Langkah-langkah saya lakukan ke arah terwujudnya keputusan-keputusan MPRS yang dibebankan kepada saya. Pertama-tama ketentraman yang harus didapatkan dan dipelihara. Yang ngotot ngototan saya tekan, dari pihak mana pun datangnya. Saya berusaha mendapatkan kestabilan politik.
Membenahi suasana kehidupan politik waktu itu tidak ringan. Pendekatan secara bertahap saya lakukan. Tetapi kadang-kadang yang saya tugasi untuk menyelesaikannya harus pula melakukan gebrakan. Mutasi di tengah-tengah aparat pemerintah dan ABRI saya laksanakan. Hal yang biasa, tetapi waktu itu kadang-kadang memang mesti saya lakukan demi tercapainya keputusan-keputusan MPRS yang saya emban.
Sesudah kita berhasil menumpas G.30.S./PKI, berbagai golongan dalam masyarakat sudah menyampaikan tuntutan supaya Pancasila dan UUD 45 dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Masyarakat secara keseluruhan, baik partai-partai politik, maupun golongan-golongan sosial di luar partai politik, begitu juga pemerintah sudah bersepakat untuk melaksanakannya. Kesepakatan itulah yang kemudian kita sebut Konsensus Nasional.
Saya sempat bicara dengan wakil-wakil sembilan partai politik di gedung DPR yang lama, membicarakan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI dan usaha-usaha menyelamatkan Pancasila sebagai dasar negara. Ini adalah salah satu usaha pertama ke arah menemukan konsensus nasional itu.
Sidang MPRS tanggal 18 Juni 1966 pun melahirkan Ikrar Bersama untuk memulihkan kemuliaan, kejayaan, dan amal daya Pancasila sebagai satu-satunya dasar idiil, arah dan tujuan daripada kehidupan Negara dan Bangsa. Dalam kesempatan itu pula wakil-wakil rakyat kita berjanji untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Dan tugas pelaksanaannya dipikulkan kepada saya. Lahirnya Konsensus Utama itu cepat dan boleh dikatakan spontan sekali. Tetapi untuk mendapatkan konsensus mengenai cara melaksanakan Konsensus Utama itu memakan waktu lama, sesuai dengan perkiraan saya.
Tiga Rancangan Undang-Undang telah diajukan kepada DPR-GR di bulan November 1966, yakni RUU tentang kepartaian, keormasan dan kekaryaan, RUU tentang pemilihan umum dan anggota-anggota MPR dan DPR, dan RUU tentang susunan MPR, DPR dan DPRD. Tetapi DPR-GR tidak bisa menyelesaikan masalah tadi seluruhnya, sewaktu saya menjabat sebagai Pejabat Presiden. Yang berhasil dicapai dalam masa satu tahun itu ialah mengenai 12 butir konsensus yang antara lain menetapkan, bahwa jumlah anggota DPR 460 orang banyaknya, terdiri atas 360 orang dipilih melalui pemilihan umum dan 100 orang diangkat.
Lalu partai-partai menerima hak pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari anggota MPR. Pemerintah setuju untuk menerima perwakilan proporsional dengan daftar-daftar partai yang daerah pemilihannya meliputi provinsi, serta persyaratan tempat tinggal ditiadakan. “Paket” ini menentukan garis-garis pokok perundangundangan yang diperbaiki itu, sedangkan rinciannya masih harus diselesaikan.
*
Pada permulaan Mei 1967 saya umumkan keputusan perihal perlakuan terhadap Bung Karno. Beliau tidak lagi diizinkan menggunakan gelar sebagai Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Juga beliau tidak diizinkan menggunakan bendera kepresidenan. Tetapi beliau masih dibolehkan mengenakan seragamnya dengan segala bintang-bintang dan tanda-tanda pangkatnya apabila menghadiri upacara-upacara kenegaraan dengan undangan resmi dari pemerintah. Beberapa waktu kemudian ditetapkan potret-potret Presiden Soekarno di kantor-kantor pemerintahan harus diturunkan.
Sementara itu mahasiswa dan pemuda-pemuda nampak tidak diam. Mereka giat dengan selebaran “Ganyang Korupsi” yang tentu saja menjadi perhatian semua pihak. Di balik itu terdengar adanya pertentangan antara pasukan yang satu dengan pasukan yang lain. Tetapi itu bisa diselesaikan dengan cepat. Saya jaga dengan sungguh-sungguh jangan sampai senjata meletus.
