PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Muda Pak Harto : Dari Zaman KNIL ke Zaman PETA

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Tak dinyana, kesempatan datang untuk melamar masuk KNIL. Pada mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan. Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima.

Waktu itu ada dua macam kesempatan masuk KNIL, yakni bisa masuk ke Dinas Panjang yang disebut Langverband, atau ikatan Dinas Pendek, Kortverband. Dinas pendek yang latihannya diadakan di Gombong, tak ubahnya dengan milisi saja, tiga tahun lamanya, tetapi bisa mendapat pensiun. Yang masuk dinas ini umumnya lulusan HIS ke atas. Yang diterima di Langverband ialah mereka yang dari kelas tiga sekolah dasar, malahan ada juga yang sama sekali belum sekolah. Latihannya diadakan di Depo Purworejo.

Yang mendapat latihan di Gombong bisa mendapat kesempatan untuk terus mengikuti Kader School dan menjadi kopral. Lulusan Langverband bisa masuk di batalyon, tetapi mungkin setelah sepuluh tahun baru bisa menjadi kopral. Setelah menjadi kopral bisa praktek di batalyon. Dan setelah menjadi kopral selama 5 tahun, barulah bisa ujian lagi untuk menjadi sersan. Saya masuk Kortverband di Gombong. Kami berlatih dari pagi sampai malam. Pengalaman ini berbeda sekali dengan sewaktu sekolah tempo hari atau pun sewaktu menjadi pembantu klerek bank. Tetapi saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini.

Saya lulus sebagai yang terbaik. Lalu saya disuruh berpraktek di Batalyon XIII di Rampal, dekat Malang, sebagai wakil komandan regu. Saya tidak pernah praktek di Batalyon Surabaya seperti dikira orang. Yang saya alami adalah praktek jaga malam di pantai pertahanan Gresik, kurang lebih dua minggu lamanya. Dan sewaktu itulah saya mulai terkena penyakit malaria.

Penyakit saya ini kambuh lagi sewaktu di Malang, sampai-sampai saya pingsan lalu digotong, dimasukkan rumah sakit kurang lebih dua minggu lamanya. Setelah keluar dari rumah sakit, saya ujian lagi, dan ditetapkan untuk masuk Sekolah Kader di Gombong, untuk mendapatkan pangkat sersan.

Pada waktu di Malang itulah sepupu saya Sulardi, yang lebih suka saya sebut adik saya, putra Pak Prawirowihardjo, menuntut pelajaran di sekolah pertanian di kota yang sama. Maka apabila ada waktu senggang, saya pergunakan untuk menengok Dik Sulardi dan pergi bersama-sama dengannya ke pelbagai tempat tamasya atau menonton, satu-satunya hiburan selama saya terikat oleh kedinasan saya waktu itu .

Saya masih ingat, sewaktu saya berdinas pada KNIL itu, sahabat saya·yang terdekat adalah Amat Sudano. Kami tidur di tempat tidur susun. Mas Sudano tidur di atas, saya di bawah. Dia mengalah, memudahkan saya untuk sembahyang.

Kawan lainnya adalah Kosasih, yang kemudian pernah jadi polisi, lalu pensiun dan kabarnya sekarang tinggal di Bandung. Kawan lainnya lagi adalah Suwoto yang sudah meninggal. Teman saya dari satu kelas ialah Yayi Suwondo, yang tinggal di Kelapa Gading. Ia pensiunan Angkatan Udara. Saya beri ia rumah di Perumahan “Bermis”. Belum lama ini ia meninggal. Orang Belanda yang masih saya ingat ialah komandan kompi saya, Kapten Dryber, yang sekarang, katanya masih ada di negerinya. Lalu saya masih ingat komandan peleton  saya, Letnan Hyneman.

Kapten Dryber pernah menulis surat kepada saya, menanyakan, apakah benar Soeharto yang bersama dengannya dalam kompinya yang menjadi Presiden Indonesia sekarang. Saya menyuruh menjawabnya dengan menyatakan “ya”. Tetapi entah, apa surat balasan dari saya itu sampai kepadanya atau tidak, saya tidak tahu. Lalu masih ada komandan regu, Jansen, yang masih saya ingat. Tetapi saya tidak tabu apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.

