PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Kecil : Akar Saya dari Desa

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Ingatan saya tentang perjalanan hidup ini bermula ketika saya berumur tiga tahun. Waktu itu saya sudah bersama mBah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang yang melahirkan. Nama panggilannya adalah mBah Kromo, adik kakek saya, mBah Kertoirono. Beliaulah yang menolong ibu saya, lbu Sukirah sewaktu melahirkan saya. Maka beliau pun bercerita bahwa saya dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tua saya yang sederhana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta.

Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu. Beliau yang memberi nama Soeharto  kepada saya. Saya adalah anak ketiga. Dari istri yang pertama beliau mempunyai dua anak. Sebagai duda, beliau menikah lagi dengan ibu saya. Tetapi hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai. Beberapa tahun kemudian lbu Sukirah menikah lagi dengan seseorang yang bernama Atmopawiro. Pernikahannya ini melahirkan tujuh orang anak. Sementara itu ayah saya pun menikah lagi dan mendapatkan empat anak lagi.

Tak terkira sebelumnya, bahwa pada suatu waktu di hari tua saya, saya mesti menjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis yang bukan-bukan di bulan Oktober 1974 di sebuah majalah. Saya menyuruh Dipo (G. Dwipayana) membantah tulisan itu, dan memuatkan bantahannya di dalam majalah dan surat kabar harian yang terbit di Jakarta.Tetapi selang sehari saya perintahkan supaya wartawan-wartawan berkumpul di Bina Graha, di kamar kerja saya. Saya ingin secara pribadi menjelaskan silsilah saya itu. Di depan wartawan luar dan dalam negeri saya beberkan, saya bukan seseorang dari keturunan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan wartawan wartawan itu. beberapa orang tua, saksi-saksi yang masih hidup yang mengetahui benar silsilah saya. 

Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun. Saya berterus terang, di dalam menghadapi kehidupan sewaktu kecil, saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain. Saya katakan, tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai silsilah saya itu mungkin bisa ditafsirkan yang tidak-tidak atau memberikan bahan yang mungkin tidak hanya merugikan saya pribadi, tetapi juga keluarga dan leluhur saya dan mungkin juga sampai kepada negara dan bangsa Indonesia. 

Dalam bahasa Jawa, ada pepatah “Sadumuk bathuk, sanyari bumi”. Sekalipun hanya di dumuk, tapi batuknya, berarti mengenai harga diri keluarga dan pribadinya, sehingga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu juga sanyari bumi. Sanyari, walaupun hanya kecil, sejari mengenai bumi, warisan, itu juga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan saya percaya bahwa setidak-tidaknya berita tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat dan membingungkan. Sebenarnya Presiden yang sekarang itu keturunan dari mana? Kalau itu sudah menimbulkan pembicaraan, timbul kemudian pro dan kontra.

Kalau timbul pro dan kontra, dengan sendirinya mereka saling mempertahankan pendapat masing-masing dan bisa terjadi perselisihan. Ini kesempatan yang baik untuk pihak yang melakukan subversi dalam melaksanakan gerpolnya, dan dapat meningkatkan gangguan stabilitas nasional. Padahal stabilitas nasional sangat kita butuhkan dalam melaksanakan pembangunan. Bahkan saya kira lebih dari itu. Kalau tulisan itu benar, itu menunjukkan bahwa seorang anak yang sudah berumur enam tahun oleh ibunya diserahkan dengan begitu saja kepada temannya di desa Kemusuk. Ini menggambarkan martabat seorang wanita yang tidak ada harganya. Timbul dengan sendirinya pertentangan antara lelaki dan wanita dalam urusan harga menghargai. Ini juga menggambarkan keadaan yang tidak baik. Mungkin bisa menimbulkan kesan lebih dari itu; kenapa begitu mudah, diserahkan dengan begitu saja istri dan anak yang berumur enam tahun; mungkin karena perkawinannya tidak sah.  Jadi, kalau tidak sah, berarti anak haram atau anak jadah. Apakah ini tidak akan merugikan nama bangsa dan negara ? 

