PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Perjuangan : Mengatasi G.30.S/PKI

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,
Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami, Tomy, yang masih berumur empat tahun, dirawat disana karena tersiram air sup yang panas. Agak lama juga kami berada di sana, maklumlah, menjaga anak yang menjadi kesayangan semua.

Kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kol. Latief berjalan di depan zaal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jln. Haji Agus Salim karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu, yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy dan ibunya tetap menungguinya di Rumah Sakit. Sesampai di rumah saya berbaring dan bisa cepat tidur. Tetapi kira-kira setengah lima subuh, tanggal 1 Oktober, saya kedatangan cameramen TVRI, Hamid. Ia baru selesai melakukan shooting film. Ia memberitahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat. Saya belum berfikir panjang waktu itu. Setengah jam kemudian tetangga kami, Mashuri, datang memberi tahu bahwa tadi ia mendengar banyak tembakan. Mulailah saya berfikir agak panjang. Setengah jam kemudian datanglah Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar yang mengagetkan, mengenai penculikan atas beberapa PATI Angkatan Darat. Maka segeralah saya bersiap dengan pakaian lapangan.

Pukul 6 pagi, Letkol. Sadjiman, atas perintah Pak Umar Wirahadikusumah melaporkan, bahwa di sekitar Monas dan Istana banyak pasukan yang tidak dikenalnya. Saya percepat merapikan pakaian yang sudah saya kenakan, loreng lengkap, tetapi belum mengenakan pistol, pet dan sepatu. Kepada Letkol. Sadjiman saya sempat berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta Pati AD lainnya. “Segera kembali sajalah, dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat datang di Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat”, kata saya kepada Sadjiman. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan.

Saya ingat apa yang harus saya perbuat dalam keadaan seperti ini. Pertama-tama saya harus tenang. Saya ingat dengan seketika, refleks dalam diri saya pribadi, dan ingat pada pepatah Jawa “Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh”. Saya kumpulkan semua informasi.

Saya masuk lagi ke kamar untuk memakai sepatu, mengenakan pet dan pistol. Sempat saya melirik pada Mamik, si bungsu yang masih nyenyak tidur di ranjang.

Saya mengendarai jeep Toyota, sendirian, tidak ada yang memerintah, tanpa pengawal, menuju ke Kostrad, melalui Jalan Kebon Sirih, Jalan Merdeka Timur. Saya perhatikan keadaan sekeliling lebih dari biasanya. Maka saya pun menyaksikan sendiri prajurit-prajurit berjaga di sekitar Monas, di Jalan Merdeka Timur.

Saya lewati penjaga yang memberi hormat. Lalu masuk ke Gedung Kosntrad. Segera saya mendapat laporan dari piket Kostrad bahwa orang terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim. Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di prapatan Pancoran, di depan Markas Besar AURI. Piket itu menerima laporan telepon dari badan intel yang sedang bertugas.

Radio sudah disetel. Pukul 07.00 tepat saya mendengarkan siaran RRI pertama mengenai “Gerakan 30 September” yang dipimpin oleh Letkol. Untung. Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagi pula saya tahu siapa itu Letkol. Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat, rapat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.

Saya tidak sendirian mendengar siaran “G.30.S” itu. Selang seperempat jam setelah usai siaran itu, saya sudah menerima Letkol. Ali Murtopo dan Brigjen. Sabirin Mochtar, yang kemudian saya perintahkan menghubungi Komandan Batalyon yang berada di sekitar Monas, agar menghadap kepada Panglima Kostrad.

Kira-kira setengah sembilan Letkol. Ali Murtopo dan Brigjen. Sabirin Mochtar kembali menghadap dan bercerita, bahwa Danyon 454 dan 530 tidak ada di tempat, mereka sedang ke Istana. Saya tidak puas. Saya minta lagi agar Letkol. Ali Murtopo dan Brigjen. Sabirin menyuruh Wandanyon-Wandanyon 454 dan 530 menghadap kepada saya.

Selang setengah jam Wandanyon 454 Kapten Kuntjoro dan Wandanyon 530 Kapten Suradi datang di kamar kerja saya. Saya mengambil sikap tenang. Setelah mereka memberi hormat dan saya persilakan mereka duduk, segera saya tanya. “Tugasmu disini apa?”

Hampir berbarengan mereka menjawab, “Tugas mengamankan Presiden. Karena akan ada kup dari Dewan Jenderal”.

“Itu semua tidak betul, “ sambut saya sambil menatap kedua kapten itu. “Kamu tahu, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jenderal itu tidak ada, yang ada adalah Wanjakti, tidak mungkin ada rencana kup. Saya sendiri menjadi anggota Wanjakti itu. Saya mengetahui betul, gerakan Untung ini pasti didalangi oleh PKI.” Diam sekejap.

