PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto 21 Juni 1966 - 21 Juni 1988

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,
SELASA, 21 JUNI 1966.
Sidang Paripurna terbuka MPRS menyetujui dan memperkuat Surat Perintah yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966 oleh Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS dan ditujukan kepada Letjen Soeharto selaku  Menpangad. Dalam sidang tersebut anggota-anggota MPRS secara bulat menyetujui ditingkatkannya Supersemar menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966. Dengan adanya ketetapan ini berarti bahwa Supersemar tidak ditarik kembali oleh Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS, sebab hanya MPRS-lah yang berhak untuk membatalkannya. Isi lengkap Ketetapan tersebut ada di Lampiran IV.

Waperdam Hankam  a.i. Letjen. Soeharto membenarkan bahwa Indonesia telah mengirim sebuah misi ke Kuala Lumpur baru-baru ini. Jenderal Soeharto menolak memberikan keterangan kepada  para wartawan yang menanyakan tentang tujuan dan hasil yang telah dicapai oleh missi terebut. Hanya dikatakan bahwa misi yang dipimpin oleh Kolonel Supardjo dan Kolonel Murtopo belum menyampaikan laporan sekembalinya dari Kuala Lumpur.

RABU, 21 JUNI 1967.
Pejabat Presiden Soeharto telah memberikan izin bagi pengerahan kesatuan-kesatuan ABRI guna menyelesaiakan pembangunan proyek pengairan Jatiluhur dalam rangka civic mission ABRI. Demikian dikatakan oleh Menteri PU/Komandan Proyek Jatiluhur, Ir.  Sutami, ketika meninjau proyek tersebut.

Lima negara yang berkumpul di Scheveningen, Negeri Belanda, telah memutuskan untuk memberi bantuan keuangan baru sejumlah 158,400.000 dolar AS, kepada Indonesia. Jepang akan memberikan sejumlah 60 juta dolar AS, Jerman Barat 25 juta dolar AS,  Belanda 15 juta dolar AS, Negara Amerika Serikat 57 dolar AS, dan Inggris 1,4  juta dolar AS. Negara- negara tersebut adalah negara-negara yang tergabung dalam IGGI.

SABTU, 21 JUNI 1969
Di Medan pagi ini Presiden Soeharto menganugerahkan Samkarya Nugraha kepada Kodam II/Bukit Barisan bertepatan dengan ulang tahun ke-18 kesatuan itu. Dalam pidatonya Presiden menyatakan penghargaannya terhadap tindakan tegas serta ketetapan sikap yang diambil Kodam II /BB  sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, pada kesempatan itu Jenderal Soeharto menegaskan kembali tekad ABRI untuk menegakkan  demokrasi, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakan pembangunan.

MINGGU, 21 JUNI 1970.
Bung Karno meninggal dunia pukul 07.00 pagi ini di Rumah Sakit  Angkatan Darat, Jakarta. Sehubungan dengan meninggalnya bekas Presiden RI, Dr. Ir. Soekarno, Presiden Soeharto hari ini berembuk dengan beberapa tokoh masyarakat dan pemerintah di Istana Negara. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain  Dr. Moh. Hatta, Mintaredja SH, Dr. Sjarif Thajeb, Wilapo SH, H Anwar Tjokroaminoto,  Dr. Rubiono, Prof. G A Siwabessy, Hasyim Ning, Sudharmono SH, dan lain-lain. Hasil perembukan itu adalah dikeluarkannya Keppres  No. 44/1970, yang menetapkan penyelengggaraan upacara pemakaman kenegaran bagi almarhum Dr. Ir. Soekarno sebagai Proklamator, dan menetapkan Blitar sebagai tempat makam jenazah almarhum Bung  Karno. Disamping itu Keppres juga menyatakan hari berkabung nasional selama tujuh hari sejak tanggal 21 Juni 1970.

SENIN, 21 JUNI 1971.
Pangdam XVII/ Cenderawasih, Brigjen. Acub Zainal melaporkan kepada Presiden Soeharto mengenai  kebulatan tekad rakyat di pedalaman Irian Barat untuk menghentikan penggunaan koteka pada tahun 1973. Kebulatan tekad ini didorong oleh adanya proyek kemanusiaan yang dilancarkan satu setengah tahun lalu oleh Presiden Soeharto. Dalam hubungan ini Presiden Soeharto mengharapkan agar proyek kemanusiaan ini benar-benar dapat terlaksana, demi pembebasan rakyat Irian Barat dari keterbelakangan dan kebodohan, serta peningkatan taraf hidup mereka sehingga menyamai rakyat Indonesia di daerah lainnya.

