Iwan Satyanegara Kamah – Jakarta
SEPULUH tahun silam, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi negara baru. Sebuah transformasi dari wilayah yang paling dimanjakan Indonesia, menjadi negara yang paling ditelantarkan dunia.
KETIKA saya masih kuliah tahun 1990, beberapa teman saya yang mengambil jurusan ilmu antropologi ikut sebuah penelitian sosial ke Timor Timur. Ketika mereka selesai dan pulang, saya bertanya banyak tentang wilayah itu yang belum pernah saya kunjungi dan tidak banyak saya ketahui. Jawaban yang saya dengar cukup mengagetkan. Saya sulit percaya meski akhirnya saya bisa yakin tentang kesan teman-teman saya yang meneliti di Timor Timur.
“Jaman Portugis berkuasa, penduduk asli tidak boleh menginjak aspal jalan”, kata teman saya tentang keadaan saya. Artinya bukan karena aspalnya masih meleleh sehingga belum boleh diinjak atau digunakan. Tapi ini simbol diskriminasi yang artinya, Indonesia lebih baik dan lebih banyak memberikan sesuatu kepada rakyat Timor Timur, dibanding Portugal. “Lho? Indonesia ‘kan sudah membunuhi 200 ribu jiwa selama 27 tahun di wilayah itu?”, seperti gembar gembor yang selalu dihembus media barat yang anti Indonesia. Lalu berapa nyawa juga yang lenyap selama 400 tahun lebih kekuasaan Portugal di Timor Timur?” Silahkan ambil kalkulator dan buka-buka buku sejarah.
Lalu siapa sebenarnya yang memiliki dan punya hak menguasai Timor Timur? Mengapa ketika Indonesia masuk ke wilayah itu, sebagian besar negara barat dan konco-konconya menentangnya? Dan menganggap Indonesia sebagai “pembunuh”? Sementara Portugal dianggap anak manis? Padahal mereka tidak banyak berbuat banyak memajukan wilayah itu? Berapa lulusan akademi yang dihasilkan Portugal selama menjajah Timor Timur? Yang dikenal orang cuma Ir. Mario Carascalao, yang kemudian menjadi gubernur di sana. Berapa kilometer jalan yang dibuat oleh Portugal? Begitu merananya wilayah itu dibawah Portugal, sampai-sampai tidak dilirik oleh negara manapun. Bahkan Soekarno tidak pernah mengutak-atik wilayah itu selama berkuasa, juga Soeharto selama sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya, tak punya ambisi territorial.
Dunia dibentuk dan dikendalikan oleh “survival of the fittest” , sebuah istilah mekanis untuk menggambarkan siapa yang kuat dia yang menang. Negara-negara kuat boleh sesuka hatinya berbuat semaunya kepada bangsa yang lemah. Amerika bebas membunuhi orang Vietnam, dari bayi sampai orang tua. Tak pernah dituntut apapun. Mereka suka-suka membasmi rakyat Irak, tanpa bersalah. Padahal orang Vietnam dan Irak, tak pernah menyerang Amerika, apalagi membunuh satu nyawa pun di Amerika. Tetapi sebaliknya, jangan coba-coba orang dari negara-negara lemah melukai seekor hewan pun milik bangsa dan negara kuat, pasti akan geger.
Begitupun ketika tentara Sekutu mengalahkan Nazi Jerman, mereka mengadili para perwira Nazi dengan menghukum mati mereka di Nurenberg. “Kalian mengadili kami karena kalian menang perang!”, kata seorang perwira yang diadili.
Di Timor Timur pun begitu, tak ada lembaga kemanusiaan yang mencoba menuntut Portugal atas kekejaman selama 400 tahun lebih menjajah wilayah itu, tetapi sebaliknya banyak tokoh dan perwira Indonesia siap menghadapi penangkapan dan pengadilan, bila mereka berada di luar Indonesia. Setiap kesalahan Indonesia selalu diungkit-ungkit, tetapi tidak pernah hal itu diberlakukan untuk Portugal. Ini sebuah ilustrasi yang tidak adil dan terjadi di depan mata kita.
Secara sejarah, Timor Timur adalah bagian dari Kesultanan Ternate. “Wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate pun meliputi Timor Timur sekarang. Ini ditandai dengan wali kuasa Kesultanan Ternate yang ditempatkan di daerah itu”, kata Sultan Ternate ke-48 Drs. Moedaffar Sjah, BcHk. Dulunya, Kesultanan Ternate sangat luas pada masa Sultan Kaicil Mashur Malamio (1257-1277), membentang dari Mindanao (Filipina) sampai wilayah Manggarai, Flores. Ketika Portugal kalah perang di kepulauan Maluku tahun 1522, si pencundang itu seenaknya menduduki wilayah yang sekarang disebut Timor Timur. Saat itu daerah tersebut merupakan wilayah tak bertuan. Artinya bukan milik Portugal maupun Belanda. “Jadi secara hukum Portugal tak punya hak”, kata Sultan Moedaffar. Lalu, kenapa didiamkan saja? Karena setelah sultan-sultan setelah itu mengabaikan Timor Timur serta wilayah lainnya. Apalagi timbul masalah baru dengan datangnya Belanda, yang kemudian menjadi ‘trouble maker’.
