PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 11 November 1966 - 11 November 1990

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Jum’at  11 November 1966

Hari ini Menpagad  Jenderal  Soeharto  meresmikan patung  Jenderal  Anumentera  Gatot  Subroto di geduung  Direktorat Palad, Jakarta . Dalam kata sambutannya, Jenderal  Soeharto  bahwa TNI dalam sikap dan pendiriannya memang tidak berubah. Di dalam setiap pergolakan dan perubahan, TNI selalu membuktikan kesetiaannya kepada Pancasila, Demikian pula, di tengah-tengah segala cobaan dan penderitaan, TNI tidak melepas sikap pendiriannya sebagai inti dan pelopor dalam memperjuangkan tuntutan hati nurani rakyat.


Senin, 11 November 1968

Dalam menyelesaikan masalah nasional, pers sebagai alat media massa mempunyai peranan yang sangat besar dan pemerintah selalu menghargai kebebasan pers sebagai salah satu alat pelaksana hak-hak asasi manusia. Tetapi hendaknya disadari bahwa pers nasional juga wajib memenuhi kewajiban asasinya, yaitu mengamankan dan memperhatikan kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Demikian antara lain dikatakan Presiden Soeharto dalam menyambut terbitnya surat kabar “Pelopor Yogya” sebagai harian pagi.

Dalam sambutan tertulisnya pada pembukaan Munas Gerakan Koperasi Indonesia di Gedung Pola, Jakarta, Presiden Soeharto menegaskan bahwa tata perekonomian Indonesia sekali-sekali tidak akan meluncur ke arah liberalisme. UUD 1945 telah menegaskan bahwa bangsa kita harus mewujudkan demokrasi ekonomi yang berarti kemakmuran masyarakat harus diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang; demikian antara lain yang dikemukakan Presiden.


Kamis, 11 November 1971

Presiden Soeharto menyatakan harapan agar pertemuan negara-negara kreditor Indonesia yang tergabung dalam kelompok IGGI dalam pertemuan mereka di Negeri Belanda pada bulan Desember ini dapat mencapai hasil seperti di masa-masa lampau. Hari ini dinyatakan Presiden kepada Ketua Delegasi Belanda  dalam  IGGI, PC Witte, yang menemui hari ini di Bina Graha. Kepada PC Witte, Jenderal Soeharto menjelaskan bahwa bantuan luar negeri yang berasal dari negara-negara IGGI diperlukan untuk melancarkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.

Presiden Soeharto memberikan pakaian seharga Rp. 100 juta untuk masyarakat Irian Barat. Pemberian itu disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam hubungan ini Presiden mengharapkan agar pakaian-pakaian tersebut sudah sampai di tangan rakyat Irian Barat sebelum hari natal. Pakaian tersebut seluruhnya berjumlah 200.000 potong pakaian pria dan 100.000 potong pakaian wanita.

Presiden Soeharto memberikan zakat fitrah untuk fakir miskin di Kota Bandung dan Kota Madya Bogor masing-masing sebanyak 25 ton dan 20 ton beras.  


Selasa, 11 November 1975

Presiden Soeharto hari ini di Bina Graha memimpin sidang Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional yang antara lain telah membahas masalah Timor Portugis. Sidang tersebut menyepakati bahwa Indonesia tidak boleh tinggal diam, melainkan harus menanggapi aspirasi rakyat Timor Portugis yang diteror oleh pihak Fretilin. Untuk itu Indonesia akan meningkatkan kemampuan rakyat yang menentang Fretilin, agar mereka dapat membela diri.


