PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Jejak Langkah Pak Harto Tanggal 8 Oktober 1966 - 8 Oktober 1992

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Selasa, 8 Oktober 1968

Bertempat di Istana Merdeka padi ini Presiden Soeharto menerima misi ekonomi Jepang yang terdiri atas 20 pengusaha yang tergabung dalam Kiedanren ( federasi organisasi-organisasi ekonomi jepang ). Kepada pengusaha Jepang tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa pembangunan hanya bermanfaat bagi rakyat apabila dilakukan dengan mengerahkan segala daya dan dana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sekarang ini pembangunan Indonesia tidak mungkin dicapai tanpa bantuan asing, sebaliknya bila selamanya menggantungkan diri pada tujuan asing pun, tujuan pembangunan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, dijelaskan oleh Presiden, bahwa penanaman modal asing diarahkan pada sektor-sektor yang belum dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri.

Siang ini, pukul 12.30 Presiden Soeharto menerima 10 orang utusan Suku Daya dari Kalimantan Barat, yang terdiri atas kepala suku/panglima perang kepada para kepala suku/panglima perang Suku Daya tersebut, Presiden menyatakan kegembiraannya atas kedatangan mereka. Dengan pertemuan ini, menurut Presiden, maka dapatlah diketahui keadaan atau perkembangan di daerah-daerah. Dalam kesempatan itu presiden berpesan agar rakyat kalimantan barat dapat meningkatkan produksi, dan apa yang dilihat selama kunjungan mereka ke Ibukota hendaknya diterapkan pula di dearah sesuai dengan kondisi yang ada di tempat mereka. 

Rabu, 8 Oktober 1969

Presiden Soeharto menyatakan kesediaannya menjadi pelindung Festival Film Asia yang akan berlangsung di Jakarta tahun depan. Hal ini dinyatakan kepada Gubernur DKI-Jaya Ali Sadikin selaku ketua kehormatan festival tersebut, yang pagi ini menghadapnya di Istana Merdeka. Dalam rangka itu Presiden mengharapkan agar FFA itu akan dapat mendorong Indonesia untuk meningkatkan produksi filmmnya. 

Kamis, 8 Oktober 1970

Sore ini Presiden Soeharto menerima lebih kurang 400 orang utusan mahasiswa ITB di Jalan Cendana, para mahasiswa tersebut datang untuk menyampaikan pernyataanya agar pelangar hukum yang mengakibatkan tewasnya seorang mahasiswa ITB, Rene Coenard, ditindak dengan tegas. 

Dalam tanggapannya, Presiden Soeharto menyatakan penyesalannya atas peristiwa tersebut, Presiden mengatakan bahwa kejadian itu berupa suatu pelanggaran hukum, dan hukum harus kita tegakkan, selanjutnya Presiden mengharapkan agar dalam menghadapi peristiwa ini, mahasiswa dapat mengendalikan nafsu hingga persoalan dapat diselesaikan secara wajar sesuai dengan keadilan dan hukum yang berlaku. 

Jumat, 8 Oktober 1971

Malam ini Presiden Soeharto kembali menerima kepemimpinan sembilan Partai Politik dan Golkar di Istana Merdeka. Ini merupakan kelanjutan pertemuan yang diadakan dua malam yang lalu. Dalam pertemuan kali ini  Presiden mendengarkan tanggapan pimpinan Parpol dan Golkar tentang gagasan-gagasan yang dikemukakannya dalam pertemuan terdahulu. Pada umumnya pimpinan Parpol dan Golkar menyambut baik gagasan Presiden, baik yang menyangkut penderhanaan fraksi dalam DPR maupun penyederhanaan kepartaian melalui pengelompokan partai-partai yang sudah ada. 

Selasa, 8 Oktober 1974

Sidang Dewan Stabilitasi Politik Nasional berlangsung pagi ini di Bina Graha. Sidang yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ini antara lain telah mendengarkan laporan Menteri Luar Negri Adam Malik mngenai perkembangan Asia Tenggara, sidang memutuskan bahwa pemerintah mempunyai sikap yang tegas dalam masalah Khmer. Ditegaskan bahwa apabila Sihanouk sebagai pemerintah pelarian diterima PBB, maka keputusan yang demikian dari badan dunia itu tidak akan menyelesaikan masalah persoalan Khmer, sebab peperangan akan berjalan terus. 


Jum’at, 8 Oktober 1976

Presiden Soeharto, bersama PM Fraster, Tanggerang, Jawa Barat. Pabrik yang dimiliki oleh PT. James Hardie Indonesia ini merupakan proyek penanaman modal asing yang dilakukan oleh perusahaan Australia, yaitu James Hardie Asbestos Ltd.

Dalam amanatnya, Kepala Negara mengaharapkan agar modal swasta asing mampu dan mau menyesuaikan kepentingan dalam dasar-dasar dan arah pembangunan Indonesia berdasarkan ketentuan yang telah ditegaskannya dalam undang undang penanaman modal asing. Dikatakannya bahwa kepada investor-investor penanaman modal asing, memberi perangsangan dan fisilitas yang menarik. Sebagai imbalannya kita pun mengharapkan penanaman modal asing ikut mendorong maju pembangunan arah kita cita-citakan demikian presiden. 

