PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 10 November 1965 - 10 November 1990

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Rabu 10 November 1965

Menyambut Hari Pahlawan 10 November 1965 dengan pidato radio, Menko Hankam /KASAD Jenderal AH Nasution mengungkapkan bahwa hampir semua perwira tinggi TNI, termasuk perwira Tinggi Kehormatan telah menandatangani permohonan agar mereka diadili sebagai penghianat.

Kepala Staf KOTI/Pangkopkantib, Letjen. Soeharto hari ini menyebarkan pamflet yang berisi seruan kepada seluruh rakyat Jawa Tengah:

Saudarah-saudaraku rakyat Jawa Tengah yang tercinta, sadar dan yakinlah, bahwa

1. Gerakan 30 September adalah yang sebenarnya gerakan pengkhianatan terhadap  rakyat dan penyambung Lidah rakyat Bung Karno, pemecah belah persatuan kita, mengadu dombakan kita yang sangat menguntungkan Nekolim.

2. Teman-teman rakyat Indonesia yang tetap setia pada Pancasila dan  ajaran Bung Karno bersama –sama  ABRI telah berhasil menumpas sebagian terbesar dalang-dalang dan tokoh-tokoh G30 S.
 
3. RPKAD datang ditengah-tengahmu atas perintah saya selaku Panglima Operasi Pemulihan dan Ketertiban berdasarkan Komando dan restu Pemimpin besar revolusi Bung Karno untuk membebaskanmu dari intimidasi dan ancaman teror G-30-S. RPKAD bukan musuhmu, bukan tentara Nekolim seperti fitnah G-30-S, sebaliknya adalah kebanggaan, anak dan milik rakyat sendiri.

4. ABRI dan RPKAD sebagai tenaga pemukulnya mengharapkan bantuanmu untuk mempercepat hancurnya G-30-S sampai ke akar-akarnya.  

Bantulah RPKAD! Bantulah ABRI! Marilah bersama-sama saiyeg saeka praya menumpas musuh revolusi, G-30-S.

Sadarlah! Jangan sesat dan jangan mau ditipu.

Sementara itu di dalam menyambut hari Pahlawan 10 November, Menpangad Letjen. Soeharto mengatakan bahwa peristiwa kontra-revolusi Gestapu benar-benar telah mencekam perasaan perikemanusiaan dan merupakan pelajaran yang harus kita bayar dengan mahal. Dalam peristiwa Gestapu kita sepenuhnya merasakan bahwa gugurnya pahlawan revolusi merupakan hasil dari fitnah keji yang dilancarkan oleh golongan tertentu dengan maksud untuk memisahkan TNI AD dari rakyat, dan PBR Bung Karno.


Kamis, 10 November `1966

Jenderal Soeharto mengemukakan bahwa hendaknya kita membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mengoreksi orang lain, sebagaimana halnya dengan Nabi Muhammad SAW sebelum melakukan Israk dan Mikraj. Hal itu antara lain dikatakan oleh Jenderal Soeharto pada perayaan Israk dan Miraj di Istana Negara, Jakarta. selanjutnya diserukan kepada seluruh eksponen Orde Baru yang menuntut keadilan dan kebenaran, agar berani melakukan operasi rohaniah terlebih dahulu.


Jum’at, 10 November 1967

Pejabat Presiden Jenderal Soeharto hari ini di Magelang melantik 625 taruna AKABRI menjadi Perwira. Dalam pidatonya di hadapan para Perwira tersebut, Jenderal Soeharto menegaskan bahwa tanggung jawab ABRI dewasa ini sangat berat. Beratnya tanggung jawab itu bukan saja di dalam rangka ketatanegaraan dan tata kemasyarakatan, melainkan juga dalam pembinaan dan pencapaian cita-cita Orde Baru. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan usaha-usaha pembangunan di segala bidang, secara bertahap dengan melandaskan diri pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Dan itulah yang pada hakekatnya merupakan tuntutan pengabdian setiap unsur kekuatan Nasional, terutama ABRI. Pada akhir amanatnya, ia mengharapkan agar para taruna yang sudah dilantik menjadi Perwira kebanggaan itu dapat meningkatkan kepercayaan rakyat kepada ABRI.