“Ini merupakan pemberontakan,” sambung saya lagi.

“Jadi, saya memutuskan untuk menghadapinya. Sampaikan saran saya ini kepada seluruh anggota kesatuanmu, agar segera kembali ke Kostrad. Kalau tidak, dengan sendirinya kalian akan berhadapan dengan saya. Juga sampaikan hal ini kepada komandan batalyonmu.” Diam lagi beberapa saat. Saya tatap mata mereka.

“Saya beri batas waktu sampai pukul enam sore. Kalau pukul enam sore nanti tidak segera kembali ke Kostrad, berarti kalian berhadapan dengan pasukan saya”.

 “Mengerti ?” saya menutup pembicaraan.

“Ya Pak”, jawab mereka serentak. Mereka memberi hormat.

Lalu saya suruh mereka kembali membawa pesan saya.

Langkah pertama yang saya ambil adalah penyelamatan dua batalyon yang dilibatkan dalam petualangan oleh Untung, dan sekaligus melucuti kekuatan Untung secara halus.

*

Kira-kira pukul 9 lebih seperempat saya mengadakan rapat staf. Hadir dalam kesempatan ini Kol. Yogasugama, Ass. Intel, Kol. Wahono, Ass. Operasi, Kol. Djoko Basuki, Ass. IV Kol. Sri Hardojo, Ass. III, dan Brigjen. Achmad Wiranatakusumah, Kepala Staf. Saya buka rapat itu dengan memberikan penjelasan mengenai situasi, mengenai siaran RRI pukul tujuh.

“Saya banyak mengenal Untung sejak lama,” kata saya. “Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Alimin.”

Saya jelaskan pikiran saya mengenai pernyataan Untung bahwa gerakannya seolah-olah hanya untuk menghadapi apa yang dikatakan Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup sehingga mereka mendahului bertindak dengan menculik para pimpinan Angkatan Darat.

“Ia mempergunakan dalih untuk menyelamatkan Presiden Soekarno,” kata saya. “Kenyataanya, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana”.

“Dewan Jenderal itu tida ada. Apalagi Dewan Jenderal yang akan melakukan kegiatan politik, melakukan kup terhadap negara dan bangsa. Itu sama sekali tidak ada. Yang ada adalah Wanjakti, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Angkatan darat, dimana saya jadi anggotanya.

“Wanjakti itu sendiri tidak pernah membicarakan masalah politik. Hanya membahas kenaikan pangkat dan jabatan dari kolonel ke Brigjen dan dari Bigjen ke Mayjen dan sebagainya”.

“Jadi yang dikatakan oleh Untung itu sama sekali tidak benar”, saya tegskan. “Menurut saya, ini bukan sekedar gerakan untuk menghadapi apa yang dikatakan Dewan Jenderal saja, melainkan lebih jauh dari itu. Mereka mengadakan gerakan kup untuk merebut kekuasaan Negara secara paksa dan pasti didalangi PKI”.

Asisten-asisten saya mengangguk, memahami dan kelihatan menyetujui saya.

“Menghadapi kejadian ini,” kata saya seterusnya, “kita tidak hanya sekedar mencari keadilan karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan sebagian dibunuh, akan tetapi sebagai prajurit Sapta Marga kita merasa terpanggil untuk menghadapi masalah ini, karena yang terancam adalah Negara dan Pancasila.”

“Saya memutuskan untuk melawan mereka”.  Diam sesaat. “Terserah kepada saudara-saudara sekalian, apa akan mengikuti saya atau tidak,” saya membuka kesempatan berbicara.” “Sebab, kalau kita tidak melawan atau menghadapi mereka, toh kita akan mati konyol. Menurut pendapat saya, lebih baik mati membela Negara dan Pancasila daripada mati konyol. Dengan ridho Tuhan, Insya Allah kita akan diberi jalan untuk menumpas gerakan pemberontakan yang dipimpin si Untung itu. Bagaimana?”. Saya menutup keterangan saya.

“Kami ikut Pak Harto,” kata semua yang hadir, berbarengan, sepaham.

Seusai rapat staf, kira-kira pukul 10 saya memanggil Kol. Sarwo Edhi Wibowo. Saya perintahkan Brigjen. Muskita membuat surat panggilan itu kepada Kol. Sarwo Edhi. Herman Sarens naik panser, menuju tempat Sarwo Edhi.

