Sabtu, 20 September 1969
Presiden
Soeharto tiba di Fakfak sore ini. Dalam rapat umum yang dihadiri rakyat
Kabupaten Fakfak Presiden menjanjikan akan memberikan sebuah kapal ukuran 200
ton yang dapat dimafaatkan bagi kelancaran perhubungan di daerah itu. Presiden
juga menaggapi penghargaan yang disampaikan oleh wakil-wakil rakyat Irian Barat
selama kunjungannya di daerah itu, yang antara lain terungkap dari pekikan
“Hidup Pak Harto”. Presiden meminta agar pekikan itu diganti dengan “Merdeka
Pak”. Sebab, menurut Presiden, kalau seorang pemimpin terlalu disanjung dan
dikultus individukan, maka ia akan lupa diri. Jenderal Soeharto tidak ingin hal
itu terjadi pada dirinya.
Kemudian
Presiden berziarah ke Makam Pahlawan Trikora dan meresmikan awal pembangunan
Tugu Kemenangan Pepera.
Rabu, 20
September 1972
Hari ini
Presiden Soeharto meresmikan jembatan kereta api Sungai Serayu di Kebasen, Jawa
Tengah. Dalam kata sambutannya Presiden mengatakan bahwa peranan kereta api
sebagai sarana angkutan adalah sangat penting. Oleh karena itu dalam Repelita
sekarang, Pemerintah mempunyai kebijaksanaan untuk mengembalikan kereta api
pada peranan pokoknya, yaitu sebagai sarana angkutan barang jarak jauh,
disamping sebagai alat transportasi penumpang.
Pada kesempatan
itu Presiden Soeharto telah menghadiakan enam
ekor kerbau kepada enam orang penduduk Desa Kali Bumiayu atas
jasa-jasanya menyelamatkan kecelakaan kereta api akibat runtuhnya jembatan.
Senin, 20
September 1976
Bertempat di
Bina Graha, Presiden Soeharto pagi ini secara simbolis menyerahkan bantuan
berupa pompa air unttuk Provinsi Daerah Istimewah Aceh dan Provinsi Sulawesi
Selatan, yang diterima oleh Gubernur Muzakkir Walad dan Gubernur Achmad Lamo.
Pompa air yang mempunyai kapasitas 425 meter kubuk per jam dan merupakan hasil
rakitan PT Metrika itu dapat digunakan untuk irigasi. Pemerintah telah memesan
pompa jenis ini sebanyak 224 buah dengan harga Rp3.000.000,- per unit. Daerah
yang pernah mendapat bantuan pompa ini dari Kepala Negara adalah Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Selasa, 20
September 1977
Presiden
Soeharto menginstruksikan pembentukan tata niaga garam rakyat dengan menetapkan
harga terendah (floor price) dan
harga tertinggi (ceiling price). Hal
ini sama juga dengan tata niaga beras/gabah yang telah dilakukan Bulog. Masalah
ini dibicarakan dalam sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional di Bina Graha
hari ini.
Kepada sidang
tersebut presiden Soeharto menjelasskan bahwa tataniaga itu perlu digariskan,
sehingga bila ada gejala harga garam akan turun dibawah harga terendah,
sehingga bila ada gejala harga garam akan turun dibawah harga terendah, maka PN
Garam harus melakukan pembelian dari rakyat produsen. Sebaliknya jika harga
garam cenderung naik diatas harga tertinggi, PN Garam melakukan penjualan di
pasar-pasar.
Disamping itu,
sidang juga telah membahas realisasi pembentukan team koordinasi peningkatan
ekspor ke Timur Tengah berdasarkan Keputusan Presiden No. 36/1977. Team ini
bersifat interdepartemental dan diketahui oleh Menteri Perdagangan, sedangkan
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi sebagai ketua pengganti. Ketua
team bertanggungjawab kepada Presiden.
Sabtu, 20
September 1980
Secara serentak
di seluruh Indonesia, hari ini dilaksanakan pencacahan jiwa dalam rangka Sensus
Penduduk tahun 1980. Pencacahn
diharapkan sudah selesai pada tanggal 31 Oktober yang akan datang. Sehubungan dengan pelaksanaan Sensus Penduduk
1980 itu, tadi malam Presiden Soeharto menyampaikan amanatnya melalui radio dan
televisi.
Presiden
mengharapkan kesediaan seluruh penduduk Indonesia memberikan keterangan yang
benar dan cermat kepada petugas sensus, sehubungan dengan diselenggarakannya
kegiatan pencacahan besok pagi, Sabtu tanggal 20 September, dalam rangka sensus
penduduk 1980. Ditekankan oleh Presiden bahwa pekerjaan para petugass sensus
hanya dapat berhasil baik, jika mereka memperoleh pengertian dan kerjasama
semua penduduk.
