PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Unsur Ke-1 Wawasan Nusantara: Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Bangunan Peradaban

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Wawasan Nusantara (Bagian 1)



“Ono Warisane Pak Harto sing dilaleake. Mongko ing kono ngemu wadi wibowo lan kuncaraning bongso. Warisan iku ora liyo Wawasan Nusantara”

(Ada warisan Pak Harto yang dilupakan orang. Padahal didalamnya tersimpan rahasia kenapa pada era pemerintahannya Indonesia begitu berwibawa dan disegani bangsa-bangsa lain di dunia. Warisan itu tiada lain Wawasan Nusantara)

Pernyataan singkat yang diperoleh penulis dari seseorang yang tinggal di sudut pedesaan Jawa Timur itu pada awalnya sulit ditarik benang merah, antara Wawasan Nusantara yang dipopulerkan Presiden Soeharto dengan meroketnya kewibawaan dan harga diri bangsa pada masa kepemimpinannya. Setelah melakukan pencermatan, pangkal tolak keterputusan benang merah itu adalah perspektif (sudut pandang) para pembantu Presiden Soeharto dalam menerjemahkan secara formal konsepsi Wawasan Nusantara, yang hanya terfokus pada konstruksi kesatupaduan dan kedaulatan teritori fisik (darat-laut-udara) Indonesia modern, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam lingkup teritori fisik Indonesia moderen itulah pemahaman kita terhadap Wawasan Nusantara dibentuk, sehingga tidak bisa memahami secara utuh back mind (latar belakang pemikiran) Wawasan Nusantara yang sebenarnya dijadikan pijakan Presiden Soeharto.

Para pembantu Presiden Soeharto mengkonstruksikan Wawasan Nusantara sebagai konsep politik bangsa Indonesia yang memandang wilayah Indonesia modern (eks wilayah jajahan Belanda) sebagai satu kesatuan teritori fisik, meliputi tanah (darat), air (laut) —termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya— dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh, menyeluruh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam[2]. Pada era orde baru, Wawasan Nusantara —sebagai konsepsi politik kenegaraan dan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia— ditegaskan dalam GBHN melalui Tap. MPR No.IV tahun 1973. Konsepsi itu dari sudut proses formal dinilai sebagai tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang diperjuangkan sejak Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957[3].

Para pembantu Presiden Soeharto memang berhasil mengkonstruksikan konsepsi formal Wawasan Nusantara dalam perspektif kesatupaduan dan kedaulatan teritori fisik Indonesia modern, maupun spirit/ nilai-nilai kenusantaraan (Pancasila) sebagai penopang idiologis tegaknya peradaban yang dibangun di atasnya. Namun konsepsi tersebut belum mengkonstruksikan secara baik ketiga aspek lainnya yaitu: (1) kekuatan SDM berbasis multikulturalisme Nusantara, (2) kesadaran kesejarahan rotasi dan kronik kekuasaan, serta (3) kesadaran kesejarahan geostrategi yang menyangkut eksistensi teritori fisik dan interseksinya dengan kawasan luar yang sebenarnya dipahami dan aplikasikan betul oleh Presiden Soeharto melalui arahan-arahan kebijakannya.

Adanya keterputusan pemahaman itu —bahkan mengesampingkan konsepsi yang sudah ada— menyebabkan para penyelenggara negara pasca mundurnya Presiden Soeharto mengalami kegagapan dalam mempertahankan peran Indonesia sebagai regional leader kawasan Asia Tenggara maupun wibawanya dalam percaturan internasional. Kebingungan itu tercermin dari pergeseran peran Indonesia, dari semula sebagai pemegang inisiatif percaturan internasional —khususnya di kawasan Asia Tenggara—, menjadi defensif oleh deraan konflik-konflik perbatasan dengan negara sekitarnya. Berbagai pihak menuding krisis alutsista (alat utama sistem persenjataan) sebagai faktor pemicu, tanpa menelaah prestasi Presiden Soeharto —menjadikan Indonesia sebagai regional leader— bukan semata-mata disebabkan oleh canggihnya persenjataan dan kekuatan militer yang dimiliki.