Waktu di Sekolah Kader itulah pecah perang. Sekiranya peristiwa itu tidak terjadi, saya akan dikembalikan kepada kesatuan. Tetapi karena pecah Perang Dunia ke-2, selesai sekolah di Gombong dan meraih pangkat sersan, saya terus dikirim ke Bandung, dijadikan cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat. Saya ditempatkan di Cisarua. Namun, cuma satu minggu saya berada di situ. Perubahan pun terjadi.

Pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah. Jepang berkuasa di tanah air kita. Saya masih menunggu apa yang akan terjadi dengan diri saya. Saya berpikir, tentu saya akan ditawan. Dalam keadaan menunggu nasib seperti itu saya main kartu cemeh dengan kartu Londo. Waktu mulai main cemeh itu saya hanya punya uang satu gulden. Tetapi dalam permainan kartu itu uang saya bertambah menjadi 50 gulden. Dan uang itulah yang saya pergunakan bersama Amat Sudono pulang ke kampung.

Kami tidak mau ditawan. Kami pergi ke Cimahi dulu, membeli pakaian, lalu terus langsung ke Yogya naik kereta api. Sampai di.stasiun Tugu, kami mendengar pengumuman, bahwa semua bekas tentara harus masuk kantor, untuk melaporkan diri di Jetis. Kami tidak keluar dari stasiun. Kami kukuh pada pikiran semula, tidak mau diringkus oleh Jepang. Lalu kami mencari akal, naik kereta yang menuju Sleman, ke tempat Amat Sudono. Di rumah Mas Dono saya menginap satu malam. Esok harinya saya naik bis·ke Wonogiri, lalu terus ke Wuryantoro.

Sesampai di Wuryantoro saya diserang penyakit malaria lagi. Enam bulan saya mesti berbaring dengan merasakan panas dingin tidak keruan itu. Saya ingat, selama di Gombong saya tidak pernah sakit lagi. Begitu kembali ke Wuryantoro penyakit saya itu kumat.

Sementara itu Jepang sudah membentuk lembaga-lembaga keamanan di kampung-kampung, di kecamatan-kecamatan, di kota-kota besar dan di karesidenan-karesidenan, seperti Keibodan, Seinendan. Wanita-wanita juga dikerahkan dengan dibentuknya Fujin Kai. Pengangkatan pamongpraja juga sudah tidak lagi menurut kebiasaan lama. Yang jadi bupati, kenco, juga tidak usah lagi menurut keturunan seperti biasanya dilakukan di zaman Belanda. Dibentuk pula romusha yang tidak berapa lama kemudian menjadi badan pengerahan tenaga secara paksa. Bukan main gencarnya pengerahan romusha itu di desa-desa. Tadinya tenaga-tenaga itu dipakai untuk membangun dobuku (dam irigasi) di pelbagai tempat di Jawa, akhirnya mereka dikirim, ke luar sampai ke Birma, membuat jalan dan lain-lain sebagainya untuk kebutuhan tentara Jepang.

Bendera Merah-Putih yang semula diizinkan berkibar, segera dilarang oleh Jepang untuk dikibarkan, diganti dengan bendera Jepang, dengan bendera Hinomaru. Begitu juga lagu Indonesia Raya digantinya dengan Kimigayo. Pada waktu itu, sandang pangan tambah susah. Bekicot dianjurkan untuk dimakan. Benang kain kian bertambah sulit didapat hingga akhirnya yang dipakai ialah sarung karet mentah disablon yang tidak hilang baunya.

Di tengah suasana seperti itu pelan-pelan saya sembuh kembali. Hidup sebagai petani di kampung sudah tidak mungkin. Cuma bakal jadi beban mereka yang sudah berdesakan dan tambah kekurangan. Terlalu sempit tanah garapan di sana. Dan kegersangan sesudah zaman perang tambah mengerikan. Maka saya pikir, saya mesti menjual tenaga di tempat yang lebih lapang, di kota.

Saya pergi ke Yogya, mengadu untung. Membosankan sekali hidup tanpa pekerjaan. Maka saya masuk kursus mengetik di Patuk, di depan asrama polisi, dengan harapan akan bisa mengatasi kejemuan saya. Tetapi sewaktu itu saya jatuh sakit lagi. Sungguh, saya dituntut untuk bersabar, penguasaan diri yang kelak pun harus saya lakukan. Pada suatu hari saya membaca pengumuman Polisi, yang menyebutkan, bahwa Keibuho, Polisi, menerima anggota baru. Mulanya saya ragu, apakah saya sudah aman di mata Jepang. Tetapi kemudian saya memberanikan diri. Saya mendaftar.