Presiden dan Ibu Soeharto malam ini di Istana Negara  menyelenggarakan jamuan santap malam untuk menghormati tamu negara Perdana Menteri dan Nyonya Fraster, dalam amanatnya antara lain telah berbicara mengenai ASEAN dan masalah-masalah perdamaian, serta Timor Timur. Menyangkut soal terakhir ini, Presiden mengatakan bahwa bagi Indonesia masalah Timor Timur ini adalah masalah penghapusan penjajahan dan penentuan masa depan mereka sendiri. Mereka telah menyatakan penggabungannya dengan saudara saudara  mereka dari Indonesia, dan bangsa Indonesia pun telah menerimanya dangan tanggungjawab.

Khusus mengenai kunjungan PM Faster, Presiden Soeharto mengatakan bahwa kita masing masing tentu mempunyai jawaban yang kita anggap baik mengenai berbagai masalah. Mungkin jawaban yang kita berikan berbeda-beda karena lingkungan dan kepentingan yang berbeda. Tetapi yang penting adanya saling pengertian dan aling percaya. Karena itu presiden menganggap pembicaraan yang telah dilakukan dengan PM Australia itu sangat berharga. 

Sabtu, 8 Oktober 1977

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Buya Hamka, hari ini menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka, seusai pertemuan itu, Buya hankam menjelaskan kepada para wartawan bahwa Presiden Soeharto akan mempertimbangkan orang-orang asing yang pernah berjasa dalam membantu kemerdekaan Rupublik Indonesia ini dimasa lalu mengajukan beberapa nama orang-orang berjasa yang telah ada di tanah Arab, seperti Alm Mufti Palestina Amin Husaini. Usul Hamka tersebut mendapat sambutan yang baik dari Presiden Soeharto.

Kamis, 8 Oktober 1981

Jam 19.50 malam ini, Presiden Tanzia dan Nyerere tiba di bandar udara Halim Perdanakusuma untuk memulai kunjungan kenegaraan selama lima hari di Indonesia. Di tangga pesawat, kedua tamu agung itu bersambut dengan hangat oleh Presiden dan Ibu Soeharto dalam upacara kehormatan militer penuh. 

Jum’at, 8 Oktober 1982

Presiden dan rombongan hari ini meninjau industri pesawat terbang Casa di Getafe, salin gmendapatkan penjelasan mengenai perkembangan industri tersebut, kepala negara melihat dari dekat proses pembuatan pesawat terbang di sana. Di hanggar I, Presiden meninjau pembuatan bagian-bagian pesawat Airbus dan CN-235,sementara di Hanggar II, Presiden Soeharto melihat perbuatan Helikopter BO-105 dan pesawat tempur rancangan Spanyol C-101 Jet Trainer.

Selasa, 8 Oktober 1985

Bertempat di Balai Sidang Jakarta, pukul 09.00 pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto menghadiri upacara peringatan seratus tahun usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Upacara diadakan untuk memperingati pertama kali dikemukakannya minyak bumi yang dapat diproduksi secara komersial tahun yang lalu di Telaga Tunggal, dekat Pangkalan Berandan, Sumatera Utara. 

Dalam amanatnya, Presiden Soeharto mengatakan bahwa sampai saat ini kita belum mempunyai cukup modal, keahlian dan keterampilan untuk mencari, menggali, dan mengolah minyak bumi dan gas alam yang terdapat di bumi dan dasar laut. Karenanya kita memanfaatkan kemampuan luar negeri untuk bekerja sama dengan kita. Namun kita bersyukur selama dua dasawarsa terakir ini. Kemampuan dan keahlian kita meningkat, sehingga dari waktu kewaktu kita semakin banyak memiliki tenga yang ahli dan terampil dalam bidang permiyakan dan gas alam. 

Di tahun-tahun yang akan datang kemampuan itu harus kita tingkatkan lebih tinggi, lebih cepat, dan lebih banyak lagi, terutama sebagai persiapan agar menjelang akhir ke-20 ini kita benar-benar dapat memasuki tahap tinggal landas disegala bidang. 

Di Cendana sore ini, Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. PM Mahathir mengadakan kunjungan kerja selama satu hari dalam rangka meninjau IPTN di Bandung, dalam kunjungannya kepada Presiden Soeharto sore ini ia telah menghadiakan sebuah mobil Protonsaga, buatan Malaysia sebagai cinderamata.

Dalam pembicaraan sore ini telah disinggung berbagai masalah baik dalam bidang ekomomi, Presiden Soeharto maupun politik. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto dan PM Mahathir berpangkat bahwa Indonesia dan Malaysia perlu lebih meningkatkan kerjasama guna menghadapi keadaan ekonomi dunia saat ini. Hal ini terutama karena kedua negara mempunyai kepentingan dan posisi yang sama dalam produk-produk pertanian dan pertambangan. 

