Kamis, 31 Maret 1966
DPP Parkindo menyatakan kegembiraannya sehubungan dengan terbentuknya kabinet baru; partai ini juga menyerukan agar usaha pembersihan terhadap G-30-S/PKI dan orang-orang yang “plin-plan” terhadap Ampera diteruskan. Anggota-anggota parti diminta untuk membantu Letjen. Soeharto dalam melaksanakan Supersemar.
DPP/PNI Front Marhaenis menginstruksikan kepada para anggotanya untuk melaksanakan perintah Letjen. Soeharto untuk menangkap Ir. Surachman dan pembantu-pembantunya yang berusaha menyelamatkan menteri “buronan” tersebut. Selain itu diserukan pula agar membersihkan PNI/FM dari unsur-unsur G-30-S/PKI.
Front Pancasila Bandung telah mengirimkan pernyataan kepada pemerintah agar membubarkan Parindo beserta organisasi-organisasi massa dan Baperki secara formal. Front Pancasila juga mendesak agar segala kegiatan organisasi-organisasi, orang-orang dan golongan-golongan yang nyata-nyata mendukung PKI dilarang.
Minggu, 31 Maret 1968
Hari ini Presiden Soeharto mengadakan perundingan babak kedua dengan PM Jepang, Eisaku Sato. Sebagai kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, dalam pertemuan hari ini Presiden Soeharto telah berhasil memperoleh jaminan bahwa Jepang ”dengan pandangan jauh” akan mempertimbangkan jumalah bantuannya kepada Indonesia tahun ini. Namun dalam hal ini Jepang belum dapat memberikan angka-angka yang pasti.
Senin, 31 Maret 1969
Pukul 09.00 pagi ini bertempat di Istana Merdeka Presiden Soeharto menandatangani RUU APBN 1969/1970. Penandatanganan ini di saksikan oleh para ketua MPRS, DPA, DPR-GR, dan lembaga-lembga tinggi negara lainnya, serta seluruh anggota Kabinet Pembangunan. pada kesempatan itu, Presiden menyatakan bahwa saat ini lebih besar artinya dari pada sekedar lahirnya UU. Saat ini sangat penting artinya bagi masa depan bangsa kita, karena kita akan segera memasuki tahun pertama Repelita. Dengan UU ini kita memiliki rencana kerja yang jelas dan terperinci untuk tahun 1969/1970 dalam rangka melaksanakan Repelita 1969/1970.
Sabtu, 31 maret 1973
Setelah mendengar dan mepertimbangkan saran-saran Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional, Pemerintah hari ini mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 April itu tercantum didalam Keputusan Presiden No. 10/1973 tertanggal 31 Maret 1973. Dijelaskan bahwa harga bahan bakar minyak perlu dinaikkan yaitu untuk menjamin kelancaran produksi dan distribusi minyak serta untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka pelaksanaan Repelita. Dengan kenaikan ini maka harga setiap liter bahan bakar minyak adalah sebagai berikut:
Avigas dari Rp35,- menjadi Rp40,-
Bensin suoer dari Rp40,- menjadi Rp45,-
Bensin Premium dari Rp35,- menjadi Rp40,-
Minyak Tanah dari Rp10 menjadi Rp11,50,-
Minyak Solar dari Rp14,- menjadi Rp16,-
Minyak diesel dari Rp8,50,- menjadi Rp 9,-
Minyak bakar dari Rp6,50,- menjadi Rp7,50,-
Senin, 31 Maret 1975
Selama tiga jam terus- menerus di Cendana hari ini Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan beberapa menteri dalam bidang ekonomi. Menteri-menteri yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Menteri Negara Ekuin/Ketua Bappenas, Widjojo Nitisasro, Menteri Keuangan, Ali Wardhana, Menteri Pertambangan, Mohammad Sadli, dan Menteri Perdagangan, Radius Prawiro tidak diperoleh keterangan mengenai masalah ekonomi apa yang telah menjadi pokok pembahsan dalam pertemuan tersebut.
Rabu, 31 maret 1976
Pagi ini, pukul 09.00 Presiden Soeharto menerima para pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Cendana. Selain ketua pengurus pusat IAI, Drs. Radius Prawiro, dan Penasihat Pengurus Pusat Prof. Sumardjo Tjiptosidojo, hadir pula pengurus-[engurus inti lainnya, yaitu Drs. Utomo Josodirjo, Drs. Basuki Sidharta, Drs. Sujono dan Drs. Soebagjo.
Pada kesempatan itu, Presiden meminta IAI untuk membantu pengembangan pasar uang dan modal di Indonesia. Menurut Kepala Negara bantuan yang dapat diberikan oleh para akuntan antara lain ialah menilai perusahaan yang akan menawarkan sahamnya kepada masyarakat. Dengan bantuan IAI yang menunjukkan yang mana perusahaan yang terbaik, maka diharapkan bahwa kepentingan calon pembeli saham akan terlindungi. Demikian harapan Presiden.
