PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 6 Oktober 1966 - 6 Oktober 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Kamis, 6 Oktober 1966

Gabungan Organisasi Buruh Syarikat Islam Indonesia (GABSII) Sulawesi Selatan mendesak Jenderal Soeharto untuk melaksanakan hukuman mati bagi tokoh-tokoh G-30-S/PKI dan mempercepat realisasipemulangan orang-orang Cina ke RRC.

Jumat, 6 Oktober 1967
Pejabat Presiden hari ini mengadakan briefing dengan para Duta Besar RI untuk negara-negara di Asia, dan Australia serta Selandia Baru. Dalam briefing tersebut Jenderal Soeharto mengemukakan panjang lebar tentang pengertian dan hakekat orde baru.  Pada kesempatan itu pejabat presiden menjelaskan pula tentang korensi yang dilakukan orde baru terhadap penyimpangan-penyimpangan orde lama. Koreksi tersebut meliputi bidang: (1) ideologis, memurnikan pelaksanaan pancasila dengan menghilangkan pengaruh negatif faham lain, khususnya komunisme. (2)  ketatanegaraan, yakni melaksanakan kembali asas dan sendi sistem konstitusional, negara hukum dan demokrasi. (3) politik, dengan meninggalkan kompartementasi ala nasakom dalam negara, yang telah membawa peruncingan-peruncingan ideologis. Partai-partai politik hendaknya berorientasi pada program, dan bukan pada ideologis. (4) ekonomi, dengan bekerja lebih tekun dan berencana, kepentingan ekonomi disesuaikan dengan kepentingan politik. (5) mental, dengan mengutamakan mental pengapdian kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.                                                                                                   
Pejabat Presiden juga menjelaskan tentang pokok-pokok pegangan orde baru, yaitu (1) tujuan jangka panjang, yang meliputi:- kedalam, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan  Pancasila dalam wadah negara kesatuan RI;  keluar, ikut mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (2) tujuan jangka pendek, yaitu terwujudnya tugas dan program Kabinet Ampira yang mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu terselenggaranya pemilihan umum dan tersedianya bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat.              
Selasa, 6 Oktober 1970

Pagi ini Presiden Soerhato secara resmi membuka Kongres Islam Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung. Pada kesempatan ini Presiden antara antara lain mengulang kembali dukungan bangsa Indonesia terhadap bangsa Arab yang sedang berjuang melawan agresi Israel. Presiden juga mengungkapkan kecemasannya mengenai belum adanya kebulatan pendapat dan tindakan dari bangsa Arab dalam perjuangan menentang Israel.
Rabu, 6 Oktober 1971

Presiden Soerharto membahas masalah  pegawai negeri dengan Menteri Negara Penyempurnaan Aparatur Negara Emil Salim  di Istana Merdeka siang ini. Pembahasan berkisar pada penyempurnaan aparatur  negara yang  konsentrasinya  dalam jangka pendek yang diletakkan dan di tujukan  pada perencanaan personalia. Menurut Emil Salim, jumlah pegawai negeri hingga  saat ini  adalah 541.873 orang:  dari jumlah itu, pegawai golongan IV (pegawai tinggi) hanya 6.602 orang (1%), dan golongan III 52.337 (9%), golongan II 211.506 (39%), dan golongan I 272.428 orang (50%).
Sepanjang sore dan malam ini Presiden Soeharto  mengadakan pertemuan konsultasi dengan pimpinan partai-partai  politik dan Holkar  di Istana Merdeka. Pada  pertemuan tersebut  Presiden telah menjelaskan  hal-hal penting,  seperti penyederhanaan kepartaian  dan kelanjutan hasil-hasil pemilihan umum, khususny dalam  menghadapi sidang-sidang  DPR dan MPR.  Dalam pertemuan ini pimpinan partai  politik dan Golkar  bagi dalam tiga kelompok.  

