Kamal, 26 Mei 1998
Kepada
Yth. Bapak Soeharto
di Jalan Cendana 6
Jakarta Pusat
Haru, Sedih, Bangga[1]
Bismillahir rachmaanir rachiim,
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Pada 21 Mei 1998, saya mengikuti
(melalui televisi) acara pidato pernyataan berhenti Bapak Soeharto
sebagai presiden Republik Indonesia. Rasa haru, sedih, bahagia dan
bangga bercampur baur saat itu. Rasa sedih karena Bapak Soeharto yang
telah banyak berjasa pada bangsa dan negara harus berhenti sebagai
presiden sebelum masa jabatan berakhir. Pada saat itu saya dan istri
meneteskan air mata karena mengingat jasa Bapak, tidak hanya pada negara
dan bangsa, tetapi juga jasa Bapak pada kami sekeluarga, terutama pada
istri saya (walaupun mungkin Bapak sudah melupakannya). Rasa bahagia
karena dengan keputusan tersebut, insya Allah negara terhindar dari
perpecahan yang akan menelan korban. Rasa bangga, karena pernyataan
Bapak untuk mundur justru membuktikan pada rakyat Indonesia bahkan pada
dunia bahwa Bapak adalah negarawan sejati, yang lebih mementingkan
keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara daripada sekedar jabatan
Presiden Republik Indonesia.
Saya mengucapkan banyak terima kasih dan
rasa simpati yang mendalam atas semua jasa-jasa Bapak pada bangsa dan
negara, terutama pada rakyat kecil di negara ini. Dan semoga Bapak
selalu mendapatkan petunjuk dan lindungan Allah SWT, serta petunjuk dan
saran Bapak pada bangsa ini masih sangat diperlukan.
Bapak Soeharto yang saya hormati,
Sekitar tahun 1989-1990, istri saya
menulis surat untuk minta bantuan Bapak, karena telah mengikuti tes
sebagai CPNS (guru SD) 2 kali tetapi tidak lulus. Walaupun kami pesimis
akan dapat perhatian dari Bapak, mengingat kesibukan Bapak sebagai
presiden RI. Namun sangat tak terduga +
6 bulan setelah surat tersebut kami kirim dapat balasan, walaupun bukan
langsung dari Bapak, tapi dari staf Departemen P dan K Pusat. Isinya
sekedar saran agar istri saya belajar untuk mempersiapkan diri mengikuti
tes selanjutnya.
Kira-kira 6 bulan berikutnya, untuk
kedua kalinya saya terkejut dan bersyukur dengan datangnya surat
panggilan untuk istri saya dari kantor P dan K Kab. bangkalan untuk
Screening yang akhirnya diangkat sebagai CPNS di Kab. Sampang bersama
temannya. Saat ini istri saya menjadi guru SD dengan golongan II B. Rasa
syukur pada Allah SWT, dan ucapan terima kasih yang tak terhingga,
karena dengan itu, keadaan ekonomi keluarga saya jadi membaik. tetapi
karena kebutuhan istri saya yang baru melahirkan anak kami yang ke-3
waktu itu serta kesibukan di tempat kerjanya menjadi tertundanya menulis
surat ucapan terima kasih kepada Bapak. Bahkan sampai Bapak menyatakan
berhenti dari jabatan presiden RI. Untuk itu saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya dan itu tidak berarti saya melupakan jasa besar Bapak
kepada keluarga kami. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas
bantuan Bapak yang sangat berharga dan sangat berarti bagi kami
sekeluarga.
Wassalam Wr. Wb.
Imam Rachman
Kamal Madura
[1]
Dikutip langsung dari buku berjudul “Empati di Tengah Badai:
Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998″, (Jakarta:
Kharisma, 1999), hal 160-161. Surat ini merupakan salah satu dari 1074
surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan
luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan
simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat
tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.