Selasa, 20
September 1983
Pukul 10.30 pagi
ini, bertempat di Bina Graha, Kepala Negara menerima Dewan Pimpina Pusat KNPI.
Diantara 30 pengurus organisasi pemuda yang hadir dalam pertemuan itu tampak
Kettua Umum, Aulia Rachman, dan Sekretaris Jenderal, Theo Sambuaga.
Kepada para
pimpinan KNPI, Presiden menegaskan bahwa penerapan Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi semua organisasi kemasyarakatan tidak akan mengurangi
atau menghilangkan kebhinnekaan. Menurut Presiden, hal ini karena kebhinnekaan
itu pada dasrnya memang tidak perlu dihilangkan dan mala justru kita perlukan
untuk menyuburkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut ditegaskannya
bahwa penerapan asas tunggal itu sangat mendesak untuk dilaksanakan sekarang
ini, tidak saja bagi organisasi-organisasi sosial politik, melainkan juga bagi
seluruh organisasi kemasyarakatan yang ada. Sehubungan dengan itu, dimintanya
agar KNPI ikut mempelopori pemecahan berbagai masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia, khususnya generasi muda.
Jum’at, 20
September 1985
Presiden dan Ibu
Soeharto pagi ini mengunjungi Peternakan Negara Herceghalom,sekitar 24
kilometer dari Budapest. Disini Presiden mendapat penjelasan singkat mengenai
kegiatan-kegiatan pusat percobaan peternakan ini, dan kemudian melakukan
peninjauan dengan berkendaraan mobil.
Kemudian
Presiden dan Ibu Soeharto meninjau perusahaan alat-alat kedokteran di Medicor.
Keamjaun-kemajuan yang di capai Hongaria dalam bidang alat-alat kesehatan disaksikan oleh Presiden dan Ibu
Soeharto didalam ruang pamer hasil produksinya.
Sabtu, 20
September 1986
Dalam Upacara
Prasetya Perwira ABRI tahun 1986 yang berlangsung pagi ini dihalaman Istana
Merdeka, Presiden Soeharto melantik 548 perwira baru lulusan Akademik Militer,
Akademi Angkatan Laut, Akademi Angkatan Udara, dan Akademi Kepolisian.
Perwira-perwira remaja itu terbagi atas 227 perwira TNI-AD, 73 perwira TNI-AL,
55 perwira TNI-AU, dan 193 perwira Polri. Pada kesempatan itu Presiden
menyematkan pangkat letnan dua kepada empat lulusan terbaik dari masing-masing
akademi.
Dalam amanatnya
Presiden antara lain telah menggambarkan tugas ABRI di tahun-tahun yang
akan datang. Dikatakannya bahwa pada
masa itu tugas ABRI sebagai pejuang dan prajurit, tugas ABRI sebagai
stabilisator dan dinamisator, tugas ABRI sebagai kekuatan hankam dan sebagai
kekuatan sosial politik, haruslah tetap ditetapkan dalam rangka kelanjutan
pembangunan bangsa. Tugas ini jelas bukan tugas yang ringan;lebih-lebih karena
kita sedang memasuki tahun-tahun yang sulit dan berat.
Rabu, 20
September 1989
Yayasan Dharmais
yang diketahui oleh Jenderal (Purn.) Soeharto dalam tahun 1989/1990 akan
menyalurkan dana sekitar Rp14,5 miliar untuk membantu berbagai kegiatan sosial
kemasyarakatan yang ada di seluruh Indonesia. Diantara pengeluaran tersebut
adalah sekitar Rp8,5 miliar akan digunakan untuk membantu biaya makan bagi
kurang-lebih 45.000 anak di panti asuhan. Selain itu, dana sebesar Rp800 juta
disediakan untuk pengadaan pakaian bagi anak-anak yatim di panti-panti asuhan.
Dana sebanyak Rp1,2 miliar disalurkan untuk perumahan bagi Korps Cacat Veteran
di Sidoardjo, Jember, Tulungagung, Pasuruan, dan Sumatera Barat. Untuk membantu
25.000 anak asuh, yayasan mencadangkan dana Rp900 juta.
Minggu, 20
September 1992
Presiden dan Ibu
Tien Soeharto malam ini pukul 23.40 berangkat menuju Amerika Serikat dalam
rangka menghadiri sidang umum ke-47 PBB. Dari Amerika Serikat, Presiden
Soeharto akan menuju Jepang.
Sumber
: Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun
: Rayvan Lesilolo