PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965 - 1 Oktober 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Jum’at, 1 Oktober 1965
Pagi-pagi sekali hari ini terjadi kesibukan luar biasa di Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur, Jakarta. Panglima Kostrad, Mayjen. Soeharto, beserta stafnya sedang mengadakan pembahasan dan penilaian atas terjadinya penculikan terhadap sejumlah perwira AD beberapa jam yang lalu.
Sementara itu pada pukul 07.20 pagi, melalui RRI,Letkol. Untung mengeluarkan sebuah pengumuman dari apa yang dinamakan Gerakan Tigapuluh September. Dalam pengumuman tersebut, Untung menyatakan bahwa gerakan yang dipimpinnya itu ditujukan kepada para jenderal, yang disebutnya “Dewan Jenderal”, yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Soekarno. Dengan demikian, menurut Untung, gerakannya bermaksud untuk menyelamatkan Presiden. Lebih jauh Untung mengumumkan bahwa sebagai tindak lanjut dari gerakannya, maka akan dibentuk suatu “Dewan Revolusi Indonesia” dan disusul oleh “Dea\wan revolusi Daerah”.
Pada pukul 09.00 RRI menyiarkan Perintah Harian Menpangau, Laksdya. Omar Dhani. Dalam perrintah hariannya, Menpangau mengatakan bahwa “pada tanggal 30 September 1965 malam telah diadakan gerakan oleh Gerakan Tigapuluh September, untuk mengamankan dan menyelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversi CIA. Dengan demikian  telah diadakan pembersihan didalam tubuh AD dari anasir-anasir yang didalangi oleh subversi asing dan yang membahayakan Revolusi Indonesia”. Selanjutnya diumumkan juga bahwa AURI akan menyokong gerakkan tersebut.
Sekitar pukul 13.00 RRI menyiarkan pula Dekrit No. 1 Gerakan Tigapuluh September, yaitu tentang Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia oleh Letkol. Untung. Dalam Dekrit tersebut dikatakan bahwa Dewan Revolusi merupakan sumber dari segala kekuasaan negara, dan semua anggota tentara yang pangkatnya di atas letnan kolonel diturunkan menjadi letnal kolonel.

Sabtu, 1 Oktober 1966
Hari Kesaktian Pancasila hari ini diperingati oleh seluruh rakyat Indonesia. Peringatan ini bertujuan untuk membulatkan tekad dalam memeruskan perjuangan mengawal, mengamankan dan mempertahankan Pancasila. Di Jakarta, Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang berlangsung di Markas Kostrad antara lain diikuti oleh KAMI, KAPPI dan KAPI dari kontingen Jakarta, Bogor dan Bandung. Usai upacara, para mahasiswa, pelajar dan pemuda ini mengadakan show of force keliling kota, dengan membawa spanduk yang menuntut pertanggunganjawab Bung Karno atas keterrlibatannya dalam peristiwa penghianatan G-30-S/PKI.
PGRI baru-baru ini mengajukan saran kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera agar pemerintah mengambil tindakan darurat berupa pemberian upah sebesar 50% dari PGPN tahun 1961 (dinilai dengan uang baru) dan melancarkan pembagian distribusi 9 bahan kebutuhan hidup kepada para pegawai negeri dan buruh. Anjuran ini diajukan  karena makinmeningkatnya beban ekonomis buruh/pegawai negeri dan guru sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan hidup sehari-hari.

Minggu, 1 Oktober 1967
Hari ini kabinet mengumumkan bahwa hubungan diplomatik antara RI dengan RRC dibekukan. Alasan pembekuan diplomatik ini antara lain adalah bahwa RRC terbukti telah memberikan bantuan kepada G-30-S/PKI, baik dalam persiapan, pelaksanaannya maupun pada masa-masa sesudahnya. Diantara alasan lain yang dikemukakan pemerintah bahwa tindakan-tindakan orang Cina terhadap gedung dan harta milik staf Kedutaan Besar RI di Peking yang tidak dapat ditolerir oleh Indonesia, sebab staf kedutaan mempunyai hak imunitas dan hak ekstra-teritorial.
Meskipun pembekuan hubungan ini mulai berlangsung hari ini, tetapi Kedutaan Besar Indonesia di Peking baru akan ditutup secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1967. Untuk mewakili kepentingannya di Cina, pemerintah menunjuk Kedutaan Kamboja di RRC.

