Parungpanjang, 20 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H.M. Soeharto
di Jakarta
Mengapa Bapak (Pak Harto) Tidak Boleh Kaya[1]
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Pertama-tama saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya bila surat ini mengganggu Bapak. Apa khabar Pak?.
Mudah-mudahan Bapak selalu sehat wal’afiat serta selalu dilindungi oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Sejak lama saya ingin sekali mengirim surat
pada Bapak tapi baru kali ini saya dapat menulis surat pada Bapak,
karena saya ragu dengan situasi seperti saat ini apakah Bapak bersedia
membaca surat saya, karena saya adalah rakyat biasa.
Ketika Bapak membaca surat pengunduran
diri sebagai Presiden RI, hati saya sakit sekali. Tenggorokan terasa
sesak, air mata tak dapat dibendung. Saya merasa kehilangan sesuatu yang
sangat saya banggakan, timbul rasa benci pada mereka yang saya anggap
sebagai penyebab semua ini.
Perlu Bapak ketahui, anak saya yang di
SMP histeris saat itu sampai saya merasa bingung apa yang harus saya
lakukan, mana dia akan EBTANAS. Memang sayalah yang terlalu memberikan
contoh panutan Bapaklah orang yang bijak dan Mbak Tutut orang yang
tinggi sosialnya.
Walaupun saat ini banyak orang yang
menghina dan menghujat Bapak, namun saya tetap pada pendirian saya.
Bapak orang yang saya cintai dan saya hormati sampai kapanpun.
Walau Bapak tidak mengenal siapa saya,
saya tidak rela Bapak mendapat perlakuan dan penghinaan yang di luar
batas. Karena saya merasa bagaimana perjuangan Bapak selama menjadi
Presiden, 32 tahun bukanlah waktu yang singkat susah payah memimpin
bangsa.
Saya yakin Bapak selalu mengikuti
situasi sekarang ini. Bapak tidak usah gentar, tabahkanlah dan tegarlah
menghadapi cobaan yang pahit ini, semoga Bapak berada di pihak-Nya.
janganlah Bapak bersedih hati, karena tidak semua orang rela Bapak
dihina dan dicampakkan begitu saja. Walaupun krisis moneter semakin
parah, saya mencoba untuk bertahan. Seandainya Bapak tahu di lingkungan
saya ada rakyat yang sudah tidak makan, pasti Bapak akan sedih. Yang
lebih prihatin lagi mereka yang mencuri karena lapar, misalnya mencuri
singkong di ladang, atau mencuri nasi tetangga. Entah kapan semua ini
akan berakhir, sementara para pemimpin sekarang sibuk dengan kepentingan
masing-masing. Dimana-mana timbul gerakan untuk menggugat harta
kekayaan Bapak. Saya hanya tertawa dan ingin memukul mereka yang tidak
punya otak.
Mengapa mereka tak berpikir dengan
waras?. Wajar dong Bapak kaya, juga anak-anak Bapak, sebagai Presiden.
Lurah saja di desa kami punya mobil lebih dari satu, Camat punya mobil
mewah dan tanahnya hektaran. Mengapa Bapak tak boleh kaya?. Apakah
mereka tak berfikir?. Berapa tahun Bapak memimpin negara?
Sekarang marilah kita memohon kepada Allah segera membuka hati mereka yang sedang buta oleh permainan politik ini.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hormat saya,
Lina Marsolina
Bogor – Jawa Barat
[1]
Dikutip langsung dari buku berjudul “Empati di Tengah Badai:
Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998″, (Jakarta:
Kharisma, 1999), hal 460-461. Surat ini merupakan salah satu dari 1074
surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan
luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan
simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat
tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.