Pada giliran pertama,  jam 17.00-18.00, jendral Soeharto  menerima wakil-wakil PNI, IPKI, Partai Murba, Partai Katolik, dan Parkindo.  Partai-partai Islam,  yaitu NU,  Parmusi,PSII dan perti diterima  pada pukul 19.00-20.00, sementara pimpinan golkar bertemu dengan Presiden  pada jam 20.00-21.00.  kepada pimpinan organisasi  politik itu  pada pokoknya  Presiden menyampaikan  gagasannya tentang  penyederhanaan fraksi di DPR.  Menurut Presiden, 13 fraksi  yang ada sekarang  ini akan di sederhanakan  menjadi empat fraksi.  Keempat fraksi  itu adalah  fraksi-fraksi material-spiritual, spiritual-manterial, golkar, dan  ABRi, juga telah disinggung  oleh Presiden mengenai  fungsi pimpinan  MPR.  Mengenai masalah-masalah  ini Presiden  meminta pendapat  dari pimpinan  partai  politik dan golkar.
Jum'at, 6 Oktober 1972
Presiden Soeharto  mengatakan  bahwa negara  berkembang, termasuk Indonesia, mengakui adanya bantuan dari negara-negara maju berupa  pinjaman jangka  panjang dengan  bunga yang lunak.  Akan tetapi  bantuan itu kurang  bermanfaat bila  barang-barang dari  negara-negara berkembang tidak mendapat jaminan  pemasaran dari negara-negara maju. Oleh karena itu  ia mengharapkan  agar negara-negara  maju  memberikan perlindungan  atau jaminan bagi  pemasaran hasil  ekspor  negara-negara berkembang . Demikian antara lain  dikatakan Presiden Soeharto  ketika menerima  peserta konferensi Dewan Timah Internasional ke-6 di Istana Merdeka.

Senin, 6 Oktober 1975

Hari ini umat Islam di seluruh tanah air  merayakan Idul Fitri  yang ditandai dengan  shalat Ied.  Di Jakarta,  Presiden Soeharto  mengikuti shalat Ied di Masjid Istiqlal bersama-sama dengan  sebahagian masyarakat  ibukota.  Bertindak sebagai Imam ialah KHA Zaini Miftah, sedangkan khatib adalah menteri  agama Mukti Ali. Dalam rangka Idul Fitri , selama dua hari,  hari ini dan hari besok,  kepala negara akan mengadakan  open hause untuk bersilaturrahmi dengan masyarakat Jakarta.
Rabu, 6 Oktober 1976
Diantar oleh ketua DPR Idham Chalid, delegasi perlemen  Inggris pagi  ini mengadakan  kunjungan kehormatan  kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Diantara  masalah-masalah yang di bicarakan pada kesempatan itu  adalah menyakut  peningkatan bantuan Inggris  dalam bidang  pertanian dan industri. Kepada delegasi yang terdiri atas dua orang  dari Partai  Konservatif  dan dua orang dari partai buruh  itu Presiden telah  pula menyinggung soal berita-berita yang tersebar di luar negeri tentang tahanan  politik di Indonesia. Presiden mengatakan  bahwa di Indonesia tidak ada tahanan politik, yang ada hanyalah  orang-orang  yang melakukan  kejahatan  terhadap negara.
Kamis, 6 Oktober 1977
Presiden Soeharto hari ini menerima Kapolri Jendral (pol) Drs. Widodo Budidarmo di Bina Graha. Dalam  pertemuan itu, Kapolri telah melaporkan hasil kunjungannya menghadiri Konferensi Interpol di Stockholm, Swedia, pada bulan Agustus sampai september 1977 yang lalu. Dalam pertemuan itu pula,  Presiden menginstruksikan kepada Kapolri untuk segera  menagulangi masalah kriminalitas, khususnya  di daerah jakarta  yang pada  akhir-akhir  ini meningkat. Juga diminta  ia segera memperbaiki citra polri dalam masyarakat.

Menurut Kapolri pandangan masyarakat  terhadap polisi  sudah agak baik,  tetapi perlu ditingkatkan lagi lebih lanjut. Tindakan-tindakan kriminal  yang pada akhir-akhir  ini meningkatkan  disebabkan oleh masalah sosial  seperti pengaguran, putus sekolah, nafsu kebendaan dan sebagainya. Khususnya di jakarta  telah timbul berbagai  tindakan yang dapat digolongkan sebagai “mafia” yaitu orang-orang yang melakukan  pemerasan di hotel-hotel,  klub-klub malam dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini pihaknya telah mengambil tindakan,  antara lain dengan  melakukan  razia-razia. Hasilnya,  telah disitanya 329 pucuk senjata api di jakarta dan daerah-daerah lain.  

Sabtu, 6 Oktober 1979

Presiden Soeharto di Istana Merdeka hari ini melantik empat duta besar RI yang baru. Para duta besar itu adalah Imam Soepomo untuk Iran dan Oman, Sajid Basuki Sastrohartojo untuk Bangladesh, Joost Oliver Rotty untuk Bulgaria dan Anak Agung Gede Oke Djelantik untuk Argentina merangkap Uruguay dan Chili.