Jum’at,  11 November 1977

Presiden Soeharto pagi ini mengadakan pertemuan dengan beberapa Menteri, Kepala Staf Kopkamtib, Kepala Bakin, Pangkowilhan I sampai IV, para Panglima Daerah Militer dan Gubernur se Jawa dan Bali. Pertemuan ini diadakan di Bina Graha dan pembicaraan yang dibahas tampaknya cukup serius, karena memakan waktu kurang lebih tiga jam. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto meminta perhatian, kewaspadaan dan kesiap-siagaan dari para pejabat di bidang dan Daerahnya masing-masing, sehubungan dengan adanya kegiatan sekelompok kecil masyarakat yang apabila tidak segara dikendalikan secara tepat dapat mengganggu keamanan, ketertiban, dan jalannya  Sidang Umum MPR yang akan datang. Presiden juga menekankan pentingnya Sidang Umum MPR yang akan datang sebagai salah satu wujud pelaksanaan demokrasi dan kehidupan konstitusional serta sebagai salah satu mata rantai penegakan Pancasil dan UUD 1945, yang menjadi landasan dari cita-cita Orde Baru.


Sabtu, 11 November 1978

Presiden Soeharto melakukan shalat Idul Adha bersama-sama masyarakat Jakarta di Masjid Istiqhal  pagi ini. Sesudah shalat, Kepala Negara menyerahkan seekor sapi sebagai qurbannya.


Minggu, 11 November 1979

Presiden dan Ibu Soeharto beserta rombongan pukul 21.00 malam ini meninggalkan Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdanakusuma menuju London dalam rangka kunjungan kenegaraan ke Inggris, Sri Langka, dan Bangladesh. Perjalanan ke London ditempuh melalui Jenewa, Swiss.


Rabu, 11 November 1981

Presiden Soeharto secara simbolis menyerahkan bantuan berupa 30 sedan Moskovich untuk Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah Pramuka seluruh Indonesia. Penyerahan itu berlansung di halaman depan Bina Graha pada pukul 10.45 pagi ini.


Selasa, 11 November 1986

Siang ini di Istana Meredeka, Presiden Soeharto menyambut Presiden Malta, Agatha Barbara, dalam suatu upacara kebesaran militer. Presiden Barbara melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia atas undangan Presiden Soeharto; ia akan berada di Jakarta sampai pagi hari Kamis, pada saat mana ia akan bertolak ke Yogyakarta Oleh sebab itu acaranya di Jakarta padat sekali.

Begitu selesai upacara penyambutan, Presiden Barbara lansung mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden dan Ibu Soeharto di Istana Merdeka. Kemudian, setelah beristirahat sebentar, langsung pula diadakan pembicaraan resmi antara kedua pemimpin negara. Pembicaraan yang berlansung satu setengah jam itu selesai pada pukul 17.30. Didalam pembicaraan itu antara lain disepakati bahwa Indonesia dan Malta tidak akan turut serta dalam persekutuan militer dengan negara manapun dan tidak membolehkan wilayahnya digunakan untuk tujuan militer untuk keamanan negara lain. Selain itu disepakati pula bahwa kedua negara akan terus meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan. Dalam hubungan ini Presiden Soeharto menyatakan persetujuannya untuk mengirim delegasi Indonesia yang terdiri dari pejabat pemerintahan dan pengusaha swasta ke Malta guna menjajaki kemungkinan peningkatan kerjasama ekonomi dan hubungan perdangan.

Malam ini di Istana Negara, Presiden dan Ibu Soeharto menyelenggarakan jamuan santap malam kenegaraan untuk menghormat kunjungan Presiden Barbara di Indonesia. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto mengatakan bahwa ia menganggap penting usaha-usaha bersama untuk meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan. Dikatakannya bahwa hubungan ekonomi dan perdagangan masih sangat terbatas, sementara jarak geografis antara kedua negara memang berjauhan. Namun, menyadari banyaknya persamaan-persamaan pandangan antara kedua negara dalam masalah dunia, maka kedua negara perlu berusaha untuk memperluas lagi kerjasama ekonomi dan perdagangan itu.


Rabu, 11 November 1987

Setelah Kepala Negara di Cendana pagi ini, Menteri/Sekertaris Negara Sudharmono mengatakan bahwa Presiden Soeharto telah menerima secara resmi undangan-undangan untuk menghadiri KTT ASEAN yang akan berlansung di Manila bulan depan. Namun, menurut Sudharmono, hingga saat ini Indonesia belum diberitahukan oleh Filipina tentang boleh tidaknya mengirimkan pasukan dalam rangka pengamanan KTT itu.


