Presiden Soeharto Rapat Umum Dengan 200.000 Rakyat Sumatera Utara[1]
MINGGU, 01 SEPTEMBER 1968, Sebelum
mengakhiri kunjungan dua hari di Aceh, pagi ini di Banda Aceh Presiden
Soeharto memberikan keterangan kepada wartawan tentang kesan-kesannya.
Menurut Jenderal Soeharto ia mempunyai kesan mendalam tentang keadaan
daerah Aceh dan rakyatnya. Rakyat Aceh, seperti juga rakyat di daerah
lain yang telah dikunjunginya, mempunyai tekad bulat untuk memperbaiki
daerahnya dan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebijaksanaan
yang telah digariskan pemerintah. namun Presiden menilai bahwa keadaan
prasaraan ekonomi di provinsi ini sangat terbengkalai sehingga perlu
mendapat perhatian. Dalam hubungan ini Presiden mengharapkan agar rakyat
Aceh dapat mengadakan penilaian yang wajar terhadap sebab-sebab
timbulnya keadaan yang tidak menguntungkan itu. Seusai konferensi pers,
Presiden Soeharto dan rombongan meninggalkan Banda Aceh menuju Medan.
Setiba di Medan pagi ini, Presiden
Soeharto disambut oleh lebih dari 200.000 rakyat Sumatera Utara dalam
rapat umum di Lapangan Merdeka. Dalam pidatonya Presiden Soeharto
menekankan betapa pentingnya bagi kita untuk memupuk terus kesadaran
berbangsa dan bernegara. Menyinggung soal pembangunan nasional, Presiden
Soeharto mengulangi apa yang diucapkannya di Pekanbaru, Padang, dan
Banda Aceh, bahwa untuk menyukseskan pembangunan maka terlebih dahulu
harus diciptakan stabilisasi. Presiden juga menekankan bahwa pembangunan
adalah sarana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bertempat di Sasana Bukit Barisan,
Medan, malam ini Presiden bertatap muka dengan tokoh-tokoh masyarakat
Sumatera Utara, yang terdiri atas pejabat sipil dan militer, partai
politik dan organisasi massa, serta lain-lainnya. Pada kesempatan itu
Presiden menyinggung beberapa masalah, baik yang bersifat politik maupun
ekonomi. Berbicara tentang masalah politik, Jenderal Soeharto
mengatakan bahwa fungsi DPR sangat penting dalam melaksanakan dan
menegakkan demokrasi. Juga dikatakan bahwa DPR harus berjuang untuk
kepentingan seluruh masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau
pribadi.
Tentang modal asing, Jenderal Soeharto
mengatakan bahwa rakyat tidak perlu merasa khawatir, sebab dengan
mengundang modal asing bukan berarti kita menjual negara, melainkan
untuk mengolah kekayaan alam. Menurut Presiden Soeharto, hal itu karena
Undang-Undang Penanaman Modal Asing telah menjamin kepentingan nasional.
Pada kesempatan itu Presiden juga menjelaskan tentang keterkaitan
antara pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Presiden menegaskan
bahwa tidak ada garis pemisah di antara keduanya. Dalam hubungan ini
Presiden mengatakan bahwa setiap pembangunan apakah itu dilakukan oleh
daerah atau oleh nasional adalam untuk kepentingan nasional. Jadi bila
daerah membangun, maka pembangunan itu juga berarti untuk kepentingan
nasional.
Sementara itu Presiden Soeharto juga
menyampaikan kesannya tentang kunjungannya di Aceh kepada pers Medan.
Menurut Presiden selama dua hari di Aceh ia telah mengadakan dialog
dengan pemerintah daerah dan rakyat Aceh, dan melihat dari dekat keadaan
di daerah itu. Dalam penilaian Presiden keadaan prasarana ekonomi di
Aceh sangat terbengkalai. Beliau berjanji untuk mengatasi masalah itu
dalam batas-batas kemampuan pemerintah.
Untuk itu pemerintah akan berusaha untuk
mempercepat proses rehabilitasi dan perbaikan keadaan. Namun secara
keseluruhan Presiden mempunyai kesan bahwa Aceh mempunyai hari depan
yang baik, terutama dengan kemungkinan pengembangan ekonomi yang paling
besar di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan dan usaha-usaha
perbaikan prasarana. (AFR).
[1]
Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23
Maret 1973″, hal 43-44. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden
RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT.
Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003.