Dalam amanatnya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa pembangunan dunia yang lebih adil dan lebih maju akan sulit dapat dicapai melalui konfrontasi. Pengalaman dunia dalam dasawarsa terakhir menunjukan bahwa konfrontasi buksnlsh jalan keluar yang baik bagi penyelesaian berbagai masalah umat manusia. Bangsa-bangsa sekarang telah tiba pada tingkat hubungan yang demikian erat, sehingga saling membutuhkan dan nasibnya saling bergantungan.

Ditegaskan oleh Presiden bahwa yang penting adalah adanya kemauan semua pihak untuk berembuk bersama dan menemukan jalan keluar yang menuntungkan bagi semua pihak. Untuk ini semua negara harus bersedia mengembangkan saling mengerti, saling hormat menghormati, saling percaya, saling bantu membantu dan tidak mencampuri urusan dalam negeri pihak lain.

Senin, 6 Oktober 1980

Pada jam 10.00 pagi ini, bertempat di Istana Negara, Presiden Seharto membuka Kongres Gizi Asia yang ke-3. Kongres ini dihadiri oleh lebih kurang 440 peserta yang berasal baik dari negara-negara Asia maupun dari luar Asia. Dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa gizi perlu penanganan yang serba muka. Keberhasilan perbaikan gizi masyarakat tidak dapat hanya diandalkan pada pemerintah saja, melainkan juga memerlukan kesadaran masyarakat.

Selanjutnya Presiden menegaskan perlunya penemuan cara-cara yang lebih efektif untuk menangani masalah gizi masyarakat, bukan saja penanganan yang dilakukan bila keadaan sudah terlambat dan sangat parah. Dikemukakannya bahwa penanganan yang lebih utama adalah bagaimana mencegahnya dan mengatasinya agar tidak terjadi kurang gizi. Oleh karena itu Kepala Negara sungguh mengharapkan agar kongres ini dapat mendalami masalah ini dan menemukan cara-cara untuk pencegahan dan mengetahui tanda-tanda awal akan terjadinya bahaya lapar gizi di sesuatu daerah, sehingga dapat ditanggulangi dengan segera. Menyerahkan bantuan pemerintah bantuan pemerintah berupa 300 kendaraan jenis “Mini Car” kepada 150 KUD di berbagai daerah di Indonesia. Bantuan tersebut diterima oleh Menteri Muda Urusan Koperasi, Bustamil Arifin, yang kemudian meneruskan kepada pengurus-pengurus KUD yang bersangkutan. KUD yang menerima bantuan Presiden itu adalah KUD-KUD di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogjakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Hubungan persahabatan antara Indonesia dan Bangladesh semakin kuat sejak kunjungan Presiden Soeharto kesana. Demikian dikemukakan oleh Walikota Dakka, Abul Hasnat, setelah melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, pagi ini.

Selasa, 6 Oktober 1981

Presiden meminta kepada Tim P7 agar terus mengembangkan kelanjutan Penataran P4, karena sudah banyak menunjukan segi positifnya. Dimintanya agar pula Tim P7 terus mengamati perkembangan pelaksanaan P4 untuk lebh menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Hal ini di kemukakan Kepala Negara kepada Ketua Tim P7, dr. H Roeslan Abdul Gani, yang menemuinya di Cendana pagi ini. Roeslan Abdul Gani melaporkan tentang kelanjutan Penataran P4 baik dipusat maupun di daerah.
Sementara itu, ditempat yang sama Menteri Perindustria AR Suhud juga menghadap Presiden pagi ini. Ia datang untuk memberikan laporan mengenai perkembangan berbagai proyek industri. Yang dilaporkannya, antara lain, iala perletakkan batu pertama perluasan pabrik kertas Leces III dan IV yang berukuran internasional, beroperasinya Pabrik Pupuk Ikandar Muda di Aceh Utara, perkembangan pabrik baja di Cilegon, serta persiapan pembangunan Industri diesel.

Rabu, 6 Oktober 1982

Dengan menumpang pesawat DC-10 Garuda, Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini meninggalkan tanah air dalam rangka kunjungan kerja di Spanyol, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang selama 16 hari. Turut serta dalam perlawatan ini adalah tiga orang Menteri yaitu Menko Ekuin Widjojo Nitisastro, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja dan Menteri/Sekertaris Negara Sudharmono. Malam ini Presiden dan rombongan singgah di Jenewa, Swiss dan baru besok pagi waktu setempat melanjutkan perjalanan ke Madrid Ibukota Spanyol.