Dalam bidang politik, PM Mahathir telah memberitahukan Presiden Soeharto tentang rencananya untuk mengunjungi RRC pada bulan November yang akan datang. Kepadanya Presiden Soeharto menegaskan bahwa Indonesia tetap menganut kebijaksanaan “satu cina”. Tetapi Indonesia tidak akan normalisasi hubungannya dengan Cina sampai semua masalah sudah clear. Masalah politik lainnya yang dibicarakan adalah soal insiden perbatasan yang terjadi antara Malaysia dan Filiphina baru-baru ini dalam hubungan ini Presiden Soeharto mengharapkan agar kedua negara tetangga itu tetap mengutamakan persahabatan. 

Rabu, 8 Oktober 1986

Presiden Soeharto menghadiahkan alat parangkap babi hutan dan pucuk senjata SP-1 buatan PT Pindad beserta seribu butir peluru kepada Gubernur Bengkulu, Suprapto. Demikian diungkapkan Gubernur Suprapto usai menghadap Kepala Negara pagi ini di Cendana. Dikatakannya oleh Suprapto bahwa alat perangkap babi hutan yang terbuat dari kawat baja itu adalah hasil ciptaan Presiden sendiri, alat perangkap itu diberikan kepadanya untuk selanjutnya dijadikan contoh dan diperbanyak oleh masyarakat Bengkulu. Dikatakannya bahwa daerah yang didampinginya itu masyarakat memang sedang resah karena diserang hama babi hutan, sehingga alat perangkap itu akan sangat bermanfat bagi mereka. 

Kamis, 8 Oktober 1987

Ketua Dewan Komisaris Marubeni, Kazuo Haruna, dan Presiden Direktur Marubeni, Tomio Tatsuo, diterima Presiden Soeharto di Bina Graha pagi ini. Setelah bertemu dengan Kepala Negara, Kazuo Haruna mengatakan bahwa kunjungan kepada Presiden adalah untuk memperkenalkan kepengurusan Marubeni. Disamping membicarakan kemungkinan dilakukan pembangunan PLTN di Indonesia. Diungkapkannya pula bahwa Presiden Soeharto telah menjelaskan tentang keadaan perekonomian Indonesia dewasa ini, serta langkah-langkah yang dilakukan pemerintahan Indonesia untuk mengatasi berbagai kesulitan ekonomi. 

Sabtu, 8 Oktober 1988

Presiden dan Ibu Soeharto melayat dan melepas Jenazah Sultan Hamengkubuwono IX yang telah disemayamkan di Kraton Yogyakarta. Jenazah mantan Wakil Presiden itu dimakamkan di makam keluarga kraton di Imogiri. Sehubungan dengan wafatnya Sultan Hamengkubuwono IX, Presiden telah menetapkan perkabungan nasional selama satu minggu. Juga telah diputuskan sebelumnya bahwa almarhum akan dimakamkan dengan upacara kenegaraan.

Selasa, 8 Oktober 1991

Pukul 09.00 pagi ini, bertempat di Balai Sidang Jakarta, Presiden Soeharto membuka Konvensi Tahunan Asosiasi Perminyakan Indonesia XX dan Konferensi Energi Internasional Jakarta II Tahun 1991. Acara ini dihadiri oleh 5.000 orang peserta dari berbagai negara, terdiri atas para industriawan dan pengamat ahli perminyakan dari pelbagai negara.

Pada kesempatan itu, Presiden mengatakan bahwa sekarang sudah tiba saatnya bagi kita semua, baik pensuplai maupun pemakai energi, untuk lebih sering berdialog dan berkonsultasi untuk menghilangkan sekat-sekat yang hanya merugikan diri kita sendiri. Sekarang ini pasar energi sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur spekulasi, oleh karena tidak mengatakan bahwa kesempatan seperti sekarang ini, dimana hadir wakil-wakil dari pemerintah negara produsen dan negara konsumen serta dari industri perminyakan, sangat baik dimanfaatkan dalam upaya bersama untuk menciptakan kerjasama yang lebih serasi.

Kamis, 8 Oktober 1992

Presiden Soeharto pagi ini menerima Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman di Istana Merdeka. Soesilo Soedarman menghadap untuk melapor tentang penyelenggaraan konferensi kebudayaan di Yogyakarta. Usai diterima Presiden Soeharto, ia mengatakan bahwa Kepala Negara memerintahkan kepadanya untuk terus memeriksa kasus tender yang di lakukan PT (Persero) Telkom untuk membangun proyek telekomunikasi di NTB.

Di tempat yang sama, Presiden Soeharto menerima pula para menteri ASEAN yang bertanggungjawab dalam bidang pertanian. Mereka itu adalah Menteri Pertanian Malaysia Datuk Sanusi bin Junid, Menteri Pertanian Filipina Roberto Sebastian, Menteri Pembangunan Nasional Singapura Lim Hik Kiang, Menteri Pertanian Indonesia Wardoyo, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap serta Menteri Koperasi Bustanil Arifin.

Kepada mereka Presiden mengatakan bahwa Indonesia belum bisa disebut sebagai pengekspor beras sekalipun telah mengirim beras ke beberapa negara, terutama karena produk pertanian ini diberikan kepada negara lain sebagai bantuan. Misalnya Indonesia pernah mengirim beras ke Vietnam dan Myanmar.