Badan saya diperiksa. Nasib baik. Saya lulus, tak diketahuinya, bahwa saya mengidap penyakit malaria. Lalu terus saya mendapat latihan selama tiga bulan. Dengan sendirinya saya lulus dari latihan yang kebanyakan berupa baris berbaris itu, karena saya pernah berlatih sebagai kader sersan. Malahan saya lulus sebagai nomor satu. Tidak aneh. Dan karena saya lulus sebagai nomor satu itu, maka saya dijadikan tukang hilir mudik dan kemudian disuruh belajar bahasa Jepang. Lewat itu saya diberi tahu, setengah dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang, untuk mendaftarkan diri pada PETA [4] yang baru dibuka.

Maka masuklah saya jadi PETA, lewat saringan. Tentu saja saya tidak menyebutkan diri saya bekas KNIL waktu mendaftar untuk diterima. Saya tetap jaga-jaga, jangan sampai ditangkap oleh Jepang. Seharusnya, barangkali, bekas KNIL menjadi Heiho. Melalui ujian saya diterima untuk dilatih sebagai Shodancho.

Dari sekian banyak pelamar dari Yogya, saya satu-satunya dari polisi yang lulus dalam ujian itu. Memang bisa dimengerti pula, karena saya sudah mempunyai dasar pendidikan militer, sehingga saya tidak menemukan kesulitan dalam mengikuti ujian itu.

Salah seorang di antara kawan-kawan dari Yogya waktu itu adalah Pranoto Wijono yang sekarang sudah pensiun. Teman lainnya yang masih ada sekarang dan pernah bersama-sama di Kyoikutai (sekolah latihan) di Bogor itu ,adalah Supio. Di asrama di Bogor, ia tidur berdampingan dengan saya, di tempat tidur yang didempetkan pada tempat tidur saya, berjejer.

Supio menjadi ternan dekat saya. Kalau habis latihan dia kemudian harus mencucikan pakaian saya. Dalam pada itu saya mendapat bagian membersihkan senjata. Artinya, membersihkan senjata saya dan senjata Supio. Dia juga mesti antri untuk membeli kue moci, makanan yang muncul di zaman Jepang dan menyerupai onde-onde, di kantin. Kalau tidak cepat antri, kita tidak bakal kebagian, karena tidak cukup banyak yang tersedia.

Dalam latihan PETA ini terasa hidup patriotisme, kecintaan untuk membela tanah air. Tak percuma sebutan “Pembela Tanah Air” yang lazim pula disebut pada waktu itu “tentara sukarela”. Jepang menyebutnya Bo Ei Gyugun, atau disingkatkan Gyugun. Yang diterima untuk dilatih di Kyoikutai adalah lulusan sekolah rendah sampai sekolah menengah tinggi (SMT). Di samping itu ada juga kiai-kiai, guru-guru sekolah agama dan bekas pegawai-pegawai kantoran.

Latihan Shodancho, komandan peleton, lamanya empat bulan. Latihannya sangat berat, sedang latihan Chudancho, komandan kompi, yang juga diadakan di sana dan latihan Daidancho (komandan batalyon) lebih santai. Ditempakan kepada kami, PETA juga harus mampu menjadi cadangan Rikiugun atau Angkatan Darat. Maka latihan untuk Shodancho dititikberatkan pada penguasaan taktik kesatuan kecil ialah peleton atau seksi, lengkap harus menguasai tugas peleton, walaupun waktu latihan sangat singkat.

Terasa latihan Shodancho cukup berat. Untungnya saya sudah pernah mendapatkan latihan seperti itu. Di balik itu Jepang bertindak keras, rupanya menjaga kalau-kalau yang dilatih masih kurang taat kepadanya. Kami alami mesti minum air kotor dari sungai di belakang pabrik karet “Good Year” di tengah-tengah latihan yang melelahkan itu. Sekali dua kali kami pernah disuruh berlutut berjam-jam lamanya, karena salah seorang di antara kami membuang peci Hancho.