Keberhasilan Presiden Soeharto meneguhkan peranan Indonesia sebagai regional leader didukung oleh penguasaan Wawasan Nusantara secara utuh. Wawasan itu kemudian diimplementasikan secara konsisten sehingga kebijakan politik luar negeri Indonesia memiliki pijakan stabilitas dalam negeri yang kuat dan memperoleh dukungan dari negara-negara sekitar, khususnya Asia Tenggara.

Wawasan Nusantara secara utuh meliputi lima unsur cara pandang, yaitu: (1) cara pandang terhadap keseluruhan wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban, (2) nilai-nilai kenusantaraan sebagai pijakan idiologis tegaknya peradaban, (3) kemampuan pengelolaan kekuatan SDM berbasis multikulturalisme suku/ sub suku bangsa, (4) kesadaran kesejarahan rotasi dan kronik kekuasaan Nusantara, serta (5) kesadaran kesejarahan geostrategi yang menyangkut teritori fisik dan interseksinya dengan kawasan di luarnya. Dalam konteks Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban, NKRI merupakan kekuatan inti dan keberadaanya harus didukung (mampu memobilisi) negara-negara sekitarnya sebagai kekuatan penyangganya. Konsepsi wawasan Nusantara secara utuh itu diilustrasikan sebagai berikut:

Unsur ke-1 Wawasan Nusantara: Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Bangunan Peradaban

Merupakan cara pandang bahwa peradaban Nusantara merupakan entitas peradaban skala kebangsaan yang dibangun di atas wilayah Nusantara secara utuh —sebuah kawasan yang dibatasi oleh dua lautan besar (Hindia-Pasifik) dan dua benua besar (Asia-Australia)—. Peradaban itu dibangun oleh bangsa Nusantara, yaitu orang-orang yang memiliki ikatan batin dengan tanah air Nusantara[4]. Oleh karena itu konstruksi peradaban yang terbentuk memiliki corak kenusantaraan atau didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Nusantara, dengan penyandaran pada aspek-aspek transendensi, perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan serta tegaknya keadilan dalam kerangka pranata kemasyarakatan dan kebangsaan yang berkeadaban.

Orientasi transendensi, kemanusiaan, keadilan dan keadaban merupakan jiwa masyarakat Nusantara, bahwa pencapaian hidup dan kehidupan bukanlah kemenangan semu (kemashuran, kekayaan dan superioritas), melainkan pencapaian kemenangan yang sesungguhnya dari masing-masing individu maupun keseluruhan entitas bangsa Nusantara. Yaitu sebuah orientasi pencapaian kesejahteraan bersama dalam bingkai harmoni relasi antara individu, Tuhan dan lingkungan sekitar, maupun antara kehidupan dunia dan kehidupan sesudahnya, yang diimplementasikan dalam kerangka pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berketuhanan, berperikemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban. Sebagai sebuah entitas peradaban, eksistensi peradaban Nusantara bukan didasarkan atas motif penegasian atau merendahkan peradaban-peradaban lain, akan tetapi dibangun oleh kesadaran bahwa eksistensinya merupakan salah satu penyangga peradaban dunia, sebagaimana eksistensi peradaban India, Eropa, Cina, Afrika, Timur Tengah, maupun bangsa-bangsa di benua Amerika.

Eksistensi Nusantara sebagai satu kesatuan bangunan peradaban mengalami distorsi seiring keberhasilan proyek disintegrasi Nusantara oleh kekaisaran Cina. Proyek disintegrasi itu mencapai puncaknya dalam perang saudara (Paregreg) dan menyebabkan peradaban Nusantara mengalami pelapukan atau pengeroposan dari dalam. Keroposnya suprastruktur peradaban Nusantara (runtuhnya Majapahit oleh Paregreg) menyebabkan laju kolonialisasi Eropa tidak dapat dibendung dan akhirnya berhasil mengkotak-kotak wilayah Nusantara menjadi bagian-bagian kecil dibawah naungan negara-negara kolonialis Eropa. Inggris menguasai Singapura, semenanjung Malaya, sebagian Kalimantan hingga Hongkong. Belanda menguasai Sumatera, Jawa, Bali, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Papua. Portugis menguasai pulau Timor, Australia menguasai sebagian Papua dan Spanyol menguasai Filipina.