Selasa, 1 Oktober 1968
Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta seluruh pimpinan negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, hari ini memperingati Haari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta. Hari Kesaktian Pancasila diselenggarakan untuk memperingati kemampuan Pancasila didalam membela negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dari usaha PKI dan kaum komunitasuntuk menghancurkannya melalui peristiwa berdarah G-30-S/PKI. Dalam rangkaian peringatan kali ini, Presiden Soeharto meresmikan relief Monumen Pahlawan Revolusi.

Rabu, 1 Oktober 1969
Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara pada peringatan Hapsak Pancasila yang kali ini dipusatkan di Balige, Sumatera Utara. Hari ini pula Presiden meresmikan Tugu Pahlawan DI Panjaitan di kota itu. Presiden tiba di Medan kemarin, dan selama dua hari berada di provinsi ini, Presiden serta rombongan telah pula berziarah ke Makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja.

Kamis, 1 Oktober 1970
Hari ini Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya. Peringatan di hadiri oleh para duta besar negara sahabat dan 21 alim ulama dari berbagai daerah Indonesia. Selesai upacara kenegaraan, Presiden dan Ibu Tien Soeharto didampingi oleh keluarga para pahlawan revolusi telah meninjau disekitar tempat kejadian itu, yang sekarang dinyatakan sebagai tempat peringatan bersejarah dari penghianatan PKI terhadap bangsa dan negara Indonesia. Pada kesemoatan itu Mayjen. Soejono melaporkan mengenai pelaksanaan pembangunan monumen pahlawan revolusi di tempat tersebut.

Jum’at, 1 Oktober 1971
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila hari ini dipusatkan di Lubang Buaya, Jakarta, dimana Presiden Soeharto memimpin acara yang berlangsung selama tiga puluh menit. Selesai upacara resmi, Presiden dan Ibu Tien Soeharto yang diikuti oleh para menteri, perwira tinggi dan menengah dari ketiga angkatan dan polri serta korps diplomatik, meninjau kompleks Monumen Pahlawan Revolusi. Sesudah melihat sumur tua itu, Presiden kemudian meninjau Monumen Pahlawan Revolusi. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto mengharapkan kepada Maayjen. Dr. Sujono, project officer monumen nasional itu, agar kebersihan dan keindahan monumen pahlawan revolusi ini dijaga betul tanpa mengurangi nilai sejarahnya.

Minggu, 1 Oktober 1972
Presiden Soeharto hari ini menghadiri pelantikan anggota-anggota MPR. Dalam amanatnya Presiden antara lain mengatakan bahwa mempertahankan dan melaksanakan Pancasila merupakan kewajiban yang harus kita lakukan tanpa keragu-raguan sedikitpun. Kita telah berbulat hati untuk membangun suatu Indonesia baru di atas dasar-dasar kita yang lama, yaitu Pancasila. Kita ingin menjadikan Republik Indinesia ini sebagai wadah perumahan keluarga besar Bangsa Indonesia dan kita benar-benar merasa kerasan hidup didalamnya, merasa tenteram jiwa dan batin kita, bergairah mengembangkan bakat dan bangsa karena berprestasi, dilindungi hak-hak kita dan sadar akan kewajiban sebagai warganegara yang bertanggungjawab. Demikian dikatakan oleh Presiden.

Senin, 1 Oktober 1973
Presiden Soeharto pagi ini bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dalam amanatnya, Kepala Negara antara lain telah mengemukakan tujuan peringatan itu, yakni membulatkan tekad guna meneruskan perjuangan mengawal, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila secara gigih sesuai dengan naluri amal bakti para Pahlawan Revolusi. Tujuan peringatan itu didasarkan pada dua prinsip utama. Yang pertama adalah memelihara terus menerus kewaspadaan dan daya juang terhadap ancaman-ancaman penghianatan dua kali terhadap negara, bangsa, dan Pancasila. Kedua, lebih mempertebal dan menerapkan kebenaran dan keunggulan Pancasila sebagai way of life rakyat Indonesia dengan memberikan isi yang sebenar-benarnya, setepat-tepatnya, semurni-murninya sesuai dengan jiwa semangatnya didalam memenangkan Orde Baru. Demikian Presiden Soeharto.