Karena itu, melihat jangka jauh yang tidak hanya mengenai nama pribadi saya, leluhur saya, tetapi juga mengenai saya yang secara kebetulan memperoleh kepercayaan dari rakyat menjadi Presiden, tulisan semacam itu tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan dijadikan bahan dalam subversi dan gerpol. Karena itu, silsilah saya harus dijelaskan. Sekalipun terpaksa rahasia pribadi dibuka, demi kepentingan pengabdian saya kepada negara dan bangsa, maka saya ceritakan semuanya itu, dan saya sedikit pun juga tidak merasa menyesal menceritakannya. Sebagai orang yang beriman, syarat dari iman adalah percaya kepada Tuhan, percaya kepada malaikat-malaikatnya, kepada rasul, kepada kitab-kitab suci, kepada hari kiamat dan percaya kepada takdir-semuanya itu saya terima sebagai keadaan yang menimpa diri saya, mulai lahir sampai sekarang, sebagai bekal hidup saya hingga kini.

Ceritanya, setelah saya dilahirkan, saya tidak lama bersama ibu saya. Belum empat puluh hari saya sudah dibawa ke rumah mBah Kromodiryo, karena ibu saya sakit sehingga tak bisa menyusui. Di rumah mBah Kromo saya digendong·gendong oleh mBah Amat Idris. Mbah Kromo yang mengajar saya berdiri dan berjalan, dan sering kali beliau membawa saya ke mana-mana kalau beliau pergi bertugas ke luar rumah. Kalau mBah Kromo putri menjalankan prakteknya sebagai dukun bayi dan saya tidak dibawanya, maka saya sering diajak mBah Kromo ke sawah. Kadang-kadang saya digendongnya sambil membalik-balikkan tanah, atau dinaikkannya di atas garu. Kesenangan tersendiri yang tetap terkenang sampai tua, sewaktu saya didudukkan di atas garu dan memberi isyarat kepada kerbau untuk maju, untuk membelok ke kiri, ke kanan. Lalu turun ke sawah, bermain air, bermandikan lumpur. Maka kalau merasa capek atau kepanasan, saya disuruhnya menunggu di pinggir, di pematang atau di jalan. Pada kesempatan ikut dengan mBah Kromo di sawah tersebut saya suka mencari belut yang jadi kesukaan saya waktu makan, sampai sekarang.

Pada suatu hari saya menebang pohon pisarn dengan sebuah sabit. Perkakas itu lepas dari tangan saya dan jatuh serta melukai kaki saya. Rupanya seisi rumah menganggap kejadian itu sepele pada mulanya. Tetapi kemudian ternyata luka di kaki saya menjadi borok. Maka mBah Kromo menjadi risau dan beliaulah yang mengobati saya dengan penuh kasih. Memang, terasa sekali sampai sekarang betapa sayangnya beliau kepada saya. Kemudian, sewaktu saya menginjak umur empat tahun, dan ketika itu belum juga memakai celana, saya diambil kembali oleh Ibu Sukirah dan tinggal bersama dengan Pak Atmopawiro, ayah tiri saya. Saya ingat lahiirya Sukiyem, adik saya yang tidak berumur panjang. Setahun kemudian lahir lagi adik yang lelaki, Sucipto, dan disusul lagi dengan adik-adik yang lain.

Pernah saya menggembala kerbau. Saya disuruh menggembala binatang setia itu dari rumah ke sawah oleh mBah Atmosudiro, ayah ibu saya. Suatu hari ketika saya membawa kerbau itu dari kandangnya ke sawah, dalam perjalanan, di pinggir sungai, kerbau terperosok dan masuk parit. Saya tidak tahu, jalan mana yang sebaiknya ditempuh oleh kerbau itu. Saya pikir, dia akan bisa menemukan jalan yang menyelamatkannya lagi. Si kerbau turun ke sungai. Saya pun mengikutinya saja. Tahu-tahu sungai itu menyempit. Padahal tadi saya, sudah melalui bagian sungai yang dalam. Dengan begitu, saya maju tidak bisa lagi, mundur pun susah. Maka saya pun menangis. Sebab saya ingat, saya ditunggu oleh mBah saya. Jam tujuh saya mesti sudah ada di tempatnya, di sawah, sedang saya masih ada di sungai. Lagi pula saya menaruh kasihan kepada kerbau itu. Selang beberapa lama datanglah suruhan mBah saya. Ia bisa menemukan saya. Mungkin karena mendengar tangis saya. Sekali waktu datang Ayah membawa seekor kambing untuk saya. Bukan main senangnya. Dan ternak itu menjadi sahabat yang tak kunjung saya lupakan.