Minggu, 10 November 1968

Dalam pidato memperingati hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Presiden Soeharto antara lain mengatakan bahwa para pahlawan perlu ada, bukan hanya dalam perang kemerdekaan tetapi juga di bidang pembangunan. Oleh sebab itu kita perlu melanjutkan perjuangan para pahlawan tersebut dengan melaksanakan pembangunan sehingga tercapai cita-cita pahlawan yakni masyarakat adil dan makmur.


Selasa, 10 November 1970

Dalam rangka hari Pahlawan, Presiden Soeharto hari ini menganugerahkan gelar pahlawan Nasional kepada almarhum Panglima Besar Sudirman dan almrhum Sultan Agung Tirtayasa. Selain itu telah pula dihadiahkan Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Dharma dan Bintang Sakti kepada tujuh orang putera Indonesia terbaik lainnya. Dalam amanatnya Presiden mengatakan bahwa kita harus tetap memelihara semangat yang melahirkan kejadian-kejadian besar, tetap mengenang jasa-jasa pahlawan dan meneruskan cita-cita mereka semua. Namun Jenderal Soeharto mengingatkan bahwa sekalipun kita bangga atas kebesaran Sriwijaya dan Majapahit, tetapi yang sangat menentukan adalah apa yang kita kerjakan hari ini dalam mmbangun masa depan itu. Menurut Presiden, dalam tahap pembangunan sekarang ini kita memerlukan pahlawan-pahlawan pembangunan dalam segala bidang dan tingkatan.

Sore ini Presiden Soeharto meresmikan monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman di Surabaya. Bertindak sebagai Inspektur Upacara, dalam amanatnya Presiden mengatakan bahwa dengan semangat pahlawan kita berjuang terus untuk menjadi pahlawan pembangunan. Menurut Presiden, sekarang ini musuh kita yang utama adalah kemiskinan dan keterbelakangan.


Rabu, 10 November 1971

Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum WR Soepratman dan almarhum Kyai Achmad Dahlan dan Bintang Mahaputera Kelas III untuk almarhum Osa Maliki Wangsadinata dalam upacara Hari Pahlawan di Istana Negara. Penganugerahan gelar dan bintang itu disampaikan oleh Kepala Negara kepada istri dan masing-masing penerima tanda penghargaan tersebut.


Sabtu, 10 November 1973

Dalam rangka hari pahlawan, dalam suatu upacara di Istana Negara, Presiden Soeharto pagi ini menetapkan 12 orang putera terbaik Indonesia sebagai pahlawan Nasional. Para pahlawan Nasional itu adalah almarhum-almarhum Sultan Hasanuddin, Kapiten Pattimura, Pangeran Doponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Cik Ditiro, Teuku Umar, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, R Otto Iskandardinata, Robert Wolter Mongonsidi, Prof Muhammad Yamin, dan Laksda TNI (Anumerta) Josaphat Sudarso dan Prof Dr. R Soeharso.

Pada kesempatan itu pula kepala negara menganugerahkan tanda-tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradhana kepada almarhum-almarhum KH Moh. Ilyas, Haji Arudji Kartawinata, Sukarni Kartodiwirjo, KH Ahmad Badawi, dan H Djamaluddin Malik, yang semuanya diterima oleh ahli waris mereka. Sementara itu Bintang Mahaputera Nararya dianugerahkan kepada almarhum Sudjarwo.

Selesai penganugerahan tanda-tanda kehormatan Presiden Soeharto memberikan hadiah kepada pemenang sayembara tugu pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan peninjauan tugu maket tersebut.


