Kamis, 14 November 1985 --- Di
Roma hari ini Presiden Soeharto menghadiri upacara peringatan 40 tahun
FAO. Presiden menghadiri acara ini atas undangan Direktur Jenderal FAO,
Dr Eduard Saoma, untuk mewakili negara-negara yang sedang berkembang.
Yang diundang sebagai wakil negara maju adalah Presiden Prancis, Francis
Mitterrand. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto menyerahkan 100.000
ton padi sumbangan para petani Indonesia untuk disampaikan oleh Direktur
Jenderal FAO kepada korban kelaparan di Afrika.
Dalam
pidatonya, Presiden Soeharto mengatakan bahwa jika pembangunan pangan
kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan kerja
raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan: mulai dari
keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga-lembaga politik
dalam negara yang demokratis, alokasi anggaran yang konsekuen,
pembangunan bendungan-bendungan besar sampai jaringan irigasi tersier,
pembangunan pabrik-pabrik pupuk dan industri lain yang menunjang
pembangunan pertanian, kerja tekun dari pekerja ilmiah di
lembaga-lembaga penelitian yang menghasilkan bibit unggul, bekerjanya
aparatur pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah yang menangani
pembangunan pertanian. Dan yang paling penting dan menentukan ialah:
kerja keras, cucuran keringat, semangat dan kegairahan berjuta-juta
petani Indonesia sendiri. Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa peranan
wanita sangat besar, baik dalam usahan intensifikasi pertanian maupun
dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga pada umumnya dengan
adanya PKK di setiap desa.
Selanjutnya dikemukakan
oleh Presiden bahwa kenaikan produksi pangan tidak akan banyak artinya
jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkiendali. Karena itu Indonesia
melancarkan program keluarga berencana secara nasional, yang juga
dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Masalah lain yang perlu ditangani
adalah pengamanan sumber daya alam, termasuk hutan-hutan tropis.
Kerusakan sumber daya alam terutama hutan dan daerah-daerah aliran
sungai, bukan saja dicegah agar tidak lebih parah, melainkan juga
diusahakan untuk dikembalikan fungsinya dan dilestarikan.
Pada
bagian lain pidatonya, Kepala Negara menyarankan agar bantuan pangan
dari negara-negara maju, hendaknya tidak membuat negara-negara yang
sedang membangun selamanya tergantung pada uluran tangan negara-negara
maju. Bantuan pangan harus merupakan sarana agar negara penerima
bantuan, secara bertahap, mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan
mereka. Pada dasarnya bantuan itu perlu diletakkan dalam kerangka
pemikiran yang lebih mendasar, ialah membantu negara-negara yang sedang
membangun agar dapat meningkatkan kemampuannya dan akhirnya mampu
berdiri dengan kemampuan sendiri.
Dalam pada itu
disamping bantuan pangan, maka dalam rangka memberikan kesempatan untuk
bertumbuh bagi negara-negara berkembang, Presiden menekankan secara
khusus mengenai pentingnya kelancaran ekspor komoditi pertanian dari
negara-negara yang sedang membangun ke negara-negara industri maju.
Dikatakannya, bagi negara-negara yang sedang membangun, ekspor pertanian
bukanlah semata-mata masalah peningkatan devisa yang diperlukan untuk
menggerakkan pembangunan selanjutnya. Lebih luas dari itu, disana
terletak kekuatan untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan
pendapatan petani.
Pada akhirnya, Presiden menyerukan
kepada negara-negara maju agar mengembangkan kebijaksanaan perdagangan
internasional yang mendorong perkembangan negara-negara yang sedang
membangun. Dikatakannya bahwa yang diperlukan tidak lain adalah
kewajaran. Dalam rangka ini pelaksanaan dari persetujuan yang telah
dicapai mengenai dana bersama dan program komoditi terpadu perlu segera
digalakkan. Disamping itu langkah-langkah yang proteksionistis yang
diambil oleh negara-negara maju sangat tidak membantu dan bahkan sangat
merugikan negara-negara yang sedang membangun. Demikian antara lain yang
dikemukakan oleh Presiden Soeharto.
Direktur Jenderal
FAO, Dr Edward Saoma, memberikan penghormatan khusus kepada Presiden
Soeharto atas prestasi yang dicapai Indonesia. Menurutnya, Presiden
Soeharto secara pribadi berjasa dalam menyusun kebijaksanaan, sehingga
Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Penghargaan ini
dikemukakan Direktur Jenderal FAO setelah ia mempelajari pidato yang
disampaikan oleh Presiden pada konferensi FAO ke-23 di Roma pagi ini.
Sore
ini Presiden Soeharto melakukan pembicaraan dengan Presiden Prancis,
Mitterrand. Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Direktur Jenderal
FAO di Roma itu, kedua presiden telah membicarakan masalah-masalah
bilateral, regional, dan internasional. Dalam bidang ekonomi
internasional, umpamanya, telah disinggung masalah pelaksanaan
persetujuan global dalam rangka dialog Utara-Selatan. Masalah regional
yang dibahas adalah persoalan Afghanistan dan Kamboja.
Menyangkut
hubungan bilateral, Presiden Soeharto telah mengemukakan harapannya
agar Prancis meningkatkan bantuan lunaknya dalam pembiayaan
proyek-proyek besar yang ditangani Prancis di Indonesia pada masa yang
akan datang. Hal ini diajukan Presiden Soeharto mengingat bahwa selama
ini bantuan Prancis kepada Indonesia berupa campuran dari kredit ekspor
dan bantuan lunak. Menanggapi harapan tersebut, Presiden Mitterrand
menyatakan akan mempelajarinya.
Dalam pertemuan itu
Presiden juga mengulangi undangannya kepada Presiden Mitterrand untuk
mengunjungi Indonesia. Sebagaimana diketahui, Presiden Soeharto telah
melakukan kunjungan kenegaraan ke Prancis pada tahun 1972.
Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Publikasi : Oval Andrianto
Publikasi : Oval Andrianto