Selasa 1 Oktober 1974
Presiden dan Ibu Soeharto sore ini menyambut kedatangan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi, dan Ratu Farah Diba di pelabuhan udara internasional Halim Perdanakusuma. Mendrat pada pukul 15.35, Shah dan Ratu Iran mengadakan kunjungan kenegaraan singkat di Indonesia; Shah dan rombongan akan meninggalkan Indonesia besok pagi pukul 10.15. Sore ini, pada jam 17.15, Shah dan Ratu Iran mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden dan Ibu Soeharto di Istana Merdeka.
Malam ini si Istana Negara, Presiden Soeharto menyelenggarakan jamuan makan kenegaraan untuk meghormat kunjungan pemimpin Iran. Acara makan malam ini kemudian diteruskan dengan pertunjukan kesenian Indonesia. Tarian-tarian yang dipertunjukkan malam ini berhasil memukau Shah Iran dan Ratu Pahlevi beserta rombongan mereka.

Rabu, 1 Oktober 1975
Hari Kesaktian Pancasila diperingati pagi ini dalam suatu upacara khidmat di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dipimpin sendiri oleh Presiden Soeharto. Setelah lagu Indonesia Raya diperdengarkan, Ketua D[R/MPR Idham Chalid membacakan teks Pancasila, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sjarif Thajeb membacakan UUD 1945. Penandatanganan ikrar setia kepada Pancasila dan negara RI dilakukan oleh Wakil Ketua DPR/MPR Domo Pranoto. Upacara yang dihadiri oleh lebih kurang 1.400 undangan ini diakhiri dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Menteri Agama Mukti Ali.
Selesai acara resmi tersebut, Presiden dan Ibu Soeharto meninjau komplels Monumen Pancasila Sakti yang dibangun sebagai peringatan akan kekejaman yang dilakukan G-30-S/PKI pada tanggal 30 September 1965. Dari monumen ini, Kepala Negara meninjau Arena Mandala Sasmita Loka Lubang Buaya, yaitu relief tujuh pahlawan revolusi.

Jum’at 1 Oktober 1976
Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang berlangsung di Lubang Buaya, Jakarta Timur, mulai pukul 08.00 pagi ini. Selain Presiden Soeharto, hadir pula dalam acara khidmat memperingati kegagalan usaha G-30-S/PKI untuk merebut kekuasaan negara dan mengganti Pancasila dengan komunisme adalah Wakil Presiden Hamengku Buwono IX, Ibu Soeharto, dan para menteri serta pejabat tinggi negara lainnya. Seusai acara-acara peringatan, Presiden dan Ibu Soeharto beserta pejabat dan undangan lainnya meinjau Monumen Pancasila Sakti dan kompleks Lubang Buaya tempat para Pahlawan Revolusi mengalami siksaan PKI sebelas tahun yang lampau.
Presiden Soeharto hari ini menyetujui dilaksanakannya pembangunan Pusat Penelitian Ilmu dan Teknologi (Puspitek) di Tanggerang. Persetujuan Kepala Negara ini tercantum di dalam Keputusan Presiden No.43 Tahun 1976 yang dikeluarkan pada dan berlaku mulai hari ini.

Sabtu, 1 Oktober 1977
Pagi ini telah diperingati hari Kesaktian Pancasila di Monument Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai inspektur upacara. Dalam upacara itu telah dibacakan naskah Pancasila oleh Ketua MPR Idham Chalik, dan Pembukaan UUD 1945 oleh Menteri P dan K Sjarif Thajeb. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dan penandatanganan ikrar oleh Ketua DPR yang diwakili oleh H Moh Sudjono. Setelah upacara resmi selesai, Presiden Soeahrto beserta undangan lainnya meninjau sumur yang dua  belas tahun lalu dijadikan tempat para pembuangan jenazah para Pahlwan Revolusi setelah disiksa dengan sangat kejam.
Presiden Soeharto menyatakan harapannya agar MPR dan DPR benar-benar menjadi lembaga yang mampu menampung dan menyaring suara hati nurani  rakyat. Dengan demikian, segala aspirasi rakyat, segala keinginan dan harapannya, mungkin juga kekecewaan dan kegelisahannya, dapat ditampung dan disalurkan secara demokratis dan konstitusional dalam lembaga-lembaga tersebut. Demikian dikatakan Presiden Soeharto dalam upacara pengambilan sumpah/janji anggota DPR/MPR di Jakarta ini.