Pada suatu hari, sewaktu Ibu Sukirah akan pergi ke pasar, saya ditinggali uang satu bil (setengah sen). Celaka menimpa saya. Uang itu tertelan. Saya menangis, lama menangis. Saya merasa takut dan di samping itu saya ditakut-takuti oleh anak-anak lain, bahwa uang itu akan nyangkut di dalam perut dan tidak akan keluar lagi. Tetapi orang-orang tua mengatakan, tidak apa-apa, nanti juga akan keluar dengan sendirinya. Mungkin saja benar uang logam itu kemudian keluar lagi. Tetapi saya tidak ingat, apakah saya pernah menemukannya kembali.

Pada suatu hari saya sedang bermain di depan rumah mBah Buyut Notosudiro, kakek ibu saya, bersama dengan Mas Darsono. Waktu. itu mBah Notosudiro sedang menjahit, membuat baju. Lalu kedengaran beliau memanggil saya. Saya setengah melompat, senang dipanggilnya. Saya terus dipanggilnya. “Kemari,” katanya. Maka saya disuruhnya mencoba, mengepas baju yang dibuatnya. Dengan rasa riang saya memakainya. Tetapi kemudian  mBah Notosudiro  berkata  lagi:  “Lho iki Harto. Panggil Mas-mu Darsono.”

Saya lari memenuhi perintah mBah Buyut saya. Dan waktu Mas Darsono berdiri di depan mBah Buyut, ia disuruh mencoba baju yang·saya pakai. Saya lepaskan baju baru itu. Ternyata baju itu cukup baginya. Dan selanjutnya Mas Darsono disuruh memakai terus baju itu. Benar, terbukti pakaian  itu memang untuknya. Waktu itu saya tidak memakai kemeja. Hanya mengenakan celana saja. Hati berbisik, “Wah, mBah Buyut ini lebih sayang kepada anak Bude, Mas Darsono, daripada kepada  saya.”

Mas Darsono sebetulnya anak orang yang sudah kaya, anak kakak ibu saya. Orang tua Mas Darsono itu sudah lebih mampu daripada orang tua saya. Tetapi, kok, yang diberi surjan itu malahan putu (cucu) mBah yang sudah mempunyai baju. Saya merasa nista (hina). Saya nelangsa, sedih sekali. Waktu itu saya merasa, “Wah, hidup ini kok begini.” Saya berpikir, kami sama-sama cicitnya, tetapi diperlakukan lain. Mas Darsono sudah mempunyai baju, sedangkan saya belum. Mengapa saya tidak dibuatkan, dan yang dibuatkan itu malah Mas Darsono ?

Saya ingat, mulai umur lima tahun saya memakai celana yang potongannya panjang sampai lutut, wvarna hitam, menciut mengecil di bagian bawah, merit, seperti yang biasa dipakai orang pergi ke sawah. Baru setelah sekolah saya biasa mengenakan celana dan kemeja, yang lebih lumayan. Ke sekolah saya pergi dengan mengenakan pakaian ‘bebet’, sabuk wolo, pakaian anak-anak Jawa waktu itu.

Saya ingat terus kepada seseorang yang jelek rupanya, merongos dan mengece, mencemooh saya. Ia itu teman main gundu. Tetapi umurnya sudah lebih tua daripada saya. Ia mengajak teman-teman lain agar mengece saya. Mereka memanggil-manggil saya dengan sebutan “Den bagus tahi mabul” (tahi kering) karena ada hubungan ‘sentono’, pengawas Keraton, maka mBah Notosudiro dan Ibu Sukirah masih dipanggil Den. Begitu juga saya sering dipanggil “Den”. Padahal saya sendiri tidak mau dipanggil begitu. Saya katakan kepada teman-teman, bahwa mereka tidak perlu memanggil saya dengan “Den”. Saya selalu menolak untuk dipanggil begitu.  Tetapi mereka terus juga menjengkelkan saya. Bagaimana ini, apakah mengejek atau mau bergurau saja dengan memanggil-manggil Den, Den bagus tahi mabul kepada saya ?. Saya lupa nama orang yang mengece saya itu. Mungkin Pak Kromo panggilannya kemudian.

Waktu itu saya berumur delapan tahun dan punya pikiran barangkali ia iri hati. Barangkali ia mengejek saya dan berpikir, mengapa saya anak orang melarat dipanggil-panggil Den juga. Saya jadi merasa sedih. Saya sebagai orang yang tidak punya, masih juga diejeknya. Tetapi saya tidak mengadu kepada siapa pun sewaktu mengalami kejadian ini.