Apa yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang tidak mengembalikan keutuhan wilayah Nusantara yang meliputi pulau delapan —Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, Halmahera dan Papua— beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya[5]. Oleh karena itu Indonesia modern hanya berhasil diletakkan dalam lingkup teritori fisik bekas wilayah jajahan Belanda, dan membiarkan Kalimantan Utara menjadi bagian negara Malaysia dan Brunei, Singapura menjadi negara mandiri serta sebagian Papua (Papua New Guinea) menjadi negara merdeka dibawah pengaruh Australia. Para pendiri negara —melalui sidang BPUPKI— sepakat mendirikan Indonesia di atas wilayah bekas jajahan Belanda dan memilih menawarkan opsi kepada wilayah-wilayah Nusantara yang ada diluarnya —Kalimantan Utara, Brunei dan Papua New Guinea— untuk bergabung dengan kemauan sendiri atau menentukan nasibnya sendiri (mendirikan negara sendiri) setelah negara Indonesia memproklamasikan diri. Opsi itu diambil dengan sebuah kesadaran bahwa ketidakutuhan wilayah Indonesia atas Nusantara pada saatnya akan menjadi bumerang bagi kedaulatan negara dan bangsa Indonesia yang keberadaannya didesain sebagai kekuatan inti pembangunan kembali (rekonstruksi) peradaban Nusantara[6].

Kesepakatan para pendiri negara —atas teritori fisik Indonesia Merdeka dalam batas bekas wilayah jajahan Belanda— terpaksa diambil atas dasar kondisi obyektif dan pertimbangan-pertimbangan taktis pada saat itu. Pertama, para pendiri negara harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan wilayah inti Nusantara, yang secara dejure —-berdasarkan penjanjian Wina 1942—- akan dikembalikan kepada pemilik koloni sebelumnya (kerajaan Belanda), pasca kekalahan Jepang dari Perang Dunia II. Kedua, membebaskan seluruh wilayah Nusantara pada saat bersamaan akan berhadapan dengan Belanda, Inggris dan Australia sekaligus, dimana negara Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, belum memiliki kekuatan militer memadai[7]. Bahkan pembebasan bekas wilayah eks kolonialis Belanda saja harus memakan waktu panjang, dimana Irian Barat baru bisa dibebaskan pada tahun 1963, atau 18 tahun setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

Upaya penyatuan keutuhan teritori fisik Nusantara dalam Kerangka negara Indonesia modern pernah diikhtiarkan oleh Presiden Soekarno melalui kampanye “Ganyang Malaysia”. Upaya ini dibajak oleh Komunis internasional (comintern) —melalui kudeta PKI tahun 1965— dengan agenda menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Pengkomunisan masyarakat Nusantara jelas-jelas tidak sejalan dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yang hendak merekonstruksi (melakukan pembangunan kembali) peradaban Nusantara secara berdaulat dan independen, termasuk dalam hal idiologi bangsa. Mengkomuniskan Nusantara sama artinya dengan mendekonstruksi peradaban Nusantara, khususnya dalam hal idiologi maupun tata nilai yang selama ini menjadi spirit tegaknya peradaban, untuk kemudian diganti dengan paham dan tata nilai Komunis. Secara fisik, keberhasilan kudeta PKI 1965 akan mensubordinasi kedaulatan Indonesia, karena kebijakan negara komunis selalu berada dibawah pengaruh kebijakan Comintern. Pengkomunisan Nusantara juga akan memiliki dampak yang sama —bahkan lebih destruktif— dengan upaya rekolonialisasi Kerajaan Belanda (melalui agresi-agresi militernya), yaitu penggagalan rekonstruksi peradaban Nusantara untuk dapat kembali berdiri tegak, sebagai sebuah bangunan peradaban yang independen dan bercorak ke-Nusantaraan, yang telah dideklarasikan kebangkitannya melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Presiden Soeharto tentu saja menyerap substansi dialektika para pendiri negara dalam proses perumusan teritori fisik Indonesia moderen, dengan tetap melihat kaitan perlunya penyatupaduan wilayah Nusantara, sebagai satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban. Ia melihat realitas wilayah-wilayah di luar eks kolonialis Belanda telah mengambil sikap dengan berdiri sendiri sebagai sebuah negara —Malaysia, Brunei, Singapura, Papua New Guinea— dan keberadaannya harus dihargai sebagai negara berdaulat yang hidup berdampingan. Oleh karena itu ia menempuh pendekatan baru dengan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan inti pembangunan kembali peradaban Nusantara dengan melibatkan negara-negara mandiri di sekitarnya sebagai bagian tak terpisahkan.