Minggu, 1 Oktober 1978
Dalam rangka peringatan Hari Kesaktian Pancasila, hari ini di Istana Bogor, Presiden Soeharto menghadiri pembukaan Penataran Calon Penatar Pegawai Republik Indonesia. Penataran yang diikuti oleh 100 orang calon penatar bagi Penataran Tinggkat Nasional merupakan langkah pertama yang diambil Pemrintah dalam rangka pelaksanaan Penataran P4. Dengan penataran ini diharapkan adanya sumbangan pikiran, sehingga nanti akan diperoleh bahan penataran yang baku bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam amanatnya, Presiden berbicara secara panjang lebar mengenai makna dan peranan Pancasila bagi bangsa Indonesia. Dikatakannya, Pancasila adalah sumber dari segala gagasan kita mengenai wujud masyarakat yang kita anngap baik, yang menjamin kesentosaan kita semua, yang mampu memberi kesejahteraan lahir batin bagi kita semua.
Ditegaskannya bahwa Pancasilalah yang menjiwai UUD 1945. Karena itu UUD 1945 tidak akan kita pahami atau mungkin kita laksnakan secara keliru, jika kita tidak memahami Pancasila. Selanjutnya apa yang diamanatkan oleh Pancasila dan apa yang ditujukkan oleh UUD 1945 harus tercermin dalam GBHN, yang merupakan strategi pembangunan kita dalam setiap tahap. Karena itu untuk dapat melaksanakan GBHN sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, maka kita semua harus memahami dan menghayati Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri. Oleh sebab itu, penataran yang meliputi Pancasila, UUD 1945, dan GBHN dianggapnya mutlak bagi pegawai Republik Indonesia.

Senin, 1 Oktober 1979
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pagi ini berlangsung di lapangan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Upacara yang dipimpin oleh Presiden Soeharto itu berjalan dengan khidmat mulai pada pukul 08.00 pagi. Hadir dalam upacara ini antara lain Ibu Soeharto, Wakil Presiden dan Ibu Adam Malik, dan para menteri Kabinet Pembangunan III.
Sebagaimana yang telah ditradisikan oleh Presiden Soeharto, setelah rangkaian upacara resmi selesai, Kepala Negara beserta hadirin lainnya menuju sumur Lubang Buaya, dan Monumen Pancasila Sakti. Sebelum meninggalkan lokasi, Presiden juga meninjau kompleks Lubang Buaya yang pernah menjadi sakti daripada kekejaman yang dilakukan PKI terhadap para Pahlawan Revolusi.
Bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto pagi ini menerima kontingen Indonesia untuk Seagames X yang baru berlangsung di Jakarta. Dalam Seagames itu, kontingen Indonesia berhasil keluar sebagai juara umum dengan mengantongi 92 medali emas, 78 perak, dan 51 perunggu.

Rabu, 1 Oktober 1980
Hari Kesaktian Pancasila kembali diperingatipagi ini dalam suatu upacara khidmat di Lubang Buaya, Pasar Rebo, Jakarta Timur, dengan Inspektur Upacara Presiden Soeharto. Hadir pada peringatan tersebut, Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ibu Adam Malik, para menteri Kabinet Pembangunan III, para anggota korps diplomatik dan pejabat-pejabat lainnya. Juga hadir dalam upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini, janda para Pahlawan Revolusi.
Selesai rangkaian acara resmi, Presiden dengan didampingi oleh Ibu Tien Soeharto meninjau kompleks Monumen Pancasila Sakti. Disini, selain menjenguk kedalam sumur tua tempat para Pahlawan Revolusi dikuburkan  oleh PKI setelah terlebih dahulu dianiaya secara sadis, Presiden dan Ibu Tien Soeharto juga memperhatikan patung para pahlawan revolusi tersebut. Hari Peringatan Kesaktian Pancasila tahun 1980 ini bertemakan “Nilai-nilai Kesaktian Pancasila merupakan sumber pengembangan nilai-nilai budaya yang merupakan identitas bangsa Indonesia”.