Minggu, 10 November 1974

Peringatan hari pahlawan pagi ini dipusatkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta dimana Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur upacara. Upacara peringatan kali ini ditandai dengan peresmian monumen Pahlawan oleh Presiden Soeharto dan pemakaman kembali Jenazah Pahlawan tak dikenal di Kalibata. Dalam amanatnya pada peringatan hari pahlawan ini, Kepala Negara mengtakan bahwa bangsa Indonesia telah membangun monumen pahlawan-pahlawan, sebagai tanda penghargaan terhadap mereka disamping untuk mengingatkan diri sendiri, bahwa bangsa ini masih harus menerukan perjuangan para Pahlawannya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa salah satu unsur semangat perjuangan kemerdekaan di zaman revolusi, yaitu kepercayaan kepada kekuatan sendiri, harus tetap dipelihara, karena dibutuhkan dalam masa pembangunan sekarang ini.


Senin 10 November 1975

Utusan khusus Presiden Houari Boumedienne, Muhammad El Kellou menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka pagi ini. Dalam pertemuan itu utusan tersebut telah menyampaikan pesan pribadi Presiden Aljazair kepada Presiden Soeharto menyangkut masalah sahara barat yang kini menjadi persengketaan antara Muritania, Morokko dan Al Jazair. Sebenarnya masalah ini telah dibicarakan oleh ketiga negara tersebut dalam suatu pertemuan di Algadir, Marokko, beberapa waktu berselang. Menanggapi pesan presiden Boumedienne itu, presiden soeharto mengharapkan agar ketiga negara yang bersengketa itu mau mematuhi apa yang telah mereka sepakati dan tidak bertindak sendiri-sendiri.

Tiga orang putera terbaik bangsa, Sultan Agung, Untung Surapati, dan Tengku Amir Hamzah, hari ini diangkat Presiden Soeharto sebagai pahlawan Nasional. Penghargaan dan gelar ini dianugerahkan Kepala Negara kepada ahli waris mereka hari ini di Istana Negara, dalam rangka peringatan hari Pahlawan. Bertindak sebagai ahli waris Sultan Agung adalah Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan ketua DPRD Jawa Timur, Brigjen. Blegoh Sumarto, mewakili ahli waris Untung Surapati. Penghargaan kepada almarhum pujangga Amir Hamzah diserahkan kepada puteri tunggalnya, Tengku Pahura.


Rabu, 10 November 1976

Presiden Soeharto mengatakan bahwa para dokter adalah tetap bagian dari ada masyarakat kita. Oleh karena itu, Kepala Negara menyerukan para dokter untuk terjun dan menyebar ke seluruh penjuru tanah air pusat-pusat Kesehatan Masyarakat yang sekarang telah tersebar di segenap wilayah tanah air dan masyarakat luas di pelosok-pelosok menanti-nanti sentuhan tangan dokter, kata Presiden.

Seruan tersebut dikemukakan Kepala Negara ketika pagi ini menghadiri acara peringatan 125 tahun pendidikan kedokteran di Indonesia yang diselenggarakan di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. pada kesempatan itu Presiden meresmikan Tugu Peringatan dengan menandatangani prasastinya.


Sabtu, 10 November 1979

Dalam rangka peringatan hari Pahlawan, hari ini Presiden Soeharto meresmikan patung panglima Akabri bagian darat, Magelang, Jawa tengah. Dalam amanatnya. Kepala Negara mengatakan bahwa Pak Dirman adalah seorang putera yang besar bangsa Indonesia, dan pembangunan monumennya dimana-mana bukanlah untuk mengkultuskannya. Tujuan pembangunan monumen-monumen itu adalah untuk menghormati dan mengenang keprajuritan dan kejuangan Pak Dirman yang penuh keteladanan. Mengenai maksud dibangunnya patung di tengah-tengah ajang penggodokan taruna ABRI ini oleh Presiden dikatakan agar semangat yang dilambangkan dalam patung ini tetap membimbing ABRI yang setia kepada rakyat sepanjang zaman, setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Demikian Presiden.


