PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

1973-03-12 SU MPR 1973: Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soeharto

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,

SU MPR 1973: Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soeharto [1]



SENIN, 12 Maret 1973, Sidang Umum MPR dimulai hari ini. Dalam sidangnya kali ini, MPR mempunyai empat acara; yaitu 1) Menetapkan GBHN; 2) Memilih Presiden dan Wakil Presiden; 3) Membahas Perubahan dan ketetapan-ketetapan MPR; dan 4) Menetapkan ketetapan-ketetapan baru MPR.

Sidang kali ini dihadiri oleh 920 anggota MPR yang terdiri dari 392 anggota dari Fraksi Karya Pembangunan, 230 anggota Fraksi ABRI, 130 anggota Fraksi Utusan Daerah, 126 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan, dan 42 anggota Fraksi Demokrasi Indonesia.

Pada pembukaan sidang hari ini Presiden Soeharto menyampaikan pidato pertanggungjawabannya. Dalam pidatonya Presiden mengatakan bahwa usaha-usaha stabilitas ekonomi dan pembangunan merupakan langkah yang sangat penting untuk memberi isi kepada kemerdekaan nasional. Isi tersebut antara lain kesejahteraan umum yang maju dan kehidupan bangsa yang cerdas dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa stabilitas ekonomi bukan saja merupakan landasan bagi suksesnya pelaksanaan Repelita, tetapi Repelita itu sendiri juga mempunyai fungsi lebih memantapkan stabilitas ekonomi.

Presiden, dalam laporannya, telah pula mengemukakan strategi dan sasaran okok yang dikembangkan dan dilaksanakan secara serasi dan dinamis. Ketiga hal tersebut adalah meliputi:
  1. Penertiban dan penyehatan keuangan negara yang serba kalut. Untuk itu antara lain dilakukan anggaran berimbang, diadakan penghematan pada semua kantor pemerintah, penghentian proyek-proyek pembangunan yang tidak ekonomis.
  2. Penganggaran urusan dan dunia perbankan. Untuk penggarapan ini diambil langkah-langkah untuk menghentikan pemberian kredit yang tidak terarah dan tanpa pertimbangan ekonomis. Pemberian kredit ini kemudian ditujukan pada usaha – usaha yang produktif, dan diutamakan pada sektor-sektor pangan, ekspor, prasarana dan industri. Peningkatan ekspor terus didorong dengan menyederhanakan prosedur ekspor, meniadakan/mengurangi beban dan ongkos yang tidak perlu. Selain itu menyesuaikan kurs valuta asing dengan rupiah.
  3. Memperluas keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Haluan ekonomi baru yang digariskan dalam ketetapan MPRS No. XXIII member arah pelurusan kembali pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan cara pemberian tempat dan peranan yang wajar dan serasi pada sektor-sektor pemerintah dan masyarakat.
Presiden Soeharto mengatakan pula ada tiga hal utama yang menyebabkan parah dan seriusnya kerusakan yang dialami aparatur negara yang telah bertahun-tahun menderita salah urus di bawah rezim Orde Lama. Hal utama tersebut adalah:
  1. Aparatur Negara telah menjadi pengabdi kepentingan kelompok politik akibat proses perpolitikan. Berubahnya fungsi aparatur negara menyebabkan bidang aparatur Negara menjadi arena perebutan kepentingan golongan dan partai. Hal ini mengakibatkan segenap tugas dan kewajiban dilaksanakan tanpa mengindahkan asas obyektivitas dan kepentingan umum.
  2. Akibat lumpuhnya proses pengawasan dalam aparatur negara menyebabkan terjadinya kekaburan antara tugas-tugas ekskutif, legislative, dan yudikatif. Dengan keadaan seperti itu, usaha untuk menegakkan hukum tidak dapat diselenggarakan.
  3. Ketidakmampuan aparatur negara untuk mengelola dana dan kekayaan negara. Hal ini telah menjerumuskan negara dalam keadaan kemerosotan ekonomi yang hebat.
Presiden juga mengatakan bahwa kesempatan kerja merupakan masalah yang cukup berat di tahun 1966 dan 1967. Pemecahannya ialah dengan menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya, tetapi hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang pendek. Namun demikian, dalam Repelita I telah dilakukan berbagai usaha jangka pendek di bidang ini. Usaha tersebut meliputi penciptaan kesempatan kerja, pembinaan dan penyediaan tenaga kerja yang cukup keahlian dan yang sesuai dengan perkembangan. Selain iru diadakan pula peningkatan dan perbaikan hubungan perburuhan beserta jaminan sosialnya.

