap anak didik. Namun diingatkan pula bahwa Pancasila itu
bukan agama dan buku PMP bukanlah buku pendidikan agama.
Rabu,
31 Agustus 1983
Jam
10.00 pagi ini, Presiden Soeharto melarik lima orang Duta Besar baru Indonesia
Dalam suatu upacara di Istana Negara. Mereka yang dilantik tersebut adalah Duta
Besar Drs Martono Kadri untuk Kuwait, Duta Besar Bambang S Kusumonegoro untuk
Laos, Duta Besar Dr Hasjim Djalal untuk Kanada, Duta Besar Letjen. (Purn.)
Wiyogo Atmodarminto untuk Jepang, dan Duta Besar Ilen Surianegara untuk
Aljazair dan Guinea.
Membekali
para duta besar baru mengenai tugas mereka, dalam amanatnya Kepala Negara
mengatakan bahwa pokok usaha kita, di stu pihak, adalah mengurangi sejauh
mungkin dampak negative yang akan menghambat jalannya pembangunan nasional kita
itu. Dalam kerangka yang lebih luas, kita haris berusaha untunk mengatasi
akibat-akibat buruk dari berbagai krisis dunia, dan bersamaan dengan itu ikut
mencari jalan pemecahan yang lebih mendasar terhadap beraneka ragam ketimpangan
dunia yang menjadi sumber pokok kerisis-kerisis dunia.
Senin,
31 Agustus 1987
Pagi
ini di Istana Merdeka, Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Dana PBB
untuk Kependudukan (UNFPA) berupa “Jam Kependudukan”. Direktur Program UNFPA
yang berkependudukan di New York, Joseph van Arendonk menyerahkan penghargaan
tersebut sebagai rasa terimakasih atas partisipasi Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Soeharto dalam peringatan kelahiran bayi kelima miliar
pada tanggal 11 Juli 1987. Selain itu penghargaan tersebut diberikan juga atas
dasar partisipasi Presiden Soeharto dalam acara film televise internasional
yang berjudul “The day of the Five Bilions”
Empat
belas duta besar dilantik oleh Presiden Soeharto dalam suatu upacara pagi ini
di Istana Negara. Keempat belas duta besar itu adalah Mayjen. (Purn) Nasrun
Syahrun untuk Turki, Marsda, Rusman untuk Austeralia, Drs KH. Pudjiwinarto
untuk Tunisia, A Kobir Sasradipoera MA untuk Bulgaria, HR Enap Suratman untuk
Cekoslowakia, Rony H Kurniadi untuk Vatikan, Letjen (Purn) Yogi Supardi untuk
Jepang, Drs Suwarno Danusutejo untuk Brazil merangkap Per, Bolivia, dan
Columbia, Teuku Mochatar Thajeb untuk Ethiopia, Drs Yudo Sumbono untuk
Venezuela, merangkap Trinidad dan Tobago, David Napitupulu untuk Mexico dan
Kuba, Sanadji untuk Korea Utara, Ambiar Tamala untuk Polandia, dan Drs Rachadi
Iskandar untuk Italia merangkap Malta.
Dalam
amanatnya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa untuk mampu melanjutkan
pembangunan, kita harus berasil dalam mengambil langkah-langkah yang telah kita
tetapkan, seperti peningkatan ekspor non-migas, peningkatan arus wisatawan yang
berkunjung ke Indonesia, dan menarik penanaman modal. Oleh sebab itu Presiden
Soeharto memintya agar para duta besar dalam melaksanakan tugasnya juga harus
aktif berusaha mengembangkan kerjasama ekonomi dengan Negara-negara tempat
mereka bertugas, khususnya dalam menarik modal, meningkatkan ekspor non-migas,
dan meningkatkan arus wisatawan.
Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayvan Lesilolo