PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Pembangunan Mental Spiritual

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,

Masyarakat Nusantara merupakan masyarakat ber-Tuhan dan oleh karena itu rumusan pertama sila Pancasila menekankan transendensi, Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan rumusan tersebut peradaban yang hendak diwujudkan dalam konstruksi Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 adalah peradaban yang dibangun dalam kerangka kepasrahan kepada Tuhan, hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antar sesamanya yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan, tanpa pemaksaan menganut agama tertentu. Sila pertama itu merupakan rujukan atau sumber nilai etis bagi sila-sila berikutnya.

Konsepsi masyarakat ber-Tuhan sebagaimana terkandung dalam Pancasila berbeda dengan sistem teokrasi maupun liberal. Penyelenggaraan negara dalam sistem teokrasi didasarkan pada dominasi satu agama. Sedangkan Konsepsi masyarakat ber-Tuhan menekankan kemerdekaan bagi masyarakatnya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dengan tetap menempatkan jiwa agama sebagai sumber nilai etis penyelenggaraan negara.
Dukungan negara untuk terwujudnya masyarakat ber-Tuhan —sebagaimana diamanatkan Pancasila— sejiwa dengan budaya masyarakat nusantara yang religius (memiliki orientasi transendensi dalam semua aspek kehidupan). Sedangkan falsafah barat menekankan kawicaksanan (hal-hal yang secara rasio dipandang positif) tanpa harus mensinergikannya dari bimbingan transendensi.

Indonesia merdeka merupakan kelanjutan peradaban Nusantara dari era sebelumnya. Oleh karena itu transendensi merupakan pijakan pertama yang hendak diwujudkan dalam tatanan baru Indonesia merdeka dan hal itu tercermin dalam sila pertama Pancasila. Berdasarkan rumusannya, sila pertama Pancasila —Ke-Tuhanan Yang Maha Esa— mengandung tiga konsekuensi dalam penyelenggaraan negara.

Pertama, peradaban yang hendak diwujudkan dalam masyarakat Indonesia merupakan sebuah pranata yang diletakkan atas dasar ketundukan masing-masing penduduknya kepada Tuhan, hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antar sesamanya yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan. Konsekuensi rumusan pertama Pancasila memberikan tanggung jawab kepada negara untuk mendorong setiap penduduknya agar ber-Tuhan sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing.

Konsepsi “kemerdekaan beragama” dalam Pancasila berbeda dengan konsepsi “kebebasan beragama” di negara-negara liberal seperti Amerika. Konsepsi Pancasila menekankan tanggung jawab negara untuk secara aktif mendorong masyarakatnya agar ber-Tuhan melalui agama yang diyakininya. Sedangkan konsepsi “kebebasan beragama” menempatkan negara dalam posisi pasif dan tidak perlu mendorong warganya untuk ber-Tuhan, walaupun juga tidak melarang warganya menganut agama tertentu. Perbedaan keduanya terletak pada tanggung jawab negara untuk memfasilitasi —bukan mencampuri— warganya agar dapat menjalankan ajaran agamanya secara baik. Perbedaan itu terlihat jelas dari komitmen Indonesia Merdeka dengan memasukkan tanggung jawab mewujudkan masyarakat ber-Tuhan kedalam konstitusi.

Kedua, sebagai konsekuensi pengakuan ajaran Ke-Tuhanan, negara melindungi kemerdekaan warganya untuk menganut agama yang diyakininya tanpa paksaan. Negara mendorong masyarakatnya untuk menjadi individu-individu ber-Tuhan, namun juga melindungi masing-masing individu dari paksaan untuk menganut agama tertentu atau diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas alasan agama. Proses menjadikan individu-individu ber-Tuhan dilakukan melalui dukungan terhadap aktifitas edukasi keagamaan dan selanjutnya diserahkan kepada individu-individu itu untuk menganut agama yang dikehendaki.

Ketiga, negara bertanggung jawab dalam menciptakan harmoni antar ummat beragama. Agama mengajarkan ketaatan mendalam dan keyakinan mutlak kepada ummatnya. Sedangkan masing-masing individu memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan penjiwaan yang berbeda terhadap ajaran agama. Kemutlakan keyakinan dan keragaman tingkat pengetahuan/ penjiwaan terhadap ajaran agama, seringkali menjadi pemicu munculnya tindak kekerasan atau bentuk-bentuk diskriminasi atas nama agama. Untuk menghindari tindak kekerasan atau diskriminasi yang mengatasnamakan agama diperlukan pengaturan dan pengawasan serta pembinaan oleh negara.

Pemerintahan Presiden Soeharto tidak mengelompokkan “ajaran kepercayaan” sebagai agama, namun diposisikan dalam ranah budaya. Berbeda dengan kasus agama Kong Hu Cu —agama orang-orang Cina—, dengan alasan politis keberadaannya dinilai kurang memperoleh keleluasaan berekspresi, walaupun juga tidak tepat jika dikatakan pemerintahan Presiden Soeharto membungkamnya.

Sebagian warga Cina keturunan disinyalir terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa G.30.S/PKI khususnya peran kanalisasi dukungan finansial pemerintah RRC kepada PKI. Atas alasan politis itu —untuk memproteksi infiltrasi asing— keberadaan sejumlah warga Cina keturunan dikontrol ketat oleh pemerintah Orde Baru. Akibatnya warga Cina keturunan memang kurang memiliki keleluasaan mengapresiasikan budayanya, seperti perayaan-perayaan hari besar Cina dalam skala besar. Namun apabila kontrol ketat itu diidentikkan dengan pembelengguan kebebasan beragama, jelas merupakan tudingan yang tidak berdasar. Hal itu dibuktikan dengan tetap berdiri tegaknya klenteng-klenteng rumah peribadatan Kong Hu Cu dan tidak menghalangi kemerdekaan pengikutnya melakukan peribadatan. Kontrol ketat terhadap aktifitas politik sejumlah warga Cina keturunan —sebagai implikasi sikap politiknya pada masa lalu— tidak bisa dijadikan dasar tudingan bahwa kontrol itu merupakan bentuk pembelengguan kemerdekaan beragama kepada penganut Kong Hu Cu.