Sementara itu, melonjaknya harga beras pada bulan November dan Desember 1972 yang lalu telah menyebabkan inflasi pada tahun ini meningkat menjadi 25,7%. Selanjutnya dikatakan bahwa naiknya harga beras tersebut antara lain disebabkan oleh karena panen beras yang gagal sebagai akibat musim kemarau yang panjang. Namun begitu, untuk mengatasi hal ini dan mencapai target persediaan beras menjelang lebaran dan hari raya telah diimpor beras dari luar negeri dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan.

Pada saat itu Presiden soeharto menyerukan agar partai politik yang ada membuka pintu lebar-lebar bagi setiap warganegara untuk menjadi anggotanya tanpa mengadakan perbedaan-perbedaan. Dikatakan pula bahwa tugas pokok dari partai politik di Indonesia adalah menjadikan dirinya wadah masyarakat untuk membina kesadaran politik dalam arti “kesadaran atas tanggungjawab” terhadap masalah-masalah pembangunan bangsa dalam arti yang luas. Dengan cara ini, partai-partai politik akan benar-benar dapat merupakan unsur yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia.

Mengenai penyederhanaan partai politik dan organisasi kekaryaan sehingga menghasilkan dua partai politik dan satu organisasi karya, digambarkan oleh Presiden sebagai suatu kemajuan yang sangat penting dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Karena, bukan saja kepartaian menjadi lebih sederhana dan efektif, tetapi juga akan memperkuat stabilitas politik. Dalam pemilihan umum yang akan datang hanya ada tiga gambar saja yang akan dipilih rakyat.

Mengenai ABRI dikatakan oleh Presiden bahwa ABRI tidak menghendaki kekuasaan, tetapi hanya menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, seperti yang dicita-citakan oleh perjuangan bangsa Indonesia. Dikemukakannya pula bahwa ia sangat menyayangkan adanya suara-suara sumbang yang menggambarkan seolah-olah penilaian pemerintah tentang masih adanya ancaman sisa-sisa PKI dan ancaman subversi hanyalah sekedar dalih ABRI untuk tetap berkuasa. Hal ini adalah keliru, dan sama juga dengan suara PKI. Namun suara-suara yang demikian justru merupakan tantangan untuk lebih membersihkan diri, untuk meningkatkan pengabdian ABRI kepada perjuangan bangsa.

Dijelaskan pula oleh Presiden bahwa kegiatan sisa-sisa G-30-S/PKI pada tahun 1972 ini secara umum ditujukan pada usaha-usaha pengacauan, antara lain berupa sabotase, terhadap proyek-proyek vital pemerintah, serta pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Disamping itu penyebarluasan pamflet-pamflet yang dibuat dan diedarkan secara lokal, terutama di daerah Kalimantan Barat, yang mengadakan penyusupan ke dalam masyarakat antara lain pada golongan agama, pegawai negeri, ABRI dan proyek-proyek pemerintah. Oleh karena itu, disamping terus melakukan operasi teritorial dan intelijen, maka dalam rangka pengamanan proyek-proyek prasarana yang strategis dalam tahun 1972 mendapat perhatian khusus dari alat negara, karena seringnya terjadi kecelakaan yang disengaja.

Sementara itu tentang tahanan G-30-S/PKI dikatakan oleh Presiden bahwa pemerintah berusaha keras untuk dapat menyelesaikan dan membebaskan para tahanan tersebut. Untuk itu landasan dan pertimbangan yang digunakan oleh pemerintah adalah keselamatan bangsa dan negara, penyelesaian hukum dan perlakuan wajar yang sesuai dengan kebesaran Pancasila. Berdasarkan pada tiga hal pokok itu, maka diadakan penggolongan terhadap mereka. Golongan A ialah mereka yang terlibat langsung dengan pemberontakan G-30-S/PKI, tetapi dalam pemeriksaan sulit didapat cukup bukti menurut hukum untuk diajukan ke pengadilan. Golongan B ialah mereka yang menurut penilaian umum terlibat langsung dengan pemberontakan G-30-S/PKI tetapi dalam pemeriksaan sulit didapatkan bukti menurut hukum untuk diajukan ke pengadilan. Golongan C ialah mereka yang setelah diadakan pemeriksaan nyata-nyata tidak bersalah dan ternyata hanya ikut-ikutan menjadi anggota PKI atau organisasi yang bernaung di bawah PKI.