*
Pada tanggal 6 Juni 1967 Bung Karno merayakan ulang tahunnya di Istana Jakarta dengan kebiasaan-kebiasaan yang beliau sukai dan mengundang sahabat-sahabat yang dekat. Waktu itu surat kabar pun masih ada yang menunjukkan kesetiaannya kepada beliau dengan memasang potret Bung Karno yang besar dan mengumumkan perjuangannya di waktu-waktu yang lalu. Di waktu itu, semasa saya berusaha memantapkan keamanan, masih ada lagi gerombolan yang mengacau. Pangkalan Udara Singkawang diserbu. Tetapi itu bisa cepat kita tumpas.
Hubungan dengan RRC bukan menjadi lebih baik, malahan staf KBRI di Beijing kita tarik, karena penghinaan yang kita terima sehubungan dengan terjadinya Revolusi Kebudayaan di negeri itu. Sementara itu, di bulan Juli para panglima dari keempat Kodam seJawa, bersama-sama dengan Panglima Kostrad dan RPKAD menandatangani suatu pernyataan bersama di Yogyakarta. “Sumpah Yogya” itu mendesak supaya diambil tindakan terhadap siapa pun atau golongan mana pun yang menyelewengkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Ini jadi pegangan mereka dalam usaha menentramkan suasana politik di daerah kekuasaan mereka masingmasing dan juga di tempat-tempat lainnya. Saya tidak ikut serta menandatangani “Sumpah Yogya” itu. Tetapi tentu saja saya memakluminya.
Tetapi goncangan politik masih terjadi. Jaksa Agung Mayor Jenderal Sugiharto mengumumkan tentang adanya sejumlah perwira dan orang sipil yang telah ditahan, karena berkomplot dan hendak bertindak di akhir Juli itu untuk mengembalikan kekuasaan bekas Presiden Soekarno. Lalu Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya mengatakan, bahwa telah dilakukan penangkapan di Ibu kota terhadap 14 orang, dan di daerah-daerah diadakan pembersihan.
Saya ditanya oleh wartawan-wartawan tentang kejadian ini. Mengapa saya mesti tambah menggerahkan suasana? Saya katakan saja, penyelidikan-penyelidikan itu dilaksanakan untuk tetap mengusahakan adanya kewaspadaan dalam angkatan bersenjata agar dengan begitu mereka tidak masuk perangkap, seperti di masa yang sudah-sudah.
Di saat itu timbul usaha ke arah pembentukan ASEAN yang kesepakatannya bisa ditandatangani di permulaan Agustus dengan yang dikenal’ “Deklarasi Bangkok”. Ternyata usaha ini bermanfaat dan berkembang cepat di waktu-waktu berikutnya. Dan kita patut bangga, Jakarta kemudiannya terpilih sebagai tempat kedudukan Sekjen ASEAN dan gedungnya dibangun di wilayah Kebayoran.
*
Menjelang perayaan 17 Agustus 1967 terjadi insiden kecil, mengenai hilangnya Bendera Pusaka. Tetapi dengan cara biasa yang saya lakukan, masalah itu bisa terselesaikan. Saya undang Bung Karno yang sudah tinggal di Bogar untuk datang di Jakarta, memenuhi satu tugas nasional, yaitu mengadakan penyerahan Bendera Pusaka itu dalam satu upacara yang khidmat. Tetapi karena kesehatan yang kurang baik, beliau dibawa ke rumah Dewi, istrinya yang ketiga. Para Panglima Angkatan Bersenjata menunggu Bung Karno di sana serta memberikan penghormatan yang sepatutnya. Saya tidak ikut serta dalam pertemuan itu. Tetapi saya memberikan pengarahan kepada para panglima kita itu. Dengan tidak sulit, ternyata Bung Karno menyerahkan Bendera Pusaka itu yang kemudian bisa dikibarkan di Istana pada perayaan Hari Kemerdekaan kita yang ke-22.
Saya ubah kebiasaan perayaan “17 Agustus” itu. Saya mengucapkan pidato satu hari sebelumnya di depan sidang DPR-GR. Saya laporkan fakta-fakta dengan mengambil waktu tiga jam lamanya. Saya uraikan segala segi kehidupan nasional, mulai Pancasila sampai pada persoalan biaya hidup orang sehari-hari. Pidato saya berlainan dengan yang biasa dikumandangkan oleh Bung Karno, sekalipun saya tidak pernah melewatkan penekanan, betapa pentingnya persatuan dan kesatuan di antara kita. Saya mesti menciptakan ketenangan di tengah kehidupan kita, sementara kita harus bekerja keras.
*
Pada permulaan September 1967 saya mengadakan perubahan kedudukan para panglima dari keempat Angkatan Bersenjata. Mereka tidak lagi saya dudukkan sebagai menteri dalam kabinet. Secara formal mereka saya letakkan di bawah kekuasaan saya, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Begitu pun di hari-hari berikutnya terjadi mutasi, dan mereka yang sudah sampai waktunya untuk pensiun, diberhentikan dengan hak pensiun.
