“Seketika itu saya berpikir, ‘bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB, untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu? Maka muncullah keputusan dalam pikiran saya : Kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan si Belanda itu’.”
Pak Harto tentang Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dalam Otobiografi “Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, 1989.
SERANGAN Oemoem (SO) 1 Maret 1949 dilancarkan pasukan TNI dengan dukungan penuh rakyat Yogyakarta dan mendapat restu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dipimpin Komandan Wehrkreise (Wilayah pertempuran) III Letkol Soeharto, serangan bersifat pendadakan yang dimulai pukul 06.00 pagi itu berhasil menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam. Para pejuang baru keluar dari Kota Yogyakarta dan meninggalkan basis pasukan Belanda yang porak poranda pada pukul 13.00.
Sebagai Komandan Wehrkreise III, selain mengkonsolidasikan kekuatan perjuangan yang tersebar di penjuru Kota Yogyakarta dan sekitarnya, Letkol Soeharto juga diberi kekuasaan untuk mengambil inisiatif sesuai keadaan dan kemampuan masing-masing. Tercatat empat kali pasukannya menyerang pos-pos militer Belanda kala malam hari. Tapi, hasilnya kurang signiikan dalam strategi perjuangan menyeluruh bangsa Indonesia, sehinga perlu strategi baru yang lebih berdampak psikologis maupun politis.
Letkol Soeharto yang dijuluki Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai “Bunga Pertempuran” lalu menggelar serangan lebih besar dan lebih signiikan di siang hari dengan melibatkan ribuan pejuang dan rakyat bertanda janur kuning terikat di lengan. Inilah jawaban atas pernyataan dusta Belanda dalam perdebatan di PBB yang menyebutkan agresi militer kedua mereka yang disebut Aksi Polisionil bersandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) pada 19 Desember 1948 berhasil menguasai ibukota RI di Yogyakarta. Para pemimpin RI ditawan, lalu diasingkan keluar Yogyakarta. Belanda mengklaim, Republik Indonesia yang baru berdiri seumur jagung telah tamat usianya.
SO 1 Maret 1949 adalah strategi public relations yang amat efektif. Moral perjuangan rakyat dan tentara Indonesia bangkit lagi. Dunia internasional kembali menaruh perhatian terhadap perjuangan Indonesia. Dan akhirnya memaksa Belanda untuk datang ke meja perundingan. Secara marathon, perjanjian perdamaian ditandatangani, mulai Perjanjian Roem-Roiyen pada Mei 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) Agustus 1949, dan berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949.***
Penulis : Mahfudi
Penulis : Mahfudi