PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 9 Agustud 1966 - 9 Agustus 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
Selasa, 9 Agustus 1966
Ketua Presedium Kabinet Ampera, Jenderal Soeharto, dalam sambutan tertulisnya pada penutupan penataran Sekber Golkar di Jakarta antara lain mengatakan bahwa sekarang ini masyarakat menghendaki agar pembangunan ditangani oleh para ahli. Tetapi pada masa liberal an durnoisme, banyak karyawan yang ahli telah disingkirkan oleh oknum yang tidak becus tetapi didukung oleh organisasi-organisasi politik. Selanjutnya Jenderal Soeharto meminta agar dalam masa kemurnian pelaksanaan UUD 1945 sekarang ini, hendaknya setiap tenaga pembangunan, setiap pekerja revolusioner dinilai berdasarkan kemampuanna, berdasarkan karya dan prestasi.

Sabtu, 9 Agustus 1969
Presiden Soeharto mala mini meresmikan Monumen Dipenogoro, yang diberinya nama “Sasana Wiratmo”, di desa Tegalrejo, Yogyakarta. Dalam amanatnya, Presiden menyerukan agar pimpinan-pimpinan pembangunan, dalam sikap dan perjuangannya, senantiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat sehari-hari, bahkan mereka harus selalu berada di tengah-tengah rakyat. Mereka diminta untuk merenungkan cita-cita kepemimpinan Pangeran Dipenogoro dan pahlawan-pahlawan nasional lainnya yang selalu berada ditengah-tengah rakyat.
Monumen ini dibangun oleh Korps Rumpun Dipenogoro di tempat Puri Pangeran Dipenogoro.

Senin, 9 Agustus 1971
Presiden Soeharto menjanjikan kepada Gubernur Sulawesi Selatan, Achmad Lamo, untuk memberikan bantuan sebanyak Rp. 30 juta sebagai modal dalam rangka usaha daerah tersebut untuk mengadakan motorisasi perahu-perahu layar. Menurut rencana Pemerintah Daerah, motor-motor yang berharga 3,8 juta rupiah per unit itu akan dikreditkan kepada rakyat pemilik perahu; kredit tersebut akan dilunasi dalam waktu 25 bulan. Presiden berpesan kepada Gubernur agar motorisasi tersebut diutamakan bagi perahu-perahu yang digunakan untuk mengangkut aspal dari P. Buton. Selanjutnya atas permintaan Gubernur, Presiden menjanjikan pula untuk mengirimkan 3.000 kepala keluarga transmigran ke daerah itu dalam tahun keempat Pelita.

Rabu, 9 Agustus 1972
Presiden Soeharto memberikan persetujuannya atas pembangunan kembali Tugu Proklamasi Kemerdekan di Jalan Proklamasi No. 56. Hal ini dikatakannya kepada Wakil Gubernur DKI, Dr. Suwondo, dan Myjen. Dr. Sujono yang menghadapnya di jalan Cendana.

Kamis, 9 Agustus 1973
Presiden Soeharto meminta jaminan Gubernur Jawa Barat sehingga tindak kekerasan dan perusakan seperti yang terjadi dalam peristiwa 5 Agustus di Bandung tidak terulang lagi. Selain itu Kepala Negara juga mengharapkan agar keadaan ekonomi dan psikologis masyarakat setempat segera dapat kembali normal. Demikian dikatakan oleh Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, setelah menghadap Presiden di Bina Graha siang ini.