Saya ingat, satu kali saya pernah berkelahi waktu kecil. Mula-mulanya main-main, tetapi kemudian menjadi adu tinju. Waktu itu kami sedang bermain kelereng, main gundu. Dua-duanya akhirnya nangis tidak menentu. Hanya satu kali itu saya pernah berkelahi.

Waktu akan masuk sekolah, saya disuruh melengkungkan dulu lengan saya di atas kepala dan memegang telinga. Begitu ukuran yang lazim waktu itu untuk bisa masuk sekolah: kalau bisa memegang. kuping dengan cara begitu, kita bisa diterimariya. Tetapi nasib saya menetapkan, saya harus berpindah-pindah sekolah. Mulanya di sekolah Desa Puluhan, di daerah Godean. Lalu pindah ke sekolah di Pedes, karena ibu bersama ayah tiri pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Melihat gelagat saya demikian, maka ayah saya, Pak Kertosudiro, mengambil keputusan untuk memindabkan saya ke Wuryantoro dan menitipkan saya kepada bibi, adik ayah satu-satunya.

Daerah Wuryantoro sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai daerah yang bertanah subur atau lebih makmur. Kehidupan petaninya tidak lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di daerah Godean. Tetapi bibi saya, istri seorang mantri tani, Bapak Prawirowihardjo. Kehidupan paman saya itu jelas lebih baik daripada kehidupan seorang petani, dan bimbingan yang bisa diberikannya pasti lebih baik, bisa diandalkan daripada bimbingan  yang saya peroleh di Kemusuk.

Yang mengiang di telinga saya sampai sekarang ialah ucapan ayah saya waktu beliau menyerahkan saya kepada paman dan bibi saya : “Saya menyerahkan Soeharto kepadamu. Silahkan asuh. Saya kuatir, kalau dia terus tinggal di Kemusuk, dia tidak akan menjadi orang. Saya sangat bersyukur jika anak ini memperoleh pendidikan dan bimbingan yang baik.” Ini sangat mengandung arti, memberikan gambaran apa yang ada pada orang tua saya.

Dan bersyukurlah saya, bahwa Pak Prawirowihardjo dan bibi saya menerima saya sebagai anaknya sendiri. Saya·dianggapnya sebagai putranya yang tertua dan diperlakukan sama dengan putra-putranya sendiri, seperti Sulardi. Maka di tempat ini saya disekolahkan dan mendapat pendidikan lebih baik daripada sewaktu di Kemusuk. Saya menekuni,semua pelajaran, lebih-lebih pelajaran berhitung yang saya sukai, yang menyebabkan saya mendapat pujian dari guru. Di samping itu saya mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga paman saya itu terbilang tebal ketaatannya kepada agama.

Tetapi baru satu tahun tinggal pada keluarga Pak Prawirowihardjo, ayah tiri saya, Pak Atmopawiro, bersama kakaknya, Pak Sumowijatmo dan kakak iparnya, Pak Sastroharjono, datang menjenguk saya yang sudah lama tidak dilihatnya. Dikatakannya ibu saya sangat rindu kepada saya, dan dijanjikannya saya akan dikembalikannya setelah Lebaran, waktu sekolah dibuka lagi. Tetapi ternyata janjinya itu tidak dipenuhinya dan akibatnya saya mesti tinggal lama di Kemusuk dan disekolahkan di desa Tiwir.

Setahun kemudian saya dijemput lagi oleh Bapak dan Ibu Prawirowihardjo dan bisa kembali tinggal dan sekolah di Wuryantoro.

Dalam pada itu terasa latar belakang kehidupan saya di Kemusuk tumbuh menyubur selama saya menetap di Wuryantoro. Pengalaman di Kemusuk di tengah-tengah kaum tani, di tahun-tahun sembilan belas dua puluhan yang sedang sulit itu, menanamkan dalam diri saya benih-benih simpati kepada petani. Benih-benih ini dipupuk bukan saja oleh hubungan saya yang berlanjut dengan kehidupan petani, tetapi juga dihidupkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh di bidang pertanian, di bawah bimbingan Pak Mantri tani Prawirowihardjo. Saya sering menyertai paman saya itu dalam peninjauannya ke pelbagai tempat. Dan Pak Prawirowihardjo bukan saja memberikan pengetahuan di bidang pertanian secara teoretis kepada saya, melainkan juga lewat praktek. Di tiga kebun percontohan yang saya ingat, yang ditekuni oleh Pak Prawirowihardjo, yakni yang di desa Ngungking, Kenongo, dan Tangkil, saya diberi kesempatan untuk menggumuli tanah yang jadi kecintaan saya. Di samping itu saya mendengarkan tanya jawab antara Pak Prawirowihardjo dengan para petani yang memberikan tambahan pengetahuan kepada saya.

