PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 19 Oktober 1965 - 19 Oktober 1990

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Selasa, 19 Oktober 1965

Pangdam V/Jaya Mayjen. Umar Wirahdikusumah selaku Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya mengeluarkan Surat Keputusan No. I 1/1965 tentang penghentian sementara kegiatan organisasi politik yang bernaung di bawah/seasas dengan PKI. Organisasi politik dan organisasi massa yang dimaksudkan itu adalah PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, BTI, CGMI, Perhimi, IPPL, Lekra, dan HSI. Kesemua organisasi ini dilarang melakukan kegiatannya untuk sementara waktu di daerah hukum Peperda Jakarta Raya dan sekitarnya. Keputusan ini dikeluarkan dalam rangka penciptaan ketenangan dan ketertiban umum dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sabtu, 19 Oktober 1968

Setiba di Palangkaraya dari Pontianak kemarin, Presiden telah bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan Tengah, dan menerima laporan dari gubernur tentang keadaan di daerah tersebut. Presiden juga telah melihat sendiri perkembangan daerah ini. Sebelum mengakhiri kunjungan di Kalimantan Tengah Presiden Soeharto mengatakan bahwa beberapa sektor ekonomi Kalimantan Tengah dalam waktu yang singkat akan dapat dieksploitasi demi kemanfaatan daerah dan negara. Presiden menilai bahwa yang paling memungkinkan sekarang ini ialah ekspor hasil hutan, dan perluasan produksi pertanian dengan membuka proyek-proyek pasang surut. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor penting yang menentukan berhasil-tidaknya eksploitasi tersebut adalah perbaikan infrastruktur, khususnya pengerukan muara-muara sungai dan penambahan tenaga kerja dengan mengusahakan transmigrasi.

Selasa, 19 Oktober 1976

Direktur IMF, Dr H Johannes Witteveen, diterima oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pagi ini. Dalam kenjungan kepada Kepala Negara itu, ia didampingi oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana dan Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh. Diantara masalah-masalah yang mendapat perhatian dalam pertemuan itu adalah persoalan-persoalan kependudukan, pemerataan pendapatan penduduk, dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi masalah tersebut.

Rabu, 19 Oktober 1977

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, Presiden Soeharto mengadakan konferensi pers ketika pesawat Garuda yang ditumpanginya memasuki wilayah yuridiksi Indonesia. Kepala Negara menyatakan puas akan hasil-hasil kunjungan di Timur Tengah, dan melihat adanya prospek yang semakin baik dalam kerjasama dengan negara-negara yang telah dikunjungi itu. Dijelaskan bhwa negara yang dikunjunginya itu dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang memilii potensi ekonomi, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Emirat Arab dan Bahrain. Sedangkan kelompok lainnya adalah negara yang memiliki potensi olitik disamping ekonomi yaitu, Mesir, Suriah dan Jordania. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dalam jangka pembicaraan-pembicaraan tersebut, kita titikberatkan pada potensi yang dipunyai masing-masing negara.

Dalam soal politik, dukungan Indonesia terhadap perjuangan bangsa-bangsa Arab menghadapi Israel tidak perlu diragukan lagi. Dukungan tersebut didasarkan pada prinsip perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua penjajahan dimuka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dalam hubungan ini Presiden menggunakan lawatan tersebut untuk menjelaskan masalah Timor Timur kepada negara-negara yang dikunjunginya, yang pada intinya tidak lepas dari prinsip-prinsip perjuangan rakyat Indonesia. Dikatakannya bahwa masalah Timor Timur bukanlah soal klaim dan soal serangan militer oleh Indonesia, tetapi semata-mata menyangkut pembebasan diri rakyat Timor Timur dari belenggu penjajahan dan persoalan dekolonisasi. Dari semua negara yang dikunjunginya itu telah dapat ditemui saling pengertian dan bahkan semua negara itu telah menyatakan komitmen untuk mendukung sepenuhnya pendirian Indonesia dalam soal Timor Timur.

Negara-negara dalam kelompok ekonomi menyatakan bersedia membantu Indonesia melalui dana-dana dari Arab Saudi, Kuwait dan Emirat Arab. Dibidang perdagangan, negra-negara Arab mempunyai minat untuk mengimpor secara langsung hasil-hasil Indonesia, terutama komoditi yang diperlukan seperti kopi dan teh. Kepada negara-negara yang memerlukan air bersih, Presiden menyatakan bahwa Indonesia dapat mengekspor air kebutuhan mereka. Hal ini telah ditanggapi secara serius oleh Arab Saudi, Abu Dhabi dan Qatar, namun masih dalam penjajakan lebih lanjut.
Akhirnya dijelaskan pula oleh Presiden Soeharto bahwa ia merasa sangat bahagia sekali, karena telah dapat menunaikan ibadah umrah, walaupun belum bisa melakukan ibadah haji dengan sempurna. Ia merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah dapat mengunjungi tanah suci dan melakukan ibadah umrah serta berkesempatan untuk memasuki Ka’bah.

Hari ini jam 15.00 WIB, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto beserta rombongan tiba di Jakarta dari perlawatan muhibah di tujuh negara di Timur Tengah. Tampak menjemput di lapangan udara Internasional Halim Perdanakusuma, Wakil Presiden Hamengkubuwono IX, para menteri kabinet, pimpinan DPR/MPR dan korps diplomatikdari negara sahabat.

Kamis, 19 Oktober 1978

Menteri Perindustrian Ir AR Suhud pagi ini diterima Kepala Negara di Bina Graha. Dalam pertemuan itu ia melaporkan kepada Presiden masalah perkembangan industri kendaraan bermotor di Indonesia, selain proyek Asahan. Usai pertemuan dengan Kepala Negara, ia mengatkan kepada wartawan bahwa jumlah perusahaan perakitan kendaraan bermotor di Indonesia memang terlalu banyak sehingga perlu dikurangi.