Kamis, 1 Oktober 1981
Presiden dan Ibu Soeahrto pagi ini menghadiri upacar peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Dalam upacara yang berlangsung di Lubang Buaya, Jakarta Timur, itu Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam rangkaian acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila kali ini, Kepala Negara meresmikan museum diorama Peristiwa Lubang Buaya. Museum ini merupakan realisasi instruksi yang diberikan Kepala Negara pada acara Hari Kesaktian Pancasila tahun1976. Diorama ini dibangin dengan dana Bantuan Presiden sebesar Rp42 juta.

Jum’at, 1 Oktober 1982
Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini menghadiri upacara pengambilan sumpah/janji para anggota MPR/DPR di Dedung MPR/DPR Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Presiden antara lain telah mengungkapkan beberapa pedoman pokok yang digunakannya didalam merancang GBHN yang diajukannya. Pertama, kita memandang pembangunan bangsa kita dalam arti yang seluas-luasnya, sebagai langkah nyata untuk mendekati cita-cita kemerdekaan. Ini berarti kita memandang pembangunan sebagai pengalaman Pancasila baik di bidang politik, sosial, budaya dan perrtahan keamanan. Dengan sikap dasar ini kita meletakkan pembangunan bangsa itu pada kerangka sejarah yang ada kesinambungannya dengan cita-cita kemerdekaan.
Kedua, kita memandang tahap pembangunan lima tahun mendatang sebagai kesinambungan, peningkatan dan perluasan dari segala hassil positif yang dapat kita capai hingga sekarang, dengan sekaligus mengadakan koreksi dan penyempurnaan yang diperlukan. Ini berarti yang telah baik kita lanjtkan  dan kita mantapkan, sedang yang belum baik akan kita perbaiki.
Ketiga, pembangunan kita pandang sebagai perjuangan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, yang kita jalankan secara sistematis dan berencana, secara realistis dan benar-benar didukung oleh kekuatan nyata bangsa kita. Ini berati dalam menyusun GBHN yang akan datang kita perlu memperhatikan hasil-hasil yang telah kita campai sampai sekarang ini, dengan menggali segala potensi yang dapat kita kembangkan secara maksimal dimasa datang.
Keempat, dengan pedoman-pedoman tersebut, tahap pembangunan yang akan datang memperrhatikan aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat. Dalam hal ini maka pengalaman, kritik keluhan dan harapan-harapan selama pemilihan umum yang lalu mendapat perhatian dan disalurkan secara positif, kreatif, dan realistis dalam penyusunan Rancangan GBHN ini.

Sabtu, 1 Oktober 1983
Pagi ini Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang berlangsung di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Selesai upacara, Presiden dan Ibu Soeharto yang didampingi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto, Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah beserta Ibu dan para undangan lainnya meninjau Cungkup dan keseluruhan kompleks Monumen Pancasila Sakti.

Rabu, 1 Oktober 1986
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila berlangsung di kompleks monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur, dalam suasana yang khidmat. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dalam peringatan hari ini Presiden Soeharto juga bertindak sebagai Inspektur Upacara. Upacara peringatan berlangsung singkat, lebih kurang 20 menit, tatapi mencekam dan mampu mengenangkan para hadirin ke peristiwa pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para Paahlwan Revolusi di tempat itu 21 tahun yang lampau.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila dihadiri antara lain oleh Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ibu Umar Wirahadikusumah, pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara, serta para menteri. Diantara perwira-perwira tinggi ABRI yang mengikuti acara itu tampak Panglima ABRI, para kepala staf Angkatan dan Kapolri. Selain itu hadir pula sejumlah anggota korps diplomatik dan para janda Pahlawan Revolusi.