Sabtu, 9 Agustus 1975
Pagi ini Presiden Soeharto berangkat menuju Lampung untuk melakukan kunjungan kerja selama satu hari di provinsi itu. Dalam acara pertama setiba di Lampung, Kepala Negara meresmikan pabrik sepeda PT Daya Sakti di Seliri, Panjang. Pada kesempatan itu, pemilik pabrik sepeda itu telah menyumbangkan 30 sepeda kepada Presiden. Oleh Presiden sepeda-sepeda tersebut kemudian diserahkan kepada Gubernur Lampung, Soetijoso, dengan pesan agar disampaikan kepada para transmigran Pramuka yang sebelumnya telah ditempatkan di provinsi itu.
Selanjutnya, di daerah Way Luni, Kepala Negara meninjau pabrik makanan ternak milik PT National Sumatra Peletizing Company. Disini presiden menyaksikan proses produksi makanan ternak, dari tahap awal sampai menjadi pallet. Kemudian ia menuju Tarahan, yang terletak di Lampung Selatan, untuk meninjau perkebunan Bimas cengkeh dan menyaksikan panen perdananya. Panen perdana dalam rangka intensifikasi cengkeh yang pertama di daerah itu dimulai secara simbiolis oleh Kepala Negara dengan memetik setangkai cengkeh. Acara di sini dilanjutkan dengan dialaog dengan para petani setempat.

Rabu, 9 agustus 1978
Disidang kabinet terbatas bidang Ekuin berlangsung di Bina Graha mulai pukul 10.00 pagi ini dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Antara lain sidang telah membahas masalah tunjungan hari raya buat pegawai negeri. Mengenai hal ini sidang memutuskan bahwa tahun ini Pemerintah tidak akan memberikan tunjangan hari raya untuk pegawai negeri. Akan tetapi guna membantu meringankan beban mereka, Pemerintah memutuskan untuk mengajukan pembayaran gaji bulan September, sehingga dapat dibayarkan pada tanggal 25 Agustus.
Sementara itu, sehubungan dengan terjadinya kenaikan harga bahan makanan, sidang menilai bahwa kenaikan itu tidak perlu dirisaukan, sebab persedian gula, beras, tepung terigu, dan tekstil masih memadai. Namun demikian, Presiden menginstruksikan para menteri terkait untuk segera mengambil langkah-langkah agar harga barang dapat diturunkan kembali.
Dalam sidang itu antara lain dilaporkan bahwa harga beras naik sebanyak 1% dan minyak goreng naik 5%. Diantara langkah-langkah yang akan diambil Pemerintah antara lain adalah mengimpor minyak goreng.

Kamis, 9 Agustus 1979
Kepala Negara mengatakan bahwa bangsa Indonesia ditantang untuk membuktikan bahwa keanekaragaman bukanlah penghambat melainkan justru mendorong kemajuan bangsa. Menurutnya, hanya dengan membuktikan kemampuan mengatasi berbagai persoalan pokok yang sedang kita hadapi, kita akan dapat mewujudkan peranan kita dalam kehidupan negara dan masyarakat yang berdasarkan Pancasila dalam kehidupan antar bangsa. Demikian dikatakan Presiden Soeharto dalam amanatnya menyambut peringtaan Nuzulul Qur’an yang berlangsung malam ini di Mesjid Istiqlal.
Selanjutnya dikatakan oleh Presiden bahwa tantangan ini harus kita jawab, bukan dengan kata-kata tapi dengan perbuatan nyata. Untuk itu diperlukan ketekunan, waktu dan kepercayaan pada diri kita sendiri. Lebih jauh dikatakannya bahwa kepercayaan pada diri sendiri itu tidak hanya didasarkan pada keyakinan bahwa kita mempunyai modal alam, modal manusia, dan modal budaya serta modal rohani. Masalah kita adalah bagaimana mengembangkan modal moral dan modal rohani yang melahirkan manusia-manusia pembangunan, yang disamping mampu juga bersih, yang disamping cakap juga jujur.

Sabtu, 9 Agustus 1980
Dengan didampingi oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana dan Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia menghadap Presiden Soeharto pagi ini di Bina Graha. Selesai pertemuan itu, Kepala Perwakilan Bank Dunia, Cheetam, mengatakan bahwa ia telah membicarakan dengan Presiden tentang kemungkinan Bank dunia memberikan bantuan kepada Indonesia di bidang pelayanan dan pemeliharaan kesehatan.
Ia juga mengatakan bahwa Bank Dunia tetap mendukung kebijaksanaan pembangunan di Indonesia yang telah memberikan manfaat bagi kemajuan negeri ini dan bagi penduduknya.
Menurut Cheetam, jumlah bantuan Bank Dunia kepada Indonesia pada tahun fiscal yang lalu, yang berakhir bulan Juni, mencapai sekitar US$750 juta. Sektor pertanian menarik 40% dari jumlah tersebut, sedangkan pembangunan proyek-proyek prasarana menghasilkan 30%, dan untuk bidang industri 20%. Sisanya untuk sector pendidikan dan kependudukan.