Kemudian muncul masalah mengenai pembantu-pembantu saya. Mengenai soal Kabinet Presidensial di bawah saya. Sesuai dengan konstitusi, dengan UUD ’45, Presiden sebagai Mandataris MPR, berkewajiban mdaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Untuk melaksanakan tugasnya, Presiden diberi wewenang hak prerogatif untuk menunjuk pembantu-pembantunya. Pembantupembantu itu, dalam melaksanakan tugasnya, tidak bertanggungjawab kepada MPR, melainkan kepada Presiden. Dan Presiden bertanggung jawab kepada MPR.
Karena tanggungjawab para pembantu itu kepada Presiden, maka kabinet itu terdiri atas orang-orang yang dipilih dan benar-benar dapat melaksanakan tugasnya masing-masing, membantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Karena itu, untuk menjadi pembantu-pembantu Presiden, maka dipilih orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kesanggupan yang dapat melakukan koordinasi sehingga merupakan team kerja yang baik dalam membantu Presiden melaksanakan tugasnya.
Jadi, kecuali orang yang terpilih itu mempunyai kemampuan teknis, juga harus merupakan team kerja yang baik. Tentu sejauh mungkin juga harus mendapat dukungan dari kekuatan partai politik atau kekuatan sosial politik. Tetapi itu merupakan syarat yang terakhir.
Berdasarkan pikiran ini saya pilih orang-orang untuk duduk dalam kabinet. Kabinet Ampera yang disempurnakan saya angkat pada tgl 17 Oktober 1967. Beberapa menteri saya ganti dan saya masukkan udara baru ke dalamnya, dengan mengangkat wakil-wakil Orde Baru.
*
Sementara itu saya sudah mengetahui bahwa tidak mungkin kita mengadakan pemilihan umum seperti yang dicanangkan oleh MPRS, yakni pada tanggal 5 Juli 1968. Dalam tahun 1967 ini belum tercapai kesepakatan mengenai undang-undang pemilu itu, sekalipun telah berulang kali dilakukan perdebatan dan perundingan di DPR-GR dan dalam kabinet. Maka kesepakatan pun didapat tentangnya ialah bahwa Pemilu terpaksa diundurkan. Dalam pada itu semua pun ingat bahwa mandat yang telah saya terima dari MPRS akan berakhir pada tanggal 5 Juli 1968.
Saya tidak begitu peduli dengan batas waktu, sebagai Pejabat Presiden. Yang lebih saya perhatikan adalah soal tanggungjawab saya. Saya terus bekerja dengan kesungguhan hati. Memang saya diminta kerja mati-matian untuk melawan inflasi waktu itu, sambil menghindari resesi ekonomi, membersihkan birokrasi dan korupsi serta memperbaharui struktur parlemen. Itu tidak enteng. Tetapi saya tidak putus asa. Saya tidak biasa berputus asa.
Semenjak tahun 1968 saya dengar kritikan dari pihak mahasiswa mengenai Aspri[2] yang saya bentuk. Mereka seperti tidak mau mengerti bahwa saya memerlukan bantuan dari asisten-asisten yang saya percayai untuk menghadapi pelbagai persoalan yang saya hadapi. Tetapi saya tanggapi kritikan itu dengan penuh kesabaran.
Sementara semua pihak sudah mengikuti petunjuk-petunjuk saya mengenai pembersihan di dalam partai-partai, di lembaga-lembaga pemerintahan dan institut-institut lainnya, ada usaha dari sementara pihak untuk menghidupkan kembali partai-partai yang sudah dinyatakan terlarang di zaman kepemimpinan Bung Karno. Saya perhatikan gejala itu. Saya rundingkan dengan beberapa pihak. Dan saya mendapat kesimpulan bahwa sebaiknya saya tidak membenarkannya.
Tetapi saya memberikan jalan kepada mereka yang sungguhsungguh berniat baik itu. Maka lahirlah “Parmusi”, Partai Muslimin Indonesia, dan Pemerintah mengakuinya.
Sementara itu saya masih tetap menjabat sebagai Pejabat Presiden. Dalam kesempatan bertemu dengan Bung Karno saya menyampaikan harapan saya. Saya tekankan kepadanya bahwa mumpung saya masih sebagai Pejabat Presiden, saya mengharapkan Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti yang sudah dimakluminya, yakni menyetujui pembubaran PKI itu dan dengan jelas mengutuk G.30.S. Tetapi beliau kukuh pada pendiriannya. Dan sikapnya itu menetapkan tangga baru bagi saya.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 198-204.
[2] Asisten Pribadi