Kamis, 1 Oktober 1987
Hari Kesaktian Pancasila diperingati dalam suatu upacara yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, pagi ini. Acara tersebut berlangsung dengan khidmat dan mengingatkan segenap hadirin akan kekejaman yang dilakukan PKI di tempat itu dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia. Sebagaimana tradisi yang berlangsung selama ini, Upacara Hari Kesaktian Pancasila pagi ini diisi dengan naskah pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang masing-masingnya dibacakan oleh Ketua DPR/MPR Amirmachmud dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan.
Setelah upacara resmi selesai, Presiden dan Ibu Soeharto, bersama hadirin lainnya, meninjau sumur tua tempat jenazah para Pahlawan Revolusi dibuang oleh orang-orang komunitas 22 tahun yang lalu. Peninjauan juga dilakukan di rumah di.mana para Pahlawan Revolusi disekap dan disiksa, sebelum dimasukkan ke sumur tua itu.
Pukul 10.00 pagi ini, Presiden Soeharto menghadiri acara pengambilan sumpah/janji para anggota DPR dan MPR. Acara ini berlangsung di gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Selatan. Pada kesempatan itu Kepala Negarabmenyerahkan kepada pimpinan MPR bahan-bahan  mengenai GBHN yang dipersiapkan oleh Team Sembilan.

Sabtu, 1 Oktober 1988
Pukul 08.00 pagi ini Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Tampak hadir dalam upacara ini Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ibu Sudharmono, menteri-menteri Kabinet Pembangunan V, para pejabat lembaga tertinggi dan tinggi negara, korps diplomatik, dan keluarga para Pahlawan Revolusi.
Didalam acara tersebut, setelah  pengheningan cipta yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dilakukan pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang masing-massingnya dilakukan oleh Ketua MPR/DPR Kharis Suhud dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Faud Hassan. Kemudian dilanjutan dengan pembacaan ikrar oleh Ketua DPR Sukardi, dan pembacaan do’a oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali.

Selasa, 1 Oktober 1991
Pemerintah menetapkan besarnya ONH untuk tahun 1992 adalah sebesar Rp6.475.000,- . Sebagaimana biasanya, ONH tersebut sudah meliputi uang bekal  untuk kembali ke daerah masing-masing jamaah sebesar Rp25.000,-. Demikian ditetapkan didalam Keputusan Presiden No. 44/1991, sebagaimana  yang diumumkan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali hari ini. Dibandingkan dengan ONH tahun 1991 yang sebesar Rp6.000.000,- itu, maka ONH tahun depan mengalami kenaikan 7,92%.

Kamis, 1 Oktober 1992
Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini menghadiri upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta. Hadir pula dalam acara ini Wakil Presiden dan Ibu EN Sudharmono, para Menteri Kabinet Pembangunan, Ketua BPK M Yusuf, Ketua DPA M Panggabean, Ketua MA Purwoto Gandasubrata, Pangab Jenderal Try Sutrisno, kepala perwakilan negara-negara sahabat serta keluarga para Pahlawan Revolusi. Pada kesempatan ini Kepala Negara juga meninjau museum penghianatan PKI yang mengganbarkan usaha PKI untuk menggulingkan pemerintah yang sah serta usaha ABRI bersama rakyat untuk menumpas PKI.
Presiden dan Ibu Soeharto pahi ini menghadiri pelantikan dan pengambilan sumpah para anggota MPR dan DPR yang berlangsung di Gedung MPR/DPR Sebayan, Jakarta. Tampak hadir pula dalam acara ini Wakil Presiden dan Ibu Sudharmono, para Menteri Kabinet Pembangunan, dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya. Dalam pidatonya Kepala Negara mengharapkan para anggota MPR masa bakti 1993-1997 bisa menyusun petunjuk arah pembangunan serta rambu-rambu peringatan yang tidak terlalu sempit ataupun longgar dalam GBHN mengenai hal-hal yang perlu dihindari dan diwaspadai.
Dikemukakan pula, GBHN 1993 nanti harus realistis agar benar-benar dapat kita laksanakan, serta dalam merancangnya harus selalu didasarkan pada alternatif, urutan prioritas serta pilihan yang konsisten. Penetapan GBHN merupakan wewenang penuh MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat. Oleh karena itu MPR dan DPR harus menjadi lembaga yang mampu menampung dan menyaring aspirasi, sehingga segala keinginan dan harapan rakyat serta kekecewaan dan kegelisahannya dapat disalurkan secara demokratis dalam lembaga ini.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayvan Lesilolo