Saya kagum kepada Pak Prawirowihardjo. Beliau sungguh-sunguh menekuni tugasnya sebagai mantri tani. Terbukti pula dengan penghargaan yang diterimanya dari bupati, berkat keberhasilannya memanfaatkan tumbuhan orok-orok sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah gersang. Kebun percontohan di Tangkil yang mulanya sangat tandus, dari waktu ke waktu mendapat kemajuan. Ketekunan dan kreativitas Pak Prawiro itu memberikan inspirasi kepada saya. Semangat saya dijadikannya hidup. Maka sewaktu diadakan semacam adu kemahiran membuat perladangan, saya bisa mengalahkan putra-putra Pak Prawiro. Berambang dan bawang putih tanaman saya ternyata dinilai paling baik.

Sore hari saya belajar rnengaji di Langgar. Sering-sering saya semalam suntuk berada di langgar itu dengan teman-teman sepengajian. Pada waktu itu pula, saya rnasuk kepanduan Hizbul Wathan, pramuka sebutannya sekarang, yang berdasarkan keagamaan. Pada masa itu pula saya mulai rnengenal pahlawan-pahlawan kita, melihat potret Raden Ajeng Kartini, rnendapatkan guntingan potret Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai di desa karni.

Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung tinggi warisan nenek rnoyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar pengaruhnya dalarn pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan spiritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap hari Senin dah Kamis dan tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rurnah).Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah.

Pada masa itu saya ditempa mengenai dan menyerap budi pekerti dan filsatat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga “aja”, ”aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh”, (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalarn rnenghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.

Saya ingat terus akan ajaran leluhur, “hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo”, hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Sampai jadi Presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya. Saya merasakan mencintai dan dicintai orang-orang tua saya, pengasuh-pengasuh saya, dan saudara-saudara saya, baik yang seibu maupun yang sebapak atau saudara angkat saya.

Pada waktu itu saya tahu bahwa Wedana Wuryantoro adalah RM. Sumoharjomo, dan ada seorang putrinya, Siti Hartinah yang satu kelas dengan Sulardi. Saya mesti menyebutkan nama anak Wedana ini, sebab saya menemukannya lagi kelak sewaktu saya sudah dewasa, cukup untuk membentuk keluarga.

Setelah menamatkan sekolah rendah lima tahun, saya dimasukkan sekolah lanjutan rendah (schakel school) di Wonogiri. Untuk ini saya pindah rumah ke Selogiri, 6 Km dari Wonogiri, bersama-sama dengan Sulardi dan tinggal di rumah kakak perempuan yang menjadi istri pegawai pertanian[2]. Pengetahuan pertanian saya berlanjut di Selogiri itu. Sudiarto, kakak Sulardi, juga tinggal bersama di Selogiri itu. Semasa itu Sulardi –yang sudah dibelikan sepeda oleh kakaknya, Sudiarto– dan saya suka bergoncengan naik sepeda ke sekolah, atau ke Kemusuk di hari-hari libur, menengok orang tua.

Terhitung sudah agak tua waktu saya disunat, yakni pada umur 14 tahun. Mungkin sebabnya cuma karena tidak gampang mengumpulkan biaya. Dan begitu pun selamatan yang diadakan amat sederhana saja. Namun bagaimanapun, rasanya saya merasa gembira. Dan memang saya mesti bersyukur. Sesuai dengan percakapan orang tua, setelah saya disunat, rasanya badan saya cepat menjadi tinggi dan kekar, tumbuh jadi besar. Padahal apa yang disediakan untuk saya tetap sama. Makanan yang tersedia tidak bertambah. Kehidupan keluarga Citratani yang retak, menyebabkan kemudian saya mesti pindah ke Wonogiri dan tinggal pada keluarga teman ayah saya, seorang pensiunan pegawai kereta api, Pak Hardjowijono.