Lalu saya mengadakan hubungan per telepon dengan Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, membicarakan situasi dan penilaian saya. Kemudian dengan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian Sutjipto Judodihardjo. Dengannya sama saja, saya menyampaikan gambaran situasi. Lalu mencoba hubungan dengan Menteri Panglima Angkatan Udara. Tetapi yang menerima Leo Watimena. Kepada para panglima itu saya sampaikan, bahwa beberapa tokoh Pimpinan Angkatan Darat telah diculik oleh gerakan Untung dan belum diketahui nasib mereka selanjutnya. Saya katakan, “Saya telah mengambil komando dan pimpinan sementara Angkatan Darat, agar tidak terjadi kekosongan pimpinan.” Kepada mereka saya juga nyatakan bahwa saya mengharapkan bantuan dan pengertian mereka. “Kita perlu koordinasi, agar jangan sampai ada gerakan pasukan tanpa sepengetahuan Panglima,” kata saya. “Agar dapat membedakan antara kawan dan lawan, harap semua pasukan dikonsinyir dan apabila akan bergerak, harap memberitahukan kepada Kostrad lebih dahulu”.

Para panglima yang sempat saya hubungi itu menyatakan terima kasih atas pemberitahuan dan mereka berjanji akan membantu. Mereka ucapkan, akan selalu melakukan koordinasi dengan Kostrad.

Leo Watimena, setelah menerima telepon, menyatakan ingin bertemu dengan saya di Kostrad untuk mendapatkan penjelasan dan mengetahui latar belakang gerakan yang terjadi.

Selesai menelepon para Panglima Angkatan, saya memerintahkan Kolonel Wahono untuk membuat perintah harian kepada seluruh Pangdam melalui radiogram. Di antara isi radiogram yang penting itu, selain menyebutkan tentang adanya “G.30.S” dan tentang diculiknya antara lain Jenderal A. Yani, diinstruksikan kepada semua Panglima Kodam, supaya segera menguasai daerahnya masing-masing dan memberi laporan secara teratur mengenai perkembangan daerahnya. Radiogram itu menerangkan pula, bahwa untuk sementara saya mengambil komando Angkatan Darat. Dan gerakan pasukan hanya atas perintah Panglima Kostrad.

Kira-kira pukul setengah sebelas Pak Umar menelepon saya dari Markas Kodam-V. Ia melaporkan bahwa ia baru kembali dari Istana. Yang ada di Istana malah Brigjen. Supardjo, dengan pakaian Dinas Upacara Besar, katanya. Saya sempat bertanya, ada apa Supardjo di Jakarta, padahal seharusnya ia berada di Kalimantan Barat. Tetapi Pak Umar pun tidak bisa memberikan penjelasan mengenai itu.

Pukul 11 datanglah Sarwo Edhie di Kostrad dengan Panser. Di Kamar kerja saya kami membicarakan rencana penyerangan RRI dan gedung Telkom yang sudah kami ketahui bahwa kantor itu diduduki oleh pasukan Untung.

Dengan Sarwo Edhie saya tidak usah banyak bicara. Ia sudah mengerti situasi dengan cepat. Saya pun cepat saja memberi perintah untuk merebut kembali RRI dan Telkom.

“Atur rencana operasi sebaik-baiknya,” perintah saya.

“Siap, segera kami laksanakan,” jawabnya. Lalu ia kembali ke Cijantung.

Sementara itu saya sudah mendengarkan siaran ulang Untung di RRI dan laporan-laporan lain pun sudah masuk.

*

Orang yang ingin mendapatkan keterangan lebih panjang, Leo Watimena datang menghadap saya di Kostrad, menjelang tengah hari.

“Saya betul-betul tidak tahu latar belakang gerakan ini”, katanya setelah saya persilahkan ia duduk. “Saya menghadap Pak Harto, ingin mendapatkan penjelasan yang sebenarnya.”

“Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi Komandan Resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan kompi Batalyon 444, “ saya menerangkan. “Untung pernah mendapat pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin”.

“Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Untung bukan sekedar gerakan yang akan menghadapi Angkatan Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Gerakan Untung mempunyai tujuan lebih jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup”.

“Supaya Leo tahu, “sambung saya, “pusat komando pimpinan Gerakan 30 September ini berada di sekitar Halim. Bahkan beberapa tokoh pimpinannya terdapat dari Angkatan Udara, oknum Angkatan Udara. Halim juga dijadikan tempat latihan Pemuda Rakyat, bukan? Dan saat ini Bung Karno juga berada di Halim,“ saya jelaskan sambil menatapnya.

“Saya malah tidak tahu sama sekali menganai hal ini,” balas Leo menarik muka sungguh-sungguh. Saya kenal Leo sejak Operasi Mandala di Makasar, sewaktu ia sebagai Wakil Panglima Mandala.