Selasa, 10 November 1981

Pukul 09.00 pagi ini, Menteri luar negeri Mochtar Kusumaatmadja menghadap Kepala Negara di Cendana. Ia datang untuk menyampaikan laporan mengenai hasil voting Komite IV Dekolonisasi PBB mengenai Timor Timur. Dilaporkannya bahwa suara yang mendukung usul resolusi (anti-posisi RI) diberikan oleh 58 negara, yang menentang resolusi (pro-posisi RI) diberikan 40 negara, sementara yang abstain 42 negara, dan yang tidak hadir 15 negara.


Rabu, 10 November 1982

Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan, di Istana Negara pagi ini Presiden Soeharto menyematkan Bintang Mahaputera Adiprana kepada 32 putera Indonesia. Diantaranya para penerima tanda jasa tersebut adalah Ibu Nelly Adam Malik, 17 Menteri dan para Kepala staf angkatan dan kepala kepolisian RI.


Kamis, 10 November 1983

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Hasan Habib, pukul 10.00 pagi ini diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Ia menghadap Kepala Negara untuk melaporkan tentang perkembangan hubungan Indonesia-Amerika Serikat, terutama menyangkut perkembangan ekonomi Amerika dewasa ini, dan pengamatan menjelang pemilihan Presiden Amerika yang akan berlangsung dalam tahun depan.

Setelah menghadap Kepala Negara, ia mengatakan bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat terus meningkat. Dalam enam bulan pertama tahun ini, impor minyak Amerika Serikat dari Indonesia meningkat sebesar 5,7%, sedangkan impor non-minyak naik 16,6%.


Sabtu, 10 November 1984

Pukul 09.45 pagi ini, dengan didampingi oleh Pangab Jenderal LB Murdani, Kasal Laksamana M Romly, dan Panglima Kodam V/Jaya, Presiden Soeharto meninjau lokasi musibah ledakan gunung mesiu Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan. Kemudian Presiden juga meninjau lokasi pemukiman penduduk di Kecamatan pasar minggu yang juga mengalami musibah akibat ledakan tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden talah memberi petunjuk kepada ketua proyek operasi besar AMD Manunggal XVIII, Birgjen Sugeng Subroto, agar lebih dulu merehabilitasi rumah-rumah penduduk yang kurang mampu. Dalam kunjungan di Kecamatan pasar minggu ini Presiden mengadakan dialog dengan masyarakat korban musibah ledakan tersebut.


Senin, 10 November 1986

Bertepatan dengan hari Pahlawan pagi ini Presiden Soeharto membuka calon penatar tingkat Nasional yang diadakan di Istana Bogor. Dalam kata sambutannya, Kepala Negara antara lain meminta agar penataran-penataran kita memberi suasana dan arah sebagai gerakan untuk terus menerus mendalami, menghayati dan mengamalkan Pancasila. Penataran hendaknya jangan menjadi kegiatan yang formal dan rutin yang justru dapat menghambat berkembangnya sikap kritis  dan dinamis dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan Pancasila. Setiap penataran harus membangkitkan kegairahan pesertanya, karena melalui penataran itu makin banyak ditemukan kedalaman dan keseluruhan gagasan-gagasan bangsa kita yang terungkap dalam Pancasila.

Kemudian ditegaskan oleh Presiden bahwa walaupun pemberian nilai-nilai dalam penataran merupakan salah satu cara yang baik untuk memberi kegairahan kepada peserta penataran. Kepancasilaan kita ditentukan oleh sikap dan perbuatan-perbuatan nyata kita dalam mengamalkan Pancasila itu.


Selasa, 10 November 1987

Dalam rangka memperingati hari Pahlawan, siang ini Presiden Soeharto meresmikan museum waspada purba wisesa yang berlokasi didalam kompleks museum Satria Mandala, di jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di dalam museum ini terdapat benda-benda yang berkaitan dengan pemberontakan-pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.

Menyambut kehadiran museum ini, Presiden mengatakan bahwa dari museum ini kita mendapat pelajaran sejarah, mengenai rangkaian sejarah ancaman terhadap Pancasila yang menggunakan dalih dan menyalahgunakan agama. Dari museum ini kita juga dapat mengambil pelajaran berharga, betapa kita semua sebagai umat beragama dalam negara Pancasila ini harus pandai-pandai menjunjung tinggi kesucian agama dan ajaran-ajarannya.