Presiden Soeharto hari ini menetapkan Peraturan Pemerintah No. 11/1976 tentang penyempurnan ekspor, impor, dan lalulintas devisa. Dengan berlakunya peraturan yang menggantikan peraturan Pemerintah No. 16/1970 ini, maka para pengekspor dapat memperoleh nilai lawan rupiah dari hasil seluruh penjualan devisa umum yang diperolehnya dari hasil ekspor dengan terlebih dahulu dikurangi pajak ekspor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16/1970 yang telah dicabut itu, pengekspor hanya meperoleh nilai lawan rupiah sebanyak 9% dari hasil penjualan devisa umumnya, yang diperoleh dari hasil ekspor dengan kurs yang terjadi pada bursa valuta asing. Sisa yang 10% harus diserahkan kepada pemerintah pusat, kecuali untuk barang jadi seperti kerajinan rakyat.
Kamis, 31 Maret 1977
Hari ini Presiden Soeharto meresmikan pembukaan pabrik nikel di Soroako, Sulawesi Selatan. Pada peresmian itu, Presiden Soeharto menyampaikan sambutannya yang antara lain menyatakan agar investor asing mempunyai pengertian dan kesadaran bahwa kesempatan untuk menanamkan modalnya disini dan memperoleh keuntungan dapat berfungsi memajukan perekonomian Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan. Dengan selesainya proyek pertambangan nikel ini berarti Indonesia menjadi negara produsen nikel di dunia. Dengan demikian bertambahlah kekayaan riil produksi tambang, yaitu nikel, yang merupakan salah satu bahan baku yang sangat penting dan dibutuhkan oleh dunia.
Acara peresmian ini antara lain dihadiri duta-duta besar Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris, dan Jepang. Terlihat pula antara lain menteri Pertambangan Mohammad Sadli, Menteri M Jusuf, Menteri Tojob Hadiwidjaja. Menteri Sudharmono SH dan Nyonya, dan Pangkowihan II. Sesudah peresmian pabrik nikel ini, Presiden Soeharto melanjutkan peninjauan ke obyek transmigrasi Luwuk, lalu ke Pekuburan alam Londa di Tana Toraja, dan malm ini menginap di Tana Toraja.
Jumat, 31 maret 1978
Pada pukul 09.00 pagi ini bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto melantik menteri-menteri Kabinet Pembangunan III. Dalam amanatnya Kepala Negara antara lain, menegaskan kembali kedudukan para menteri sebagai pembantu Presiden. menurutnya, sesuai dengan penjelasan UUD 1945, sebagai pembantu Presiden, para menteri bukanlah para pegawai tinggi biasa, oleh karena para menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah dalam praktek. Sebagai pembantu Presiden, para menteri juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, sepanjang sesuai dan dalam rangka pelaksanaan GBHN.
Sabtu, 31 Maret 1979
Peserta Rapim ABRI diterima Presiden Soeharto pukul 10.00 pagi ini di Bina Graha. Dengan dipimpin oleh Menhankam/Pangab, Jenderal M Jusuf, mereka menghadap untuk menyampaikan hasil-hasil Rapim yang telah mereka ikuti sejak beberapa hari yang lalu di Dili, Timor Timur.
Menyambut hasil-hasil tersebut, Presiden mengatakan bahwa sangatlah mutlak bagi setiap prajurit ABRI dan seluruh jajaran ABRI sebagai kesatuan terus mendalami dan menghayati dasar, semangat dan idealisme ABRI. Dan untuk itu yang teramat penting ialah agar ABRI selalu mendengarkn suara hati rakyat mengenai apa yang diinginkan dan diharapkan rakyat dari ABRI. Setiap anggota ABRI perlu terus menerus mengingatkan suara hatinya sendiri apa sesungguhnya tujuan hidup seorang prajurit ABRI. Jawaban dan perbuatan atas pertanyaan mendasar itu akan mewujudkan secara nyata kemanunggalan ABRI dengan rakyat. Kemanunggalan inilah kunci berhasilnya perjuangan bangsa kita dalam menegakkan kemerdekaan tiga dasawarsa yang lalu dan didalam mengisi kemerdekaan sekarang ini.
Mengakhiri amanatnya Presiden meminta kepada para piminan ABRI agar memperhatikan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Kita memandang prajurit sebagai pejuang, akan tetapi, demikian Presiden, bagaimanapun juga mereka manusia-manusia biasa. Prajurit pun berhak mendapat ketentraman batin dan kebahagiaan keluarga, demikian ditegaskan oleh Kepala Negara.
Minggu, 31 maret 1985
Atas nama Presiden Soeharto, hari ini Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono SH, menyerahkan bantuan Presiden untuk pembangunan Masjid Raya at-Taqwa di Kutacane, Aceh Tenggara, T Johan Syahbudin SH.
Senin, 31 maret 1986
Pemerintah tetap tidak akan mengizinkan ekspor sapi atau kerbau hidup, melainkan harus dalam bentuk karkas (sudah dipotong dan dikuliti). Demikian ditegaskan Presiden Soeharto kepada Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan, Hutasoit, yang menghadapnya di Bina Graha siang ini. Penegasan ini dinyatakan Presiden Soeharto sehubungan dengan adanya keinginan sejumlah negara, termasuk Singapura dan Malaysia, untuk mengimpor sapi hidup dari Indonesia. Presiden juga menolak pengiriman bibit sapi keluar negeri, sebab sampai sekarang Indonesia masih kekurangan bibit ternak. Oleh karena itu produksi bibit yang ada harus memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
Penyusun Intarti Publikasi Lita,SH.