Ia lalu bertanya mengenai apa yang disebut Dewan Jenderal. Dan saya mengulang menjelaskan itu juga kepadanya.

“Saya baru mengerti sekarang”, katanya, lalu menarik nafas dan bersandar sebentar pada sandaran kursi yang didudukinya.

Tengah hari saya mendengarkan siaran ulangan Untung lewat RRI yang ketiga kalinya.

Sementara itu ada yang melaporkan bahwa prajurit RPKAD Cijantung telah diperintahkan oleh Sarwo Edhie untuk menyetop truk umum untuk mengangkut pasukan.

Saya cepat menghubungi Sarwo Edhie dan saya beri perintah, supaya ia jangan dulu melaksanakan perintah saya. “Tunggu dulu sampai waktunya yang tepat,” komando saya. Padahal pada waktu itu di Cijantung ia sedang memeriksa pasukannya naik truk yang akan merebut RRI dan Telkom.

Setelah ia membalas perintah saya dengan mengatakan “siap”, saya dengar ia menggerutu sendirian karena tentunya ia bimbang mengenai semangat prajuritnya yang bisa jadi turun.

Dalam pada itu saya pertimbangkan, kalau RRI dan Telkom diserang siang hari, khawatir akan banyak korban berjatuhan, di samping  ingin memberi kesempatan kepada masyarakat umum agar mendengar sendiri pengumuman Untung dan mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh Untung, dan saya pun ingin tahu langkah-langkah Untung berikutnya. Ternyata pengumuman “Gerakan 30 September” berikutnya ialah mengenai penurunan pangkat, dan susunan Dewan Revolusi.

Kira-kira setengah satu tengah hari saya adakan lagi rapat staf yang kedua. Yang hadir sama seperti pada waktu rapat staf yang pertama. Kami membalas rencana penyerangan merebut Halim, setelah mengetahui benar, bahwa Lanuma Halim merupakan tempat komando G.30.S. dan benar Presiden Soekarno dan beberapa menteri berada di daerah itu.

Saya perintahkan Kolonel Wahono, Asisten Operasi saya, segera menghubungi Sarwo Edhie untuk mempersiapkan rencana ini. Dalam pikiran saya hidup, bagaimana caranya agar sebelum tengah malam nanti Presiden Soekarno sudah meninggalkan Halim. Memindahkan beliau dari sana amat penting. Beliau adalah yang dipertanyakan oleh semua. Beliau mesti ada di pihak kita, sedikitnya di wilayah yang kita kuasai.

Tiba-tiba muncul ajudan Bung Karno, Kolonel KKO Bambang Widjanarko. Ia datang dari Halim, menghadap kepada saya, untuk mencari informasi.

“Kami melaporkan, Bapak Presiden Soekarno berada di Halim dalam keadaan sehat,” katanya meyakinkan saya.

“Terima kasih,” jawab saya. “Kami pun sudah mendapat laporan beliau ada di sana. Tetapi tepatnya di mana?”.

Widjanarko menjelaskan tempatnya yang tepat.

“Sekarang tugas kami apa, Pak?” tanyanya.

“Begini,“ kata saya, “kalau Kolonel mau berjasa untuk Negara dan membantu menyelesaikan masalah ini, usahakan agar Bung Karno meninggalkan Halim sebelum tengah malam”.

Widjanarko mengucapkan Insya Alloh, menandakan ia ada di pihak kami. Lalu ia cepat kembali, ke Halim.

Kemudian saya mengetahui bahwa setelah sampai di Halim, Kolonel Widjanarko menyampaikan pesan saya itu kepada dr. Leimena, dan Dr. Leimena cepat mengerti apa yang terselubung di balik pesan saya kepada Widjanarko. dr. Leimena paham rupanya bahwa isyarat saya itu menyebutkan, Halim akan kami serang.

Rupanya setelah mendengar pesan saya itu dari Widjanarko, dr. Leimena menemui Bung Karno dan membujuk Bung Karno agar bersedia ke Istana Bogor, demi keamanan Presiden sendiri. Dan malam itu juga Bung Karno berangkat ke Istana Bogor dengan mobil.

Kira-kira setengah dua Sarwo Edhie datang lagi di Kostrad dengan membawa pasukan RPKAD, setelah kami mendengar pengumuman dekrit Untung lewat RRI mengenai penurunan pangkat dan susunan Dewan Revolusi itu. Dengan perlahan tetapi saya tangkap benar suaranya, Sarwo Edhie menjelaskan, ia datang dengan pasukan untuk menjaga semangat prajurit, agar tidak putus asa. Lebih baik menunggu perintah di Kostrad daripada di Cijantung ,” katanya. Saya pun paham. Ia benar sebagai komandan.