Keluarga Pak Hardjowijono tidak punya anak. Saya jadi tangan kanan mereka dalam membantu ini dan itu di rumahnya. Saya membersihkan rumah sebelum pergi ke sekolah. Saya disuruh belanja ke pasar dan menjual hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo. Dan bahkan saya suka-suka harus memasak pada sore hari atau kalau sedang tidak bersekolah. Tetapi mengenai hal itu saya tidak mengeluh. Saya mendapat didikan yang bermanfaat, sangat bermanfaat di rumah Pak Hardjowijono. Saya jadi pekerja, jadi tukang yang akan bisa berdiri sendiri jika keadaan memaksa. Dan rasa-rasanya saya bisa belajar dengan cepat melakukan hal-hal itu.

Pada suatu waktu saya mendapat perhatian dari seorang pemilik warung yang biasa menerima hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo untuk dijualkan. Pemilik warung itu mengajak saya untuk tinggal di rumahnya dan membantunya. Tetapi saya tahu diri. Saya merasa tidak patut meninggalkan keluarga Pak Hardjowijono begitu saja, walaupun ada harapan yang lebih cerah jika ikut dengan pemilik warung itu. Dan saya ingat kepada ayah saya, yang menitipkan saya kepada Pak Hardjo. Saya tidak bisa melangkahi ayah saya.

Di samping itu, saya mendapat kesenangan khusus bersama Pak Hardjo. Ia adalah seorang pengikut Kiai Darjatmo yang setia. Kiai Darjatmo itu mubalig terkenal di Wonogiri waktu itu. Malahan ia suka mengobati orang sakit dan dipercaya orang banyak dalam hal meramal.

Saya masih bisa membayangkan keramahan Kiai Darjatmo yang juga opzichter irigasi. Apabila Pak Hardjo berkunjung kepada Kiai Darjatmo itu, saya suka dibawanya dan diizinkan mendengarkan tanya jawab ,mengenai agama antara kedua orang tua itu. Saya jadi bisa meresapkan ajaran filsafat hidup Pak Kiai Darjatmo itu. Saya mendengarkan penjelasannya mengenai isi kitab suci Al-Qur’an. Saya mendapatkan pengertian mengenai apa itu samadi dan apa itu kebatinan. Banyak orang terpikat oleh Pak Kiai Darjatmo yang alim, jujur, dan tidak suka melihat kecurangan berlaku di sekitarnya itu.

Tidak berapa lama sesudah kemerdekaan, Pak Darjatmo terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) di Wonogiri dan dipercaya untuk memimpin di bidang kerohanian dalam perjuangan menghadapi Belanda di waktu-waktu sesudah itu. Orang inilah pula yang sering saya kunjungi waktu saya menjadi komandan resimen di Salatiga.

Saya merasa tertarik oleh cara Kiai Darjatmo itu dalam menjelaskan dan mengajar orang. Minat saya besar untuk sering mendengarkan Pak Kiai itu bicara mengenai filsafat hidup. Rasa- rasanya Pak Kiai Darjatmo itu pun tertarik kepada saya. Maka kemudian, dengan seizin Pak Hardjo, saya diizinkan kadang-kadang datang sendiri ke rumah Kiai Darjatmo yang letaknya tidak berjauhan dengan tempat tinggal Pak Hardjo. Di langgar Kiai Darjatmo inilah saya banyak belajar mengenai agama dan kepercayaan. Saya mendengarkan secara langsung nasihat-nasihat yang diberikan oleh Kiai Darjatmo pada mereka yang memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, maupun petani sampai bakul-bakul[3].

Satu hal lagi yang saya kenang mengenai hidup di rumah Pak Kiai Darjatmo ialah sewaktu saya diizinkan membantunya dalam membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yang diberikan sewaktu mengobati orang sakit. Nama obat-obatan yang ganjil, ramuan yang aneh, tanaman-tanaman yang langka dan yang banyak terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untuk orang yang sakit, yang kadang-kadang saya kerjakan hingga larut malam. Maka saya mengenal pelbagai macam daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka memberikan petunjuk apa yang mesti dimakan atau dioleskan dan apa larangan-larangannya.

Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yang sakit kulit, sakit panas sampai kepada yang mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yang mendambakan anak, kesulitan dalam berdagang, urusan dengan penguasa, yang merasa kemasukan setan, yang tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan saya tahu dari dekat bahwa memang banyak di antara mereka yang meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti petunjuk Pak Darjatmo.