Jum’at, 11 November 1988

Presiden Soeharto memberikan bantuan 550 ekor sapi kepada rakyat Timor-Timur. Sapi-sapi yang merupakan bantuan Presiden untuk tahun 1988 itu hari ini diserahkan oleh Kepala Biro Bantuan Presiden, Zahid Husein, kepada Gubernur Timor-Timur, Ir Mario Viegas Carrascalao, di Dili. Oleh Gubernur Carrascalao sapi-sapi tersebut diberikan kepada rakyat di Kabupaten Ainaro dan Kabupaten Lautem, masing-masing sebanyak 110 ekor, sedangkan sisanya diberikan kepada Kabupaten Manufahi.

Penyerahan hari ini merupakan bagian pertama dari jumlah yang akan diterima oleh Timor-Timur. Sisa yang 550 ekor lagi diharapkan tiba pada bulan Desember mendatang. Sampai saat ini sapi yang telah diberikan Presiden kepada Provinsi Timor-Timur berjumlah 3.300 ekor; jumlah tersebut sekarang sudah berkembang menjadi 6.500 ekor.


Minggu, 11 November 1990

Hari ini di Tokyo, Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan PM Toshiki Kaifu, sementara Menteri Luar Negeri Ali Alatas melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negari Nakayama. Pembicaraan antara Presiden Soeharto dengan PM Kaifu tidak hanya menyangkut masalah bilateral, melaikan juga masalah-masalah regional dan internasional.

Kepada PM Kaifu, Presiden Soeharto menguraikan tentang bagaimana pentingnya hubungan antara Indonesia dan Jepang  sejak pemerintahan Orde Baru. Dikemukakan oleh Presiden bahwa ketika itu PM Sato meminta jaminan Indonesia untuk terus mensuplai energi minyak maupun gas alam kepada Jepang, Indonesia untuk memenuhinya, hingga kini Indonesia selalu memenuhi janjinya. 

Kepada PM Kaifu, Presiden Soeharto mengemukakan tentang utang luar Negeri Indonesia yang tahun ini mengalami peningkatan beban pembayaran sebesar US$1,8 miliar, sebagai akibat apresiasi mata uang asing, terutama mata uang Yen, terhadap dollar Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, sebesar US$1,2 miliar harus dibayar kepada Jepang. Untuk itu pemerintah Indonesia memerlukan bantuan khusus, karena tambahan pendapatan dari kenaikan harga minyak bumi, akibat Krisis Teluk, masih lebih kecil dibanding dengan peningkatan pembayaran utang luar negeri. 

Bantuan khusus ini merupakan pinjaman mata uang asing yang bisa dikonversikan kedalam rupiah sebagai dana pendamping pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Dikatakan oleh Presiden bahwa jika Indonesia tidak mendapat bantuan khusus itu, maka Indonesia terpaksa harus menggunakan dana tabungannya untuk membayar utang. Dan apabila ini terjadi, maka tidak ada lagi dana untuk melanjutkan pembangunan. Jadi menurut Presiden, jika Jepang tidak dapat memberikan bantuan khusus kepada Indonesia dengan pertimbangan bahwa negara lain akan merasa iri, maka usul lainnya ialah agar tambahan uang akibat apresiasi Yen itu ditahan di Indonesia saja sebagai pinjaman lunak. Artinya uang itu tidak akan dibayarkan kepada Jepang. 

Dalam pembicaraan dengan PM Kaifu itu, Presiden juga meminta agar perusahaan penerbangan JAL menggunakan haknya untuk terbang ke Indonesia sesuai dengan perjanjian yang ditandatanganinya dengan Garuda. Seperti diketahui Garuda melakukan 12 kali penerbangan ke Jepang setiap minggu, sedangkan JAL hanya 5 kali.


Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Oval Andrianto 
Editor : Sukur Patakondo