Dari museum ini kita memang seolah-olah menyaksikan kembali peristiwa-peristiwa di masa lampau yang menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kita, yang membahayakan kesatuan bangsa dan negara kita. Tetapi yang lebih penting lagi adalah menanamkan kewaspadaan pada bangsa kita agar pikiran-pikiran yang menyimpang dari dasar negara Pancasila tidak akan muncul lagi buat selama-lamanya. Pesan yang terkandung dalam museum ini adalah agar kita waspada terhadap pertanda semua bahaya, jauh sebelum bahaya itu muncul.

Pada jam 10.00 pagi ini Presiden Soeharto menerima menteri penerangan harmoko di Cendana, seusai pertemuan itu, Harmoko mengatakan bahwa ia datang untuk melaporkan kepada Presiden mengenai rencana untuk menyelenggarakan siaran saluran terbatas (SST) TV. Dijelaskan bahwa dengan sistem itu siaran hanya dapat di tangkap oleh pesawat penerima TV yang dilengkapi dengan peralatan khusus. Diperkirakannya bahwa siaran TV ini sudah dapat mengudara pada bulan Agustus tahun depan.

Menurut menteri penerangan, Presiden pada prinsipnya menyetujui penyelenggaraan STT dengan harapan siaran tersebut bersifat menunjang siaran-siaran umum (SSU) yang selama ini dilakukan TVRI.


Kamis, 10 November 1988

Dari jam 15.00 hingga 17.10 sore ini presiden soeharto mengadakan pembicaraan empat mata dengan Presiden Roh Tae Woo di Istana Merdeka. Pembicaraan berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan, dimana Presiden Roh Tae Woo berjanji akan mendorong warganya lebih banyak lagi berkunjung ke Indonesia. Sebagai salah satu hasil pembicaraan tersebut adalah berupa kesepakatan untuk membentuk komisi bersama Indonesia-korea guna meningkatkan kerjasama bilateral terutama dalam bidang ekonomi dan penanaman modal. Komisi itu akan dipimpin oleh masing-masing menteri luar negeri.

Dalam pembicaraan itu Presiden Roh Tae Woo mengemukakan keinginan agar Korea Selatan dapat menjadi mitra-mitra ASEAN. Menanggapi hal ini, Presiden Soeharto berpendapat bahwa maksud tersebut merupakan sesuatu positif dan berjanji akan membicarkannya dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kedua Presiden juga menyepakati untuk menjajaki kemungkinan terjalinnya perjanjian penerbangan antar Jakarta-Bali-Seoul.


Jumat, 10 November 1989

Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini meresmikan jalan tol Tomang-Cawang-Rawamangun. Dengan peresmian ini maka sistem jaringan jalan tol yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta beroperasi secara resmi. Dalam acara peresmian acara itu, Presiden dan Ibu Soeharto melakukan peninjauan di sepanjang jalan tol tersebut dengan menumpang sebuah bis.


Sabtu, 10 November 1990

Menjelang tengah malam ini, dengan menumpang pesawat DC-10 Garuda, Presiden Ibu Soeharto beserta rombongan meninggalkan tanah air untuk memulai rangkaian lawatan kenegaraan ke Jepang, RRC, dan Vietnam. Dalam kunjungan di Jepang sampai tanggal 11 November, Presiden antara lain akan menghadiri penobatan Kaisar Akibito dan mengadakan pembicaraan dengan PM Toshiki Kaifu, selanjutnya dari tanggal 14 sampai 19 November, Presiden dan Ibu Soeharto akan berada di RRC untuk memenuhi undangan Presiden yang Shangkun. Presiden dan rombongan di jadwalkan tiba di Hanoi pada tanggal 19 November dan berada di Negeri Ho Chi Minth itu sampai tanggal 21 November.


Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Oval Andrianto
Editor : Sukur Patakondo