Kamis, 6 Oktober 1983

Pukul 10.00 pagi ini Presiden soeharto memimpin sidang kabinet terbatas bidang Ekuin yang berlangsung di Bina Graha. Sidang hari ini mendengarkan laporan  Menteri Perdagangan, Rachmat Saleh, mengenai perkembangan ekspor non-migas selama semester pertama tahun 1983. Menteri Rachmat Saleh antara lain melporkan bhwa ekspor non-migas Indonesia ke berbagai negara mengalami kenaikan, baik dalam tri wulan pertama maupun tri wulan kedua. 

Kemudian, selaku Menteri Keuangan a.i., Rachmat Saleh melaporkan bahwa jumlah uang yang beredar mencapai Rp7.881 miliar. Dilaporkannya pula bahwa indeks harga konsumen yang merupakan patokan bagi penentuan laju inflasi selama bulan september 1983 mengalami kenaikan 0,82%. Laju inflasi dalam priode Januari-September 1983 adalah 10,59%.

Sementara itu Menteri Pertanian Achmad Affandi, telah melaporkan tentang perkembangan pengadaan pangan di dalam negeri. Dikatakannya bahwa pengadaan beras untuk 1983 masih cukup aman, sekalipun terjadi musim kemarau yang cukup panjang.

Menanggapi laporan-laporan para menteri dalam sidang hari ini, Presiden memberikan petunjuk agar usaha-usaha untuk meningkatkan ekspor komoditi non-migas terus digalakkan. Dalam hubungan ini semua atase perdangan Indonesia dan perwakilan perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri diminta untuk memberikan informasi yang cukup mengenai komoditi non-migas yang sudah di ekspor ke negara tempat mereka bertugas. Mereka juga diharapkan memberikan informasi mengenai jenis komoditi lain yang masih dapat dimasukan ke negara tersebut. 

Kepala Negara juga memberikan perhatian terhadap tarif angkutan yang dinilai cukup tinggi sehingga dapat mengganggu usaha penggalakan ekspor non-migas Indonesia. Untuk itu Menteri Perhubungan diperintahkan untuk mengkaji kembali masalah tarif angkutan, disamping terus membina perusahaan-perusahaan angkutan. 

Sabtu, 6 Oktober 1984

Presiden Soeharto telah memutuskan bahwa pengembangan armada niaga dan industri galangan kapal nasional dilakukan secara terpadu oleh Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dalam hubungan ini Presiden antara lain telah menugaskan BPPT dan PT. PAL untuk membuat rancang-bangun kapal-kapal yang berukuran 1000, 2000 dan 3000 bobot mati, demikian dikatakan oleh Menteri Perindustrian Hartarto setelah mengahdap Presiden Soeharto di Cendana pagi ini.

Senin, 6 Oktober 1986

Pukul 10.50 pagi ini Presiden Soeharto menerima Direktur Utama PT. Jasa Marga, Ir. Yuwono Kolapaking di Bina Graha. Dalam pertemuan itu Presiden menginstruksikan agar PT. Jasa Marga segera merealisasikan kerjasamanya dengan pihak swasta, baik asing maupun domestik, untuk membangun jalan-jalan toll baru.

Namun dipesankan pula oleh Presiden agar dalam kegiatan pembangunan jalan ataupun jembatan Toll, perusahaan milik negara itu mengunakan bahan-bahan produksi dalam negeri sebanyak mungkin. Selain itu Kepala Negara mengharapkan agar disepanjang pinggiran jalan toll ditanami dengan tanaman atau penghijauan, sehingga memperindah pemandangan, sekaligus juga melindungi jalan dari ancaman erosi.

Kamis, 6 Oktober 1988

Hari ini Presiden Soeharto memimpin sidang kabinet terbatas bidang Ekuin yng dimulai pada jam 10.17 di Bina Graha. Dalam sidang hari ini anatara lain telah diputuskan untuk menaikkan harga dasar gabah, jagung, kedelai dan kacang hijau. Kenaikan yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1989 itu dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan memantappkan swasembada pangan. Sidang juga memutuskan untuk menaikan harga pupuk orea dari Rp135,- menjadi Rp165,- perkilo gram, TSP dari Rp135,- menjadi Rp170,-  perkilogram. Sementara itu subsidi Pestisida dikurangi dari 55% pada tahun 1988/1989 menjadi 40% untuk tahun 1989/1990.