Pada suatu waktu berakhir juga hubungan saya dengan Pak Darjatmo. Saya kembali ke kampung asal, ke Kemusuk. Dan dari sana saya pergi setiap hari ke Yogya, naik sepeda, untuk menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Saya terpaksa meninggalkan Wonogiri dan langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tua saya tak mampu membelikan. Di Yogya, walaupun di kota, saya bersekolah pakai sarung atau kain, dan tidak bersepatu. Namun saya tidak merasa kikuk, karena saya tidak seorang diri yang demikian. Masih ada sejumlah murid lagi yang datang seperti saya.

Pada masa itu saya mendengar tentang protes menentang penjajahan Belanda. Saya dengar adanya rapat-rapat umum di kota Yogya, yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Sampai di sekolah pun para pelajar ikut-ikut membicarakan apa-apa yang telah didengar di tempat-tempat rapat umum itu. Tetapi semua ini belum memberi kesan yang kuat kepada saya. Saya memusatkan pikiran pada pelajaran dan menamatkan sekolah pada tahun 1939.

Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi baik ayah saya maupun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa yang dikatakan ayah saya waktu itu. “Nak,” katanya, “tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat, insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri.” Sulit mendapatkan pekerjaan tanpa bantuan orang yang berkedudukan atau yang berpengaruh, tanpa uluran tangan orang kaya ataupun pengusaha besar waktu itu.

Saya berusaha kian kemari mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil. Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan akan bisa membuka jalan. Benar juga. Setelah sekian banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Walaupun saya tidak begitu senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada nganggur di tengah suasana yang muram.

Saya mengikuti klerek bank berkeliling kampung dengan sepeda, dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap, dengan kain blangkon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah kami menampung permintaan para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yang menginginkan pinjaman.

Sebenarnya saya sudah mengetahui cukup banyak mengenai kebutuhan orang-orang kecil itu sewaktu saya bersama Pak Prawirowihardjo tempo hari dan sewaktu membantu Pak Hardjowijono dan Pak Darjatmo. Tetapi saya tidak banyak bicara. Saya merasa pada tempatnya kalau lebih banyak mendengarkan lagi.

Boleh dibilang setiap malam saya mengajak Kamin, seorang teman waktu itu, untuk belajar pembukuan. Mantri Bank Desa itu mengakui, bahwa otak saya encer. Tidak sampai dua bulan saya sudah menguasai seluruh pembukuan. Waktu itu saya memakai sepeda hitam. Kamin memakai sepeda hijau. Saya selalu disuruh Kamin mendayung sepeda di muka. “Ayo Mas Harto yang di depan, saya di belakang”, kata Kamin.

Sekali waktu saya meminjam kain pada bibi karena kain saya sendiri sudah usang, tak patut lagi dipakai mendampingi klerek Bank Desa. Pada suatu hari saya bernasib jelek. Waktu turun dari sepeda yang sudah reot, kain yang saya pakai tersangkut pada per sadel yang menonjol ke luar dan sobek. Saya dicela oleh klerek yang saya dampingi. Padahal saya tidak bersalah, cuma jalan hidup saya saja yang demikian. Tetapi Bibi juga memarahi saya. Saya dibentaknya, dengan mengatakan, kain itu adalah satu-satunya kain yang baik. Tak ada lagi yang lainnya yang bisa diberikan, sekalipun mungkin saja sebenarnya ia masih mau menolong saya.

Dan kejadian ini merupakan perpisahan dengan tempat saya bekerja. Tidak begitu menyesal, sebab memang saya tidak mendapat kesenangan bekerja di sana. Cuma waktu berjabatan tangan dengan Kamin, saya mesti menundukkan muka. Terharu meninggalkannya .

Saya menganggur lagi, tetapi saya tidak putus asa. Saya cari kesempatan yang lebih baik. Saya pikir, kali ini saya akan mencoba mengadu nasib di Solo. Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal.

Ada seorang ternan yang menganjurkan untuk melamar ke Angkatan Laut Belanda. Tetapi lowongan yang ada di sana ialah sebagai juru masak. Saya pikir, biarlah itu nanti saya jadikan sebagai cadangan yang paling akhir.

Di Solo pun ternyata tidak ada pekerjaan. Maka saya kembali ke Wuryantoro. Waktu itu saya isi dengan pekerjaan gotong royong, membangun sebuah langgar, menggali parit, dan membereskan lumbung. Tetapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi.

Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 6-18.
Citratani
Pedagang Kecil