Senin, 9 Agustus 1982
Pagi ini, bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto meresmikan pembukaan Konferensi Organisasi-organisasi Insinyur ASEAN. Dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah antara lain  disebabkan oleh belum mampu masyarakatnya membangun industrinya. Oleh sebab itu, pembangunan industri memang merupakan suatu keharusan. Namun diingatkan oleh Presiden, bahwa pembangunan industri itu harus benar-benar dapat membawa kesejahteraan kepada rakyat.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam membangun industri, Inonesia berusaha untuk mengembangkan dan menggunakan teknologi tepat guna, yaitu teknologi yang dapat menunjang peningkatakan produksi, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian Indonesia mengharapkan akan dapat menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang baik. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mau menyerap teknologi maju untuk membangun industrinya secara besar-besaran dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat.

Sabtu, 9 Agustus 1986
Hari ini melalui Surat Keputusan No. 229/ Kp/VIII/1986 Menteri Perdagangan mencabut larangan ekspor emas murni dan perak yang diberlakukan empat tahun lalu. Larangan Ekspor kedua komoditi itu dikenakan pada masa sebelumnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 27/Kp/I/1982 tanggal 18 Januari 1982. Pencabutan larangan ekspor dikeluarkan dengan maksud untuk mendorong ekspor non-migas, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah beberapa waktu yang lalu.

Rabu, 9 Agustus 1989
Pukul 09.00 pagi ini, Presiden Soeharto menerima surat kepercayaan dari duta besar Turki, Sencer Asena, dalam pidato balasan terhadap pidato Duta Besar Asena, Kepala Negara antara lain menegaskan bahwa Indonesia, sebagai negara yang sadar tentang martabat kemerdekaaan nasionalnya dan sedang membangun, menyadari pula bahwa pola hubungan antarbangsa dewasa ini ditandai oleh saling membutuhkan. Oleh karena itu tambahnya, Indonesia menyadari pentingnya arti hubungan serta kerjasama dengan semua negara lain.
Setelah menerima surat kepercayaan dari Duta Besar Turki, ditempat yang sama pagi ini juga Presiden Soeharto menerima surat kepercayaan dari Duta Besar Kerajaan Malaysia, Dato Abdullah Zawawi Bin Haji Mohamed. Dalam pidato balasannya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa cita-cita bersama ASEAN untuk mewujudkan Asia Tenggara menjadi kawasan damai, bebas, netral dan sejahtera, masih saja dipengaruhi oleh masalah Kamboja, Indonesia, bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya, senantiasa berupaya mewujudkan penyelesaian menyeluruh dan langgeng atas kemelut itu melalui proses pertemuan Informal Jakarta sebagai upaya regional yang telah mencapai kemajuan-kemajuan berarti.


Minggu, 9 Agustus 1992

Pagi ini di Tapos, Kepala Negara menerima perwira-perwira ABRI yang telah dicalonkan menjadi DPR dan MPR. Mereka didampingi oleh Pangab Jenderal Try Sutrisno, KSAD Jenderal Edi Sudradjat, KSAL Laksamana M Arifin, KSAU Markesal Siboen dan Kapolri Jenderal Kunarto.
Kepada mereka, Presiden Soeharto menegaskan bahwa ABRI tidak mungkin kembali ke kandangnya hanya untuk menjalankan fungsinya sebagai kekuatan hankam, karena fungsinya telah bertambah sebagai kekuatan sosial politik yang diatur dalam  dwifungsi ABRI. Kepala Negara menegaskan bahwa anggota ABRI duduk di lembaga legislative dimaksudkan untuk melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan sosial politik dan bukan hanya mewakili jajaran ABRI. Mereka berhak ikut menentukan politik negara bersama kekuatan sosial politik lainnya.

Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jili 1-6
Penyusun : Rayvan Lesilolo