Di tengah-tengah ini ditekankan kepada kami semangat anti Inggris-Amerika dan ditanamkan semangat “Asia untuk Asia” yang sebenarnya adalah “Asia untuk Jepang”. Lebih dulu semboyan “Tiga A” sudah didengung-dengungkan. Tapi yang terjadi adalah bahwa tekanan Jepang itu menyebabkan semangat di antara kami, sebagai putra-putra Indonesia yang ingin membela tanah air, bertambah besar. Kekeluargaan kami bertambah erat. Begitu juga rasa persatuan PETA dengan rakyat dan dengan barisan-barisan lain, seperti dengan Barisan Shuishintai atau Pelopor dan Seinendan, Keibodan yang semula dijadikan kaki tangan polisi Jepang.

Di tangsi itu kami jadi tahu sikap dan tabiat Jepang yang sebenarnya. Maka terjadilah satu dua kali perlawanan terhadap Jepang. Ada yang berani menempeleng Jepang dengan harus menerima akibatnya yang parah. Tetapi tekanan Jepang itu kemudian tidak tertahankan lagi di beberapa tempat.

Pada pembentukan PETA ditentukan, bahwa prajurit PETA dari setiap karesidenan (Syu) tidak boleh dikirimkan atau ditempatkan di daerah karesidenan lain, apalagi ke luar Indonesia. Maka setelah selesai saya dilatih untuk Shodancho di Bogor itu, saya dikembalikan ke Yogyakarta dan ditempatkan di Batalyon di Wates. Kemudian, bersama-sama dengan Pranoto saya dipilih lagi untuk dilatih menjadi Chudancho di Bogor. Pelajaran taktik dan strategi perang kami selesaikan di tahun 1944.

Sementara itu di Bogor saya berkenalan dengan Shodancho Singgih yang dalam riwayat hidupnya kemudian, menjelang diproklamasikannya kemerdekaan itu, bersama-sama dengan pemuda-pemuda lainnya membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok. Selesai latihan Chudancho saya ditempatkan di Seibu, markas besar Peta di Solo, di Kusumoyudan. Pada waktu itu saya bertemu lagi dengan Sulardi yang sudah berkeluarga dan bekerja di Kantor Pertanian Kota.

Sebelum sekolah Chudancho saya ditempatkan di pos pertahanan di Glagah, di pantai selatan Yogyakarta. Kemudian saya dipindahkan ke Solo, terus ke Madiun. Maka saya mengenal lebih baik lagi daerah itu. Pranoto waktu itu dikembalikan ke Yogya. Sebagai Chudancho di Markas Besar PETA saya memegang bagian pendidikan. Karena itu saya dipindahkan ke Jaga Monyet[5] di Jakarta untuk melatih murid-murid STM yang akan menjadi tentara zeni. Pada waktu itulah saya berjumpa kembali dengan Shodancho Singgih.

Selesai melatih anak lulusan STM menjadi Bundancho, saya dikembalikan ke Markas Besar PETA yang sudah pindah ke Madiun dari Solo. Pengalaman-pengalaman di PETA menumbuhkan keyakinan dalam hati saya bahwa tindak-tanduk kebanyakan opsir Jepang tidak bisa kami setujui. Tumbuh keinginan saya untuk melawan mereka yang menyakiti hati kami itu.

Dengan terjadinya pemberontakan PETA di Blitar, Jepang berusaha membersihkan korps perwira PETA di pelbagai tempat. Terdengar, saya pun di antara mereka yang akan diberhentikan. Tetapi beberapa orang Jepang yang masih menghargai saya mencegah supaya saya tidak dilepas. Kemudian saya ditempatkan di kaki Gunung Wilis di desa Brebeg, di sebelah selatan Madiun. Di sana saya melatih prajurit PETA dari Batalyon Blitar untuk dijadikan Bundancho. Bundanco yang saya latih bersama Bundancho Imam Munandar (mantan Gubernur Riau) itulah yang akan mengganti para Bundancho yang dihukum mati oleh Jepang, karena memberontak.

Sementara itu terasa bahwa Perang Pasifik sudah mendekati akhir. Tetapi saya yang berada di tempat pedalaman belum mengetahui banyak mengenai apa yang terjadi di kota-kota besar, apalagi di Jakarta. Hubungan dengan tempat-tempat itu lamban sekali.

***


[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 19-25.

[2]     Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)

[3]     Holands lnlandse School, SD di zaman Belanda

[4]     Tentara Sukarela Pembeld  Tanah Air

[5]     Jaga Monyet, nama asrama Tentara