Menyinggung soal hubungan internasional dan politik luar negeri, Presiden mengemukakan bahwa ketetapan MPRS No. XII/1966 telah memberikan garis-garis pengarahan yang harus ditempuh oleh pemerintah. Inilah yang dijadikan landasan politik luar negeri oleh pemerintah dalam mengadakan hubungan antar-bangsa demi mengejar cita-cita nasional: masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan turut menciptakan dunia yang adil, damai dan sejahtera. Selanjutnya disimpulkan pula bahwa dasar pokok politik luar negeri Indonesia meliputi:
  1. Memurnikan kembali pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan tetap anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala manifestasinya.
  2. Politik luar negeri yang diabdikan untuk kepentingan nasional, khususnya pembangunan.
  3. Turut ambil bagian dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia, kususnya stabilitas Asia Tenggara, tanpa mengurangi kemampuan kita untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Sedangkan politik mercusuar, konfrontasi dan poros-porosan yang membawa dampak negative, dan menjauhkan Indonesia dari sahabat-sahabat dan negara-negara tetangganya, serta telah mempersempit ruang geraknya di dunia Internasional tidak akan dilaksanakan lagi. Langkah-langkah yang diambil pada tingkat pertama untuk mengembalikan kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia, menurut presiden, ialah yang dilakukannya kegiatan-kegiatan yang terutama dipusatkan pada usaha-usaha untuk meletakkan dasar saling pengertian, saling percaya-mempercayai dan kerjasama baru di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No. XII/1966, yang antara lain memberi petunjuk agar masalah Asia dipecahkan oleh bangsa Asia sendiri dengan cara Asia sendiri, serta perlu dibangun kerjasama regional.

Masuknya Indonesia kembali ke PBB pada pertengahan tahun 1966, bukan saja memberi kesempatan bagi Indonesia untuk menjelaskan sikap dan tujuan Indonesia dalam menyelenggarakan hubungan antar-bangsa setelah timbulnya Orde baru, tetapi juga dapat dipergunakan untuk mempererat kembali hubungan dan pendekatan kembali yang saling menguntungkan yang bermanfaat bagi pelaksana stabilitasi, rehabilitasi, dan pembangunan di Indonesia. Terbentuknya forum-forum multilaretal, seperti IGGI dan Paris Club dengan tujuan untuk mengadakan perundingan-perundingan guna menghasilkan kespakatan mengenai bantuan dan kerjasama ekonomi antara negara-negara barat khususnya dengan Indonesia ynag sedang melaksanakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, merupakan hasil langsung dari besarnya perhatian, kepercayaan negara-negara tersebut kepada Indonesia.

Dalam hal hubungan dengan RRC, Presiden Soeharto mengatakan bahwa ia tidak mengesampingkan kemungkinan dinormalisasikannya kembali hubungan antara Indonesia dan RRC yang terputus beberapa waktu belakangan ini, sebagai akibat ikut sertanya RRC dalam membantu pemberontakan G-30-S/PKI di tahun 1965. Dijelaskan pula bahwa kita bersahabat dengan negara-negara yang berlandaskan komunisme, tetapi tentunya dengan saling hormat-menghormati dan tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Demikian antara lain pokok-pokok pertanggungjawaban Presiden Soeharto di hadapan Sidang Umum MPR.

Ketua Fraksi Karya Pembangunan, Sugiharto, menilai pidato pertanggungjawaban Presiden sebagai lengkap dan patut dihargai. Menurutnya, fraksi dapat menerima segenap isi pidato tersebut. Sementara itu Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan, Drs. Chalik Ali, mengatakan bahwa fraksinya belum membicarakan hal tersebut, tetapi jelas bahwa pertanggungjawaban Presiden itu patut dihargai. Menanggapi hal yang sama, Ketua Fraksi Demokrasi Indonesia mengemukakan bahwa pidato tersebut “cukup wajar dan mengungkapkan apa adanya serta menggambarkan baik kekurangan maupun hasil-hasil yang sudah dicapai,” tanpa mengabaikan kenyataan pelaksanaan Pelita I yang belum seluruhnya selesai, karena pelaksanaan Pelita ini masih satu tahun lagi. (AFR)



-----
[1] Dikutip Langsung dari Buku Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968 - 23 Maret 1973, hal 512-516