PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Perlucutan Tentara Jepang

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Berita proklamasi 17 Agustus 1945 yang didapatnya melalui koran Matahari terbitan Yogya pada tanggal 19 Agustus 1945, bagi Soeharto Muda merupakan sebuah panggilan jiwa untuk mendedikasikan dirinya dalam pengabdian kebangsaan. Berita itu telah menjadi tonggak awal bagi dirinya untuk secara formal terlibat dalam menentukan jatuh bangunnya Republik Indonesia pada waktu-waktu berikutnya.

Koran itu memberitakan telah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan wakil Presiden. Koran itu juga memberitakan seruan Sultan Hamengku Buwono IX agar rakyat Indonesia, tanpa terkecuali harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk mendedikasikan dirinya dalam menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.

Ia berinisiatif mengumpulkan teman-temannya bekas tentara PETA dan pertama-tama menemui Oni Sastroatmojo, seorang Komandan Kompi Polisi Istimewa, untuk bersama-sama mengumpulkan bekas-bekas Chudancho dan Shodancho. Ia kemudian membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) di daerah Sentul dan terpilih sebagai wakil ketua. Umar Slamet, seorang teman dekatnya menjadi ketua. Inisiatif ini seiring seruan Presiden Soekarno agar bekas PETA, Heiho, Keigun dan KNIL dan para pemuda untuk mendirikan BKR-BKR di daerahnya masing-masing. Posisi sebagai wakil ketua BKR merupakan “tangga pertama pada zaman baru” yang akan menaikkannya pada “tangga-tangga karir selanjutnya”.

Pada tanggal 7 Oktober 1945, tepatnya jam 10.30, ia berhasil memimpin pasukannya turut menaklukkan markas tentara Jepang di Kotabaru. Pada saat itu usia Pak Harto masih 24 tahun dan harus mengambil beban tanggung jawab kepemimpinan pasukannya karena komandan sedang menjalani tugas dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Madiun. Selanjutnya memimpin pasukannya dalam “Pertempuran Lima Hari” di front Pandeanlamper Semarang. Prestasi kemiliterannya terus berlanjut dengan turut serta menaklukkan tentara Jepang di lapangan terbang Maguwo. Pertempuran-pertempuran itu selain merupakan pengambilalihan kendali Militer Jepang —yang sudah kalah dalam Perang Dunia II— atas wilayah Republik Indonesia, juga merupakan konsolidasi kekuatan persenjataan BKR. Pasukan Seharto muda dalam pertempuran di Maguwo itu dapat merebut beberapa buah pesawat yang kelak menjadi modal dalam pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia.

Selain peran perlucutan senjata tentara Jepang, Soeharto muda juga turut serta memukul mundur majunya pasukan sekutu dari Magelang menuju Ambarawa. Ia memimpin Batalyon X dari sektor Yogyakarta dengan kekuatan empat kompi. Pasukannya menusuk Ambarawa melalui Banyubiru dalam sebuah pertempuran “Palagan Ambarawa” yang bersejarah. Pertempuran itu dipimpin langsung Kolonel Sudirman yang kala itu hendak dilantik sebagai Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan strategi “supit udang”. Pasukan Soeharto muda diberi tugas menduduki Banyubiru untuk pengamanan lambung pasukan induk pejuang yang memasuki Ambarawa. Setelah Magrib ia masuk Banyubiru dan memukul mundur kekuatan Sekutu menuju Ambarawa serta menempatkan pasukan yang baru menang itu jauh di garis depan (front line) pertempuran. Penempatan pasukan itu menunjukkan kejeniusan strategi perang komandan muda untuk mengelabuhi serangan balik pasukan sekutu yang lebih lengkap dalam teknologi persenjataan modern. Malam harinya, semalam suntuk Banyubiru dihujani keganasan meriam sekutu. Namun pasukannya terlindung karena berada dalam zona jauh di depan dan Banyubiru tetap tertutup bagi sekutu dalam menusuk lambung pasukan induk pejuang.

Keberhasilan Soeharto muda di berbagai front ini mengundang apresiasi para petinggi TKR, seperti Kolonel Gatot Soebroto dan Kolonel Soedirman. Prestasi ini kelak mengantarkannya diangkat sebagai Komandan Brigade X Ibukota Yogyakarta, dengan pangkat Letkol, dalam struktur TNI yang baru direorganisasi oleh Jenderal Soedirman.