Mengenai proyek Asahan, Menteri Suhud mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan pihak Jepang telah mengadaka amandemen pada kontrak Proyek Asahan. Amandemen itu sudah ditandatangani didalam kunjungannya ke Jepang baru-baru ini.

Selasa, 19 Oktober 1982

Presiden Soeharto dan rombongan meninggalkan Seoul menuju Tokyo untuk memulai kunjungan tidak resmi di negeri Matahari Terbit itu.  Di bandar udara internasional Kimpo, Presiden dan Ibu Soeharto dilepas oleh Presiden dan Nyonya Chun Doo-Hwan dalam suatu upacara kebesaran militer.

Senin, 19 Oktober 1987

Didampingi Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin, pukul 19.30 malam ini Presiden Soeharto menjenguk para korban tabrakan kereta api Bintaro, yang kini dirawat di RSCM, Jakarta Pusat. Musibah itu terjadi pagi ini ketika sebuah kereta api penumpang jurusan Rangkas Bitung-Jakarta beradu dengan kereta api penumpang jurusan Tanah Abang-Merak di desa Pondok Betung, Pasar Bintaro, Keluarahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Kecelakaan itu menewaskan lebih dari 100 penumpang, dan puluhan orang lainnya mengalami cidera.

Kamis, 19 Oktober 1989

Pagi ini Presiden Soeharto berada di Jambi untuk meresmikan jembatan Aur Duri Sungai Batanghari dan Pabrik pengolahan karet remah PIR III PT Perkebunan VI di Penyengat Rendah, Kotamadya Jambi. Apabila jembatan Aur Duri ini dibangun untuk memperlancar angkutan lalulintas melalui lintas timur Pulau Sumatera, maka pabrik pengolahan remah karet itu dibangun untuk menampung karet dari kebun-keebun plasma PIR di daerah Rimbo Bujang. Setelah acara peresmian tersebut, hari ini juga Kepala Negara kembali ke Jakarta.

Dalam pidato peresmiannya Kepala Negara sekali lagi menekankan bahwa setiap usaha kita dalam melaksanakan pembangunan pada akhirnya harus tertuju demi terwujudnya kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Tujuan ini, demikian Presiden, harus menjadi tujuan bersama kita sluruh bangsa Indonesia. Harus menjadi tujuan semua pelaku ekonomi, baik kalangan dunia usaha swasta, BUMN, koperasi maupun masyarakat luas.

Jumat, 19 Oktober 1990

Pukul 18.00 sore ini Presiden dan Ibu Soeharto menyambut kedatangan Wakil Ketua Kongres Nasional Afrika (ANC), Nelson Mandela, di halaman Istana Merdeka. Nelson Mandela di bandar udara Halim Perdanakusuma dengan menumpang pesawat Boeing 737 milik Angkatan Udara India. Sekalipun ia bukan seorang presiden ataupun perdana menteri, tetapi penyambutan yang diberikan kepadanya oleh Presiden soeharto mirip seperti itu. Oleh sebab itu, setelah bersalaman, Presiden Soeharto meminta Nelson Mandela untuk naik ke mimbar upacara guna menerima penghormatan militer.

Bertempat di Istana Negara, malam ini Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang RI kelas II kepada Nelson Mandela dalam suatu upacara yang disaksikan oleh pejabat tinggi Indonesia dan korps diplomatik. Penyematan tanda penghormatan itu dilakukan Presiden atas nama bangsa dan negara, mengingat jasa Mandela dalam memperjuangkan hak-hak bagi rakyat Afrika Selatan dan rakyat Afrika pada umumnya.

Setelah penyematan bintang tersebut, Nelson Mandela mengatakan bahwa Bintang RI diterma itu bukan sekedar rasa simpati Presiden dan bangsa Indonesia, melainkan sebagai pemacu semangat bangsa Afrika tertindas untuk tetap berjuang melawan penindasan itu sendiri. Ia mengaku bahwa itulah tanda penghormatn tertinggi yang pernah diterim langsung dari tangan seorang Kepala Negara dan disematkan di dadanya.

Setelah acara penganugerahan tanda kehormatan itu, di tempat yang sama, Presiden dan Ibu Soeharto menyelenggarakan jamuan makan malam kenegaraan untuk menghormat kunjungan Nelon Mandela di Indonesia. Dalam pidato selamat datangnya, Presiden soeharto mengatakan bahwa Mandela telah menjadi lambang keberanian dan aspirasi kemanusiaan dari rakyat Afrika selatan. Dikatakannya bahwa Indonesia dan seluruh dunia memandangnya sebagai tokoh masa depan Afrika selatan. Keberhasilan Afrika Selatan dalam perjuangan menghapuskan apartheid serta mewujudkan masyarakat yang demokratis dan non-rasial juga berada di tangan Mandela.

Pada kesempatan itu, Kepala Negara menyerukan kepada rezim Pretoria agar mengambil langkah-langkah mendasar yang lebh jauh lagi dengan mencabut undang-undang darurat, membebaskan semua tahann politik dan duduk di meja perundingan dengan pemimpin-pemimpin masyarakat kulit hitam, demi masa depan seluruh rakyat Afrika Selatan. Dalam hubungan itu, Presiden menegaskan kembali pendirian dan keyakinan pemerintah Indonesia bahwa penerapan sanksi yang menyeluruh terhadap rezim Pretoria sesuai dengn resolusi PBB akan dapat memaksa Afrika Selatan untuk membuka jalan kearah terciptanya perdamaian dan penghapusan sistem apartheid.

Sumber : Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1 - 6