RABU,21 JUNI 1972
“perlu segera diusahakan untuk mengubah atau menciptakan peraturan yang memadai, apabila hukum yang sekarang memang benar-benar sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kemajuan atau memang ada kekosongan hukum”. Demikian antara lain pesan Presiden Soeharto kepada hakim ketika menerima peserta rapat kerja kehakiman, yang terdiri atas para hakim dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, di Bina Graha hari ini. Akan tetapi Presiden mengingatkan agar pembangunan di bidang hukum harus tetap berjiwa keadilan yang bersumber pada Pancasila.

SABTU, 21 JUNI 1975
Bertempat di Istana Merdeka, pukul 09,00 pagi ini Presiden Soeharto menerima surat kepercayaan Duta Besar Pakistan Yang baru, S Iqbal Hosein. Dalam pidato penyerahan surat kepercayaannya, Duta besar Hosein antara lain mengatakan bahwa Pakistan dan Indonesia mempunyai aspirasi yang sama dalam hal memajukan nasib rakyatnya.  Dalam hal ini kedua negara telah menempuh banyak kemajuan dalam bidang ekonomi, sehingga menempatkan keduanya dalam tempat yang layak didalam masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Ditegaskannya pula bahwa pembentukan IPECC merupakan manifestasi nyata dari keinginan yang memperkuat hubungan ekonomi dan kebudayaan antara kedua bangsa.

Dalam pidato balasannya, Kepala Negara mengatakan bahwa usaha pembangunan sesuatu bangsa  sepenuhnya tergantung pada kemampuan dan kemauan bangsa itu sendiri. Tetapi kita tidak menutup mata akan perlu dan pentingnya kerjasama antar bangsa, khususnya dalam bidang ekonomi. Dalam hubungan ini. Indonesia dan Pakistan telah mempunyai IPECC sebagai lembaga kerjasama ekonomi dan kebudayaan yang mengikat kedua negara. Presiden Soeharto yakin telah bahwa Indonesia dan Pakistan akan berusaha keras agar IPECC makin berfungsi dan dapat memenuhi cita-cita serta memperkuat hubungan persahabatan kedua bangsa.

Satu jam kemudian, di tempat yang sama, Presiden Soeharto melantik Letjen. (Pol.) Sukahar dan Letjen Kharis Suhud masing-masing sebagai Duta Besar RI untuk Rumania dan Muangthai. Pada kesempatan itu Kepala Negara antara lain mengamanatkan bahwa kita wajib berusaha membentuk Asia Tenggara yang berwajah baru, yaitu AsiaTenggara yang mengenal, percaya dan bertanggungjawab kepada dirinya sendiri. Asia tenggara yang mengenal, baru itu bukan untuk membentuk kekuatan baru di dunia, melainkan untuk memberikan sumbangan kepada perdamaian dunia dan kemajuan umat manusia.

Kepala Negara juga menegaskan bahwa berakhirnya perang Indo-Cina harus dimanfaatkan semua bangsa di dunia untuk menyongsong zaman baru dengan saling pengertian, saling percaya, dan kerjasama. Hanya dengan jalan itulah akan tercipta perdamaian dan stabilisasi yang membuka kesempatan bagi pembangunan yang sesuai dengan keinginan rakyat masing-masing.

Siang ini, di Istana Merdeka. Presiden Soeharto bersama Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan Menteri Perhubungan Emil Salim telah membahas masalah peningkatan armada nasional. Peningkatan armada nasional telah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, mengingat adanya peningkatan produksi barang-barang di dalam negeri dan penyaluran ke seluruh nusantara.

