Balikpapan, 10 September 1998
Kepada
Yth. Bapak Soeharto
di rumah
Hati Saya Hancur[1]
Saya memberanikan diri untuk menulis
surat kepada Bapak, karena saya sudah tidak bisa menahan prihatin atas
apa yang tengah menimpa diri Bapak.
Bapak Soeharto yang bijaksana, sewaktu
mendengar pidato Bapak tanggal 21 Mei 1998 tentang pengunduran diri
Bapak, hati saya hancur dan tanpa terasa saya menangis tersedu-sedu.
Dengan pengunduran diri Bapak ternyata Negara Indonesia tercinta ini
malah menjadi makin parah tidak keruan. Tapi apa boleh buat, saya hanya
rakyat jelata yang tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan agar
Bapak tetap memimpin negara ini.
Keprihatinan dan sakit hati saya
bertambah mendengar kabar/isyu dari TV, koran, bahkan internet yang
menjelek-jelekkan nama Bapak. Apalagi tentang kekayaan Bapak yang
dibesar-besarkan itu. Tapi begitu mendengar wawancara Bapak di TPI, hati
saya sedikit lega, karena paling tidak orang-orang akan berfikir
kembali untuk tidak menuduh Bapak yang bukan-bukan.
Saya yakin tidak sedikit orang yang
masih bersimpati pada Bapak, karena bagaimanapun juga Bapak memimpin
negara ini dengan bijaksana selama 32 tahun hingga Bapak dikenal sebagai
Bapak Pembangunan.
Hanya orang-orang yang iri dan
ambisiuslah yang tega berbuat begitu pada Bapak. Akhirnya saya hanya
bisa mendoakan agar Bapak tetap diberi keimanan dan ketabahan dalam
menghadapi situasi seperti ini.
Hormat ananda,
Tri Asih Fitriani
Balikpapan
[1]
Dikutip langsung dari buku berjudul “Empati di Tengah Badai:
Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998″, (Jakarta:
Kharisma, 1999), hal 832. Surat ini merupakan salah satu dari 1074
surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan
luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan
simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat
tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.