Presiden Soeharto Jelaskan Letak Kerohanian Dwifungsi ABRI[1]
JUM’AT, 5 OKTOBER 1979, Ulang tahun ABRI
yang ke-34, hari ini diperingati dalam suatu upacara di Parkir Timur,
Senayan, Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur
Upacara. Dalam amanatnya, Presiden Soeharto mengatakan, ABRI harus dapat
menempatkan diri dan memainkan peranan yang tepat dalam situasi
nasional, regional, dan intemasional sekarang ini. Hal ini karena ABRI
merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional baik sebagai
kekuatan pertahanankeamiman maupun sebagai kekuatan sosial.
Selanjutnya
Presiden berbicara secara panjang lebar mengenai kepribadian ABRI.
Dikatakannya bahwa kepribadian ini lahir dan berkembang dari sejarah
perjuangan ABRI sendiri. Karena itu ABRI adalah kekuatan bangsa yang
mendukung dan berjuang untuk cita-cita kemerdekaan. Karena itu pula,
ABRI sama sekali bukan semata-mata alat negara. Menurut Presiden,
disinilah letak suasana kerohanian dan sumber sejarah yang melahirkan
Dwifungsi ABRI. Peranan ABRI sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan
sebagai kekuatan sosial ini telah dilaksanakan sejak semula, jauh
sebelum dikenal istilah Dwifungsi ABRI.
Diuraikan oleh Presiden bahwa pada
tahun-tahun perang kemerdekaan, disamping bertempur, ABRI juga ikut
membangun pemerintahan gerilya, menerjunkan diri di lapangan pendidikan,
menggerakkan rakyat untuk meningkatkan produksi dan sebagainya. Jika
ABRI melakukan operasi penumpasan pemberontakan, maka hal itu tidak
hanya dilakukan karena melaksanakan kewajiban sebagai alat
pertahanan-keamanan, akan tetapi juga didorong oleh panggilan tugas
sebagai pejuang yang harus menyelamatkan dasar dan cita-cita
kemerdekaan. Sesudah pemberontakan dipadamkan, ABRI segera melakukan
rehabilitasi sosial untuk memulihkan rakyat pada kehidupan yang normal.
Oleh karena itu, Presiden menekankan
bahwa Dwifungsi ABRI sama sekali tidak berarti “penyaluran tenaga” dari
kalangan ABRI ke lapangan lain. Dwifungsi ABRI juga sama sekali bukan
berarti meluaskan kekuasaan militer ke lapangan lain. Dwifungsi ABRI
berarti pelaksanaan yang wajar dari kepribadian ABRI sebagai kekuatan
bangsa yang ikut membela dan menegakkan dasar dan cita-cita kemerdekaan.
Dwifungsi ABRI sama sekali bukan berarti keistimewaan bagi anggota
ABRI, melainkan lebih merupakan panggilan pengabdian daripada hak.
Karena itu pelaksanaan Dwifungsi ABRI harus diwujudkan dengan dijiwai
oleh idealisme perjuangan dan kerakyatan, oleh semangat pengabdian
kepada bangsa dan negara. Demikian Kepala Negara. (AFR).
[1]
Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret
1983″, hal 212-213. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI,
Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT.
Citra Kharisma Bunda Jakarta, Tahun 2003.