SELASA 21 JUNI 1977.
Presiden Soeharto pagi ini menerima kunjungan Menteri pengangkutan dan pelabuhan Somalia, Mayor Jenderal  Abdulah Muhammad Fadil, yang bertindak sebagai utusan khusus Presiden Republik Demokrasi Somalia, Ahmad Siddi Barre. Menteri tersebut mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu pendiri gerakan non-blok perlu diajak berkonsultasi mengenai perkembangan di Afrika Timur. Ia membenarkan bahwa negaranya telah menerima dukungan Indonesia dalam bentuk pengertian mengenai perkembangan yang terjadi di Somalia yang beberapa waktu yang lalu dituduh sebagai negara komunis. Menteri Fadil dalam pembicaraannya dengan Presiden Soeharto telah menjelaskan bahwa sekalipun Somalia menerima bantuan Uni Soviet, negara tersebut tidaklah berubah menjadi negara komunis. Menurutnya Presiden Soeharto telah menerima baik keterangannya itu, dan ia melihat adanya pandangan yang sama.

Presiden Soeharto memerintahkan kepada Menteri Negara Ekuin agar dalam waktu singkat menyiapkan petunjuk-petunjuk teknik bagi seluruh daerah yang mengikuti Bimas/Inmas yang menyangkut penyauran sarana produksi, khususnya pupuk dan pengembalian kredit Bimas. Kepala Negara menginstruksikan hal tersebut ketika memimpin Sidang Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional di Bina Graha hari ini.

Berdasarkan data di Kabupaten Nganjuk sejak tahun 1972 hingga sekarang ini kredit Bimas yang dibagi-bagikan kepada petani 100% kembali. Presiden dalam sidang itu memberikan petunjuk agar “Pola Nganjuk” dijadikan contoh dan diedarkan kepada bupati-bupati lain agar mereka mengambil langkah-langkah yang serupa.

Sementara itu harga sembilan bahan pokok dari tanggal 12 sampai dengan 19 Mei dilaporkan stabil. Bahkan terjadi penurunan sebanyak  0,06% akibat turunnya harga beras dan gula pasir.


KAMIS, 21 JUNI 1979
Pagi ini Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno yang terletak di Dukuh Sentul, Desa Bendoring, Blitar, Jawa Timur. Acara peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti makam itu oleh Presiden, dan pembukaan gerbang oleh Ibu Soeharto. Tampak hadir dalam upacara tersebut, antara lain, Wakil Presiden Adam Malik, Menteri /Sekretaris Negara Sudharmono, Gubernur Jawa Timur, Sunandar Priyosudarmono, Bupati Blitar, Eddy Slamet, dan Bung Karno.

Dalam kata sambutannya, Presiden mengatakan bahwa Bung Karno, bersama-sama Bung Hatta, adalah seorang besar, karena telah mengambil keputusan bersejarah mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu adalah sepantasnyalah kita memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selama-lamanya kepada Proklamator Kemerdekaan itu.

Selanjutnya dikatakannya bahwa, memang Ketetapan MPRS No. XXXIII Tahun 1967, MPRS telah mencabut kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, karena ia dinyatakan tidak dapat memenuhi pertanggunganjawab konstitusional. Itu adalah kenyataan sejarah, dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Namun adalah juga kenyataan sejarah, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Ini adalah kenyataan sejarah, dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Demikian diungkapkan Presiden ketika menguraikan latarbelakang pembangunan makam Bung Karno ini.


SABTU, 21 JUNI 1980
Presiden Soeharto telah menyerahkan 25 unit traktor untuk rakyat Sulawesi Tenggara. bantuan tersebut diserahkan oleh Sesdalopbag, Solichin GP, kepada Gubernur Sulawesi Tenggara, H Abdullah Silondae di Kendari baru-baru ini.


SELASA, 21 JUNI 1983
Pukul 09.00 pagi ii, Presiden Soeharto membuka secara resmi Konferensi Indo Energi 1983 di Istana Negara. konferensi internasional ini dihadiri oleh lebih kurang 350 utusan dari berbagai negara. dalam amanatnya, Kepala Negara mengatakan bahwa Indonesia telah mengerahkan segala kemauan dan kemampuannya untuk membangun. Namun demikian, Indonesia menyadari bahwa masalah dan tantangan yang dihadapinya jauh lebih besar lagi. Karena itu Indonesia memberi arti penting kepada kerjasama dengan luar negeri, baik antara pemerintah maupun dengan perusahaan-perusahaan swasta.