Pelibatan itu dilakukan dengan membangun konsensus agar negara-negara di kawasan Nusantara dapat hidup berdampingan secara damai, tidak saling melemahkan satu sama lain dan secara bersama-sama memperjuangkan pancapaian kesejahteraan bersama. Konsensus itu juga diimplementasikan dalam bentuk komitmen untuk menutup kemungkinan penggunaan negara-negara di kawasan ini sebagai pintu masuk intervensi kekuatan asing dalam menusuk atau melemahkan eksistensi wilayah inti Nusantara (NKRI). Oleh karena itu dapat dimengerti jika dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mempelopori adanya ASEAN way, yaitu sebuah pola penyelesaian konflik negara-negara ASEAN dengan menggunakan mekanismenya sendiri, tanpa campur tangan negara-negara yang ada di kawasan luar, dan tetap menghargai kedaulatan maupun harga diri masing-masing negara anggota. ASEAN way diilhami oleh kebutuhan bahwa kesatupaduan orientasi pembangunan peradaban negara-negara di kawasan ini merupakan prioritas dan tidak boleh dirobek oleh silang kepentingan yang muncul dalam hubungan antar negara.

ASEAN way bukan semata-mata kerangka kerjasama regional untuk saling menguntungkan secara ekonomi. Keberadaannya harus dilihat dalam perspektif geopolitik untuk memutus intervensi negara-negara yang berasal dari kawasan lain terhadap wilayah Nusantara. Sebagai contoh masih adanya ikatan emosional dalam kerangka persemakmuran (commonwealth) antara Inggris dengan Singapura-Malaysia dan Amerika dengan kepentingan pangkalan Angkatan Laut-nya di Philipina[8]. Bagi Indonesia —-sebagai wilayah inti pembangunan Peradaban Nusantara— ASEAN way merupakan konsep geopolitik untuk menjadikan negara-negara lingkar dekat (Malaysia, Brunei, Singapura) dan lingkar luar kawasan Nusantara (Thailand, Vietnam, Philipina, Laos, Kamboja) sebagai perisai masuknya intervensi asing, sekaligus daya dukung pembangunan kembali peradaban Nusantara. Oleh karena itu negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara harus dikelola sedemikian rupa, agar tidak menjadi zona konsolidasi bagi kekuatan-kekuatan dari kawasan lain dalam mengendalikan atau bahkan melemahkan eksistensi Indonesia.

Mengingat wilayah lingkar dekat maupun lingkar luar telah berubah menjadi negara mandiri, maka konsepsi Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah pembangunan peradaban menekankan cara pandang agar negara-negara yang berada di wilayah Nusantara dapat dikelola dalam satu kesatuan orientasi pembangunan peradaban, dalam kerangka hubungan antar negara berdaulat. Kesatuan orientasi tersebut bukan hanya dalam lingkup usaha-usaha pencapaian kemakmuran ekonomi, akan tetapi juga meliputi komitmen untuk membentengi wilayah Nusantara dari campur tangan yang datang dari kawasan luar.