Diungkapkan didalam sidang, bahwa jumlah uang yang beredar dalam bulan Agustus mencapai Rp13,2 triliun. Juga dilaporkan bahwa inflasi selama bulan september adalah sebesar 0,05% sedangkan inflasi tahun anggaran 3,51% dan inflasi tahun takwim sebesar 4,43%. Sebagai akhir sidang Presiden Soeharto mengajak hadirin berdiri sejenak mengheningkan cipta dan berdoa menurut agamanya masing-masing agar arwah Sri Sultan Hamengkubuwono XII diterima disisiNya.

Jumat, 6 Oktober 1989

Pukul 14.45 siang ini, Perdana Menteri Singapura dan Nyonya Lee Kuan Yew tiba di Jakarta dalam rangka kunjungan kerja selama dua hari. Pasangan pemimpin Singapura itu disambut Presiden dan Ibu Soeharto di Istana Merdeka.

Sore ini Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan PM Lee Kuan Yew di Istana Merdeka selama satu jam lebih. Dalam pembicaran tersebut PM Lee antara lain telah  menjelaskan kepada Presiden masalah fasilitas perbaikan dan perawatan kapal yang ditawarkan Singapura kepada  AS.

Selain itu, pembicaraan antara kedua pemimpin juga menyinggung masalah Kamboja, Pengembangan Pulau Batam, dan Perkembangan situasi Internasional dewasa ini. Menyangkut pengembangan Batam, Presiden Soeharto menjelaskan kepada PM Lee bahwa Indonesia akan membentuk sebuah komite uang akan berhubungn dengan Singapura untuk membuat Batam sama menariknya dengan Johor Baru(Malaysia)

Dalam hal ini Batam dipertimbangkan menjadi tempat penyaluran Gas yang berasal dari Natuna, selain dapat berfungsi sebagai sumber air dan tenaga listrik untuk Singapura.

Minggu, 6 Oktober 1991

Hari ini Presiden menyatakan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga besar ABRI, TNI-AU dan segenap keluarga yang mengalami musibah dalam jatuhnya pesawat Hercules TNI-AU di Condet, Jakarta Timur, kemarin. Presiden mendoakan semoga arwah mereka mendapat tempat disisi Tuhan.

Pesawat Hercules A-1324 TNI-AU yang membawa 120 pasukan serta 12 awak pesawat, pada pukul 14.48 jatuh dalam penerbangan dari Bandung. Anggota-anggota Pasukan Khusus TNI-AU yang diangkutnya baru saja selesai mengikuti upacara hari ulang tahun ABRI di Senayan, Jakarta.

Selasa, 6 Oktober 1992

Presiden Soeharto, dalam kunjungan di Brunei Darusalam, hari ini di Wisma Negara J Rudong, Bandar Seri Begawan menerima Presiden Filipina, Fidel Ramos. Dalam pertemuan itu, Kepala Negara mengharapkan agar masalah-masalah yang mungkin timbul akibat kehadiran warga Indonesia yang mencari nafkah di filipina terutama di daerah perbatasan bisa diselesaikan sebaik-baiknya oleh kedua negara. Harapan Presiden Soeharto ini mendapat tanggapan yang baik dari Presiden Ramos

Dalam pertemuan itu kedua pemimpin juga membahas hasil-hasil KTT Non-Blok. Sehubungan dengan diterimanya filipina menjadi anggota Gerakan Non-Blok, Presiden Fidel Ramos menyampaikan terimakasinya kepada Presiden Soeharto, sbab atas dukungannya lah filipina berhasil menjadi salah satu anggota Gerakan Non-Blok.

Hari ini pula ditampat yang sama Presiden Soeharto menerima kunjungan PM Thailand Chuan Leekpai. Ia bertemu Presiden Soeharto untuk memperkenalkan diri karena ia baru saja terpilih sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam kesempatan itu Kepala Negara juga menyampaikan harapan agar Thailand dapat berperan lebih aktif dalan penyelesaian konflik Kamboja yang sedang mengalami kemacetan.

Perdana Menteri Thailand itu menyatakan bahwa pihaknya bersedia mengambil peran yang lebih aktif dalam proses peyelesaian konflik Kamboja. Kepala Presiden Soeharto ia meminta pengertian agar pertemuan ini dapat dianggap telah memenuhi keladziman yang berlaku diantara negara-negara anggota ASEAN untuk memperkenalkan diri setelah menjadi Kepala Pemerintahan yang baru di negaranya.

Sumber : Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1 - 6