Selanjutnya Presiden mengungkapkan kegembiraannya karena pintu yang dibuka bagi penanaman modal asing di Indonesia cukup positif bagi kelancaran pembangunan nasional Indonesia. Dan apabila ini dapat dilanjutkan, demikian Kepala Negara, tentu akan memberikan sumbangan yang penting dalam usaha Indonesia mencapai kemajuan kemandirian.

Pada kesempatan itu Kepala Negara mengingatkan bahwa perekonomian dunia tidak akan pernah stabil dan maju secara sehat, jika masih ada negara yang selamanya tergantung atas belas kasihan negara lain, menjadi beban bangsa lain. Dan dalam rangka itu, dengan membangun secara bertahap dan sambung menyambung, Indonesia harus tiba pada tingkat membangun dengan kekuatan sendiri dan dengan tenaga serta pikiran putera-putera Indonesia sendiri.oleh karena itu Indonesia mengajak para penanam modal asing untuk proses pengindonesiaan.


SABTU, 21 JUNI 1986
Presiden Soeharto pagi ini membuka Jambore Nasional Gerakan Pramuka 1986 dalam suatu upacara yang berlangsung di Widya Mandala Krida Bhakti Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur. Jambore Nasional Pramuka tahun iniyang bertema “satu utuh”, Ceria Berkarya” itu juga dihadiri oleh kontingen dari berbagai negara sahabat.

Dalam amanatnya, Kepala Negara mengharapkan agar dalam Jambore ini semua anggota Pramuka mempererat persaudaraan yang akrab, sebagai benih-benih yang kelak akan memperkukuh pohon persatuan dan kesatuan bangsa. Diharapkannya agar suasana dan segala kegiatan dalam jambore ini hendaknya menambah bekal lahir batin, sehingga para Pramuka makin berkembang menjadi manusia Indonesia yang utuh. Kepada para Pramuka juga diharapkan Presiden agar melahirkan karya-karya yang berguna bagi diri sendiri, bagi sesama manusia, dan bagi masyarakat kita yang sedang membangun. Menurut diri untuk kelalk memikul tanggungjawab dan kehormatan sebagai pembangun-pembangun bangsa dan negara.


SELASA, 21 JUNI 1988
Menteri Koordinator bidang Kesra, Soepardjo Rustam, dan Menteri Sosial, Haryati Soebaio, pada jam 08.55 pagi ini menghadap Kepala Negara di Bina Graha. Mereka datang guna melaporkan tentang persiapan-persiapan yang telah dilakukan dalam rangka peringatan Hari Anak Nsional 1988. Dalam hubungan itu pula mereka mengundang Presiden Soeharto untuk hadir pada upacara yang akan dilangsungkan di Jakarta. selain menyatakan kesediaannya untuk hadir, Kepala Negara juga berpesan agar perayaan ini tidak memperlihatkn kesan kemewahan.

Pukul 09.30 pagi ini, di tempat yang sama, Presiden Soeharto menerima Menteri Kehutanan, Hasjrul Harahap. Pada kesempatan itu Kepala Negara menugaskan Menteri Hasjrul Harahap untuk mempelajari kemungkinan memberikan perpanjangan HPH jauh hari sebelum masa berlakunya, jika pemegang HPH tersebut telah melaksanakan dengan baik semua ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Presiden juga menginstruksikan Menteri Kehutanan untuk meningkatkan disiplin para pemegang HPH, antara lain mengikut sertakan asosiasi mereka.

Selain itu pula Menteri Kehutanan ditugaskan pula untuk menjajaki kemungkinan penggarapan Hutan Tanaman Industri (HTI) melalui pola PIR. Dengan kebijaksanaan ini Kepala Negara mengharapkan peladangan berpindah akan berubah menjadi peladangan tetap. Untuk itu Menteri Hasjrul diinstruksikan untuk kerjasama dengan Departemen Pertanian. Sementara itu, sehubungan dengan adanya praktek para pemegang HPH yang menelantarkan kayu-kayu hasil pemotongannya di hutan-hutan lantaran keterbatasan peralatan, Presiden memerintahkan Departemen Kehutanan untuk mengadakan kerjasama dengan Departemen Perindustrian, sehingga kayu-kayu tersebut dapat dimanfaatkan.


Penyusun Intarti, SPd.