Terlepas strategi yang dipergunakan —operasi intelijen, bargaining kepentingan ekonomi ataupun perlindungan terhadap stabilitas dan kepentingan bersama—-, Presiden Soeharto berhasil menjalin kemesraan dengan Malaysia, Singapura dan Brunei serta memasukkan kembali Timor Timur sebagai bekas jajahan Portugis menjadi bagian wilayah Indonesia[9]. Kemesraan itu menjadi bekal positif Indonesia untuk mengkonsolidasi negara-negara lingkar luar Nusantara (Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Filiphina) agar memiliki komitmen dalam mewujudkan stabilitas kawasan Asia Tenggara tanpa campur tangan pihak asing manapun. Kemampuan Indonesia menempatkan dirinya sebagai regional leader dalam mewujudkan stabilitas kawasan Asia Tenggara telah mengukuhkan peranannya dalam level Asia-Afrika. Melalui gerakan Non Blok, Indonesia bahkan berperan aktif sebagai penyeimbang percaturan internasional, khususnya dialektika politik antara Blok Barat dan Blok Timur yang pada saat itu sedang memuncak.

Pada era reformasi, para penyelenggara negara tidak cukup memiliki road map dan bargaining dalam menyatukan negara-negara di wilayah Nusantara, untuk berada dalam satu kesatuan orientasi dengan arah dan kebijakan Indonesia. Akibatnya kebijakan negara-negara di kawasan ini justru memperlemah eksistensi Indonesia, dan bahkan menjadi pintu masuk kelompok-kelompok kepentingan internasional dalam mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Indonesia[10].

***

[1]     Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan

[2]     Kesatuan ini hanya dalam batasan lingkup negara Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam batasan wilayah bekas jajahan Belanda.

[3]     Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

[4]     Masyarakat nusantara asli adalah entitas bangsa multikultur yang mendiami kawasan kepulauan yang membentang di antara dua samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Australia-Asia). Bangsa Nusantara adalah orang-orang yang memiliki keterikatan batin (lahir, tumbuh dan dibesarkan) dengan wilayah nusantara dan memiliki ciri khas sebagai masyarakat kepulauan.

[5]     Pandangan yang menyatakan bahwa wilayah Nusantara meliputi pulau delapan dan pulau-pulau kecil disekitarnya, dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan juga disetujui Bung Karno dalam pembahasan-pembahasan sidang BPUPKI tahun 1945.

[6]     Implikasi geopolitik ketidakutuhan wilayah Indonesia atas Nusantara, secara kuat dikemukakan oleh Muhamamad Yamin. Sedangkan usulan adanya opsi penggabungan diri dan tidak melalui skenario pembebasan secara paksa bagi wilayah Nusantara diluar eks jajahan Belanda, salah satunya diusulkan Muhammad Hata. Menurutnya pembebasan dengan cara paksa terhadap wilayah-wilayah tersebut akan menjerumuskan Indonesia kedalam tabiat kolonialis, hal mana pembebasan dari kolonialisme merupakan spirit tegaknya peradaban Nusantara. Melihat adanya keinginan penduduk di wilayah Kalimantan Utara dan Malaysia —melalui kontak masyarakat setempat dengan Soekarno— untuk menggabungkan diri dengan Indonesia, maka pemberian opsi inisiatif masyarakat setempat dan bukan pembebasan dengan cara paksa merupakan strategi yang akan ditempuh dalam menyatukan kembali keutuhan Nusantara.

[7]     Belanda hendak melakukan rekolonialisasi melalui Agresi I dan II, Inggris tentu tidak menerimakan begitu saja dengan lepasnya Malaysia dan Singapura, sementara Australia jelas tidak menginginkan Papua New Guinea lepas dari kendalinya.

[8]     Amerika akhirnya menutup pangkalan Angkatan Laut-nya di Subic Philipina.

[9]     Pengembalian Timor Timur kedalam lingkup NKRI atas dukungan AS dan Australia.

[10]    Singapura sebagai basis kelompok-kelompok kepentingan ekonomi internasional dalam penguasaan potensi-potensi ekonomi strategis Indonesia. Sedangkan Malaysia menjadi basis agenda-agenda disintegrasi, seperti lepasnya Sipadan-Ligitan dalam kerangka persekongkolan negara-negara persemakmuran dan basis anggota-anggota GAM.

Penulis : Abdul Rohman