Sejak 17 Agustus 1945, semua kerajaan yang ada di nusantara melebur menjadi sebuah negara baru. Artinya, negara baru inilah yang menjadi pemilik sah Timor Timur. Menurut Sultan Moedaffar, Indonesia seharusnya mengklaim Timor Timur berdasarkan pada historisch recht atau ketentuan yang didasarkan fakta sejarah. Bukan segi politis seperti yang diklaim oleh Portugal selama ini. Jadi pengambilalihan wilayah itu ke dalam wilayah Indonesia tahun 1975, sesuai dengan bahasa propaganda Orde Baru, “kembalinya anak yang hilang”. Pada September 1974, Presiden Soeharto mengajak Perdana Menteri Australia Gough Whitlam datang ke dataran tinggi Dieng, sebuah tempat wisata bernuansa mistik, untuk membicarakan pengambilalihan wilayah koloni Portugal itu ke dalam Indonesia.
eputusan Presiden BJ Habibie yang memberikan pilihan bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri pada Januari 1999, sangat mengejutkan semua orang, termasuk Xanana Gusmao yang sedang menjalani tahanan di Jakarta. Bagi Habibie, Timor Timur selalu membawa masalah bagi Indonesia selama seperempat abad dalam pergaulan internasional. Mirip seperti judul buku yang ditulis oleh Ali Alatas, menteri luar negeri dan sekaligus advokat paling tangguh membela Indonesia soal Timor Timur di panggung dunia, “kerikil dalam sepatu”.
Pada tahun 1991, Presiden Soeharto selalu membawa peta Indonesia untuk menjelaskan masalah Timor Timur kepada kepala negara yang dia temui di mana saja. Pernah ketika seorang presiden dari jajahan Portugal bernama Guinea Bissau minta bertemu Soeharto. Dan peta pun dibuka lalu diperlihatkan oleh Soeharto kepada tamunya, bahwa Timor adalah pulau kecil di Indonesia, dan setengahnya adalah wilayah Timor Timur. Tamunya pun manggut-manggut.
Pernah ada kejadian menarik yang dialami Indonesia soal Timor Timur. ketika meletus perang terbuka antara Inggris dan Argentina memperebut- kan gugusan pulau di sebelah ujung selatan Argentina tahun 1982. Kasusnya memang mirip dengan Timor Timur. Argentina merasa gugusan pulau Malvinas (pulau yang diperebutkan) adalah milik Argentina, karena memang adanya di wilayah Argentina, bukan Inggris yang menyebutnya dengan Falkland. Nah, pemerintah RI menghimbau agar semua media massa dalam memberitakan perang tersebut, harus menulis Malvinas, bukan Falkland. Ini sebagai solidaritas untuk membela Argentina, karena selama ini negaranya Maradona selalu membela Indonesia dalam setiap forum internasional, dan orang Argentina memang menyebutnya dengan ‘Las Malvinas’.
Akhirnya, semua orang Indonesia lebih mengenal kata Malvinas dan tak ada yang tahu apa itu Falkland. Sampai-sampai kata Malvinas di Indonesia mengalami pergeseran makna, sehingga menjadi slang untuk menyebut tempat-tempat pelacuran kelas murahan dengan kata mejadi Malpinas, dengan akronim yang bermacam-macam. Bahkan, di samping terminal bis Cililitan, Jakarta Timur ada kios bakso cukup besar dua lantai yang laku keras, dengan nama terpampang besar-besar, “BAKSO MALVINAS”
Banyak sudah diberikan Indonesia untuk kemajuan Timor Timur dibanding Portugal. Ini diakui sendiri oleh pemegang tahta kerajaan Portugal, HRH Dom Duarte Pio, Duke of Braganza, yang datang dan melihat sendiri perkembangan wilayah itu, dibanding kekuasaan leluhurnya dulu. “Selama ini banyak elite politik membicarakan Timor Timur dari sudut kejelekan melulu, tidak pernah bicara apa yang diperbuat dan diperjuangkan Indonesia di sana”. Kerajaan Portugal menjadi republik tahun 1910 hingga kini. Andai masih berbentuk monarki, Dom Duarte adalah ahli warisnya yang berhak menjadi raja.
Presiden Soeharto pernah membangun sebuah patung Jesus Kristus “Christo Rey”, yang terbesar di dunia setelah patung sejenis di Brasil. Patung ini diejek oleh orang yang anti integrasi Timor Timur sebagai bentuk propaganda untuk menyenangi rakyat Timor Timur. Bila masih sebagai wilayah Indonesia, mungkin unik juga di sebuah negeri berpenduduk muslim terbesar di jagat, terdapat patung Jesus terbesar nomor dua di jagat.
Sepuluh tahun lalu, wilayah Timor Timur lepas dari Indonesia setelah hasil jajak pendapat menyatakan sebagian besar rakyat di sana ingin merdeka dari Indonesia. Tidak ada rekapitulasi hitung ulang hasil jajak itu, seperti njelimetnya pemilu di Indonesia. Pokoknya yang menang yang pro merdeka. Titik. Diumumkannya pun di New York, AS, oleh Sekjen PBB. Bukan di Dili atau Jakarta. Dengan hasil itu, “anak yang hilang” pergi lagi meninggalkan rumah. Mungkin dia jenuh dan bosan. Kata orang tua, biarin aja anak pergi. Kalau kangen atau lapar, pasti pulang lagi.
Jauh sebelum Portugal datang ke sini, wilayah Timor Timur sudah ada di Indonesia dan dimiliki oleh orang Indonesia. Bukan oleh mahluk dari manapun. Indonesia punya hak sejarah atas Timor Timur sampai kapanpun. Karena Timor Timur punya Indonesia. (*)
Sumber : Viva Co Id